PENDAHULUAN
1
sepsis neonatorum adalah meningitis, kejang, hipotermi, hiperbilirubinemia,
gangguan nafas, dan minum (Wirawan, 2012; 1).
Angka kejadian sepsis di negara berkembang masih cukup tinggi (1,8-
18/1000kelahiran) dibandingkan dengan negara maju (1,5/1000kelahiran).
Kejadian sepsis juga meningkat pada bayi kurang bulan (BKB) dan BBLR. Pada
bayi berat lahir amat rendah (<1000g) kejadian sepsis terjadi pada 26/1000
kelahiran dan berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000-2000g yang
angka kejadiannya antara 8-9/1000 kelahiran. Demikian pula risiko kematian
BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan.
Di Indonesia, angka sepsis neonatorum belum banyak dilaporkan.
Incidence sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan berkisar antara 1,5-
3,72%, sedangkan CFR berkisar antara 37-80%.15 Data yang diperoleh dari
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode Januari-September
2005, incidence sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan CFR sebesar
14,18%.16 Menurut penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan
rancangan penelitian uji diagnostik potong lintang di RS Dr. Sardjito Yogyakarta,
jumlah kasus sepsis neonatorum menunjukkan variasi dari tahun ke tahun. Data
yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medik RS. Dr. Sardjito, rata-rata jumlah
kasus 3 tahun terakhir kurang lebih 45 per tahun (4,22%) dan CFR 42,9%. Hasil
survei pendahuluan yang dilakukan di RSU Dr. Pirngadi Medan diperoleh jumlah
penderita sepsis neonatorum tahun 2005-2009 sebanyak 119 kasus yaitu tahun
2005 terdapat 8 kasus, tahun 2006 terdapat 41 kasus, tahun 2007 terdapat 20
kasus, tahun 2008 terdapat 27 kasus, dan tahun 2009 terdapat 23 kasus.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian
tentang karakteristik penderita sepsis neonatorum yang dirawat inap di RSU Dr.
Pirngadi Medan tahun 2005-2009.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai
bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka
kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan mencapai 13-
27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500gram. Angka kematian
13-50%, terutama pada bayi prematur (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup
bulan) dan neonatus dengan penyakit berat dini. Infeksi nosokomial pada bayi
berat lahir sangat rendah, merupakan penyebab utama tingginya kematian pada
umur setelah 5 hari kehidupan (Pusponegoro T, 2012).
2.2 Klasifikasi Sepsis Neonatorum
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua periode, yaitu :
1. Sepsis awitan dini sering dimulai dalam kandungan dan umumnya
merupakan akibat infeksi yang disebabkan oleh bakteri di traktus
genitourinarius ibu. Organisme terkait dengan sepsis ini termasuk
streptokokus grup B, E. Coli, Klebsiella, L. Monocytogenesis, dan,
nontypeable. Influenza. Sebagian besar bayi terinfeksi adalah bayi
prematur dan menunjukan tanda-tanda kardiorespiratori non spesifik,
seperti merintih, takipnea, dan sianosis saat lahir. Faktor resiko untuk
sepsis awitan dini termasuk kolonisasi vagina dengan streptokokus
grup B, ketuban pecah berkepanjangan (>24 jam), amnionitis, demam
atau leukositosis pada ibu, takikardi janin, dan persalinan prematur.
Ras Afrika Amerika dan jenis kelamin lelaki merupakan faktor resiko
tambahan yang tidak dapat dijelaskan pada sepsis neonatus (Marcdante
K, et all, 2014: 285).
Sepsis Awitan Dini ( lahir sampai 7 hari) merupakan penyakit
sistem multiorgan berat yang sering bermanifestasi sebagai gagal
pernafasan, syok, memingitis (30%kasus), koagulasi intravaskular
3
diseminata (KID), nekrosis tubular akut, dan gangren perifer simetris.
