Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai upaya pembangunan di bidang kesehatan diarahkan untuk


meningkatkan kelangsungan hidup bayi dan anak. Bayi menjadi fokus dalam
setiap program kesehatan karena dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya
setiap saat menghadapi berbagai ancaman bagi kelangsungan hidupnya seperti
kesakitan dan kematian akibat berbagai masalah kesehatan (Argadiredja, D. 2010)
Menurut data terakhir dari nasional basis data perinatal neonatal kejadian
sepsis neonatal telah dilaporkan 38 dari 1000 kelahiran hidup intramural di
institusi pelayanan tersier. Septikemia adalah kategori klinis umum dengan
kejadian 24 dari 1000 kelahiran hidup. Meningitis di diagnosis 0,5 dari 1000
kelahiran hidup. Sepsis neonatal adalah salah satu penyebab umum berkontribusi
kematian neonatal sampai 23% dari semua kematian neonatal (Argawal R, et all,
2012).
Berdasarkan perkiraan World Health Organitation (WHO) hampir semua
(98%) dari 5 juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang. Lebih dari dua
pertiga kematian itu terjadi pada periode neonatal dini dan 42% kematian neonatal
disebabkan infeksi seperti: sepsis, tetanus neonatorum, meningitis, pneumonia,
dan diare. Menurut hasil Riskesdas 2007, penyebab kematian bayi baru lahir 0-6
hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis
12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab
kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan kongenital 18,1%,
pneumonia 15,4%, prematuritas dan bayi berat lahir rendah (BBLR) 12,8%, dan
respiratory distress syndrome(RDS) 12,8%. Di samping tetanus neonatorun, case
fatality rate yang tinggiditemukan pada sepsis neonatorum, hal ini terjadi karena
banyak faktor infeksipada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan
ditanggulangi. Angka kematian sepsis neonatorum cukup tinggi 13-50% dari
angka kematian bayi baru lahir. Masalah yang sering timbul sebagai komplikasi

1
sepsis neonatorum adalah meningitis, kejang, hipotermi, hiperbilirubinemia,
gangguan nafas, dan minum (Wirawan, 2012; 1).
Angka kejadian sepsis di negara berkembang masih cukup tinggi (1,8-
18/1000kelahiran) dibandingkan dengan negara maju (1,5/1000kelahiran).
Kejadian sepsis juga meningkat pada bayi kurang bulan (BKB) dan BBLR. Pada
bayi berat lahir amat rendah (<1000g) kejadian sepsis terjadi pada 26/1000
kelahiran dan berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000-2000g yang
angka kejadiannya antara 8-9/1000 kelahiran. Demikian pula risiko kematian
BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan.
Di Indonesia, angka sepsis neonatorum belum banyak dilaporkan.
Incidence sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan berkisar antara 1,5-
3,72%, sedangkan CFR berkisar antara 37-80%.15 Data yang diperoleh dari
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode Januari-September
2005, incidence sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan CFR sebesar
14,18%.16 Menurut penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan
rancangan penelitian uji diagnostik potong lintang di RS Dr. Sardjito Yogyakarta,
jumlah kasus sepsis neonatorum menunjukkan variasi dari tahun ke tahun. Data
yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medik RS. Dr. Sardjito, rata-rata jumlah
kasus 3 tahun terakhir kurang lebih 45 per tahun (4,22%) dan CFR 42,9%. Hasil
survei pendahuluan yang dilakukan di RSU Dr. Pirngadi Medan diperoleh jumlah
penderita sepsis neonatorum tahun 2005-2009 sebanyak 119 kasus yaitu tahun
2005 terdapat 8 kasus, tahun 2006 terdapat 41 kasus, tahun 2007 terdapat 20
kasus, tahun 2008 terdapat 27 kasus, dan tahun 2009 terdapat 23 kasus.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian
tentang karakteristik penderita sepsis neonatorum yang dirawat inap di RSU Dr.
Pirngadi Medan tahun 2005-2009.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai
bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka
kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan mencapai 13-
27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500gram. Angka kematian
13-50%, terutama pada bayi prematur (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup
bulan) dan neonatus dengan penyakit berat dini. Infeksi nosokomial pada bayi
berat lahir sangat rendah, merupakan penyebab utama tingginya kematian pada
umur setelah 5 hari kehidupan (Pusponegoro T, 2012).
2.2 Klasifikasi Sepsis Neonatorum
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua periode, yaitu :
1. Sepsis awitan dini sering dimulai dalam kandungan dan umumnya
merupakan akibat infeksi yang disebabkan oleh bakteri di traktus
genitourinarius ibu. Organisme terkait dengan sepsis ini termasuk
streptokokus grup B, E. Coli, Klebsiella, L. Monocytogenesis, dan,
nontypeable. Influenza. Sebagian besar bayi terinfeksi adalah bayi
prematur dan menunjukan tanda-tanda kardiorespiratori non spesifik,
seperti merintih, takipnea, dan sianosis saat lahir. Faktor resiko untuk
sepsis awitan dini termasuk kolonisasi vagina dengan streptokokus
grup B, ketuban pecah berkepanjangan (>24 jam), amnionitis, demam
atau leukositosis pada ibu, takikardi janin, dan persalinan prematur.
Ras Afrika Amerika dan jenis kelamin lelaki merupakan faktor resiko
tambahan yang tidak dapat dijelaskan pada sepsis neonatus (Marcdante
K, et all, 2014: 285).
Sepsis Awitan Dini ( lahir sampai 7 hari) merupakan penyakit
sistem multiorgan berat yang sering bermanifestasi sebagai gagal
pernafasan, syok, memingitis (30%kasus), koagulasi intravaskular

