Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PEMBAHASAN

A. PENDAHULUAN
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi akut yang ditandai oleh
kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin
(tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Penyakit ini umum terjadi di daerah
pertanian, di daerah pedesaan dan pada daerah dengan iklim hangat. Tetanus
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena tingkat
kebersihan masih sangat kurang sehingga mudah terjadi kontaminasi. Selain itu,
perawatan luka kurang diperhatikan dan kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. 1,2,3
Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi, terjadi
penurunan insidens sejalan dengan pelaksanaan program imunisasi terhadap
tetanus. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang
diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh
imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala. Tetanus
anak lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (65%), kemungkinan berkaitan
dengan faktor biologi dan aktivitas di luar rumah. 1,2,3
Tetanus terjadi oleh karena Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui
luka pada kulit dan menimbulkan gejala seperti peningkatan tonus otot disertai
spasme otot dan kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu. Pencegahan
dapat dilakukan dengan cara mencegah terjadinya luka, melakukan perawatan
luka yang adekuat, pemberian serum anti tetanus (SAT), pemberian toksoid
tetanus pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi aktif, pemberian
penisilin prokain dan imunisasi aktif. Sedangkan yang sudah terinfeksi
Clostridium tetani dapat diberikan Anti Toksin Tetanus dan antibiotik selama 10
hari. Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun
apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. 2,3,7,8,9

1
B. DEFINISI
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus ini biasanya akut dan
menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Manifestasi klinis
terjadi sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction, serta saraf otonom. 1,2

C. EPIDEMIOLOGI
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non
imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh atau
orang yang terimunisasi lengkap tetapi gagal mempertahankan imunitas secara
adekuat dengan vaksinasi ulangan. Kejadian penyakit ini sangat berhubungan
dengan aspek pelayanan kesehatan neonatal, terutama pelayanan persalinan
(persalinan yang bersih dan aman), khususnya perawatan tali pusat. 1,2
Tetanus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia meskipun
telah terjadi penurunan insidens sejalan dengan pelaksanaan program imunisasi
terhadap tetanus. Data rekam medik Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Cipto
Mangunkusumo, mencatat 99 kasus dalam 10 tahun terakhir, dengan kematian
pada 8 pasien. Khusus pada tahun 2009 tercatat 9 kasus tetanus, dan pada tahun
2010 terdapat 6 kasus, tanpa ada kematian. 2,3
Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan dan pada
daerah dengan iklim hangat. Riwayat imunisasi dengan higiene dan sanitasi yang
kurang baik memudahkan mereka terkontaminasi dan terinfeksi. Perawatan luka
yang kurang mendapat perhatian dan kesadaran masyarakat yang kurang akan
imunisasi juga merupakan suatu penyebab insidens tetanus pada anak masih
tinggi. 1,3
Pada studi yang dilakukan oleh Novie H. Rampengan, dkk. terdapat 40 anak
yang terdiagnosis tetanus dengan usia antara 1-11 tahun dengan usia terbanyak
kurang dari 5 tahun. Tetanus anak lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (65%),
kemungkinan berkaitan dengan aktivitas di luar rumah dan beberapa penulis

2
menyebutkan kemungkinan terdapat faktor biologi pada laki-laki lebih sensitif
terhadap toksin tetanus daripada perempuan. 1,3

D. ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan obligat anaerob
pembentuk spora, berbentuk batang, gram positif, bergerak, yang habitat
alamiahnya di seluruh dunia yaitu di tanah, debu dan saluran pencernaan berbagai
binatang. Pada ujungnya ia membentuk spora, sehingga secara mikroskopis
tampak seperti pukulan gendering atau raket tenis (drumstick). Spora yang
dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval. Spora ini dapat bertahan selama
bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan
bersifat resisten terhadap berbagai disinfeksi dan pendidihan selama 20 menit. Sel
yang terinfeksi oleh bakteri ini dapat dengan mudah diinaktivasi dan bersifat
sensitive terhadap beberapa antibiotic (metronidazole, penisilin dan lainnya).
Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat.
1,4,5

Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum jelas diketahui. DNA
toksin ini terkandung dalam plasmid. Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman
ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan
dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan
(rigiditas), spasme otot dan kejangkejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari
selsel darah merah. 1

Gambar 1. Clostridium tetani 6

3
E. PATOGENESIS
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor, luka bakar dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob
yang ideal untuk pertumbuhan Clostridium tetani ini. Walaupun demekian luka-
luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus
digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan Port dentree (tempat
masuk) dari Clostridium tetani. Telinga dengan otitis media perforata merupakan
tempat masuknya Clostridium tetani. 1,3
Dalam kondisi anaerobic yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,
basil tetanus mensekresi dua macam toksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri. Tetanospasmin merupakan polipeptida rantai ganda dengan
berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan
rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap
protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan
disulfide, yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat
terikat pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke
dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan
akan menyebar pada jaringan dibawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan
GT1b pada membrane ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia
dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-
ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin akan menyebar dan ditransportasikan dalam
axon dan secara retrograde ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. 1,3
Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik lalu ke saraf sensorik dan
saraf autonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi neuron didekatnya. Apabila interneuron inhibitor
spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transport interneuronal

4
retrograde lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak otak dan
otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan
suatu mekanisme yang tidak jelas. Setelah internalisasi ke dalam neuron
inhibitori, ikatan disulfide yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat
akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui
pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein
membrane yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang
mengandung neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan
metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal,
sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter. 1
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitor, dimana setelah
toksin menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
pelepasan neurotransmitter inhibitor yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali
dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu
(karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung
lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi
dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin kedalam celah neuromuskuler
dikurangi. Pusat medulla dan hypothalamus mungkin juga dipengaruhi. 1
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
konvulsi. Reflex inhibisi dari kelompok antagonis hilang, sedangkan otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri
dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah dan kepala
sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan
anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relative
jarang terlibat. 1
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang
dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas
mencapai ujung saraf terminal : sawar darah otak memblokade masuknya toksin

5
secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan waktu transport
intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh
sebelum serabut saraf yang panjang, hal ini menjelaskan urutan keterlibatan
serabut saraf di kepala, tubuh, dan ektremitas pada tetanus generalisata. 1

Gambar 2. Patomekanisme tetanus 2

F. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau
hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari

6
tempat masuknya kuman Clostridium tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat
(SSP). Secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa
inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya kematian. 7
Kaku kuduk, nyeri tenggorokan dan kesulitan untuk membuka mulut, sering
merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus
(rahang terkunci, lock jaw), spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah
yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, Rhisus sardonicus dan meluas ke
otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh
stimulus internal dan ekternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan
dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh
menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan
dinding dada. Opistotonus adalah posisi seimbang akibat dari kontraksi yang tidak
henti-hentinya semua otot yang berlawanan, semuanya menampakkan kekakuan
tetanus khas seperti papan. 1,4
Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat
episodic. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok
agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan
ataupun dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual, auditoria atau
emosional. Spasme otot-otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan dan asfiksia yang dapat mengancam jiwa. Karena toksin
tetanus tidak mengenai saraf sensoris atau fungsi korteks, mengakibatkan
penderita tetap sadar. Disuria dan retensi urin dapat terjadi akibat dari spasme
sfingter kandung kencing, selain itu mengejan waktu bertinja dapat terjadi.
Demam kadang-kadang setinggi 40oC, adalah lazim karena banyak energi
metabolik dihabiskan oleh otot-otot spastic. Pengaruh autonom yang utama adalah
takikardia, aritmia, hipertensi labil, diaphoresis dan vasokonstriksi kulit.
Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat
perubahan resistensi vaskuler sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan
kekuatan jantung. 1,4