Manifestasi awal merintih, toleransi minum buruk, pucat, apneu,
letargis, hipotermi, atau tangisan abnormal dapat bersifat nonspesifik.
Neutopenia berat, hipoksia, dan hoptensi dapat bersifat refrakter
terhadap antibiotik spektrum luas, ventilasi mekanik, dan vasopresor
seperti dopamin, dan dobutamin. Pada tahap awal septikemi awitan-
dini dari bayi prematur, sepsis sering sulit di bedakan dari sindrom
gawat nafas(SGN). Oleh karena kesulitan ini, bayi prematur dengan
SGN mendapat antibiotik spektrum luas (Marcdante K, et all, 2014:
285).
2. Sepsis awitan lambat (8-28hari) umumnya terjadi pada bayi cukup
bulan sehat yang di pulangkan dalam keadaan sehat dari kamar bayi
sehat. Manifestasi klinis dapat meliputi letargis, toleransi minum
buruk, hipotoni, apatis, kejang, ubun-ubun membonjol, demam, dan
hiperbilirubin direk. Selain bakteremi, penyebaran hematogen dapat
berakibat pada infeksi fokal, seperti meningitis ( pada 75% kasus),
osteomyelitis (streptokokus grup B, staphylokokus aureus), artritis
(gonokokus, s. Aureus, candida albicans, bakteri gram negatif), dan
infeksi saluran kemih (bakteri ram negatif) (Marcdante K, et all, 2014:
286).
Evaluasi bayi dengan sepsis awitan lambat serupa dengan sepsis
awitan dini, dengan perhatian khusus diberikan pada pemeriksaan fifik
teliti terhadap tulang (bayi dengan osteomyelitis dapat memperlihatkan
pseudoparalisis) dan untuk pemeriksaan laboatorium, kultur urin yang
di ambil dari aspirasi supra pubik atau kateterisasi uretra. Sepsis
awitan lambat dapat di sebabkan oleh patogen yang sama dengan
sepsis awitan dini, namun bayi yang menunjukan tanda sepsis pada
akhir periode neonatus juga mungkin mendapat infeksi oleh patogen
yang biasanya ditemukan pada bayi yg lebih tua (H. Influenzae, s.
Pneumonia, dan neisseria meningitidis). Selain itu, virus (HSV, CMV,
4
atau enterovirus) dapat bermanifestasi seperti gambaran sepsis awitan
lambat (Marcdante K, et all, 2014: 286).
2.3 Patogenesis
Patofisiologi sepsis neonatorum merupakan interaksi respon komplek
antara mikroorganisme patogen dan keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada
sepsis, melibatkan beberapa komponen, yaitu: bakteri, sitokin, komplemen, sel
netrofil, sel endotel, dan mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan gangguan
fibrinolisis memegang peran penting dalam patofisiologi sepsis neonatorum.
Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekular dan seluler untuk
menimbulkan respon sepsis neonatorum tergantung mikroorganisme
penyebabnya, sedangkan tahapan-tahapan pada respon sepsis neonatorum sama
dan tidak tergantung penyebab. Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif
dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding
sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian mengaktifasi sel imun non
spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. LPS
terikat pada protein pengikat LPS saat di sirkulasi. Kompleks ini mengikat
reseptor CD4 makrofag dan monosit yang bersirkulasi (Hapsari, 2009).
Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respon inflamasi dengan
pelepasan eksotoksin/superantigen dan komponen antigen sel. Sitokin
proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumor necrosis factor (TNF) ,
interleukin (IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN). Peningkatan IL-6 dan IL-8
mencapai kadar puncak 2 jam setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat
mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator
sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF),
prostaglandin, dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi berbagai
tipe sel, memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel (Nasution,
2008). Imunoglobulin pertama yang dibentuk fetus sebagai respon infeksi bakteri
intrauterin adalah Ig M dan Ig A. Ig M dibentuk pada usia kehamilan 10 minggu
yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat terpapar infeksi selama
kehamilan. Peningkatan kadar Ig M merupakan indikasi adanya infeksi neonatus.
