Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KERJA PRAKTEK

PT. HOLCIM INDONESIA TBK


(Narogong, Klapa Nunggal, Bogor, Jawa Barat)

Laporan Disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah TK-490 Kerja Praktek

Disusun Oleh:
Linda Dwi Cahyaningsih 14 2014 085
Ammar Zaky Farouk 14 2014 096

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
BANDUNG
2017
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : LAPORAN KERJA PRAKTEK PT HOLCIM INDONESIA TBK


NAROGONG, KLAPA NUNGGAL, BOGOR, JAWA BARAT
CATATAN :

Pelaksanaan Kerja Praktek: 10 Juli 2016 11 Agustus 2017

Laporan ini telah diperiksa dan disetujui


Mengetahui :

Pembimbing Kerja Praktek Technical Manager

Ronny Pujiwiyono
NIK NIK

People Development Specialist


POD Dept. O & HR

Yusuf Effendi
NIK 62102222
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan kerja praktek di PT. Holcim Indonesia Tbk
Bogor dan menyelesaikan laporan kerja praktek yang berlangsung selama satu bulan. Kerja
praktek ini merupakan salah satu syarat kelulusan dari Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Industri, Institut Teknologi Nasional, Bandung.

Penulis menyadari bahwa penyusunan proposal penelitian ini tidak akan terwujud atas doa,
bimbingan dan bantuan yang telah diberikan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Marthen Luther Doko, Ir.,M.T selaku Koordinator Kerja Praktek Jurusan Teknik
Kimia ITENAS
2. Bapak Jono Suhartono, S.T., MT., Ph.D serta Ibu Dr. Dyah Setyo Pertiwi, S.T., M.T.,
selaku Dosen Pembimbing Kerja Praktek Jurusan Teknik Kimia ITENAS
3. Bapak Yusuf, Bapak Dani, Bapak Ronny, Bapak Adrian, Bapak Adit, Bapak Nurul dan
pihak-pihak lainnya yang telah membantu selama masa kerja praktek.
4. Orang tua dan keluarga atas doa yang tak pernah putus dipanjatkan untuk kesuksesan
penulis serta dorongan semangat dan dukungannya selama ini.
5. Rekan-rekan mahasiswa/i Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Bandung
yang telah banyak memberikan dukungan, bantuan dan masukan kepada penulis.
6. Semua pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan Laporan Kerja Praktek
baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga proposal penelitian
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Agustus 2017

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
TUGAS UMUM
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Sejarah PT Holcim Indonesia Tbk
1.1.1 Visi PT Holcim Indonesia Tbk
1.1.2 Misi PT Holcim Indonesia Tbk
1.1.3 Core Value PT Holcim Indonesia Tbk
1.1.4 Struktur Organisasi PT Holcim Indonesia Tbk
1.2 Ruang Lingkup
1.3 Tujuan Kerja Praktek
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Perkembangan Semen
2.2 Jenis-jenis Semen
2.2.1 Semen Portland
2.2.1.1 Tipe I ( Ordinary Porland Cement )
2.2.1.2 Tipe II ( Moderate Portland Cement )
2.2.1.3 Tipe III ( High Early Portland Cement )
2.2.1.4 Tipe IV ( Low Heat Portland Cement )
2.2.1.5 Tipe V ( Sulfate Resistance Portland Cement )
2.2.1.6 Semen Sumur Minyak ( Oil Well Cement )
2.2.1.7 Semen Masonry

2.2.2 Semen Non Portland


2.2.2.1 Semen Alam ( Natural Cement )
2.2.2.2 Semen Alumina Tinggi ( High Alumina Cement )
2.2.2.3 Semen Portland Pozzoland
2.2.2.4 Semen Sorel
2.2.2.5 Portland Blast Furnace Slag Cement
2.3 Komponen Semen
2.4 Sifat-sifat Semen
2.4.1 Sifat Fisik Semen
2.4.2 Sifat Kimia Semen
2.5 Proses Pembuatan Semen
BAB III BAHAN BAKU SEMEN
3.1 Bahan Baku Utama
3.1.1 Batu Kapur (Limestone)
3.1.2 Tanah Liat (Shale)
3.1.3 Pasir Besi
3.1.4 Pasir Silika
3.2 Bahan Tambahan atau MIC (Mineral In Component)
3.2.1 Gypsum
3.2.2 Fly Ash
3.2.3 Pozzolan
3.2.4 Limestone Filler
BAB IV SISTEM PROSES
4.1 Proses Pembuatan Semen di PT Holcim Indonesia Tbk
4.1.1 Persiapan Bahan Baku
4.1.2 Penggilingan dan Pengeringan
4.1.3 Pemanasan Awal (Pre-heater)
4.1.4 Pembakaran pada Rotary Kiln
4.1.5 Pendinginan Klinker pada Grate Cooler
4.1.6 Penggilingan Akhir
4.1.7 Pengepakan
BAB V ALAT PROSES DAN INSTRUMENTASI
5.1 Alat Utama
5.1.1 Pengolahan Bahan Baku
5.1.1.1 Limestone Crusher
5.1.1.2 Shale and Silica Sand Crusher
5.1.1.3 Alat Pengeruk (Reclaimer)
5.1.2 Proses Homogenisasi
5.1.2.1 Raw Mill
5.1.2.2 Blending Silo
5.1.3 Proses Klinkerisasi
5.1.3.1 Pre-Heater
5.1.3.2 Rotary Kiln
5.1.3.3 Grate Cooler
5.1.3.4 Clinker Crusher
5.1.4 Proses Penggilingan Akhir
5.1.4.1 Finish Mill
5.1.4.2 Separator
5.2 Alat Pendukung
5.2.1 Alat Pemisahan Debu
5.2.1.1 Electrostatic Precipitator
5.2.1.2 Bag Filter
5.2.2 Alat Transportasi
5.2.2.1 Bucket Elevator
5.2.2.2 Apron Conveyor
5.2.2.3 Belt Conveyor
5.2.2.4 Screw Conveyor
5.2.2.5 Air Slide
5.2.2.6 Alat Timbang (Weight Feeder)
BAB VI PRODUK
6.1 General Usage (GU)
6.2 Ordinary Portland Cement
6.3 Oil Well Cement
BAB VII UTILITAS
7.1 Penyediaan Air
7.2 Penyediaan Listrik
7.3 Penyediaan Bahan Bakar
7.4 Penyediaan Udara
TUGAS KHUSUS
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Neraca Massa
2.2 Neraca Panas
2.3 Raw Grinding Mill
BAB III METODOLOGI
3.1 Pengumpulan Data
3.1.1 Pengumpulan Data Primer
3.1.2 Pengumpulan Data Sekunder
3.2 Pengolahan Data
3.2.1 Neraca Massa
3.2.2 Neraca Panas
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pergitungan
4.2 Pembahasan
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN A
LAMPIRAN B
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
TUGAS
UMUM
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Sejarah PT Holcim Indonesia Tbk


Direktorat Geologi Departemen Pertambangan Indonesia melakukan peninjauan untuk dapat
membangun pabrik semen di daerah Jawa Barat pada tahun 1962. Pada tahun 1964, ditemukan
tambang silika di Cibadak, tambang batu kapur dan tambang tanah liat di Cibinong serta cadangan
batu kapur di daerah Kemuning, Kelurahan Kelapa Nunggal. Daerah Kelapa Nunggal memiliki
persediaan bahan baku yang cukup, dekat dengan daerah pemasaran, mudah mendapatkan sumber
tenaga listrik dan sumber air, sehingga menjadi daerah yang tepat untuk dijadikan lokasi pendirian
pabrik. Pada bulan Juni hingga Desember 1968, diadakan proyek yang diprakarsai oleh Direktorat
Geologi, PT Semen Gresik dan dibantu International Finance Corporation (IFC) USA untuk
meneliti bahan baku semen di daerah Kelapa Nunggal dan sekitarnya. Hasil dari penelitian tersebut
berupa:
a. Sumber batu kapur terletak di daerah Kelapa Nunggal, Pasir Kemuning, Pasir Bali, dan Pasir
Guha.
b. Sumber tanah liat terletak di daerah Pasir Tangkil, Pasir Wilihir, Pasir Leutik, dan Pasir
Kemuning.
c. Sumber pasir silika terletak di daerah Cibadak.
d. Lokasi pabrik yang ditetapkan adalah di Desa Narogong, Kelurahan Kelapa Nunggal,
Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, PT Semen Cibinong didirikan pada tahun 1971, yang
diresmikan dengan nama PT Semen Tjibinong. Konstruksi pembangunan pabrik dipercayakan
kepada Kaiser Engineering International Inc. Amerika, lalu direalisasikan oleh kontraktor
Indonesia dan Mitsubishi Heavy Industries Ltd. Jepang. 2

Pada bulan Juni 1993, PT Semen Cibinong membeli seluruh saham PT Semen Nusantara di
Cilacap, Jawa Barat. PT Semen Nusantara memiliki kapasitas 1.000.000 ton/tahun. Pada tahun
1994, dilakukan peningkatan kapasitas produksi dengan membangun unit II di Cilacap yang
memiliki kapasitas 2.600.000 ton/tahun dan mulai beroperasi pada tahun 1997.

Pada bulan Juni tahun 2000, Holcim Ltd yang berpusat di Swiss, melakukan penawaran
terhadap PT Semen Cibinong dan pada bulan Desember tahun 2000, PT Semen Cibinong
menyetujui diadakannya restrukturisasi hutang dan menjual sahamnya pada PT Holcim Indonesia,
Tbk dan resmi menjadi pemegang saham utama PT Semen Cibinong pada tanggal 13 Desember
2001 dengan saham sebesar 77,33%. Pada tahun 2009, PT Semen Cibinong bertransformasi
menjadi PT Holcim Indonesia Tbk dan terus beroperasi sampai sekarang. Pada tahun 2015,
perusahaan semen Lafarge bergabung dengan Holcim menjadi Lafarge Holcim.