7
Gejala tetanus pada anak (TA): 8
1) Hipertoni dan spasme otot
- Trismus : sukar makan/minum, bicara tidak jelas
- Spasme otot leher : leher sakit dan kaku, kernig sign positif
- Rhisus sardonikus (patognomonis)
- Spasme otot lain : opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak
spastic, sukar duduk/jalan.
2) Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu
3) Gag reflex positif
4) Mungkin ada luka/riwayat luka atau otitis media perforate

Gambar 3. Opistotonus pada tetanus anak 9

Gambar 4. Trismus pada tetanus 10 Gambar 5. Rhisus Sardonikus 11


anak
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit,
tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan berdasarkan klasifikasi Ablett. 7

8
Skala/derajat keparahan tetanus menurut sistem skoring Bleck: 7

9
Beranya penyakit berdasarkan Kriteria Patel dan Joaq: 8
1. Trismus.
2. Kejang.
3. Masa tunas 7 hari.
4. Onset period 48 jam.
5. Suhu rectal 38oC dalam 24 jam pertama di rumah sakit.
Penyakit terhitung derajat 1 bila 1 kriteria ditemukan, derajat 2 bila ada 2
kriteria dan seterusnya derajat 5 bila terdapat semua kriteria.
Beranya penyakit berdasarkan Kriteria Trismus Dan Kejang dapat dibedakan 3
stadium: 8
1. Trismus (3 cm) tanpa kejang-lorik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sedangkan pemeriksaan penunjang tidak spesifik. Jangan menyingkirkan
diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.
Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi
(imunokompeten). Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat luka dan timbul
gejala seperti hipertoni dan spasme otot, kejang tonik dengan kesadaran tidak
terganggu dan gag reflex positif. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan jumlah
lekosit dapat meninggi. Pemeriksaan cairan otak biasanya normal.
Elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas muatan unit motorik secara
terus menerus dan pemendekan atau tanpa interval yang tenang, yang biasanya
tampak setelah potensial aksi. Perubahan nonspesifik dapat tampat pada
elektrokardiogram. Kadar enzim otot dapat meningkat. 7,8,9,10

H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya sebagai berikut: 7,9

10
1) Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut
tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan
kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2) Tetani disebabkan timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana
kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah.
3) Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4) Rabies : dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan
pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5) Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, Otitis Media
Supuratif Kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

I. PENATALAKSANAAN
a. Kausal
Tujuannya untuk menetralisasi toksin dan membunuh kuman Clostridium
tetani. Diberikan Anti Toksin Tetanus pada tetanus anak dengan dosis 20.000
SI. Dengan cara pemberian secara intramuskuler, namun sebelumnya terlebih
dahulu dilakukan tes kulit. Apabila penderita sensitif, maka tidak boleh
diberikan sekaligus, tetapi sedikit demi sedikit (desensitasi bedreska). 7,8
b. Human Tetanus Immunoglobulin (dianjurkan untuk penderita yang mampu).
Pada tetanus anak dengan dosis 2500 Satuan secara intramuskuler tanpa
tes kulit. 7,8
c. Antibiotik 7,8
Antibiotik diberikan selama 10 hari
1. Pilihan Utama :
- Penisilin procain 100.000 SI/kgBB/hari IM, minimal 300.000 SI dan bila
melebihi 1 juta SI, maka pemberian dalam dosis terbagi.
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari IV, IM, kemudian dilanjutkan peroral.
2. Pilihan Lain:
- Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari diberikan dalam 4 dosis.
- Sefalosporin 100 mg/kgBB/hari IV, seterusnya peroral.
- Eritromisin 50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.