3
diseminata (KID), nekrosis tubular akut, dan gangren perifer simetris.
Manifestasi awal merintih, toleransi minum buruk, pucat, apneu,
letargis, hipotermi, atau tangisan abnormal dapat bersifat nonspesifik.
Neutopenia berat, hipoksia, dan hoptensi dapat bersifat refrakter
terhadap antibiotik spektrum luas, ventilasi mekanik, dan vasopresor
seperti dopamin, dan dobutamin. Pada tahap awal septikemi awitan-
dini dari bayi prematur, sepsis sering sulit di bedakan dari sindrom
gawat nafas(SGN). Oleh karena kesulitan ini, bayi prematur dengan
SGN mendapat antibiotik spektrum luas (Marcdante K, et all, 2014:
285).
2. Sepsis awitan lambat (8-28hari) umumnya terjadi pada bayi cukup
bulan sehat yang di pulangkan dalam keadaan sehat dari kamar bayi
sehat. Manifestasi klinis dapat meliputi letargis, toleransi minum
buruk, hipotoni, apatis, kejang, ubun-ubun membonjol, demam, dan
hiperbilirubin direk. Selain bakteremi, penyebaran hematogen dapat
berakibat pada infeksi fokal, seperti meningitis ( pada 75% kasus),
osteomyelitis (streptokokus grup B, staphylokokus aureus), artritis
(gonokokus, s. Aureus, candida albicans, bakteri gram negatif), dan
infeksi saluran kemih (bakteri ram negatif) (Marcdante K, et all, 2014:
286).
Evaluasi bayi dengan sepsis awitan lambat serupa dengan sepsis
awitan dini, dengan perhatian khusus diberikan pada pemeriksaan fifik
teliti terhadap tulang (bayi dengan osteomyelitis dapat memperlihatkan
pseudoparalisis) dan untuk pemeriksaan laboatorium, kultur urin yang
di ambil dari aspirasi supra pubik atau kateterisasi uretra. Sepsis
awitan lambat dapat di sebabkan oleh patogen yang sama dengan
sepsis awitan dini, namun bayi yang menunjukan tanda sepsis pada
akhir periode neonatus juga mungkin mendapat infeksi oleh patogen
yang biasanya ditemukan pada bayi yg lebih tua (H. Influenzae, s.
Pneumonia, dan neisseria meningitidis). Selain itu, virus (HSV, CMV,

4
atau enterovirus) dapat bermanifestasi seperti gambaran sepsis awitan
lambat (Marcdante K, et all, 2014: 286).

2.3 Patogenesis
Patofisiologi sepsis neonatorum merupakan interaksi respon komplek
antara mikroorganisme patogen dan keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada
sepsis, melibatkan beberapa komponen, yaitu: bakteri, sitokin, komplemen, sel
netrofil, sel endotel, dan mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan gangguan
fibrinolisis memegang peran penting dalam patofisiologi sepsis neonatorum.
Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekular dan seluler untuk
menimbulkan respon sepsis neonatorum tergantung mikroorganisme
penyebabnya, sedangkan tahapan-tahapan pada respon sepsis neonatorum sama
dan tidak tergantung penyebab. Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif
dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding
sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian mengaktifasi sel imun non
spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. LPS
terikat pada protein pengikat LPS saat di sirkulasi. Kompleks ini mengikat
reseptor CD4 makrofag dan monosit yang bersirkulasi (Hapsari, 2009).
Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respon inflamasi dengan
pelepasan eksotoksin/superantigen dan komponen antigen sel. Sitokin
proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumor necrosis factor (TNF) ,
interleukin (IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN). Peningkatan IL-6 dan IL-8
mencapai kadar puncak 2 jam setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat
mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator
sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF),
prostaglandin, dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi berbagai
tipe sel, memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel (Nasution,
2008). Imunoglobulin pertama yang dibentuk fetus sebagai respon infeksi bakteri
intrauterin adalah Ig M dan Ig A. Ig M dibentuk pada usia kehamilan 10 minggu
yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat terpapar infeksi selama
kehamilan. Peningkatan kadar Ig M merupakan indikasi adanya infeksi neonatus.

5
Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus yaitu saat bayi dalam kandungan /
pranatal, saat persalinan/ intranatal, atau setelah lahir/ pascanatal. Paparan infeksi
pranatal terjadi secara hematogen dari ibu yang menderita penyakit tertentu,
antara lain infeksi virus atau parasit seperti Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes (infeksi TORCH), ditransmisikan secara hematogen
melewati plasental ke fetus (Nasution, 2008). Infeksi transplasenta dapat terjadi
setiap waktu selama kehamilan. Infeksi dapat menyebabkan aborsi spontan lahir
mati, penyakit akut selama masa neonatal atau infeksi persisten dengan sekuele.
Infeksi bakteri lebih sering di dapat saat intranatal atau pascanatal. Selama dalam
kandungan ibu, janin terlindung dari bakteri karena adanya cairan dan lapisan
amnion. Bila terjadi kerusakan lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi
melalui amnionitis. Neonatus terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh
aspirasi cairan amnion yang mengandung lekosit maternal dan debris seluler
mikroorganisme, yang berakibat pneumonia. Paparan bayi terhadap bakteri terjadi
pertama kali saat ketuban pecah atau dapat pula saat bayi melalui jalan lahir. Pada
saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke atas sehingga
kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi vertikal, paparan
infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan dimasukkan ke dalam
kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal sepsis) dengan gejala
klinis sepsis, terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah lahir (Hapsari, 2009). Infeksi
yang terjadi setelah proses kelahiran biasanya berasal dari lingkungan sekitarnya.
Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan, saluran cerna, atau
melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk sepsis semacam ini dikenal dengan sepsis
paparan lambat (late onset of neonatal sepsis). Selain perbedaan dalam waktu
paparan kuman, kedua bentuk infeksi ini (early onset dan late onset) sering
berbeda dalam jenis kuman penyebab infeksi. Walaupun demikian patogenesis,
gejala klinik, dan tata laksana dari kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak
berbeda (Hapsari, 2009).
2.4. Gejala Klinik
Gejala klinik infeksi sistemik pada neonatus tidak spesifik dan seringkali
sama dengan gejala klinik gangguan metabolik, hematologik dan susunan saraf

6
pusat. Peningkatan suhu tubuh jarang terjadi dan bila ada umumnya terdapat pada
bayi cukup bulan. Hipotermia lebih sering ditemukan daripada hipertermia.
Leukosit pada neonatus mempunyai rentang yang luas yaitu antara 4.000 s/d
30.000 per mm.
Gejala klinik sepsis neonatorum pada stadium dini sangat sulit ditemukan
karena tidak spesifik, tidak jelas dan seringkali tidak terobservasi. Karena itu,
dibutuhkan suatu dugaan keras terhadap kemungkinan ini agar diagnosa dapat
ditegakkan. Gejala klinik sepsis pada neonatus dapat digolongkan sebagai:
2.4.1. Gejala umum: bayi tidak kelihatan sehat (not doing well), tidak mau
minum, kenaikan suhu tubuh, penurunan suhu tubuh dan sclerema.
2.4.2. Gejala gastrointestinal: muntah, diare, hepatomegali dan perut
kembung
2.4.3. Gejala saluran pernafasan: dispnea, takipne dan sianosis.
2.4.4. Gejala sistem kardiovaskuler: takikardia, edema, dan dehidrasi.
2.4.5. Gejala susunan saraf pusat: letargi, irritable, dan kejang.
2.4.6. Gejala hematologik: ikterus, splenomegali, petekie, dan
perdarahan lain
2.5 Determinan Sepsis Neonatorum
Beberapa determinan sepsis neonatorum dibedakan berdasarkan host,
agent, dan environment.
a. Host
Faktor host yang menjadi determinan terjadinya sepsis neonatorum dapat
dilihat dari faktor bayi dan ibu.
a.1. Faktor Bayi
a.1.1. Umur
Penelitian Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq menyebutkan bahwa
secara statistik angka kematian akibat sepsis lebih tinggi secara signifikan
pada bayi berumur < 7 hari dibandingkan pada bayi berumur 7-28 hari
(p<0,001).