5
Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus yaitu saat bayi dalam kandungan /
pranatal, saat persalinan/ intranatal, atau setelah lahir/ pascanatal. Paparan infeksi
pranatal terjadi secara hematogen dari ibu yang menderita penyakit tertentu,
antara lain infeksi virus atau parasit seperti Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes (infeksi TORCH), ditransmisikan secara hematogen
melewati plasental ke fetus (Nasution, 2008). Infeksi transplasenta dapat terjadi
setiap waktu selama kehamilan. Infeksi dapat menyebabkan aborsi spontan lahir
mati, penyakit akut selama masa neonatal atau infeksi persisten dengan sekuele.
Infeksi bakteri lebih sering di dapat saat intranatal atau pascanatal. Selama dalam
kandungan ibu, janin terlindung dari bakteri karena adanya cairan dan lapisan
amnion. Bila terjadi kerusakan lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi
melalui amnionitis. Neonatus terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh
aspirasi cairan amnion yang mengandung lekosit maternal dan debris seluler
mikroorganisme, yang berakibat pneumonia. Paparan bayi terhadap bakteri terjadi
pertama kali saat ketuban pecah atau dapat pula saat bayi melalui jalan lahir. Pada
saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke atas sehingga
kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi vertikal, paparan
infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan dimasukkan ke dalam
kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal sepsis) dengan gejala
klinis sepsis, terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah lahir (Hapsari, 2009). Infeksi
yang terjadi setelah proses kelahiran biasanya berasal dari lingkungan sekitarnya.
Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan, saluran cerna, atau
melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk sepsis semacam ini dikenal dengan sepsis
paparan lambat (late onset of neonatal sepsis). Selain perbedaan dalam waktu
paparan kuman, kedua bentuk infeksi ini (early onset dan late onset) sering
berbeda dalam jenis kuman penyebab infeksi. Walaupun demikian patogenesis,
gejala klinik, dan tata laksana dari kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak
berbeda (Hapsari, 2009).
2.4. Gejala Klinik
Gejala klinik infeksi sistemik pada neonatus tidak spesifik dan seringkali
sama dengan gejala klinik gangguan metabolik, hematologik dan susunan saraf
6
pusat. Peningkatan suhu tubuh jarang terjadi dan bila ada umumnya terdapat pada
bayi cukup bulan. Hipotermia lebih sering ditemukan daripada hipertermia.
Leukosit pada neonatus mempunyai rentang yang luas yaitu antara 4.000 s/d
30.000 per mm.
Gejala klinik sepsis neonatorum pada stadium dini sangat sulit ditemukan
karena tidak spesifik, tidak jelas dan seringkali tidak terobservasi. Karena itu,
dibutuhkan suatu dugaan keras terhadap kemungkinan ini agar diagnosa dapat
ditegakkan. Gejala klinik sepsis pada neonatus dapat digolongkan sebagai:
2.4.1. Gejala umum: bayi tidak kelihatan sehat (not doing well), tidak mau
minum, kenaikan suhu tubuh, penurunan suhu tubuh dan sclerema.
2.4.2. Gejala gastrointestinal: muntah, diare, hepatomegali dan perut
kembung
2.4.3. Gejala saluran pernafasan: dispnea, takipne dan sianosis.
2.4.4. Gejala sistem kardiovaskuler: takikardia, edema, dan dehidrasi.
2.4.5. Gejala susunan saraf pusat: letargi, irritable, dan kejang.
2.4.6. Gejala hematologik: ikterus, splenomegali, petekie, dan
perdarahan lain
2.5 Determinan Sepsis Neonatorum
Beberapa determinan sepsis neonatorum dibedakan berdasarkan host,
agent, dan environment.
a. Host
Faktor host yang menjadi determinan terjadinya sepsis neonatorum dapat
dilihat dari faktor bayi dan ibu.
a.1. Faktor Bayi
a.1.1. Umur
Penelitian Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq menyebutkan bahwa
secara statistik angka kematian akibat sepsis lebih tinggi secara signifikan
pada bayi berumur < 7 hari dibandingkan pada bayi berumur 7-28 hari
(p<0,001).