1.1.1 Visi PT Holcim Indonesia Tbk


Visi PT Holcim Indonesia Tbk adalah menjadi perusahaan yang terdepan dengan
kinerja terbaik dalam industry bahan bangunan di Indonesia.

1.1.2 Misi PT Holcim Indonesia Tbk


Misi PT Holcim Indonesia Tbk, antara lain:
a. Memastikan nilai bahaya setiap kegiatan operasional dan bisnis.
b. Bermitra dengan para pelanggan untuk mewujudkan solusi-solusi berbeda dan
inovatif.
c. Mengembangkan sumber daya manusia yang bekerja tinggi melalui lingkungan
kerja yang beragam dan melibatkan setiap individu didalamnya.
d. Menciptakan nilai yang sama dan solusi-solusi berkelanjutan bagi para pemangku
kepentingan.

1.1.3 Core Value PT Holcim Indonesia Tbk


Core Value PT Holcim Indonesia Tbk, antara lain:
a. Pelanggan
PT Holcim Indonesia Tbk bersemangat organisasi dan budaya yang berorientasi
pada pasar dan pelanggan.
b. Hasil
PT Holcim Indonesia Tbk bersemangat mencapai target dan mewujudkannya
dengan eksekusi yang seksama, tanpa bahaya bagi siapapun.
c. Integritas
PT Holcim Indonesia Tbk menciptakan lingkungan dengan focus dan komitmen
pada kepatuhan.
d. Keberlanjutan
PT Holcim Indonesia Tbk menunjukan kepemimpinan dalam pengelolaan
lingkungan dan teladan tanggungjawab bagi generasi mendatang.
e. Manusia
PT Holcim Indonesia Tbk peduli dan menghargai setiap individu.
1.1.4 Struktur Organisasi PT Holcim Indonesia Tbk
Board of
Comissioners

Audit
Comittee

President
Director

Internal
Audit Dept

Strategy
Business Tuban Legal&Corp Ready Mixed Supply Business Relationship
Finance HRD Manufacturing Concrete& Technical
Risk Assets Project Affair Chain Development Management
Directorate Directorate Directorate Agregate Service
Protection Development Directorate Directorate & Innov Directorater
Business
Directorate

Gambar 1.1 Struktur Organisasi PT Holcim Indonesia Tbk (Holcim, 2017)


1.2 Ruang Lingkup
1.3 Tujuan Kerja Praktek

1. Mendapatkan gambaran nyata terhadap suatu proses industri, baik terhadap proses dan
pemroses serta terhadap sistem secara keseluruhan di lingkungan industri.
2. Membandingkan pengetahuan yang diperoleh dari teori perkuliahan dengan kondisi real
di lapangan dengan mengamati dan menganalisa jalannya proses.
3. Memahami sistem pengorganisasian, pengelolaan pabrik, segi ekonomi, dan serta
peraturan kerja dalam pengoperasian sarana produksi.
4. Dapat merasakan dan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan industri secara lebih
awal sebagai bekal untuk memasuki lapangan kerja di industri setelah lulus.
5. Untuk memenuhi bebas satuan kredit semester (SKS) yang harus ditempuh sebagai
persyaratan akademis di jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional.
TUGAS
KHUSUS
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Maksud dan Tujuan Kerja Praktek
Maksud dan Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kerja praktek di PT. Holcim
Indonesia, Tbk di Narogong, Bogor-Jawa Barat adalah sebagai berikut :
1.3 Manfaat Kerja Praktek
Adapun manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan kerja praktek ini adalah :
1.3.1 Manfaat Bagi Perguruan Tinggi
Menambah bahan referensi khususnya mengenai perkembangan industri di Indonesia
maupun proses dan teknologi yang canggih sehingga dapat digunakan oleh pihak-pihak yang
memerlukan.

1.3.2 Manfaat Bagi Mahasiswa


1. Mendapatkan gambaran tentang kondisi real dunia industri dan memiliki
pengalaman terlibat langsung dalam aktivitas industri, serta mendapatkan
kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh di bangku
perkuliahan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai dunia
industri.
2. Mengembangkan wawasan berpikir, bernalar, menganalisa dan mengantisipasi
suatu problema, dengan mengacu pada materi teoritis dari disiplin ilmu yang
ditempuh dan mengaitkannya dengan kondisi sesungguhnya, sehingga
mahasiswa dapat lebih siap menghadapi berbagai problematika di lapangan,
serta mempunyai kemampuan untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan
inovatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Perkembangan Semen
Semen berasal dari kata caementum yang berarti bahan perekat yang mampu
mempersatukan atau mengikat bahan-bahan padat menjadi satu kesatuan yang kokoh atau suatu
produk yang mempunyai fungsi sebagai bahan perekat antara dua atau lebih bahan sehingga
menjadi suatu bagian yang kompak atau dalam pengertian yang luas adalah material plastis yang
memberikan sifat rekat antara batuan-batuan konstruksi bangunan.

Semen pada awalnya dikenal di mesir tahun 500 SM pada pembuatan piramida, yaitu
sebagai pengisi ruang kosong diantara celah-celah tumpukan batu. Semen yang dibuat bangsa
Mesir merupakan kalsinasi gypsum yang tidak murni, sedang kalsinasi batu kapur mulai
digunakan pada zaman Romawi. Kemudian bangsa Yunani membuat semen dengan cara
mengambil tanah vulkanik (vulcanic tuff) yang berasal dari pulau santoris yang kemudian dikenal
dengan santoris cement. Bangsa Romawi menggunakan semen yang diambil dari material
vulkanik yang ada dipengunungan vesuvius dilembah napples yang kemudian dikenal dengan
nama pozzulona cement, yang diambil dari sebuah nama kota di Italia yaitu pozzoula.

Penemuan bangsa Yunani dan Romawi ini mengalami perkembangan lebih lanjut
megenai komposisi bahan dan cara pencampurannya, sehingga diperoleh moltar yang baik. Pada
abad pertengahan, kualitas moltar mengalami penurunan yang disebabkan oleh pembakaran
limestone kurang sempurna, dengan tidak adanya tanah vulkanik.

Pada tahun 1756 Jhon Smeaton seorang Sarjana Inggris berhasil melakukan penyelidikan
terhadap batu kapur dengan pengujian ketahanan air. Dari hasil percobaannya disimpulkan
bahwa batu kapur lunak yang tidak murni dan mengandung tanah liat merupakan bahan pembuat
semen hidrolis yang baik. Batu kapur yang dimaksud tersebut adalah kapur hidrolis (hydroulic
lime). Kemudian oleh Vicat ditemukan bahwa sifat hidrolis akan bertambah baik jika ditambahkan
juga silika atau tanah liat yang mengandung alumina dan silika. Akhirnya Vicat membuat kapur
hidrolis dengan cara pencampuran tanah liat (clay) dengan batu kapur (limestone) pada
perbandingan tertentu, kemudian campuran tersebut dibakar (dikenal dengan Artifical lime twice
kilned).

Pada tahun 1811, James Frost mulai membuat semen yang pertama kali dengan
menggunakan cara seperti Vicat yaitu dengan mencampurkan dua bagian kapur dan satu bagian
tanah liat. Hasilnya disebut Frosts cement. Pada tahun 1812 prosedur tersebut diperbaiki
dengan menggunakan campuran batu kapur yang mengandung tanah liat dan ditambahkan
tanah Argillaceus (mengandung 9-40 % silica). Semen yang dihasilkan disebut British cement.

Usaha untuk membuat semen petama kali dilakukan dengan cara membakar
campuran batu kapur dan tanah liat. Joseph Aspadin yang merupakan orang Inggris pada tahun
1824 mencoba membuat semen dari kalsinasi campuran batu kapur dengan tanah liat yang telah
dihaluskan, digiling, dan dibakar menjadi lelehan dalam tungku, sehingga terjadi penguraian batu
kapur (CaCO3) menjadi batu tohor (CaO) dan karbondioksida (CO2). Batuan kapur tohor (CaO)
bereaksi dengan senyawasenyawa lain membentuk klinker kemudian digiling sampai menjadi
tepung yang kemudian dikenal dengan portland.

[ Walter H. Duda, 1976 ]

2.2 Jenis-Jenis Semen


Sesuai dengan kebutuhan pemakaian semen yang disebabkan karena kondisi lokasi atau
kondisi kondisi tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan konstruksi serta tujuan tujuan
ekonomisnya, maka dalam perkembangan industry semen dikenal beberapa macam semen
diantaranya :
2.2.1 Semen Portland
Semen Portland adalah semen hidraulis yang dihasilkan dengan cara menggiling tanah
semen atau klinker yang terdiri dari kalsium silikat hidrat bersifat hidraulis dan digiling bersama -
sama bahan tambahan, satu atau lebih bentuk Kristal senyawa sulfat.
2.2.1.1 Tipe I ( Ordinary Porland Cement )
Ordinary Portland Cement adalah semen Portland yang dipakai untuk segala macam
konstruksi bila tidak diperlukan sifat khusus, misalnya ketahanan terhadap sulfat, panas
hidrasi dan sebagainya. OPC mempunyai C3S 59,3 persen, C2S 17,0 persen, C3A 8,0 persen,
C4AF 11,9 persen dan komposit limit sebagai berikut :
Tabel 2. 1 Komposisi Limit Semen Type I

Komposisi Persen berat (%)


CaO 66
SiO2 21,5
Al2O3 5,5
Fe2O3 3,9
MgO 5
SO3 2,5-3
CaO bebas 0,82
( Ir. Rudi Pringadi, 1995 )