7
a.1.2. Jenis Kelamin
Laki-laki empat kali lebih beresiko terkena sepsis dibandingkan
perempuan, dan kemungkinan ini berhubungan dengan kerentanan host
berdasarkan jenis kelamin.18 Dalam penelitian Simbolon tahun 2008
dengan menggunakan desain penelitian kasus kontrol di RSUD Curup
kabupaten Rejang Lebong Bengkulu menyebutkan bahwa menurut faktor
bayi, kejadian sepsis neonatorum banyak terjadi pada bayi laki-laki
(61,2%).10 Hasil penelitian Patel, dkk (1994) di University of Mississippi
Medical Center (UMMC), proporsi penderita sepsis neonatorum tertinggi
pada bayi laki-laki (54,3%). Penelitian jumah, dkk (2007) di Basrah
Maternity and Children Hospital, penderita sepsis neonatorum lebih
banyak pada bayi laki-laki, diantaranya 56,75% yang hidup dan 43,25%
yang meninggal.

a.1.3. Prematuritas
Prematur adalah satu-satunya faktor paling signifikan berkorelasi
dengan sepsis. Risiko meningkat sebanding dengan penurunan berat lahir.
Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 37
minggu. Bayi yang lahir prematur mempunyai berat badan lahir rendah,
namun bayi yang mempunyai berat badan lahir rendah belum tentu
mengalami kelahiran prematur.
Bayi prematur rentan mengalami infeksi/septikemia.
Infeksi/septikemia empat kali beresiko menyebabkan kematian bayi
prematur.Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada
bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama
terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi
imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia
berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
Incidence rate sepsis neonatorum yang dilaporkan bervariasi,
antara 1-8 per 1.000 kelahiran hidup, dengan kejadian terbanyak pada bayi
kurang bulan dengan berat badan lahir rendah

8
a.1.4. Berat lahir rendah.
Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang kurang atau sama dengan
2500 gram saat lahir. Tujuh persen dari semua kelahiran termasuk
kelompok ini. Kebanyakan persoalan terjadi pada bayi yang beratnya
kurang dari 1500 gramdengan angka kematian yang tinggi dan
membutuhkan perawatan dan tindakan medik khusus.Dalam penelitian
Stoll, dari 7.861 bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (berat lahir
<1500g) dari National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD) pada tahun 1991-1993, 1,9% bayi terbukti mengalami sepsis
dalam 72 jam pertama kehidupan, meskipun hampir 50 % bayi di
kelompok ini dianggap memiliki sepsis klinis dan diobati dengan
antibiotik selama lebih dari lima hari. 26% dari bayi tersebut meninggal.

a.1.5. Status Kembar


Bayi kembar berisiko tinggi untuk infeksi streptococcus grup B
dan infeksi lain walaupun sudah dikendalikan untuk prematuritasnya
selain itu bayi lahir dengan status kembar kemungkinan akan lahir dengan
BBLR, sehingga akan berisiko mengalami sepsis karena organ tubuhnya
belum sempurna sehingga sistem imunnya kurang yang menyebabkan
mudah terkena infeksi.Menurut Mochtar, berat badan satu janin kembar
rata-rata 1000 gram lebih ringan dari janin tunggal. Berat badan masing-
masing janin kembar tidak sama, umunya berselisih antara 50 sampai 1000
gram, dan karena pembagian sirkulasi darah tidak sama, maka yang satu
kurang bertumbuh dari yang lainnya.
Pengaruh kehamilan kembar pada janin adalah umur kehamilan
tambah singkat dengan bertambahnya jumlah janin dalam kehamilan
kembar, sehingga kemungkinan terjadinya bayi prematur sangat tinggi.

9
a.2. Faktor Ibu
a.2.1. Umur ibu
Umur ibu melahirkan dibagi dalam 3 kelompok usia remaja dengan
umur < 20 tahun, kelompok usia reproduksi sehat dengan umur 20-35
tahun dan kelompok usia risiko tua dengan umur > 35 tahun. Ibu hamil
dengan umur lebih muda sering mengalami komplikasi kehamilan dengan
hasil kehamilan tidak baik. Pada kelompok umur risiko tua kejadian berat
badan lahir rendah juga meningkat.

a.2.2. Pendidikan Ibu


Tingkat pendidikan ibu dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kesehatan bayi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup,
seorang ibu dinilai lebih banyak memperoleh infromasi yang dibutuhkan.
Selain itu, ibu dengan tingkat pendidikan relatif tinggi lebih mudah
menyerap informasi atau himbauan yang diberikan. Dengan demikian
mereka dapat memilih serta menentukan alternatif terbaik dalam
melakukan perawatan dan pemeriksaan kehamilan sehingga dapat
melahirkan bayi sehat.

a.2.3. Pekerjaan Ibu


Variabel pekerjaan akan mencerminkan keadaan sosial ekonomi
keluarga. Penelitian Yahya K, dkk menyebutkan bahwa presentase
terbanyak adalah pada golongan berpenghasilan rendah. Dimana suami
bekerja sebagai buruh, kemudian diikuti pedagang kecil, pegawai negeri
golongan I dan II. Sedangkan istrinya (ibu hamil) pada umumnya tidak
bekerja. Rendahnya kedudukan tingkat dan macam pekerjaan ini adalah
akibat dari tingkat pendidikan yang juga rendah. Di Negara berkembang,
banyak ibu bekerja keras untuk membantu menopang kehidupan
keluarganya di samping tugas utama mengelola rumah tangga,
menyiapkan makanan, mengasuh dan merawat anak. Salah satu studi
menunjukkan bahwa 25% dari rumah tangga sangat bergantung pada