11
3. Simptomatis
Tujuannya untuk menurunkan kepekaan jaringan saraf terhadap rangsang,
relaksasi otot dan mengatasi kejang. Mempertahankan/memperbaiki
keadaan umum. Jenis tindakan: Sedative dan relaksan otot.
Diazepam merupakan obat pilihan pertama yang bersifat sedative, relaksan
otot dan anti kejang.
4. Fase Induksi
Segera masuk rumah sakit diberikan diazepam per rectal/intravena dengan
dosis untuk tetanus neonatorum 5 mg dan pada tetanus anak 10 mg.
5. Fase Maintenance
Disusul dengan diazepam 20-40 mg/kgBB/hari yang diberikan secara
intravena berkesinambungan dalam cairan dekstrosa 5% : NaCl 0,9% = 4 :
1. Mulai dengan dosis 20 mg/kgBB/hari. Apabila masih kejang, maka
dosis ditingkatkan 5 mg/kgBB/hari sampai kejang teratasi dengan dosis
maksimal 40 mg/kgBB/hari.
Untuk status konvulsi langsung bolus menggunakan dosis 40
mg/kgBB/hari. Setiap kali kejang diberikan bolus diazepam per
rectal/intravena untuk tetanus neonatorum 5 mg dan pada Tetanus anak 10
mg.
d. Fase Tapering
Apabila penderita telah bebas kejang 24-48 jam, maka pengobatan diazepam
parenteral dihentikan dan dilanjutkan per oral dengan dosis yang diturunkan
secara bertahap sebagai berikut: 7,8
Tetanus Neonatorum Tetanus Anak
Hari I 6 x 10 mg 10 x 10 mg
Hari II 6 x 7,5 mg 9 x 10 mg
Hari III 6 x 5,0 mg 8 x 10 mg
Hari IV 6 x 2,5 mg 7 x 10 mg
Hari V 5 x 2,5 mg 6 x 10 mg
Hari VI 4 x 2,5 mg 5 x 10 mg
Hari VII 3 x 2,5 mg 4 x 10 mg

12
Hari VIII 2 x 2,5 mg 3 x 10 mg
Hari IX 1 x 2,5 mg 2 x 10 mg
Hari X 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Fenobarbital diberikan bila diazepam tidak tersedia (obat pilihan). Dosis pada
tetanus anak 6 x 50 mg/hari. Cara pemberian yaitu dosis pertama diberikan
secara IM dan selanjutnya secara oral. Bila kejang telah teratasi, maka dosis
dikurangi secara bertahap. 7,8
- Pemberian oksigen bila ada tanda-tanda hipoksia, seperti distress
pernapasan, sianosis dan apneu dan status konvulsi.
- Pernapasan buatan jika terdapat tanda-tanda kegagalan pernapasan.
- Trakeostomi dapat dipertimbangkan bila terdapat tanda-tanda spasme
laring yang berat yang dapat terjadi pada status konvulsi atau kejang yang
sulit diatasi. 7,8
e. Perawatan
Tujuannya untuk mengurangi rangsangan, menjamin masukan cairan dan
elektrolit dan mencegah Infeksi sekunder/keadaan yang lebih berat. Penderita
dirawat di ruangan terbuka, ventilasi baik, tenang dan memungkinkan
dilakukan pengawasan setiap saat. Sebaiknya neonatus dirawat dalam
inkubator. 8
1. Dietetik 7,8
Konsistensi makanan yang diberikan tergantung kemampuan membuka
mulut dan menelan. Penderita dapat diberikan makanan lunak, saring atau
cair. IVFD Dextrose 5% : NaCl 0,9% = 4 : 1 terutama untuk pemberian
obat berkesinambungan. Bila trauma hebat, maka dapat digunakan pipa
lambung. Pada status konvulsi, kebutuhan cairan dan elektrolit diberikan
melalui IVFD.
Membatasi tindakan-tindakan yang merupakan rangsangan (tindakan yang
sangat perlu saja yang dikerjakan). Mempertahankan jalan napas bebas
hambatan dengan pengisapan sekret/lendir orofaring dan nasofaring secara
berkala. Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik. Perawatan