2.2.1.2 Tipe II ( Moderate Portland Cement )


Moderate Heat Portland Cement adalah semen Portland yang digunakan untuk
konstruksi yang memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang,
biasanya untuk daerah pelabuhan dan bangunan disekitar pantai. Moderate Heat Portland
Cement mempunyai 8 persen C3A dan komposisi limit sebagai berikut :
Tabel 2. 2 Komposisi Limit Semen Type II

Komposisi Persen berat (%)


CaO 60-67
SiO2 20
Al2O3 6
Fe2O3 6
MgO 6
SO3 3

( Ir. Rudi Pringadi, 1995 )


2.2.1.3 Tipe III ( High Early Portland Cement )
High Early Portland Cement adalah semen Portland yang digunakan untuk keadaan
darurat dan pada pengecoran untuk keadaan khusus musim dingin, dipakai untuk produksi
beton tekanan. Semen tipe III mempunyai kandungan C3S lebih tinggi dibanding semen
tipe lainnya sehingga lebih cepat mengeras dan cepat mengeluarkan kalor, juga
mempunyai pengembangan kekuatan awal tinggi. High Early Portland mempunyai 35
persen C3S, 40 persen C2S dan 15 persen C3A dan komposisi Limit sebagai berikut :

Tabel 2. 3 Komposisi Limit Semen Type III

Komposisi Persen berat (%)


CaO 60-67
SiO2 20
Al2O3 3,5-4,5
Fe2O3 0,5-6
MgO 6
SO3 3,5-4,5

( Ir. Rudi Pringadi, 1995 )

2.2.1.4 Tipe IV ( Low Heat Portland Cement )


Low Heat Portland Cement adalah semen yang digunakan untuk bangunan dengan
panas hidrasi rendah, misalnya bahan bangunan, beton besar dan tebal, baik sekali untuk
mencegah keretakan. Semen tipe IV ini mempunyai kandungan C3S dan C3A lebih, tetapi
belite (C2S) lebih banyak dibanding OPC. Sehingga beton yang dibuat dari semen ini
memiliki sifat:
1. Panas Hidrasi rendah, sehingga cocok untuk concrete construction
2. Kuat tekan awal rendah, tetapi kuat tekan akhir hamper sama dengan OPC
3. Tahan terhadap serangan sulfat
Low Heat Portland Cement mempunyai C3S 35 persen, C2S 40 persen, C3A 7
persen, Komposisi limit dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 2. 4 Komposisi Limit Semen Type IV

Komposisi Persen berat (%)


CaO 60-67
SiO2 17-25
Al2O3 3-8
Fe2O3 6,5
MgO 6
SO3 2,3
( Ir. Rudi Pringadi, 1995 )

2.2.1.5 Tipe V ( Sulfate Resistance Portland Cement )


Sulfate Resistance Portland Cement adalah semen Portland yang mempunyai
kekuatan yang tinggi terhadap sulfat dan memiliki kandungan C3A lebih rendah bila
dibandingkan tipe tipe lain, sering digunakan untuk bangunan didaerah dengan kadar
sulfat tinggi. Sulfat Resistance Portland Cement mempunyai 5 persen C3A dan komposisi
limit sebagai berikut :
Tabel 2. 5 Komposisi Limit Semen Type V

Komposisi Persen berat (%)


CaO 60-67
SiO2 17-25
Al2O3 38
Fe2O3 6,5
MgO 6
SO3 2,3
( Ir. Rudi Pringadi, 1995 )

2.2.1.6 Semen Sumur Minyak ( Oil Well Cement )


Semen sumur minyak adalah semen Portland yang dicampur dengan bahan
retarder khusus seperti : asam borat (Boric Acid), casein, lignin, atau suatu organic
hydroxide acid, dipakai dalam bentuk slurry yang dipompakan, karena kondisi
pengecoran dilakukan pada kedalam tertentu dan sempit. Fungsi retarder disini adalah
untuk mengurangi kecepatan pengerasan semen, sehingga adukan dapat dipompakan
kedalam sumur minyak atau gas. Semen sumur minyak digunakan antara lain untuk
melindungi ruangan antara rangka sumur minyak dengan karang atau tanah
disekelilingnya, sebagian pelindung rangka sumur minyak dari pengaruh air laut yang
korosif, untuk menyangga sumur minyak sehingga mengurangi tegangan dalam pipa baja.
Semen sumur minyak mempunyai 48 65 persen C3S, 3 persen C3A, 34 persen C4AF +
2C3A dan komposisi limit sebagai berikut :

Tabel 2. 6 Komposisi Limit Semen Sumur Minyak

Komposisi Persen berat (%)


CaO 60-67
SiO2 17-25
Al2O3 3-8
Fe2O3 0,5-6
MgO 6
SO3 3
N2O (alkali) 0,75
( Ir. Rudi Pringadi, 1995 )
2.2.1.7 Semen Masonry
Menurut Walter H. Duda, 1976, Semen Masonry adalah semen hidraulik untuk
digunakan sebagai bahan adukan konstruksi Masonry, mengandung satu atau lebih blast
furnace slag cement (semen kerak dapur tinggi), semen Portland pozzoland, semen alam
atau kapur hidraulik dan bahan penambahannya mengandung salah satu atau lebih
bahan bahan seperti kapur padam, batu kapur, chalk caceous, talk, slag atau tanah liat
yang disiapkan untuk keperluan ini. Sifat semen ini mempunyai penyerapan air yang
baik, daya plastisitas yang tinggi dan kekuatan tekan yang rendah.
2.2.2 Semen Non Portland
Semen Non Portland terdiri atas :
2.2.2.1 Semen Alam ( Natural Cement )
Semen alam merupakan semen yang dihasilkan dari proses pembakaran batu kapur
dan tanah liat pada suhu 850 1000oC yang dibuat dalam tungku putar maupun gerak,
kemudian tanah yang dihasilkan digiling menjadi semen halus.
2.2.2.2 Semen Alumina Tinggi ( High Alumina Cement )
Semen Alumina Tinggi pada dasarnya adalah suatu semen kalsium aluminat yang
dibuat dengan melebur campuran batu gamping, bauksit dan bauksit ini biasanya
mengandung oksida besi, silica, magnesia.
2.2.2.3 Semen Portland Pozzoland
Pozzoland adalah bahan yang mengandung senyawa silica dan alumina dimana
bahan pozzoland itu sendiri tidak mempunyai sifat semen, akan tetapi dalam bentuknya
yang halus dan dengan adanya air, maka senyawa senyawa tersebut akan bereaksi
membentuk kalsium aluminat hidrat yang bersifat hidraulis.
3 CaO.Al2O3 + 3 H2O 3 CaO.Al2O3.3H2O
Semen Portland Pozzoland merupakan suatu bahan pengikat hidraulis yang dibuat
dengan menggiling bersama-sama terak semen Portland dan bubuk bahan lain yang
mempunyai sifat pozzoland. Bahan pozzoland yang ditambahkan besarnya 15 40
persen.
2.2.2.6 Semen Sorel
Semen sorel adalah semen yang dibuat melalui reaksi eksotermik larutan
magnesium klorida 20 terhadap suatu ramuan magnesia yang dibuat dari kalsinasi
magnesit dan magnesia yang didapat dari larutan garam.
3 MgO + MgCl2 + 11 H2O 3 MgO.MgCl3.11H2O
Semen sorel mempunyai sifat yang keras dan kuat, mudah terserang air, dan sangat
korosif. Penggunaannya terutama sebagai lantai dan sebagai pelantai dasar seperti ubin
atau teras.
2.2.2.7 Portland Blast Furnace Slag Cement
Menurut Ir. Rudi Pringadi, 1995, Portland Blast Furnace Slag Cement adalah
semen yang dibuat dengan cara menggiling campuran klinker semen Portland dengan
kerak dapur tinggi (blast furnace slage) secara homogeny. Kerak (slag) adalah bahan non
metal hasil samping dari pabrik pengecoran besi dalam tanur (dapur tinggi) yang
mengandung campuran CaCO3, Silica (SiO2 ), Alumina (Al2O3 ). Sifat semen ini jika
kehalusannya cukup mempunyai kekuatan tekan yang sama dengan semen Portland,
betonnya lebih stabil dan penyusutan beton semen Portland permeabilitynya rendah,
pemuaian dengan semen Portland.

2.3 Komponen Semen


Komponen penyusun semen yang merupakan campuran dari hasil pembakaran disebut
terak (klinker). Terak ini mengandung mineral mineral :
1. Tricalcium Silicate : 3 CaO.SiO2 (C3S)
2. Dicalcium Silicate : 2 CaO.SiO2 (C2S)
3. Tricalcium Alumina : 3 CaO.Al2O3 (C3A)
4. Tetracalsium Alumina Ferrite : 4 CaO.Al2O3.Fe2O3 (C4AF)
Semen mengandung sekitar 90 persen keempat komponen ini yang berada dalam keadaan
tidak murni melainkan tercampur dalam fase Kristal dan sisanya 10 persen terdiri atas MgO, alkali
oksida (Na2O dan K2O), titanium oksida (TiO2), phosphor pentaoksida (P2O5), gypsum, free lime
dan material lainnya.

Tabel 2. 7 Komposisi Kimia Semen

Komposisi Persen berat (%)


CaO 60-67
SiO2 17-25
Al2O3 3-8
Fe2O3 0,5-6
MgO 0,1-5,5
SO3 1-3
Na2O + K2O 0,5-1,3
P2O5 0,1-0,4
( Ir. Rudi Pringadi, 1995 )
2.4 Sifat-Sifat Semen
2.4.1 Sifat Fisik Semen
Sifat fisika dari semen yang diuji secara umum ialah hidrasi semen, settling dan
hardening, kuat tekan, panas hidrasi, penyusutan, dan daya tahan terhadap sulfat (Austin, 1984).