10
pendapatan kaum perempuan. Jika ibu hamil bekerja terlalu keras dan
intake kalori kurang selama hamil akan lebih mudah melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah yang merupakan faktor risiko terjadinya infeksi.

a.2.4. Umur Kehamilan


Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 minggu, dihitung dari hari
pertama haid yang terakhir. Lama kehamilan dapat dibedakan atas:
i. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada
kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat
janin antara 1.000-2.500 gram.
ii. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada
kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500
gram.
iii. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2
minggu atau lebih dari waktu partus cukup bulan.

a.2.5. Ketuban pecah dini (KPD)


Ketuban pecah dini (KPD) yaitu bocornya cairan amnion sebelum
mulainya persalinan, terjadi pada kira-kira 7 sampai 12 persen kehamilan.
Paling sering ketuban pecah pada atau mendekati saat persalinan;
persalinan terjadi secara spontan dalam beberapa jam. Bila ketuban pecah
dini dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada risiko peningkatan
morbiditas dan mortalitas perinatal akibat imaturitas janin.Sepsis
neonatorum dini sering dihubungkan dengan KPD karena infeksi dengan
KPD saling mempengaruhi. Infeksi genital bawah dapat mengakibatkan
KPD, demikian pula KPD dapat memudahkan infeksi asendens. Infeksi
asendens ini dapat berupa amnionitis dan korionitis, gabungan keduanya
disebut korioamnionitis.
Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi
meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis
akan meningkat menjadi 4 kalinya.

11
a.2.6. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum
Infeksi dapat merupakan akibat korioamnionitis, infeksi saluran
kemih, kolonisasi vagina oleh Streptococcus grup B (SGB), kolonisasi
perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. Ibu yang menderita
infeksi ketika hamil dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu
maupun janin dan bayi neonatal seperti infeksi neonatal.

a.2.7. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.


Dalam penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan
rancangan penelitian uji diagnostik potong lintang di RS Dr. Sardjito
Yogyakarta terdapat proporsi ibu dengan keadaan air ketuban keruh
melahirkan bayi yang mengalami sepsis neonatorum sebanyak 33,1%.15
Menurut hasil penelitian Simbolon di instalasi kebidanan Rumah Sakit
Pusat Sardjito Yogyakarta dari bulan Januari 2001 ditemukan 72 % faktor
risiko sepsis neonatorum adalah BBLR dengan keadaan air ketuban bau
busuk.

a.2.8. Riwayat Persalinan Ibu


Bayi yang lahir dengan tindakan (ekstraksi cunam/vakum dan
seksio sesaria) berisiko mengalami sepsis neonatorum. Infeksi dapat
diperoleh bayi dari lingkungannya diluar rahim ibu, seperti alat-alat
penolong persalinan yang terkontaminasi.

a.2.9. Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care)


Pemeriksaan kehamilan (Antenatal Care) yang teratur berfungsi
sebagai kontrol untuk mendeteksi terjadinya tanda-tanda komplikasi
kehamilan, sehingga dapat mengantisipasi kemungkinan bahaya
kehamilan dan persalinan.Pemeriksaan kehamilan perlu dilakukan oleh ibu
semasa hamil, mulai dari trimester pertama sampai saat berlangsungnya
persalinan. Tujuan pemeriksaan kehamilan adalah untuk menemukan ibu
hamil yang mempunyai risiko tinggi sehingga risiko kematian ibu atau

12
bayi dapat dikurangi.Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan dapat
mengurangi kejadian kelahiran prematur pada bayi yang sangat rentan
terkena sepsis. Selain itu dengan melakukan pemeriksaan selama hamil
dapat dideteksi secara dini penyakit infeksi yang diderita oleh ibu yang
nantinya akan mengakibatkan infeksi pada bayinya.

b. Agent
Agent/organisme tersering sebagai penyebab penyakit adalah Escherichia
coli dan Streptococcus group B (yang bersama-sama bertanggungjawab atas 50-
75% kasus pada kebanyakan pusat pelayanan kesehatan), Streptococcus termasuk
kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada satu sistem pun yang mampu
untuk mengklasifikasikannya. Ada dua puluh jenis, termasuk streptococcus
pyogenes (group A), streptococcus agalactiae (group B) dan jenis enterococcus
(group D), dapat dicirikan dengan berbagai tampilannya yang bervariasi: dari
karakteristik koloni pertumbuhan, pola hemolisis pada media agar darah
(hemolisis , hemolisis , atau tanpa hemolisis), komposisi antigen pada substansi
dinding sel dan reaksi biokimia. Jenis Streptococcus pneumonia (pneumococcus)
lebih lanjut dikalsifikasikan berdasarkan komposisi antigen polisakarida pada
kapsul. Klasifikasi bakteri streptococcus dari sisi kepentingan medis yaitu sebagai
berikut:
b.1. Streptococcus pyogenes: Kebanyakan bakteri streptococcus yang
termasuk dalam antigen grup A adalah S. pyogenes. Bakteri ini bersifat
hemolitik-. S. pyogenes adalah bakteri pathogen utama pada manusia
dikaitkan dengan invasi lokal atau sistemik dan gangguan immunologi
pasca infeksi oleh streptococcus.

b.2. Streptococcus agalactiae: Termasuk dalam streptococcus group B.


Mereka adalah anggota dari flora normal pada saluran organ wanita serta
penyebab penting dari sepsis neonatal dan meningitis. Dan mereka
menunjukkan jenis hemolitik dan menghasilkan daerah hemolisis yang
sedikit lebih luas daripada koloninya (berdiameter 1-2 meter). Bakteri

13
streptococcus group B dapat menghemolisis natrium hippurate dan
memberi respon positif terhadap tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-
Peterson).

b.3. Grup C dan G: Bakteri streptococcus ini kadang terdapat di dalam


nasofaring dan menimbulkan sinusitis, bakteremia atau endokarditis.
Sering kelihatan seperti S. pyogenes grup A pada medium darah agar dan
bersifat hemolitik . Dapat diidentifikasi menggunakan reaksi dengan
antiserum spesifik untuk grup C atau G.

b.4. Enterococcus faecalis (E. faecium, E. durans): Bakteri enterokokus


dapat bereaksi dengan antiserum grup D Enterokokus ini merupakan
bagian dari flora normal enterik. Mereka biasanya bersifat nonhemolitik
tapi suatu saat dapat bersifat hemolitik-.

b.5. Sterptococcus bovis: Bakteri ini termasuk dalam streptococcus group


D nonenterococcus. Mereka sebagian merupakan flora enterik dan
kadangkala dapat mengakibatkan endokarditis, dan juga dapat
mengakibatkan bakteremia pada pasien dengan carcinoma colon Bakteri
bersifat nonhemolitik.

b.6. Streptococcus anginosus: Bakteri streptococcus ini merupakan bagian


dari flora normal. Bisa bersifat , , atau nonhemo litik. S. Anginosus
meliputi bakteri streptococcus hemolitik yang membentuk koloni kecil
(berdiameter < 0,5 mm) dan bereaksi dengan antiserum grup A, C, atau G;
dan terhadap semua hemolitik grup F.

b.7. Streptococcus Grup N: Mereka jarang menimbulkan penyakit pada


manusia namun dapat menyebabkan penggumpalan normal pada susu.