7
a.1.2. Jenis Kelamin
Laki-laki empat kali lebih beresiko terkena sepsis dibandingkan
perempuan, dan kemungkinan ini berhubungan dengan kerentanan host
berdasarkan jenis kelamin.18 Dalam penelitian Simbolon tahun 2008
dengan menggunakan desain penelitian kasus kontrol di RSUD Curup
kabupaten Rejang Lebong Bengkulu menyebutkan bahwa menurut faktor
bayi, kejadian sepsis neonatorum banyak terjadi pada bayi laki-laki
(61,2%).10 Hasil penelitian Patel, dkk (1994) di University of Mississippi
Medical Center (UMMC), proporsi penderita sepsis neonatorum tertinggi
pada bayi laki-laki (54,3%). Penelitian jumah, dkk (2007) di Basrah
Maternity and Children Hospital, penderita sepsis neonatorum lebih
banyak pada bayi laki-laki, diantaranya 56,75% yang hidup dan 43,25%
yang meninggal.
a.1.3. Prematuritas
Prematur adalah satu-satunya faktor paling signifikan berkorelasi
dengan sepsis. Risiko meningkat sebanding dengan penurunan berat lahir.
Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 37
minggu. Bayi yang lahir prematur mempunyai berat badan lahir rendah,
namun bayi yang mempunyai berat badan lahir rendah belum tentu
mengalami kelahiran prematur.
Bayi prematur rentan mengalami infeksi/septikemia.
Infeksi/septikemia empat kali beresiko menyebabkan kematian bayi
prematur.Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada
bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama
terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi
imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia
berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
Incidence rate sepsis neonatorum yang dilaporkan bervariasi,
antara 1-8 per 1.000 kelahiran hidup, dengan kejadian terbanyak pada bayi
kurang bulan dengan berat badan lahir rendah
8
a.1.4. Berat lahir rendah.
Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang kurang atau sama dengan
2500 gram saat lahir. Tujuh persen dari semua kelahiran termasuk
kelompok ini. Kebanyakan persoalan terjadi pada bayi yang beratnya
kurang dari 1500 gramdengan angka kematian yang tinggi dan
membutuhkan perawatan dan tindakan medik khusus.Dalam penelitian
Stoll, dari 7.861 bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (berat lahir
<1500g) dari National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD) pada tahun 1991-1993, 1,9% bayi terbukti mengalami sepsis
dalam 72 jam pertama kehidupan, meskipun hampir 50 % bayi di
kelompok ini dianggap memiliki sepsis klinis dan diobati dengan
antibiotik selama lebih dari lima hari. 26% dari bayi tersebut meninggal.
9
a.2. Faktor Ibu
a.2.1. Umur ibu
Umur ibu melahirkan dibagi dalam 3 kelompok usia remaja dengan
umur < 20 tahun, kelompok usia reproduksi sehat dengan umur 20-35
tahun dan kelompok usia risiko tua dengan umur > 35 tahun. Ibu hamil
dengan umur lebih muda sering mengalami komplikasi kehamilan dengan
hasil kehamilan tidak baik. Pada kelompok umur risiko tua kejadian berat
badan lahir rendah juga meningkat.
10
pendapatan kaum perempuan. Jika ibu hamil bekerja terlalu keras dan
intake kalori kurang selama hamil akan lebih mudah melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah yang merupakan faktor risiko terjadinya infeksi.