2.4.1.1 Hidrasi Semen

Hidrasi semen adalah reaksi komponen-komponen dalam semen dengan air. Setiap
komponen dalam semen akan bereaksi masing-masing dengan air dan membentuk
senyawa pengikat. Berikut adalah beberapa jenis reaksi hidrasi yang terjadi pada semen:

2.4.1.2 Hidrasi kalsium silikat (C3S dan C2S)


Kalsium silikat yang terkandung dalam semen akan terhidrasi menjadi kalsium
hidroksida Ca(OH)2 dan kalsium silikat hidrat (3CaO.2SiO2.3H2O). Reaksi ini berjalan
pada temperatur sekitar 30oC. Kalsium silikat hidrat yang dihasilkan dari proses ini
merupakan kristal yang bentuknya belum sempurna. Kalsium hidroksida yang dihasilkan
memiliki sifat basa dengan pH sekitar 13 sehingga membuat semen memiliki sifat
basa.Akibat sifat basa ini, semen menjadi sensitif terhadap lingkungan yang asam namun
dapat melindungi besi dari bahaya korosi. Reaksi hidrasi yang terjadi ialah sebagai
berikut:

2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2


2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + Ca(OH)2

2.4.1.3 Hidrasi trikalsium aluminat (C3A)


Trikalsium aluminat akan terhidrasi dengan cepat didalam air. Trikalsium aluminat
ini akan cepat membentuk pasta semen yang cepat mengeras atau disebut juga sebagai
false set. Reaksi hidrasi ini berlangsung pada temperatur sekitar 30oC.Gipsumakan
mempengaruhi kecepatan dari reaksi ini, dimana jika C3A bercampur dengan gipsum
akan menghasilkan kalsium sulfat yang akan menghambat proses pengerasan. Reaksi
C3A dengan gipsum juga berlangsung pada temperatur 30oC. Berikut ialah reaksi hidrasi
dan reaksi pencampuran dengan gipsum:
3CaO.Al2O3 + 6H2O 3CaO.Al2O3.6H2O
3CaO.Al2O3 + 3CaSO4.2H2O + 30H2O 3CaO.Al2O3.3CaSO4.32H2O

2.4.1.4 Hidrasi tetrakalsium aluminoferit (C4AF)


Kecepatan reaksi hidrasi C4AF akan menentukan waktu pengikatan awal dan
pengerasan semen. Waktu yang dibutuhkan untuk pengerasan akan disesuaikan dengan
kebutuhan semen tersebut. Secara umum, waktu untuk pengerasan yang dibutuhkan
cukup lambat agar ada waktu untuk pengadukan dan pembentukan adonan
semen.Pengaturan kecepatan pengerasan dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan
hidrasi. Kecepatan hidrasi sendiri dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, seperti
kehalusan semen, jumlah air yang digunakan dan temperatur saat proses pencampuran.
Reaksi nya ialah sebagai berikut:
4CaO.Al2O3.Fe2O3 + 12H2O 3CaO.Al2O3.6H2O + 3CaO.Fe2O3.6H2O

2.4.2 Setting dan Hardening

Proses setting (pengikatan) semen akan terjadi ketika semen dicampurkan dengan air
sehingga akan mulai terjadi ikatan yang menyebabkan semen akan kehilangan sifat keplastisannya
dan mulai menjadi kaku. Waktu mulai dari pencampuran semen dengan air hingga mulai kaku
disebut initial setting time.Ketika semen telah berikatan dengan sempurna dan mulai menjadi
padatan seutuhnya disebut final setting time. Setelah proses pengikatan akan terjadi proses
hardening (pengerasan) dimana semen akan semakin mengeras dan menguat seiring berjalannya
waktu. Proses pengikatan dan pengerasan ini terjadi setelah proses hidrasi.

2.4.3 Kuat Tekan

Kuat tekan adalah kemampuan sebuah bahan untuk menahan suatu beban tekan.C3S dan
C2S merupakan komponen yang berpengaruh terhadap kuat tekan semen. C3S akan memberikan
kuat tekan awal pada semen, sedangkan C2S memberikan kuat tekan akhir. Selain itu, komponen
C3A berpengaruh pada kecepatan pengerasan semen dan C4AF berpengaruh terhadap warna
semen.Kehalusan semen mempengaruhi kuat tekan dimana semakin halus partikel semen, maka
kuat tekan yang dimiliki semen akan semakin besar.Selain itu, pori-pori juga mempengaruhi kuat
tekan semendimana semakin banyak pori-pori, maka semakin rendah kekuatan semen(Taylor,
1997).
Tabel 2. 15 Kuat Tekan Komponen Semen

Waktu Kuat Tekan Senyawa


Hari ke-1 C3A > C3S > C4AF > C2S
Hari ke-3 C3A > C3S > C4AF > C2S
Hari ke-7 C3A > C3S > C4AF > C2S
Hari ke-28 C3A > C3S > C4AF = C2S
Bulan ke-3 C2S > C3S = C3A = C4AF
Tahun ke-1 C2S > C3S > C3A = C4AF
Tahun ke-2 C2S > C3S > C4AF > C3A

2.4.4 Panas Hidrasi

Panas hidrasi adalah jumlah panas pada semen yang belom terhidrasi yang dikeluarkan
hingga terjadi hidrasi seluruhnya.Jumlah hidrasi panas tergantung pada beberapa hal seperti tipe
semen, komposisi semen, kehalusan semen, dan rasio antara semen dengan air. Jumlah panas
hidrasi sangat berpengaruh terhadap kualitas semen dimana jika panas hidrasi besar dengan laju
pengerasan yang cepat, maka akan terjadi keretakan pada padatan semen yang terbentuk.
Keretakan ini disebabkan karena struktur padatan semen yang terbentuk menghambat jalan
keluarnya panas.

Semen yang memiliki panas hidrasi yang tinggi disebut sebagai High Early Strength
Cement.Jenis semen ini memiliki kecepatan pengerasan awal yang tinggi.Semen dengan panas
hidrasi yang rendah disebut Moderate Heat Cement,sedangkan yang berada diantaranya ialah
Ordinary Cement.Berikut adalah tabel perbandingan besar panas hidrasi pada setiap komponen
penyusun semen.
Tabel 2. 16 Panas Hidrasi (Kalori/Gram)

Hari ke-
Senyawa
3 7 28 90 180
C4AF 29 43 48 47 73
C3 A 170 188 202 188 218
C2 S 19.5 18.1 43.6 55.2 52.6
C3 S 98.3 110 114.2 122.4 120.6

2.4.5 Penyusutan

Proses penyusutan dipengaruhi beberapa faktor, seperti kandungan aluminat dan


kehalusan semen. Jika kandungan aluminat dalam semen tinggi dan struktur semen yang halus
maka proses penyusutan akanmenjadi lebih cepat. Berikut adalah 3 tipe penyusutan yang dapat
terjadi:

1. Drying Shringkage (penyusutan karena pengeringan)


2. Hydrocarbon Shringkage (penyusutan karena hidrasi)
3. Carbonation Shringkage (penyusutan karena karbonatasi)
Penyusutan yang paling berpengaruh terhadap kekuatan beton adalah Drying Shringkage
yang terjadi akibat penguapan air pada proses setting dan hardening.

2.4.2 Sifat Kimia Semen


2.4.2.1 Loss On Ignition (LOI)

Loss On Ignition dipersyaratkan untuk pencegahan mineral-mineral yang dapat


diuraikan dengan pemijaran karena kristal mineral-mineral tersebut pada umumnya mengalami
perubahan dalam periode yang panjang. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan pada batu
setelah beberapa tahun kemudian.

2.4.2.2 Insoluble Residue

Insoluble Residue adalah impuritas sisa setelah semen direaksikan dengan asam klorida
(HCl) dan natrium karbonat (Na2CO3).Insoluble residue dibatasi untuk upaya pencegahan
tercampurnya semen Portland dengan bahan-bahan alami lainnya dan tidak dapat dibatasi dari
persyaratan fisika(Taylor, 1997).
II.5 Proses Pembuatan Semen

Pembuatan semen dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu proses kering dan proses basah.
Namun sekarang pada umumnya lebih menggunakan proses kering. Perbedaan kedua proses ini
hanya terletak pada proses penggilingan. Proses produksi semen dibagi menjadi beberapa tahap
utama, yaitu tahap persiapan bahan baku, proses penggilingan dan pengeringan pada raw mill,
proses kalsinasi pada preheater, proses pembakaran pada rotary kiln, proses pendinginan dan
pembentukan klinker pada cooler, dan proses penggilingan klinker serta penambahan bahan-bahan
aditif dalam finish mill sehingga menghasilkan produk semen siap pakai.
Gambar
2. 7 Alur
Proses

Pembuatan Semen

2.5.1 Persiapan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan semen adalah batu kapur, tanah liat, pasir
besi dan pasir silika. Proses pembuatan semen dimulai dari operasi penambangan bahan baku,
yaitu batu kapur. Batu kapur diperoleh dari tambang dengan cara drilling dan blasting. Pada tahap
pertama dilakukan pengeboran sehingga membentuk lubang pada daerah tambang, kemudian
dimasukkan bahan peledak ke dalam lubang dan diledakkan. Batu kapur akan diperoleh dalam
bentuk bongkahan atau bebatuan yang besar. Ukurannya yang mencapai 300 mm kemudian
dimasukkan ke dalam truk untuk menuju crusher. Jika ukurannya terlalu besar, maka
akandilakukanblasting kedua untuk memperkecil ukuran batu kapur yang akan diangkut.Batu
kapur tersebut kemudian diangkut menuju tahap kedua, yaitu crusher untuk memperkecil ukuran
batu kapur sehingga menjadi sekitar 75 mm.