14
b.8. Streptococcus Grup E, F, G, H, dan K-U: Bakteri streptococcus ini
terdapat terutama pada hewan dan terkadang juga pada manusia.

b.9. Streptococcus pneumoniae: Bakteri pneumokokus bersifat hemolitik


.

b.10. Streptococcus viridians: Secara tipikal, biasanya bersifat hemolitik-,


tapi kemungkinan lain mereka bersifat nonhemolitik. Bakteri
streptococcus viridians merupakan bakteri yang paling umum sebagai flora
normal pada saluran pernafasan atas dan berperan penting untuk menjaga
kesehatan membran mukosa yang terdapat disana.Selain itu penyebab lain
dari sepsis neonatorum adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella,
Enterobacter sp, Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp,Listeria
monocytogenes dan bakteri anaerob. Sepsis awitan dini akan terlihat
sebagai proses nyata, yang mengenai banyak organ pada minggu pertama
kehidupan, sedangkan sepsis awitan lambat, sering dimanifestasikan
sebagai meningitis setelah minggu pertama kehidupan.
Pertama-tama biasanya dihubungkan dengan faktor-faktor ibu dan
organisme yang berasal dari cairan ketuban yang terinfeksi atau ketika
janin melewati jalan lahir, dan setelah itu bayi mungkin terinfeksi dari
lingkungannya atau dari sejumlah sumber di rumah sakit. E. coli dan
streptococcus B mungkin bertanggung jawab atas terjadinya sepsis awitan
dini atau lambat, sedangkan S. aureus, Klebsiella, Enterobacter sp, P.
aeruginosa dan Serratila sp, lebih lazim menyebabkan sepsis awitan
lambat.

c. Environment
Beberapa faktor lingkungan yang menjadi determinan sepsis neonatorum
terutama berasal dari keadaan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) yaitu jumlah
pasien yang terlalu banyak, kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan,
kurangnya handuk atau tissue, tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak

15
nyaman, buruknya kebersihan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas
ruangan isolasi, dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum. Semua
faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi
masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab tidak
adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini.
Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap
mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis
2.6 Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain meningitis yang dapat
menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/ atau leukomalasia periventrikular.
Komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan syok septik dapat
dijumpai pada pasien sepsis neonatorum. Komplikasi lain adalah berhubungan
dengan penggunaan aminoglikosida, seperti tuli dan/ atau toksisitas pada ginjal,
komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari
gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental bahkan sampai
menimbulkan kematian (Depkes, 2007).
2.7 Pencegahan Sepsis Neonatorum
2.7.1. Pencegahan Primordial
Primordial prevention (pencegahan awal) ini dimaksudkan untuk
memberi kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit itu tidak
mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Bentuk
pencegahan ini berupaya untuk mencegah munculnya faktor predisposisi terhadap
masyarakat khususnya ibu dan wanita usia produktif terhadap faktor risiko
terjadinya sepsis pada bayinya. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
sepsis neonatorum sebagai pencegahan primordial adalah:
a. Mengatur pola makan sehat dan bergizi dalam jenis dan jumlah yang
cukup pada ibu untuk mempertahankan daya tahan tubuh serta menjaga
kebesihan diri sehingga terhindar dari penyakit infeksi.
b. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang pentingnya pemeriksaan saat
hamil (Antenatal Care) dengan cara mencari informasi melalui buku,
televisi atau media massa lainnya.

16
c. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun agar tidak berisiko melahirkan bayi
prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah.

2.7.2. Pencegahan Primer


Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat
menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi.
Pencegahan primer juga diartikan sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya
suatu penyakit pada seseorang dengan faktor risiko. Upaya yang dapat dilakukan
sebagai pencegahan primer terhadap kejadian sepsis neonatorum adalah:
a. Mewujudkan Pelayanan Kebidanan yang Baik dan Bermutu Bidan
memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesehatan. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pelayanan kebidanan yang
baik dan bermutu antara lain:
a.1. Semua wanita hamil mendapat kesempatan dan menggunakan
kesempatan untuk menerima pengawasan serta pertolongan dalam
kehamilan, persalinan, dan nifas.
a.2. Pelayanan yang diberikan bermutu
a.3. Walaupun tidak semua persalinan berlangsung dirumah sakit, namun
ada kemungkinan untuk mendapat perawatan segera di rumah sakit jika
terjadi komplikasi.
a.4. Diwajibkan bersalin di rumah sakit untuk:
a.4.1. Wanita dengan komplikasi obstetrik (panggul sempit,
preeklampsia-eklampsia, kelainan letak, dll).
a.4.2. Wanita dengan riwayat obstetrik yang jelek (perdarahan
postpartum, kematian janin sebelum lahir, dll).
a.4.3. Jarak kelahiran <2 tahun atau >5 tahun.
a.4.4. Wanita hamil dengan penyakit umum, seperti penyakit
jantung, diabetes, dll.
a.4.5. Wanita dengan kehamilan ke-4 atau lebih.