11
a.2.6. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum
Infeksi dapat merupakan akibat korioamnionitis, infeksi saluran
kemih, kolonisasi vagina oleh Streptococcus grup B (SGB), kolonisasi
perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. Ibu yang menderita
infeksi ketika hamil dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu
maupun janin dan bayi neonatal seperti infeksi neonatal.
12
bayi dapat dikurangi.Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan dapat
mengurangi kejadian kelahiran prematur pada bayi yang sangat rentan
terkena sepsis. Selain itu dengan melakukan pemeriksaan selama hamil
dapat dideteksi secara dini penyakit infeksi yang diderita oleh ibu yang
nantinya akan mengakibatkan infeksi pada bayinya.
b. Agent
Agent/organisme tersering sebagai penyebab penyakit adalah Escherichia
coli dan Streptococcus group B (yang bersama-sama bertanggungjawab atas 50-
75% kasus pada kebanyakan pusat pelayanan kesehatan), Streptococcus termasuk
kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada satu sistem pun yang mampu
untuk mengklasifikasikannya. Ada dua puluh jenis, termasuk streptococcus
pyogenes (group A), streptococcus agalactiae (group B) dan jenis enterococcus
(group D), dapat dicirikan dengan berbagai tampilannya yang bervariasi: dari
karakteristik koloni pertumbuhan, pola hemolisis pada media agar darah
(hemolisis , hemolisis , atau tanpa hemolisis), komposisi antigen pada substansi
dinding sel dan reaksi biokimia. Jenis Streptococcus pneumonia (pneumococcus)
lebih lanjut dikalsifikasikan berdasarkan komposisi antigen polisakarida pada
kapsul. Klasifikasi bakteri streptococcus dari sisi kepentingan medis yaitu sebagai
berikut:
b.1. Streptococcus pyogenes: Kebanyakan bakteri streptococcus yang
termasuk dalam antigen grup A adalah S. pyogenes. Bakteri ini bersifat
hemolitik-. S. pyogenes adalah bakteri pathogen utama pada manusia
dikaitkan dengan invasi lokal atau sistemik dan gangguan immunologi
pasca infeksi oleh streptococcus.
13
streptococcus group B dapat menghemolisis natrium hippurate dan
memberi respon positif terhadap tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-
Peterson).
14
b.8. Streptococcus Grup E, F, G, H, dan K-U: Bakteri streptococcus ini
terdapat terutama pada hewan dan terkadang juga pada manusia.
c. Environment
Beberapa faktor lingkungan yang menjadi determinan sepsis neonatorum
terutama berasal dari keadaan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) yaitu jumlah
pasien yang terlalu banyak, kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan,
kurangnya handuk atau tissue, tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak
15
nyaman, buruknya kebersihan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas
ruangan isolasi, dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum. Semua
faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi
masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab tidak
adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini.
Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap
mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis
2.6 Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain meningitis yang dapat
menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/ atau leukomalasia periventrikular.
Komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan syok septik dapat
dijumpai pada pasien sepsis neonatorum. Komplikasi lain adalah berhubungan
dengan penggunaan aminoglikosida, seperti tuli dan/ atau toksisitas pada ginjal,
komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari
gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental bahkan sampai
menimbulkan kematian (Depkes, 2007).
2.7 Pencegahan Sepsis Neonatorum
2.7.1. Pencegahan Primordial
Primordial prevention (pencegahan awal) ini dimaksudkan untuk
memberi kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit itu tidak
mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Bentuk
pencegahan ini berupaya untuk mencegah munculnya faktor predisposisi terhadap
masyarakat khususnya ibu dan wanita usia produktif terhadap faktor risiko
terjadinya sepsis pada bayinya. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
sepsis neonatorum sebagai pencegahan primordial adalah:
a. Mengatur pola makan sehat dan bergizi dalam jenis dan jumlah yang
cukup pada ibu untuk mempertahankan daya tahan tubuh serta menjaga
kebesihan diri sehingga terhindar dari penyakit infeksi.
b. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang pentingnya pemeriksaan saat
hamil (Antenatal Care) dengan cara mencari informasi melalui buku,
televisi atau media massa lainnya.