Setelah ukurannya diperkecil oleh crusher, batu kapur kemudian dibawa oleh belt
conveyor menujustorage dantempat pre-blending, yaitu stock pile. Batu kapur disebar merata
sehingga lebih homogen oleh alat stacker dan reclaimer.Stacker merupakan suatu alat besar yang
bergerak maju mundur yang berfungsi untuk menata batu kapur yang datang dari belt conveyor
menuju stock pile, sedangkan reclaimer merupakan alat penggeruk untuk mengambil material
menuju konveyor untuk menuju ke proses berikutnya, yaitu proses pencampuran keempat bahan
baku, penggilingan dan pengeringan.

2.5.2 Proses Penggilingan dan Pengeringan

Penggilingan bahan baku dan pengeringan dilakukan di dalam raw mill. Selama proses
penggilingan bahan-bahan baku, dibutuhkan pula proses pengeringan di dalamnya. Proses
penggilingan dibagi menjadi penggilingan basah dan penggilingan kering.
2.5.2.1 Proses Penggilingan Basah
Pada proses penggilingan basah dilakukan penambahan kadar air sekitar 36%
sehingga menghasilkanslurry dan kemudian diumpankan ke dalam raw mill (Deolalkar,
2009). Keuntungan pada proses penggilingan ini, yaitu umpan menjadi lebih homogen
sehingga kualitas produk semen yang dihasilkan lebih baik dan tidak dipengaruhi oleh
fluktuasi kadar air. Kadar debu yang dihasilkan dalam proses penggilingan basah ini juga
lebih sedikit karena adanya kandungan air. Sedangkan kekurangan dalam proses ini
adalah kebutuhan bahan bakar yang jauh lebih besar karena digunakan untuk
mengeringkan air dan kebutuhan tanur yang panjang sebagai zona dehidrasi untuk
mengendalikan kadar air sehingga berpengaruh pada biaya produksi yang semakin
meningkat (E.Peray, 1979).

2.5.2.2 Proses Penggilingan Kering


Pada proses penggilingan kering dilewatkan udara panas yang berasal dari
preheater. Kadar air material menjadi kurang dari 0,5%(Deolalkar, 2009). Kelebihan
proses ini adalah tanur yang digunakan lebih pendek sehingga konsumsi bahan bakar
menjadi lebih sedikit dan lebih efisien. Kebutuhan air juga menjadi lebih sedikit.
Kekurangannyaadalah dibutuhkan sistem penangkap debu yang lebih baik karena
menghasilkan banyak debu selama proses (Taylor, 1997).

Pada proses basah, bahan baku mentah akan dicampur dengan air sehingga bahan
baku diproses dalam bentuk slurry. Gambar 2.2 menunjukkan proses basah yang umum
digunakan sebagai acuan pembuatan semen. Sedangkan pada proses kering, bahan baku
tidak dicampurkan dengan air sehingga bahan baku akan diproses dalam bentuk padatan.
Gambar 2. 8Proses Basah (PT Holcim Indonesia, Tbk)
Namun, dalam aplikasinya di dunia nyata, pabrik semen lebih banyak menuruti
proses kering dibandingkan proses basah. Hal ini dikarenakan keuntungan yang dimiliki
proses kering, yaitu bahan bakar untuk penguapan air lebih sedikit sehingga biaya
produksi menjadi lebih murah dan dapat meningkatkan kapasitas produksi. Gambar 2.3
menunjukkan proses pembuatan semen pada proses kering.

Gambar 2. 9 Proses Kering (PT Holcim Indonesia, Tbk)


Perbandingan kebutuhan kalor pada proses penggilingan basah dan kering dapat
dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 2. 17 Perbandingan Proses Penggilingan Basah dan Kering

Parameter Kering Basah

(kJ/kg klinker) (kJ/kg klinker)

Kebutuhan panas
1807 1741
teoritis untuk reaksi kimia

Penguapan air 13 2364

Panas yang hilang


623 753
pada gas buang dan debu

Panas yang hilang


88 59
pada klinker

Panas yang hilang di


427 100
udara dari pendingin

Panas yang hilang


348 682
karena radiasi atau konveksi

Total 3306 5699

Dari Tabel 2.17 dapat dilihat bahwa proses penggilingan basah membutuhkan kalor
yang lebih banyak dibandingkan proses penggilingan kering, terutama pada bagian
penguapan air (Taylor, 1997). Oleh karena itu, pabrik sekarang sudah sangat jarang
menggunakan proses penggilingan basah dalam produksi semen. Pabrik lebih
menggunakan proses kering, yaitu dengan penggunaan proses penggilingan kering.
Pada raw mill terdapat classifier yang berfungsi untuk memisahkan material
berukuran besar (coarse) dan kecil (fine), contohnya grit separator.Separator ini akan
memisahkan material ukuran fine dari aliran gas. Material keluaran raw mill merupakan
raw meal yang kemudian akan masuk ke dalam blending silo.Blending silo bertujuan
untuk menyimpan dan homogenisasi raw meal.
2.5.3 Proses Kalsinasi pada Preheater

Kalsinasi merupakan proses endotermik dimana terjadi disosiasi CO2 di dalam


preheater.Panas yang digunakan preheater untuk pembakaran berasal dari gas sisa keluaran kiln
atau cooler. Udara untuk pembakaran ini disebut juga sebagai tertiary air.Raw mealakan
dipisahkan dari gas dan dimasukkan ke dalam kiln sebagai feeding. Reaksi kimia yang terjadi pada
kalsinasi dapat dilihat pada reaksi 2.6.
CaCO3 CaO +CO2
Berdasarkan rule of thumb, ketika 60% bahan bakar digunakan pada proses kalsinasi,
maka derajat kalsinasi mencapai 90-95% (Deolalkar, 2009).
Preheater berfungsi sebagai pemanasan awal untuk mencapai temperatur dalam
kiln, yaitu sekitar 1400oC.Sedangkan temperatur keluaran preheater adalah sekitar 800oC.Reaksi
kalsinasi bersifat endotermis sehingga diperlukan panas yang cukup tinggi, suhu di atas
800oC.Preheater terdiri dari beberapa cyclone, pada umumnya 4 hingga 5 cyclone (4-5
stage).Preheater yang terdiri dari 4 stage dapat dilihat pada gambar 2.4 (Taylor, 1997).

Gambar 2. 1 Cyclone pada Preheater (Taylor, 1997)


Perpindahan panas antara raw meal dengan gas panas terjadi di ducting antar cyclone,
sedangkan pemisahan terjadi di cyclone.Preheater dengan kalsiner terdiri dari 2 bagian, yaitu in
line calciner (ILC) dan separate calciner (SLC). Material akan masuk dari cyclone paling atas dan
keluar pada cyclone paling bawah dan kemudian masuk ke dalam rotary kiln (Deolalkar, 2009).
2.5.4 Proses Pembakaran pada Rotary Kiln

Rotary kiln merupakan alat berbentuk silinder memanjang horizontal dengan kemiringan
2 hingga 4 derajat dan digunakan untuk proses pembakaran atau klinkerisasi (pembentukan
klinker).Rotary kiln pada umumnya berukuran diameter 10 atau lebih dengan kecepatan 40-70
cm/sec (H.Duda, 1988). Bahan bakar diinjeksikan ke dalam kiln melalui burner. Ukuran kiln
bergantung pada bahan bakar yang digunakan. Jika nilai kalor dari bahan bakar berfluktuasi atau
kadar abu dari bahan bakar, dibutuhkan ukuran kiln yang lebih panjang untuk memastikan terjadi
pembakaran sempurna pada bahan bakar (Deolalkar, 2009). Temperatur maksimum dari kiln
sekitar 1400oC terjadi zona pembakaran yang disebut burning zone. Di dalam kiln juga terdapat
sistem isolasi berupa batu tahan panas pada dindingnya. Sedangkan temperatur luar kiln berada
pada temperatur sekitar 100-300oC (Taylor, 1997).

Gambar 2. 2 Zona-zona pada Kiln (Refractory, 2016)


Proses termokimia di dalam kiln menyebabkan material melewati zona-zona pada kiln
dengan kecepatan yang berbeda. Perubahan fisika dan kimia dari material yang menyebabkan
perbedaan waktu tinggal terjadi selama proses pembakaran dalam kiln. Kecepatan paling rendah
material terjadi pada burning zone, sedangkan kecepatan paling tinggi terjadi pada calcining
zone.Reaksi-reaksi yang terjadi di dalam rotary kiln adalah penguapan air (untuk proses basah),
disosiasi magnesium karbonat, disosiasi kalsium karbonat dan kombinasi kapur dengan mineral-
mineral pada tanah liat membentuk 4 mineral utama dari klinker.
Proses perubahan bahan bakar menjadi api diubah oleh suatu sistem yang disebut dengan
firing system. Terdapat 3 jenis firing system, yaitu :
2.5.4.1 Direct Firing System
Pada sistem ini, batubara dimasukkan langsung ke dalam burner setelah keluar dari
coal mill. Udara dari coal mill diumpankan ke dalam kiln sebagai primary air. Hal ini
menyebabkan terbentuknya senyawa NOx berlebih karena adanya excess primary air.

Gambar 2. 3 Direct Firing System (Taylor, 1997)


2.5.4.2 Indirect Firing System
Sistem ini menampung batubara dalam sebuah silo terlebih dahulu setelah keluar
dari mill. Udara dan batubara dipisahkan dengan cyclonesebelum batu bara memasuki
silo. Udara keluaran cyclone kemudian dibagi menjadi 2 aliran, aliran pertama masuk ke
dalam dust collector. Debu yang ditangkap oleh dust collectordimasukkan ke dalam silo,
sementara udaranya dibuang ke lingkungan. Pada aliran kedua, dari dust collectorakan
dimasukkan kembali ke dalam coal mill. Udara untuk pembakaran batubara berasal dari
grate cooler saja (primary air).