17
a.4.6. Wanita dengan umur 35 tahun ke atas dan kurang dari 20
tahun
a.4.7. Primigravida (wanita yang hamil untuk pertama kali)
a.4.8. Wanita dengan keadaan di rumah yang tidak memungkinkan
persalinan dengan aman.
a.4.9. Tinggi badan <150 cm.
a.4.10. Persalinan prematurus dan postmaturus.

b. Pengawasan ibu dan bayi pada saat intranatal dan postnatal.


b.1. Pengawasan terhadap infeksi baik pada saat intranatal maupun
postnatal.
b.2. Melakukan pengamatan pada ibu dan bayi untuk mengetahui ada
tidaknya penyulit persalinan sehingga dapat segera ditangani secara cepat
dan tepat.
b.3. Pengawasan terhadap terjadinya perlukaan kelahiran.

c. Perawatan Antenatal (Antenatal Care)


Antenatal care mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya
menurunkan angka kematian ibu dan perinatal. Dianjurkan agar pada setiap
kehamilan dilakukan antenatal care secara teratur dan sesuai dengan jadwal yang
lazim berlaku. Tujuan dilakukannya antenatal care adalah untuk mengetahui data
kesehatan ibu hamil dan perkembangan bayi intrauterin sehingga dapat dicapai
kesehatan yang optimal dalam menghadapi persalinan, puerperium dan laktasi
serta mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai pemeliharaan bayinya.
Perawatan antenatal juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya persalinan
prematuritas atau berat badan lahir rendah yang sangat rentan terkena penyakit
infeksi. Selain itu dengan pemeriksaan kehamilan dapat dideteksi penyakit infeksi
yang dialami ibu yang dapat mengakibatkan sepsis neonatorum.Kunjungan
antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama masa kehamilan
dengan distribusi kontak sebagai berikut:
c.1. Minimal 1 kali pada trimester I (K1), usia kehamilan 1-12 minggu.

18
c.2. Minimal 1 kali pada trimester II (K2), usia kehamilan 13-24 minggu.
c.3. Minimal 2 kali pada trimester III (K3 dan K4), usia kehamilan > 24
minggu.

d. Mencuci tangan
Dalam lingkungan perawatan kesehatan, tangan merupakan salah satu
syarat penularan yang paling efisien untuk infeksi nosokomial. Oleh Karena itu,
mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian yang paling
penting. Tujuan mencuci tangan adalah untuk menurunkan bioburden (jumlah
mikroorganisme) pada tangan dan untuk mencegah penyebarannya ke area yang
tidak terkontaminasi, seperti pasien, tenaga perawatan kesehatan (TPK) dan
peralatan. Tenaga perawatan diharuskan mencuci tangan sebelum dan setelah
memegang bayi untuk menghindari terjadinya infeksi pada bayi tersebut.Mencuci
tangan yang kurang tepat menempatkan baik pasien dan tenaga perawatan
kesehatan pada risiko terhadap infeksi atau penyakit. Tenaga perawatan kesehatan
yang mencuci tangan kurang adekuat memindahkan organisme-organisme seperti
Staphylococcus, Escheriscia coli, Pseudomonas, dan Klebsiella secara langsung
kepada hospes yang rentan, yang menyebabkan infeksi nosokomial dan epidemik
di semua jenis lingkungan pasien.Kepatuhan mencuci tangan sangat penting
dalam mencegah infeksi nosokomial.

e. Pemberian ASI secepatnya


Upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan dengan
keadaan gizi bayi yang baik. Pemeliharaan gizi bayi dan balita yang baik
memerlukan pengaturan makanan yang tepat yaitu salah satunya dengan
pemberian ASI secara benar dan tepat.51 Air susu ibu memegang peranan yang
penting untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup bayi. Awal menyusui
yang baik adalah 30 menit setelah bayi lahir karena dapat merangsang
pengeluaran ASI selanjutnya, disamping itu akan terjadi interaksi atau hubungan
timbal balik dengan cepat antara ibu dengan bayi.

19
Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah
terjadinya infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih
kecil untuk memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula.
Efektifitas ASI tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang
diberikan semakin sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi
nosokomial pada bayi prematur yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil
dibandingkan dengan bayi prematur yang mendapat susu formula (47,2%).

f. Pembersihan Ruang Perawatan Bayi


Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai
dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Setiap ruang perawatan terutama
NICU (Neonatal Intensive Care Unit) memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi
untuk 2 pasien yang terinfeksi, dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat
memakai baju steril untuk tindakan invasif, dan tempat penyimpanan alat-alat atau
material yang sudah dibersihkan.

g. Perawatan persalinan aseptik


Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, dan pemberian
ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam
selama persalinan. Pemberian ampicillin dapat menurunkan risiko terjadinya
infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena
ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi Streptococcus Grup B sampai
36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan
gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar
82% dan infeksi Streptococcus Grup B sebesar 86%. Sedangkan wanita dengan
faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban pecah dini serta bayinya,
sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama persalinan.
Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis.

20
2.7.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ini diberikan kepada mereka yang menderita atau
dianggap menderita. Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis
dini dan pengobatan yang tepat.
a. Diagnosis
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa
perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan
menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi
jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 2.1)

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus


Variabel Klinis
Suhu tubuh tidak stabil
Denyut nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x109/L )
Leukopenia ( < 5000 x 109/L )
Neutrofil muda > 10%

21
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 109/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

Dalam menentukan diagnosis klinik sepsis, setiap lembaga hendaknya


membuat sendiri kriteria yang cocok untuk dipakai ditempatnya. Pengkajian
secara statistik mengenai hal ini sangat sulit, karena faktor predisposisi infeksi
maupun gejala klinis sangat sulit digolongkan karena saling tumpang tindih.

b. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab
membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan
masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan
pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.
b.1. Pemberian Antibiotik
Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera
dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah diberikan terapi
empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan
hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan
pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian
antibiotik harus dihentikan.
b.1.1. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan sepsis awitan dini, terapi empirik harus meliputi
Streptococcus Group B, E. coli, dan Lysteria monocytogenes.
Kombinasi penisilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida
mempunyai aktivitas antimokroba lebih luas dan umumnya efektif
terhadap semua organisme penyebab sepsis awitan dini. Kombinasi
ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas
antibakteri.

22
b.1.2. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat
Kombinasi pensilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida
juga dapat digunakan untuk terapi awal sepsis awitan lambat. Pada
kasus infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat
anti staphylococcus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida
dapat digunakan sebagai terapi awal.
Pemberian antibiotik harusnya disesuaikan dengan pola
kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus.

b.2. Terapi Suportif (adjuvant)


Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua
sistem organ atau lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti
gangguan fungsi respirasi, gangguan kardiovaskular diseminata (KID),
dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi
suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik, dan pemberian
komponen darah. Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi
adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan dikepustakaan antara lain
pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian tranfusi dan
komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-
CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-
lain.