16
c. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun agar tidak berisiko melahirkan bayi
prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah.
17
a.4.6. Wanita dengan umur 35 tahun ke atas dan kurang dari 20
tahun
a.4.7. Primigravida (wanita yang hamil untuk pertama kali)
a.4.8. Wanita dengan keadaan di rumah yang tidak memungkinkan
persalinan dengan aman.
a.4.9. Tinggi badan <150 cm.
a.4.10. Persalinan prematurus dan postmaturus.
18
c.2. Minimal 1 kali pada trimester II (K2), usia kehamilan 13-24 minggu.
c.3. Minimal 2 kali pada trimester III (K3 dan K4), usia kehamilan > 24
minggu.
d. Mencuci tangan
Dalam lingkungan perawatan kesehatan, tangan merupakan salah satu
syarat penularan yang paling efisien untuk infeksi nosokomial. Oleh Karena itu,
mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian yang paling
penting. Tujuan mencuci tangan adalah untuk menurunkan bioburden (jumlah
mikroorganisme) pada tangan dan untuk mencegah penyebarannya ke area yang
tidak terkontaminasi, seperti pasien, tenaga perawatan kesehatan (TPK) dan
peralatan. Tenaga perawatan diharuskan mencuci tangan sebelum dan setelah
memegang bayi untuk menghindari terjadinya infeksi pada bayi tersebut.Mencuci
tangan yang kurang tepat menempatkan baik pasien dan tenaga perawatan
kesehatan pada risiko terhadap infeksi atau penyakit. Tenaga perawatan kesehatan
yang mencuci tangan kurang adekuat memindahkan organisme-organisme seperti
Staphylococcus, Escheriscia coli, Pseudomonas, dan Klebsiella secara langsung
kepada hospes yang rentan, yang menyebabkan infeksi nosokomial dan epidemik
di semua jenis lingkungan pasien.Kepatuhan mencuci tangan sangat penting
dalam mencegah infeksi nosokomial.
19
Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah
terjadinya infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih
kecil untuk memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula.
Efektifitas ASI tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang
diberikan semakin sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi
nosokomial pada bayi prematur yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil
dibandingkan dengan bayi prematur yang mendapat susu formula (47,2%).
20
2.7.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ini diberikan kepada mereka yang menderita atau
dianggap menderita. Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis
dini dan pengobatan yang tepat.
a. Diagnosis
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa
perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan
menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi
jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 2.1)
21
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 109/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
b. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab
membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan
masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan
pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.
b.1. Pemberian Antibiotik
Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera
dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah diberikan terapi
empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan
hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan
pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian
antibiotik harus dihentikan.
b.1.1. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan sepsis awitan dini, terapi empirik harus meliputi
Streptococcus Group B, E. coli, dan Lysteria monocytogenes.
Kombinasi penisilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida
mempunyai aktivitas antimokroba lebih luas dan umumnya efektif
terhadap semua organisme penyebab sepsis awitan dini. Kombinasi
ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas
antibakteri.
22
b.1.2. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat
Kombinasi pensilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida
juga dapat digunakan untuk terapi awal sepsis awitan lambat. Pada
kasus infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat
anti staphylococcus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida
dapat digunakan sebagai terapi awal.
Pemberian antibiotik harusnya disesuaikan dengan pola
kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus.
23
24
BAB III
LAPORAN KASUS
25
3.2 ANAMNESA
Keluhan Utama : Apnoe + kejang + ikterik
Telaah : Pasien merupakan kiriman dari praktek dr. Reni Suryanti
Sp.A dengan indikasi apnoe, kejang, GE, dehidrasi, dan kuning dengan usia bayi
2 hari.