Gambar 2. 4 Indirect Firing System (Taylor, 1997)

2.5.4.3 Semi-direct firing system


Sistem ini menyerupai sistem indirect firing. Perbedaannya terletak pada dust
collector, dimana pada sistem ini udara keluaran cycloneakan langsung masuk ke dalam
burner yang meniupkan udara untuk membakar batubara. Udara yangmasuk ke
dalamburner juga dibagi menjadi 2 aliran.Aliran pertama dikembalikan ke dalamcoal
mill, sementara aliran kedua menuju burner sebagai secondary air.
Gambar 2. 5 Semi-direct Firing System (Taylor, 1997)
Bahan bakar diinjeksikan melalui nozzle dengan primary air.Tambahan secondary
air ditarik masuk ke dalam kiln melalui cooler (Taylor, 1997). Keluaran pipa burner
dibuat lebih sempit dengan tujuan agar pencampuran antara debu batubara dan udara lebih
baik.Perubahan diameter nozzle dapat dilakukan untuk mengontrol kecepatan dari
campuranprimary air dan debu batubara (H.Duda, 1988).

2.5.5 Proses Pendinginan Klinker pada Grate Cooler

Klinker keluaran kiln didinginkan di grate cooler. Pendinginan klinker ini


berpengaruh pada struktur, komposisi mineral dan kualitas akhir semen. Pendinginan
klinker perlu dilakukan karena klinker yang panas sulit untuk dipindahkan atau disimpan,
memiliki efek yang negatif pada proses penggilingan akhir, proses pendinginan
meningkatkan kualitas dari semen dan penggunaan kembali panas klinker sekitar 200
kcal/kg dapat menurunkan biaya produksi karena dapat digunakan kembali sebagai udara
pemanas(H.Duda, 1988).
Efisiensi termal cooler menandakan rasio antara panas yang digunakan kembali
dari klinker panas dan yang dimanfaatkan kembali pada proses pembakaran dengan total
panas dari klinker yang meninggalkan kiln. Efisiensi termalnya berada pada rentang 40
hingga lebih dari 80%.Perbedaan temperatur antara klinker panas yang masuk ke cooler
dan secondary air atau udara panas yang meninggalkan cooler mempengaruhi efisiensi
dari cooler.Temperatur klinker yang meninggalkan cooler berada pada rentang 50-
300oC(H.Duda, 1988).
Pendinginan pada klinker bertujuan mengambil panas dari klinker untuk
kemudian dikembalikan ke dalam rotary kiln. Pendinginan secara cepat akan
menghasilkan kualitas semen yang lebih baik. Elemen seperti K, Na, S, C dan lainnya
diuapkan di kiln.Bahan-bahan tersebut masuk kembali dengan udara panas ke bagian
sistem pendingin. Bahan yang tidak diserap akan meninggalkan sistem melalui preheater
sebagai gas atau debu. Sebagian gas melalui bypass untuk menyaring debu yang terbawa.
Debu dari kiln ditangkap di akhir preheater dengan menggunakan electrostatic
precipitator sebelum pada akhirnya emisi gas dibuang melalui cerobong (Taylor, 1997).
Klinker yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam klinker silo.

2.5.6 Proses Penggilingan Akhir dan Pencampuran Bahan Aditif

Proses penggilingan klinker dilakukan di dalam finish mill atau cement mill.Setelah
didinginkan, klinker dimasukkan ke dalam finish mill untuk dilakukan penggilingan sehingga
berubah menjadi bubuk.Di dalam finish mill klinker akan ditumbuk dan digerus menggunakan ball
mill, yaitu bola-bola besi yang saling bertumbukan. Namun sebelum dimasukkan ke dalam finish
mill, klinker ditambahkan dengan bahan-bahan aditif. Bahan-bahan aditif tersebut seperti gipsum,
fly ash, pozzolan dan lainnya dapat meningkatkan kualitas dari semen yang
dihasilkan.Penggilingan ini pada umumnya membutuhkan konsumsi daya sebesar 35-50 kWh/ton
(Taylor, 1997).

2.5.7 Proses Pengepakan dan Distribusi

Semen yang dihasilkan dimasukkan ke dalam semen silo dalam kapasitas yang besar.
Kemudian semen tersebut didistribusikan secara luas atau pelanggan secara individual di dalam
kantong semen dengan berat tertentu.Pembuatan kantong semen dilakukan dengan packing
machine.Berat 1 kantong semen sekitar 50 kg (Deolalkar, 2009).
Proses pengepakan ini merupakan tahap akhir dalam proses produksi semen sebelum pada
akhirnya semen dipasarkan kepada distributor atau konsumen. Semen dipindahkan ke packing
machine dengan menggunakan air sliding conveyor dan bucket elevator. Dari bucket elevator,
semen dilewatkan ke vibrating screen untuk disaring. Material asing pada semen dipisahkan dan
kemudian dimasukkan ke Track Chain Conveyor (TCC). Semen yang lolos TCC akan masuk ke
dalam feed bin. Feed bin ini akan mengumpankan semen ke stationery packer. Pada mesin ini
semen akan ditimbang dan dikemas di dalam paper bag. Semen yang telah dipak kemudian
diangkut menggunakan belt conveyor menuju bag loader untuk dipindahkan ke truk dan
didistribusikan. Sedangkan untuk semen curah, perbedaan proses pengepakan terjadi pada saat
semen mencapai feed bin. Semen dari feed bin tidak dimasukkan dalam packing machine, namun
akan langsung dimasukkan ke dalam truk tangki semen curah (Taylor, 1997).

BAB III
Bahan Baku Semen
3.1 Bahan Baku Utama
Bahan baku utama merupakan bahan dasar dalam industri semen. Bahan baku utama
terdiri dari :

3.1.1 Batu Kapur (Limestone)


Pada dasarnya Calcareous Materials/ Carbonic Material adalah bebatuam yang
mengandung bebatuan yang banyak mengandung CaCO3 lebih besar dari 75% SiO2, Al2O3,
Fe2O3. Contohnya limestone / batu kapur (CaCO3). Limestone adalah bahan yang paling umum
digunakan, disamping chalk, marl, shell deposit. Batu kapur dengan kadar kapur tinggi disebut
lime component, terdiri dari calcite, dolomite, dan aragonite Calcite. Calcite berupa Kristal
heksagonal, sedangkan aragonite berbentuk Kristal rhombik. Limestone murni berwarna putih.
Untuk pembuatan semen, komposisi batu kapur dibatasi sebagai berikut:

CaO minimal 50%, MgO maksimal 3%, H2O maksimal 12%. Tingginya kadar MgO
menyebabkan terjadinya perubahan bentuk semen setelah terjadi pengerasan, yaitu timbulnya
retak-retak. Batu kapur pada umumnya tercampur MgCO3 dan MgSO4. Batu kapur yang baik
dalam penggunaan pembuatan semen memiliki kadar air 5% dan penggunaan batu kapur
dalam pembuatan semen itu sendiri sebanyak 81%. Kandungan zat dalam batu kapur dapat
diamati pada tabel 3.1 dan tabel 3.2 berikut:

Tabel 2.8 Spesifikasi Batu Kapur secara Umum


Parameter High Grade Medium Grade Lower Grade
Kenampakan Putih Lebih kusam Kusam
CaCO3 97%-99% 88-90% 85%-87%
MgCO2 Maksimal 2% Maksimal 2% Maksimal 2%
SiO2 0,08%-2% 0,08%-2% 0,08%-2%
Fe2O3 0,01%-4% 0,01%-4% 0,01%-4%
Al2O3 0,09%-1% 0,09%-1% 0,09%-1%
H2O, Na2O, K2O sisa Sisa Sisa

Tabel 2.9 Komposisi Batu Kapur dalam Pembuatan Semen Portland

CaO SiO2 Al2O3 Fe2O3 Alkali SO3 MgO H2O


Cl (%)
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
40-55 1-1,5 1-(6) 0,2-5 0,2-4 1,3 0,2-1 0,2-4 07-Okt

Untuk membuat semen, faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar MgO-nya, sebab MgO
tinggi akan menyebabkan terjadinya perubahan bentuk semen setelah terjadi pengerasan, yaitu
timbulnya retak-retak atau lengkungan-lengkungan. Warna batu kapur adalah putih dan akan
berubah menjadi kecoklatan jika terkontaminasi tanah liat atau senyawa besi. Dibawah ini adalah
spesifikasi dari batu kapur:

Tabel 2.10 spesifikasi Batu Kapur

1 Fase Padat
2 Warna Putih
3 Kadar Air 7-10% H2O
4 Bulk Density 1,3 Ton/m3
5 Specific Gravity 2,49
6 Titik Leleh 825 C
7 Kandungan CaO 47-56 %
8 Kuat Tekan 31,6 N/mm2
9 Silika Ratio 2,6
10 Alumina Ratio 2,57

Batu Kapur mengalami Kalsinasi pada suhu 600 900 oC,reaksi yang terjadi CaCO3 CaO + CO2 Dengan
kadar CaCO sebesar 74 79 %. (H.N Banerjea, 1990)

Gambar 2.1 Limestone (batu kapur)


3.1.2 Tanah Liat
Tanah liat / Clay termasuk kedalam kelompok mineral Siliceous dan Argillaceaous, yaitu
mineral sumber silica (SiO2), besi alumina (Fe2O3), serta kandungan CaCO3 kurang dari 75%.
Tanah liat pada dasarnya terdiri atas berbagai variasi komposisi. Pada umumnya tanah liat
merupakan senyawa alumina silica hydrate dengan kadar H2O maksimal 25% dan kadar Al2O3
minimal 14%. Tanah liat terbentuk dari beberapa senyawa kimi antara lain : alkali silikat dan
beberapa jenis mika. Pada dasarnya warna dari tanah liat adalah putih, tetapi dengan adanya
senyawa-senyawa kimia antara lain seperti Fe(OH)3, Fe2S3 dan CaCO3 menjadi hanya berwarna
abu-abu sampai kuning. Tanah liat yang baik untuk digunakan memiliki kadar air 20%, kadar
SiO2 tidak terlalu tinggi 46%, dan penggunaan tanah liat dalam pembuatan semen itu sendiri
sebesar 9%. Dibawah ini adalah Spesifikasi Tanah Liat / Clay :

Tabel 2.11 Spesifikasi Tanah Liat

1 Fase Padat
Coklat
2 Warna kekuningan
3 Kadar Air 18-25% H2O
4 Bulk density 1,7 Ton/m3
5 Titik Leleh 1999-2032 C
6 Specific gravity 2,36
7 Silika Ratio 2,9
8 Alumina Ratio 2,7
9 Silika Ratio 2,6

Gambar 2.2 Shale/Clay (Tanah Liat)

Tanah liat mengalami pelepasan air hidratnya pada suhu 400 oC, reaksi yang terjadi:

Al2Si2O7 Al2O3 + 2SiO2 + xH2O


Apabila dipanaskan atau dibakar maka sifat keliatannya akan berkurang dan akan menjadi
keras bila ditambah air.