13
luka/punting pusat secara konservatif dengan H2O2 dan povidon jodium
10%.
f. Pencegahan
1. Mencegah terjadinya luka
2. Perawatan luka yang adekuat
3. Pemberian serum anti tetanus (SAT) dalam beberapa jam setelah luka
yaitu untuk memberikan kekebalan pasif, sehingga dapat dicegah
terjadinya tetanus atau masa inkubasi diperpanjang atau bila terjadi
tetanus gejala ringan.
4. Pemberian toksoid tetanus pada anak yang belum pernah mendapat
imunisasi aktif pada minggu-minggu berikutnya setelah pemberian SAT,
kemudian diulangi lagi dengan jarak waktu 1 bulan 2 kali berturut-turut.
5. Pemberian penisilin prokain selama 2-3 hari setelah mendapat luka berat.
6. Imunisasi aktif. Toksoid tetanus diberikan agar anak membentuk
kekebalan secara aktif. Sebagai vaksinasi dasar diberikan bersama
vaksinasi terhadap Pertusis dan Difteria, dimulai pada umur 3 bulan.
Vaksin ulangan (booster) diberikan 1 tahun kemudian dan pada usia 5
tahun serta selanjutnya setiap 5 tahun diberikan hanya bersama toksoid
difteria (tanpa vaksin pertusis). 7

J. KOMPLIKASI 9
1. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh
sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.
2. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang

14
yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti
melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
4. Komplikasi yang lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu
posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

K. PROGNOSIS
Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun
apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. Tetanus
biasanya tidak terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh Clostridium
tetani.9

L. KESIMPULAN
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Manifestasi klinis berupa kejang tonik dengan
kesadaran tidak terganggu. Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat luka dan
timbul gejala seperti trismus, spasme otot leher, rhisus sardonikus, opistotonus,
dinding perut tegang, anggota gerak spastic, sukar duduk/jalan, kejang tonik
dengan kesadaran tidak terganggu dan gag reflex positif. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan jumlah lekosit dapat meninggi.
Pengobatan untuk Tetanus yaitu Anti Toksin Tetanus dengan dosis 20.000 SI
intramuskuler. Human Tetanus Immunoglobulin (dianjurkan untuk penderita yang
mampu) dengan dosis 2500 Satuan secara intramuskuler tanpa tes kulit. Antibiotik
dapat diberikan selama 10 hari.
Pencegahan terjadinya tetanus yaitu mencegah terjadinya luka, perawatan
luka yang adekuat, pemberian serum anti tetanus (SAT) beberapa jam setelah
luka, pemberian toksoid tetanus belum pernah mendapat imunisasi aktif,
pemberian penisilin prokain dan imunisasi aktif. Tetanus dapat menimbulkan

15
kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati dengan cepat dan
tepat, pasien dapat sembuh dengan baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismanoe G. Tetanus. Dalam : Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 3. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia : 2007
2. Leman, Martinus M., Tumbelaka, Alan R. Penggunaan Anti Tetanus Serum
dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak. Sari Pediatri, Vol.
12, No. 4, Desember 2010. Hal: 283-287.
3. Rampengan, Novie H., Pangestu Yose, Tatura, S.N.N, Rampengan, T.H.
Profil Kasus Tetanus Anak Di RS. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Sari
Pediatri, Vol. 14, No. 3, Oktober 2012. Hal: 173-177.
4. Nelson WE. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Vol 2. Jakarta; 2000.
5. Public Health Agency of Canada. 2012. Diakses 15 september 2014
http://www.phac-aspc.gc.ca/lab-bio/res/psds-ftss/clostridium-tetani-eng.php
6. Http://Www.Corbisimages.Com/Images/Corbis-42-
18705359.Jpg?Size=67&Uid=Bf1703a0-Fbae-4b91-Ae29-41891cd5315b
7. Satari, Hindra Irawan, Chairulfatah, Alex, Dkk. Penatalaksanaan Pada
Tetanus Anak. Health Technology Assessment Indonesia Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Hal: 1-29.
8. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 2014. Makassar. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Hal: 25-
31.
9. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2014. Hal.
10. Abrutyn E. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Ed 13, Vol 2.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hal: 711-713.

17

Anda mungkin juga menyukai