Riwayat Kelahiran : Bayi lahir dari ibu secara spontan dengan indikasi bayi
tidak segera menangis,post date, mulut dan hidung sudah di slym zheeger, air
ketuban keruh, anus (+), kelainan kongenital (-), injeksi vit.K (+), gentamisisn
tetes mata (+). BB = 2900gram, PB = 48cm, dengan riwayat kelahiran G3 P1 A0.
26
PENILAIAN MATURITAS
Maturitas fisik Score Maturitas Score
neuromuskular
Kulit 1 Sikap tubuh 3
Lanugo 3 Persegi jendela 3
Perm. Plantar kaki 2 Rekoli lengan 3
Payudara 3 Sudut poplitea 3
Mata/daun telinga 3 Tanda selempang 2
Kelamin 3 Tumit ke cuping 3
Jumlah 15 Jumlah 17
KEADAAN UMUM
Sensorium : Somnolen
HR : 128x/i
RR : 80x/i
Temperatur : 36,5C
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Normochepali
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Devisiasi Septum (-), sekret (-/-)
Mulut : Dbn
Leher : Midline trakea
Thorax : Inspeksi : simetris
Palpasi : Sf tidak diperiksa
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves (+/+), RH (+/+), WH (-/-)
27
Abdomen : Inspeksi : Distensi +
Palpasi : Soepel +
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)
28
3.5 DIAGNOSA KLINIS
Sepsis Neonatorum
3.6 PENATALAKSANAAN
- O2 -1 Liter/i
- IVFD Dexa 10% 4 tetes/i
- Inj. Cefotaxim 100mg/12 jam
- Inj. Dexamethasone 0,4mg/8jam
- Luminal Pulvis 2x6mg
- Phenobarbital 65mg + NACL 20cc/12 jam
- Light Therapy/6 jam
- Diet Observasi
29
3.7 FOLLOW UP
Tanggal S O A P
15 Juni -apnoe - HR : 129x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -kejang - RR : 80x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-GE - Temp : 36,5 Hiperbillirubin tetes/i
-dehidrasi -B : 3200gram -Inj.Cefotaxim 100mg/12
-kuning -PB:50cm jam
-Keadaan: -inj.gentamicin 20mg/24jam
somnolen -Inj.Dexamethasone
-sesak (+) 0,4mg/8jam
-Tali Pusat tampak -Luminal Pulvis 2x6mg -
Layu Phenobarbital 65mg +
NACL 20cc/12 jam
-Diet Observasi
-cek darah rutin
16 Juni -kejang - HR : 129x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -kuning - RR : 80x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-lemah - Temp : 36,2 Hiperbillirubin tetes/i
-B : 3200gram -Inj. Dexamethasone
-PB:50cm - 0,4mg/8jam
Keadaan: somnolen -Luminal Pulvis 2x6mg -
-sesak (+) Phenobarbital 65mg +
-Tali Pusat tampak NACL 20cc/12 jam
Layu -inj meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-stesolid sub 1,5mg/ekstra
-Light terapi/6jam
-Diet Observasi
30
17 Juni -kuning HR : 125x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 berkurang - RR : 35x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-kejang (-) - Temp : 38,0 Hiperbillirubin tetes/i
-BAB (-) -BB: 3200gram -Inj. Dexamethasone
-PB:50cm - 0,4mg/8jam
Keadaan: somnolen -Luminal Pulvis 2x6mg -
Phenobarbital 65mg +
NACL 20cc/12 jam
-inj meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-Light terapi/6jam
-Diet Asi 1-3cc/3jam
-cek bilirubin ulang
18 Juni -kuning - HR : 103x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 berkurang- - RR : 54x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-Sesak (-) - Temp : 36,2 Hiperbillirubin tetes/i
BAB (-) -BB: 3200gram -Inj. Dexamethasone
-PB:50cm - 0,4mg/8jam
Keadaan: somnolen -Phenobarbital 65mg +