2.7.4 Pencegahan Tertier


Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah cacat, kematian,
serta usaha rehabilitasi. Penderita Sepsis neonatorum mempunyai resiko untuk
mengalami kematian jika tidak dilakukan diagnosis dini dan terapi yang tepat.
Untuk itu bayi-bayi yang menderita sepsis perlu mendapatkan penanganan khusus
dari petugas kesehatan dalam rangka mencegah kematian dan membatasi
gangguan lain yang daat timbul di kemudian hari.

23
24
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : By. Wan Andriani


Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 14 Juni 2016
Nama Ayah : Bambang Setiawan
Nama Ibu : Wan Andriani
Pekerjaan Ayah :-
Pekerjaan Ibu :-
Agama : Islam
Alamat : Jln. Ahmad Yani gp. Jawa, kota Langsa
Suku : Aceh
Tanggal Masuk : 15 Juni 2016
Pukul : 18.30 WIB

25
3.2 ANAMNESA
Keluhan Utama : Apnoe + kejang + ikterik
Telaah : Pasien merupakan kiriman dari praktek dr. Reni Suryanti
Sp.A dengan indikasi apnoe, kejang, GE, dehidrasi, dan kuning dengan usia bayi
2 hari.
Riwayat Kelahiran : Bayi lahir dari ibu secara spontan dengan indikasi bayi
tidak segera menangis,post date, mulut dan hidung sudah di slym zheeger, air
ketuban keruh, anus (+), kelainan kongenital (-), injeksi vit.K (+), gentamisisn
tetes mata (+). BB = 2900gram, PB = 48cm, dengan riwayat kelahiran G3 P1 A0.

Tanda 0 1 2 Menit 1 Menit 5


Frek. Jantung Tidak ada <100x/i >100x/i, 2 2
bayi
terlihat
bugar
Usaha bernafas Tidak ada Lambat Menangis 1 2
kuat
Tonus otot Lumpuh Ektremitas Gerakan 1 1
fleksi aktif
sedikit
Refleks Tidak Gerakan Reaksi 1 1
bereaksi seikit melawan
Warna kulit Biru/pucat Tubuh Seluruh 1 2
kemerahan, tubuh
ekstremitas kemerahan
biru
Jumlah nilai 6 8

26
PENILAIAN MATURITAS
Maturitas fisik Score Maturitas Score
neuromuskular
Kulit 1 Sikap tubuh 3
Lanugo 3 Persegi jendela 3
Perm. Plantar kaki 2 Rekoli lengan 3
Payudara 3 Sudut poplitea 3
Mata/daun telinga 3 Tanda selempang 2
Kelamin 3 Tumit ke cuping 3
Jumlah 15 Jumlah 17

Tafsiran maturitas : 15 + 17 = 36 (36-38 minggu)


NCB+SMK

KEADAAN UMUM
Sensorium : Somnolen
HR : 128x/i
RR : 80x/i
Temperatur : 36,5C

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Normochepali
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Devisiasi Septum (-), sekret (-/-)
Mulut : Dbn
Leher : Midline trakea
Thorax : Inspeksi : simetris
Palpasi : Sf tidak diperiksa
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves (+/+), RH (+/+), WH (-/-)

27
Abdomen : Inspeksi : Distensi +
Palpasi : Soepel +
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)

Ekstremitas Atas : Pucat (-)


Oedem (-)
Sianosis (-)
Ikterik (+)
Ekstremitas Bawah : Pucat (-)
Oedem (-)
Sianosis (-)
Ikterik (+)
Kulit : Ikterik (+)

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Rutin
- Hemoglobin : 15,8 g/dl
- Hematokrit : 51,8g/dl
- Eritrosit : 5,72 g/dl
- Trombosit : 104.000 ui x 10
- Leukosit : 27.760 ui x 10
KGDS : 84mg/dl
Bilirubin total : 19, 3
Direct Bilirubin : 1,1 , 8,2 , 1.3

3.4 DIAGNOSA BANDING


1. Hiperbilirubin
2. Gastroenteritis akut

28
3.5 DIAGNOSA KLINIS
Sepsis Neonatorum

3.6 PENATALAKSANAAN
- O2 -1 Liter/i
- IVFD Dexa 10% 4 tetes/i
- Inj. Cefotaxim 100mg/12 jam
- Inj. Dexamethasone 0,4mg/8jam
- Luminal Pulvis 2x6mg
- Phenobarbital 65mg + NACL 20cc/12 jam
- Light Therapy/6 jam
- Diet Observasi

29
3.7 FOLLOW UP

Tanggal S O A P
15 Juni -apnoe - HR : 129x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -kejang - RR : 80x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-GE - Temp : 36,5 Hiperbillirubin tetes/i
-dehidrasi -B : 3200gram -Inj.Cefotaxim 100mg/12
-kuning -PB:50cm jam
-Keadaan: -inj.gentamicin 20mg/24jam
somnolen -Inj.Dexamethasone
-sesak (+) 0,4mg/8jam
-Tali Pusat tampak -Luminal Pulvis 2x6mg -
Layu Phenobarbital 65mg +
NACL 20cc/12 jam
-Diet Observasi
-cek darah rutin
16 Juni -kejang - HR : 129x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -kuning - RR : 80x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-lemah - Temp : 36,2 Hiperbillirubin tetes/i
-B : 3200gram -Inj. Dexamethasone
-PB:50cm - 0,4mg/8jam
Keadaan: somnolen -Luminal Pulvis 2x6mg -
-sesak (+) Phenobarbital 65mg +
-Tali Pusat tampak NACL 20cc/12 jam
Layu -inj meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-stesolid sub 1,5mg/ekstra
-Light terapi/6jam
-Diet Observasi

30
17 Juni -kuning HR : 125x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 berkurang - RR : 35x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-kejang (-) - Temp : 38,0 Hiperbillirubin tetes/i
-BAB (-) -BB: 3200gram -Inj. Dexamethasone
-PB:50cm - 0,4mg/8jam
Keadaan: somnolen -Luminal Pulvis 2x6mg -
Phenobarbital 65mg +
NACL 20cc/12 jam
-inj meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-Light terapi/6jam
-Diet Asi 1-3cc/3jam
-cek bilirubin ulang
18 Juni -kuning - HR : 103x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 berkurang- - RR : 54x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-Sesak (-) - Temp : 36,2 Hiperbillirubin tetes/i
BAB (-) -BB: 3200gram -Inj. Dexamethasone
-PB:50cm - 0,4mg/8jam
Keadaan: somnolen -Phenobarbital 65mg +
NACL 20cc/12 jam
-inj meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-inj.Ranitidin 3mg/8jam
-Light terapi/6jam
-Diet Asi 1-3cc/3jam
-cek bilirubin ulang
19 Juni -kuning (-) - HR : 103x/i Sepsis - Rawat Inkubator