3.1.3 Pasir Besi

Pasir besi sebagai komposisi tertinggi (70%-80%) terdapat disepanjang pantai laut selatan
pulau jawa. Pasir besi selalu tercapur dengan pasir silika ataupun Titan yang membahayakan
produk semen. Pasir besi berfungsi sebagai penghantar panas dalam pembentukan luluhan terak
semen. Pasir besi disbut juga iron ore yang depositnya terdapat disepanjang pantai dan berkadar
15% dab berwarna hitam. Sejak tahun 1998 sebagai pengganti pasir besi digunakan Copper Slag.
Bahan in berasal dair limbah yang dihasilkan pabrik peleburan tembaga PT. Smelthing Co. Gresik.
Kandungan pasir besinya sekitar 52-64%.

Tabel 2.13 Spesifikasi Pasir Besi

Komposisi Persen berat (%)


Fe2O3 44-49,08
SiO2 34,4-36,89
Al2O3 7,35-7,61
CaO 4,36-4,91
MgO 6,39-7,36
Na2O 0,11-0,18
K2O 0,006-0,09
Alkali 0,16-0,23
Kadar H2O 3,42-4,54

Gambar 2.4 Pasir Besi


3.1.4 Pasir Silika
Merupakan material pembawa senyawa oksida silica (SiO2), berfungsi untuk memperbaiki
kandungan oksida silika dalam campuran bahan baku, Pasir Silika di datangkan dari
Cibadak,Sukabumi. Berikut spesifikasi pasir silica (SiO2)

Tabel 2.12 Spesifikasi Pasir Silika

1 Fase Padat
Coklat
2 Warna kemerahan
3 Kadar Air 6% H2O
4 Bulk Density 1,45 Ton/m3
5 Specific Gravity 2,37gr/cm3
6 Kandungan CaO 47-56 %
7 Silika Ratio 5,29
8 Alumina Ratio 2,37

Gambar 2.3 Pasir Silika

Pasir silika banyak terdapat didaerah pantai. Derajat kemurnian pasir silika dapat mencapai 95-
99,8% SiO2. Warna pasir silika dipengaruhi oleh adanya kotoran seperti oksida logam dan bahan
organik.

3.3 Bahan Tambahan atau MIC (Mineral in Component)

Bahan tersebut ditambahkan dalam klinker agar didapatkan sifat-sifat tertentu. Bahan-bahan
tambahan adalah:

3.2.1 Gypsum

Bahan baku tersebut diperoleh dari limbah pabrik Petrokimia. Gypsum dipakai sebagai bahan
campuran pada terak untuk digiling pada penggilingan akhir. Tujuan penambahan gypsum pada
saat penggilingan terak adalah untuk memperlambat pengerasan pada semen, mencegah adanya
false set, serta memberikan tekanan pada semen. Berikut spesifikasi gypsum :
Gambar 2.5 Gypsum

Tabel 2.14 Spesifikasi Gypsum

Komposisi Persen berat (%)


SO3 30,21-32,13
CaO 2,15-3,18
H2O Comb 17,20-19,11
H2O Surf 42,40-43,85
Impuritas 2,18-3,08
b) Fly Ash

Fly Ash merupakan abu dari batu bara yang telah dibakar, dan sudah tidak terpakai
(Limbah). Fly ash hanya digunakan untuk tipe semen Serba Guna (GU). Fly ash memiliki luas
permukaan yang besar sehingga dapat mengisi rongga-rongga semen dan sebagai penyumbang
kuat tekan akhir pada semen. Tetapi dalam penggunaannya tidak boleh berlebihan, karena akan
mempengaruhi kualitas semen. Fly ash dicampur di keluaran finish mill (separator), 80% fly ash
akan menjadi produk semen, 20% fly ash akan menjadi bahan gagal dan akan kembali ke mill
untuk digiling.

Gambar 2.6 Fly Ash

Fly Ash mengandung unsur kimia antara lain silika, alumina, fero oksida, dan kalsium
oksida dan juga mengandung unsur tambahan lain yaitu magnesium oksida, titanium oksida,
alkalin dan KO), sulfur trioksida, pospor oksida dan karbon. Dengan memanfaatkan limbah ini
bisa mengurangi timbulnya pencemaran.

c) Pozzolan

Merupakan material tambahan selain gypsum pada proses penggilingan klinker menjadi
semen, pozzolan adalah bahan yang mengandung senyawa silika dan alumina dimana bahan
pozzolan itu sendiri tidak mempunyai sifat seperti semen, akan tetapi dalam bentuknya yang halus
dan dengan adanya air, maka senyawa-senyawa tersebut akan bereaksi secara kimia dengan
kalsium hidroksida (Ca(OH)2) pada suhu biasa dan membentuk kalsium Alumina Hidrat-CAH
yang bersifat hidraulis, pozzolan juga disebut SCM-Supplementary Cementitious Material.

d) Lime Stone Filler


Merupakan bahan pelengkap dalam produksi semen tipe GU yang berfungsi sebagai bahan pengisi
rongga dan meningkatkan strength (kuat tekan) pada semen, limestone yang digunakan berkualitas
high grade.

BAB III
PERALATAN PROSES PEMBUATAN SEMEN
Alat utama dalam pabrik pembuatan semen adalah rotary kiln dan peralatan penunjang
produksi lainnya. Peralatan utama ini merupakan sebuah elemen yang sangat penting di industri
pengolahan semen. Jenis jenis peralatan utama dan pendunkung dalam industri semen meliputi
crusher limestone, vertical raw mill, rotary kiln, coal mill dan finish mill.

Pada proses produksi semen di PT. Holcim Indonesia Tbk ini terdiri dari dua plant
pengolahan bahan baku menjadi semen siap pakai. Pada setiap plant antara Nar 1 dan Nar 2
memiliki jenis peralatan utama dan pendukung yang sama namun memiliki kapasitas dan
spesifikasi yang berbeda.

3.1 Limestone Crusher


Limestone Crusher merupakan suatu unit yang dipergunakan untuk memperkecil dimensi
atau ukuran dari suatu bahan baku menjadi ukuran yang diingankan dan sesuai dengan spesifikasi
produksi. Pada proses pengecilan ukuran limestone ini digunakan jenis hammer mill sebagai alat
utama crusher. Limestone crusher juga memiliki bagian lain yang berfungsi sebagai penunjang
hopper, belt conveyor, tripper dan reclaimer.

Gambar 3.1 Limestone Crusher (Sumber: dokumentasi PT. Holcim Indonesia)

3.2 Vertical Raw Mill


Pada tahap ini terjadi penggilingan untuk memenuhi ketentuan karakteristik yang diperlukan
oleh proses produksi. Selain penggilingan, pada vertical raw mill juga terjadi homogenisasi ke
empat bahan baku baku utama pembuatan semen. Proporsi bahan baku ini telah diukur dan telah
sesuai dengan kebutuhan produksi semen. Pada proses penggilingan ini dilakukan juga proses
pengeringan dengan menggunakan gas panas yang merupakan gas buang dari cooler dan pre-
heater, gas ini dilewatkan melalui nozzle yang berada disekeliling raw mill.
Gambar 3.2 Vertical Raw Mill Nar 1 (Sumber: dokumentasi PT. Holcim Indonesia)

Gambar 3.3 Vertical Roller Mill Internal Cut


Sumber: https://maulhidayat.wordpress.com/2012/12/28/proses-pembuatan-semen/

Proses yang terjadi didalam vertical raw mill mill ini meliputi grinding, drying, classifying
dan transporting.

Grinding
Penggilingan menggunakan gaya centrifugal di mana material yang diumpankan dari
atas akan terlempar ke samping karena putaran table dan akan tergerus oleh roller yang
berputar karena putaran table itu sendiri.

Drying
Material akan mengalami pengeringan dengan target kadar moisture max 1%. Proses
ini memanfaatkan panas gas sisa dari preheater-kiln dan cooler. Material yang telah
digiling akan kontak langsung dengan hot gas yang masuk melalui nozzle louvre ring.
Material keluar raw mill bersuhu sekitar 80oC, gas masuk bersuhu 300-350oC dan
keluar bersuhu 90-100oC.
Classifying
Classifying atau bisa disebut separating, maksdunya adalah material yang telah
digiling oleh roller akan terangkat oleh gas panas melewati separator yang ada di
bagian atas table, material yang telah cukup lembut sesuai target akan lolos melewati
separator sedangkan material msaih kasar akan jatuh kembali ke table untuk digiling.