NACL 20cc/12 jam
-inj meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-inj.Ranitidin 3mg/8jam
-Light terapi/6jam
-Diet Asi 1-3cc/3jam
-cek bilirubin ulang
19 Juni -kuning (-) - HR : 103x/i Sepsis - Rawat Inkubator
31
2016 -BAB (-) - RR : 56x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-nangis - Temp : 36,2 Hiperbillirubin tetes/i
(+) -BB: 3200gram -Inj.Dexamethasone
-PB:50cm - 0,4mg/8jam
Keadaan: apatis -inj.meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-inj.Ranitidin 3mg/8jam
-Light terapi/6jam
-Diet Asi 5-7cc/3jam
-cek bilirubin ulang
20 Juni -sesak (-) - HR : 115x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -kuning - RR : 64x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
berkurang - Temp : 37,0 Hiperbillirubin tetes/i
-Nangis (- -BB: 3200gram -Inj.Dexamethasone
) -PB:50cm - 0,4mg/8jam
-BAB (+) Keadaan: apatis -inj.meropenem
75mg/12jam
-luminal pulv 2x1
-piracetam 50mg/8jam
-inj.Ranitidin 3mg/8jam
-Diet Asi 5-7cc/3jam
-cek bilirubin ulang
21 Juni -Nangis - HR : 121x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 (+, jika - RR : 62x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
diberi - Temp : 36,2 Hiperbillirubin tetes/i
rangsanga -BB: 2850gram -sambeflex drop1x0,2cc
n) -PB:50cm - -Inj.Dexamethasone
-BAB (-) Keadaan: apatis 0,4mg/8jam
-inj.meropenem
32
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-inj.Ranitidin 3mg/8jam
-Light terapi/6jam
-luminal pulvis 2x6mg
-Diet Asi 10-15cc/3jam
22 Juni -BAB (+) - HR : 120x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -sesak - RR : 45x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
bekurang - Temp : 36,3 Hiperbillirubin tetes/i
-kuning -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
berkurang -PB:50cm - -sambeflex drop1x0,2cc
-hisap (-) Keadaan: apatis -Inj.Dexamethasone
0,4mg/8jam
-inj.meropenem
75mg/12jam
-piracetam 50mg/8jam
-Diet Asi 10-15cc/3jam
23 Juni BAB(+) - HR : 128x/i Sepsis - Rawat Inkubator
2016 -hisap (+) - RR : 42x/i Neonatorum + -IVFD Dexa 10% 4
-kuning - Temp : 36,8 Hiperbillirubin tetes/i
berkurang -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
-sesak -PB:50cm - -sambeflex drop1x0,2cc
berkurang Keadaan: apatis -cefadroxil 2xcth
-nangis (+, -Inj.Dexamethasone
belum 0,4mg/8jam
kuat) -inj.meropenem
75mg/12jam
-inj.piracetam 50mg/8jam
-Diet Asi 20cc/3jam
24 Juni -hisap (+) - HR : 114x/i Sepsis - Rawat Inkubator
33
2016 -nangis(+) - RR : 53x/i Neonatorum + -sambeflex drop1x0,2cc
-kuning - Temp : 37,6 Hiperbillirubin -cefadroxil 2xcth
berkurang -BB: 2850gram -luminal pulvis 2x6mg
-BAB (+, -PB:50cm - -metronidazole syr 3xcth
3xencer) Keadaan: CM -Diet Asi 20cc/3jam
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Print referensi
http://www.depkes.go.id/article/view/1179/pendidikan-dan-kesehatan-
menentukan-kualitas-sumber-daya-manusia.html
http://www.newbornwhocc.org/pdf/sepsis.pdf
http://eprints.ums.ac.id/18637/4/BAB_I.pdf
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-2-5.pdf
http://eprints.undip.ac.id/24699/
http://eprints.undip.ac.id/46283/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21062/4/Chapter%20II.pdf
36