31
2016 -BAB (-) - RR : 56x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-nangis - Temp : 36,2 Hiperbillirubin tetes/i
(+) -BB: 3200gram -Inj.Dexamethasone
-PB:50cm - 0,4mg/8jam
Keadaan: apatis -inj.meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-inj.Ranitidin 3mg/8jam
-Light terapi/6jam
-Diet Asi 5-7cc/3jam
-cek bilirubin ulang
20 Juni -sesak (-) - HR : 115x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -kuning - RR : 64x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
berkurang - Temp : 37,0 Hiperbillirubin tetes/i
-Nangis (- -BB: 3200gram -Inj.Dexamethasone
) -PB:50cm - 0,4mg/8jam
-BAB (+) Keadaan: apatis -inj.meropenem
75mg/12jam
-luminal pulv 2x1
-piracetam 50mg/8jam
-inj.Ranitidin 3mg/8jam
-Diet Asi 5-7cc/3jam
-cek bilirubin ulang
21 Juni -Nangis - HR : 121x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 (+, jika - RR : 62x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
diberi - Temp : 36,2 Hiperbillirubin tetes/i
rangsanga -BB: 2850gram -sambeflex drop1x0,2cc
n) -PB:50cm - -Inj.Dexamethasone
-BAB (-) Keadaan: apatis 0,4mg/8jam
-inj.meropenem

32
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-inj.Ranitidin 3mg/8jam
-Light terapi/6jam
-luminal pulvis 2x6mg
-Diet Asi 10-15cc/3jam
22 Juni -BAB (+) - HR : 120x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -sesak - RR : 45x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
bekurang - Temp : 36,3 Hiperbillirubin tetes/i
-kuning -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
berkurang -PB:50cm - -sambeflex drop1x0,2cc
-hisap (-) Keadaan: apatis -Inj.Dexamethasone
0,4mg/8jam
-inj.meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-Diet Asi 10-15cc/3jam
23 Juni BAB(+) - HR : 128x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -hisap (+) - RR : 42x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-kuning - Temp : 36,8 Hiperbillirubin tetes/i
berkurang -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
-sesak -PB:50cm - -sambeflex drop1x0,2cc
berkurang Keadaan: apatis -cefadroxil 2xcth
-nangis (+, -Inj.Dexamethasone
belum 0,4mg/8jam
kuat) -inj.meropenem
75mg/12jam
-inj.piracetam 50mg/8jam
-Diet Asi 20cc/3jam
24 Juni -hisap (+) - HR : 114x/i Sepsis - Rawat Inkubator

33
2016 -nangis(+) - RR : 53x/i Neonatorum + -sambeflex drop1x0,2cc
-kuning - Temp : 37,6 Hiperbillirubin -cefadroxil 2xcth
berkurang -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
-BAB (+, -PB:50cm - -metronidazole syr 3xcth
3xencer) Keadaan: CM -Diet Asi 20cc/3jam

25 Juni -Hisap (+) - HR : 132x/i Sepsis - Rawat Inkubator


2016 -BAB (+) - RR : 56x/i Neonatorum + -sambeflex drop1x0,2cc
-nangis - Temp : 37,1 Hiperbillirubin -cefadroxil 2xcth
(+) -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
-PB:50cm - -metronidazole syr 3xcth
Keadaan: CM -Diet Asi 20cc/3jam

26 Juni Hisap (+) - HR : 128x/i Sepsis - Rawat Inkubator


2016 -BAB (+) - RR : 60x/i Neonatorum + -sambeflex drop1x0,2cc
-nangis - Temp : 36,3 Hiperbillirubin -cefadroxil 2xcth
(+) -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
-PB:50cm - -metronidazole syr 3xcth
Keadaan: CM -Diet Asi 20cc/3jam
27 Juni Hisap (+) - HR : 114x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -BAB (+) - RR : 46x/i Neonatorum + -sambeflex drop1x0,2cc
-nangis - Temp : 36,8 Hiperbillirubin -cefadroxil 2xcth
(+) -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
-PBJ -PB:50cm - -metronidazole syr 3xcth
Keadaan: CM -Diet Asi 20cc/3jam

34
DAFTAR PUSTAKA

Argadiredja, D. 2003. Program Pembangunan Kesehatan dalam Upaya


Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Departemen Kesehatan RI,
Jakarta. http://www.depkes.go.id
Agawal, R; Sarkar, N; Deodaru, A; Paul, D. 2012. Division of Neonatology,
Department of Pediatrics All India Institute of Medical Sciences Ansari
Nagar, New Delhi.http://www.newbornwhocc.org/
World Health Organization (WHO). 2007. Development of a strategy towards
promoting optimal fetal growth.
Wirawan, R. 2012. Hubungan antara Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan
Terjadinya Sepsis Neonatorum. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
http://www.eprints.ums.ac.id
Pusponegoro, T. 2012. Sepsis pada Neonatus. IDAI. http://saripediatri.idai.or.id
Marcdante, K; Kliegman, R; Jenson, H; Berhman, R. 2014. Ilmu Kesehatan Anak.
Nelson.
Hapsari, A. T., 2009. Kadar Seng Serum Sebagai Indikator Prognosis Pada
Keluaran Sepsis Neonatorum. Available from: http://eprints.undip.ac.id.
Nasution, D. A., 2008. Faktor Risiko Dan Kesamaan Jenis Kuman Jalan Lahir Ibu
Dengan Kultur Darah Pada Sepsis Neonatal Awitan Dini. Available from:
http://eprints.undip.ac.id
Sitompul, A. 2010. Karakteristik Penderita Sepsis Neonatorum yang Dirawat Inap
di RSU Dr. Pirngadi Medan. Available from: http://repository.usu.ac.id/

35
Print referensi
http://www.depkes.go.id/article/view/1179/pendidikan-dan-kesehatan-
menentukan-kualitas-sumber-daya-manusia.html
http://www.newbornwhocc.org/pdf/sepsis.pdf
http://eprints.ums.ac.id/18637/4/BAB_I.pdf
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-2-5.pdf
http://eprints.undip.ac.id/24699/
http://eprints.undip.ac.id/46283/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21062/4/Chapter%20II.pdf

36

Anda mungkin juga menyukai