Transporting
Seperti yang disebutkan di proses classifying, gas panas selain sebagai pengering
material juga sebagai alat transportasi ke proses selanjutnya. Produk raw mill yang
disebut raw meal akan dibawa gas melewati beberapa cyclone sebagai alat separator
terakhir.

Gambar 3.4 Raw Mill Grinding System (Sumber: dokumentasi PT. Holcim Indonesia)

3.3 Rotary Klin


Rotary Kiln merupakan sebuah alat dengan bentuk silinder panjang dengan dilapisi batu
tahan api (fire brick). Alat ini berfungsi dalam proses pembentukan clinker. Material masuk kiln
dari preheater stage terakhir pada suhu yang dijaga sekitar 850oC karena pada suhu yang lebih
tinggi material mulai sticky (lengket) sehingga bisa menyebabkan blocking pada inlet kiln. Suhu
klinkerisasi bisa mencapai 1450oC dan terbentuk fase liquid yang akan meningkatkan laju reaksi
oksida-oksida silika dan kapur yang dipromotori oksida besi dan alumina. Di dalam kiln terbentuk
sistem isolasi tambahan berupa coating yang terbentuk melapisi fire brick (batu tahan api). Suhu
luar shell kiln dijaga dibawah 300oC karena mulai suhu 400oC shell kiln mengalami deformasi.
Api dari main burner kiln dijaga tidak menyentuh material dan fire brick. Kualitas clinker yang
dihasilkan sangat tergantung dari kualitas raw meal, kualitas bahan bakar, posisi burner dan proses
pembakaran. Pembakaran di main burner menggunakan (80-90%) udara sekunder yang diperoleh
dari grate cooler dan (10-20%) udara primer yang diperoleh dari udara luar. Bahan bakar yang
digunakan adalah batubara, tapi pada saat awal firing/heating up digunakan solar/IDO (Industrial
Diesel Oil). Batubara dipilih sebagai bahan bakar utama karena harganya paling murah dibanding
bahan bakar IDO mauapun Gas.

Gambar 3.5 Rotary Kiln (Sumber: dokumentasi PT Holcim Indonesia)

3.4 Coal Mill


Coal mill merupakan alat suplai bahan bakar untuk proses pembakaran di rotary kiln maupun
pada suspension preheater. Pada coal mill memiliki proses yang hampir sama pada raw mill, disini
terjadi proses pengecilan ukuran untuk memenuhi suplai bahan bakar yang sesuai dengan
spesifikasi yang diperlukan, pada coal mill juga terjadi proses pengeringan dengan menggunakan
gas panas yang disuplai dari gas bakar sisa dari kiln. Ada hal yang perlu diperhatikan secara teliti
pada coal mill yaitu kebocoran yang ada pada peralatan untuk mencegah oksigen masuk ke dalam
coal mill, karena batu bara akan terbakar pada temperatur 100C. maka untuk mencegah agar tidak
terjadi ledakan pada coal mill harus dilakukan pemantauan kadar oksigen agar tidak melebihi 10%.

Gambar 3.6 Coal Mill Nar 1 (Sumber: dokumentasi PT Holcim Indonesia)

3.5 Finish Mill


Finish Mill merupakan tahapan terakhir dari proses pembuatan semen sebelum dilakukan
pengepakan dan dijadikan semen curah. Proses penggilingan akhir ini dibawa dari klinker silo
untuk dihancurkan, penggilingan semen dilakukan oleh bola-bola baja dengan ukuran yang
berbeda.

Gambar 3.7 Finish Mill Nar 1 (Sumber: dokumentasi PT Holcim Indonesia)


BAB III

TUGAS KHUSUS

3.1 Pengolahan data

Data dari Raw Mill pada Nar 1 dibutuhkan untuk dapat melakukan perhitungan. Data
yang telah diperoleh dilakukan perhitungan untuk mendapatkan neraca massa dan neraca panas
dari Raw Mill. Perhitungan pada sistem Raw Mill sebagai berikut :

3.1.1 Neraca Massa

Menghitung neraca massa dilakukan untuk mengetahui massa bahan yang masuk sistem
akan sama dengan massa bahan yang keluar sistem. Neraca massa dapat dirumuskan:

INPUT = OUTPUT

Dimana :

Input = massa seluruh bahan yang masuk sistem (kg)

Output = massa seluruh bahan yang keluar sistem (kg)

3.1.2 Neraca Panas

Menghitung neraca panas dilakukan untuk mengetahui kalor yang dilepas material-
material bahan ataupun air baik yang terkandung dalam bahan maupun yang terdapat diluar
bahan. Persamaan untuk neraca panas yaitu :

Q= m x Cp x T

Dan apabila terjadi perubahan fasa :

Q= m x L

Keterangan :

Q = Jumlah panas yang dipindahkan (J/s)

m = Massa bahan (kg/hr)

Cp= Kapasitas panas dari bahan (J/kgC)

T = Perbedaan temperatur masuk dan keluar (C)

L = Panas laten ( J/kg)


3.1.3 Hukum Avogrado

Gas-gas yang memiliki volum yang sama, pada temperatur dan tekanan yang sama,
memiliki jumlah partikel yang sama pula. Artinya, jumlah molekul atau atom dalam suatu volum
gas tidak tergantung kepada ukuran atau massa dari molekul gas. hukum Avogadro adalah bahwa
Konstanta gas ideal memiliki nilai yang sama bagi semua gas.


= =

dimana :

p = tekanan gas ( atm)

V= Volume gas (Liter)

T= Temperatur gas ( C)

n = mol gas (mol)

Satu mol gas ideal memiliki volum 22.4 liter pada kondisi standar (STP), dan angka ini sering
disebut volum molar gas ideal. Gas-gas nyata (non-ideal) memiliki nilai yang berbeda.

3.1.4 Hukum Boyle Gay-Lussac

Hukum Boyle Gay Lussac merupakan gabungan dari hukum Boyle, hukum Charles,
dan hukum Gay Lussac. Secara sistematis dirumuskan sebagai :

P x V x T = konstan

Dari hukum di atas, dapat dikatakan volume gas berbanding langsung terhadap jumlah gas
dan suhu dan berbanding terbalik terhadap tekanan, dirumuskan persamaan gas ideal:

PxV=nxRxT

Dimana :

n = jumlah mol gas (mol)

R = tetapan gas umum (0,082 L atm / mol kelvin)


T = suhu gas (Kelvin)

P = tekanan gas (atm)

V = volume gas (Liter)

3.1.5 Menghitung kapasitas panas campuran

Kapasitas panas merupakan besaran terukur yang menggambarkan banyaknya kalor yang
diperlukan untuk menaikan suhu suatu zat benda sebesar jumlah tertentu (misalnya 1 C). Secara
matematis kapasitas panas campuran dapat dirumuskan sebagai berikut:

Kapasitas panas capuran:


2 3
Cp dT = A (T Tref) + (T T 2 ref) + (T T 3 ref) + (T 4 T 4 ref) + (T 5
2 3 4 5

T 5 ref)

Dimana :

Cp : kapasitas panas ( J/mol K)

A,B,C,D,E = Konstanta

Tref= temperatur referensi (298,15K)

T = Temperatur operasi (K)


BAB I

1. Latar Belakang
Industri semen merupakan salah satu industri yang memegang peranan penting
dalam pembangunan bangsa. Faktor bahan baku yang banyak tersedia di dalam negeri
menjadi salah satu keunggulan dari industri ini. Produknya pun telah menjadi kebutuhan
mendasar dalam berbagai bidang. Perkembangan industri semen di Indonesia terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya, seiring dengan semakin banyaknya permintaan
dan didukung oleh melimpahnya cadangan bahan baku di beberapa wilayah di
Indonesia. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu bagi industri-industri semen di
Indonesia untuk lebih meningkatkan kinerja dan performa demi menghasilkan semen
yang berkualitas dan sesuai dengan standar serta keinginan konsumen.
2.
Terdapat banyak aspek yang mempengaruhi kinerja dari sebuah industri semen,
seperti misalnya ketersediaan dan komposisi bahan baku, kinerja dari alat proses yang
digunakan, kesinambungan antar unit operasi, dan lain sebagainya. Keseluruhan aspek
tersebut pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas semen yang dihasilkan. Studi
yang komprehensif terhadap aspek-aspek tersebut dapat dilakukan untuk meninjau
seberapa besar pengaruh dari aspek yang ditinjau terhadap output yang diinginkan.
Adapun salah satu studi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana kinerja sebuah
proses adalah dengan mengevaluasi kinerja setiap unit.

Seperti industri semen pada umumnya, PT Holcim Indonesia, Tbk. Sebagai


salah satu produsen semen terbesar di Indonesia memiliki beberapa unit operasi dalam
proses produksi semen. Unit operasi tersebut meliputi raw mill section, burning
section, finish mill section, dan packing house section. Masing-masing saling terkait
namun evaluasi kinerjanya dilakukan terpisah.

75
B. Tujuan

Tujuan dari tugas khusus ini antara lain sebagai:


1. Menentukan neraca massa dari unit Raw Mill pada plant PT. Holcim Narogong
di NAR 1.
2. Menentukan neraca panas dari unit Raw Mill pada plant PT. Holcim Narogong di
NAR 1.
3. Menentukan Heat Loss dari sistem Raw Mill.

C. Ruang Lingkup :
Pengamatan dilakukan terhadap unit Raw Mill pada plant PT. Holcim
Narogong di NAR 1. Data aktual diperoleh dari PT. Holcim Narogong NAR1
pada tanggal 20 Juli 2017 pukul 03:00 WIB. Data laju Mill Feed dan komposisi
tiap Mill Feed dijadikan variabel tetap pada data aktual yang diperoleh dari
lapangan. Dari data tersebut dilakukan perhitungan untuk menentukan neraca
massa dan neraca panas pada sistem Raw Mill tersebut.

Anda mungkin juga menyukai