Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Kawasan konservasi merupakan kawasan yang sangat vital bagi wilayah
kepesisiran, bukan hanya karena hal ini diamanatkan oleh undang-undang (UU
No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil), namun kawasan konservasi
sangat penting guna melindungi keanekaragaman hayati dan masyarakat dari
ancaman bencana alam di wilayah kepesisiran, seperti erosi pantai dan genang
pasang air laut (Dahuri et al. 1996; Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005;
Nybakken, 1992; Ongkosongo, 2011; Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2010
tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil).
Kebutuhan akan kawasan konservasi salah satunya sangat dirasakan pada
wilayah kepesisiran Kabupaten Demak. Berdasarkan kajian yang dilakukan Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011, Kabupaten
Demak merupakan kabupaten yang mengalami erosi pantai terluas ke-2 setelah
Kabupaten Brebes, yaitu seluas 1.016,22 ha. Di Kabupaten Demak sendiri,
wilayah yang mengalami erosi pantai paling besar yaitu Kecamatan Sayung
(Marfai, 2012), yang mengalami erosi pantai sejak tahun 1998 dan luas lahan
tererosi mencapai 935,18 ha pada tahun 2012 (Gambar 1.1).

Gambar 1.1. Citra satelit wilayah pantai Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
(a) Landsat 1989 komposit 432, (b) Landsat 1999 komposit 422, dan (c) ALOS 2010 komposit 432
(Sumber : Analisis data, 2014)
Gambar 1.2. Perubahan garis pantai wilayah kepesisiran Kabupaten Demak
Tahun 1931 - 2010 (Apriyantika, 2010)

Selain kenaikan muka air laut (Marfai, 2014), reklamasi pantai dan
bangunan jetty pelabuhan Tanjung Emas diduga merupakan salah satu faktor
penyebab besarnya erosi pantai di Kabupaten Demak (Marfai, 2012). Bangunan
pelindung pantai yang pada umumnya menjorok ke laut, termasuk jetty,
berpotensi mengakibatkan perubahan angin dan arus, serta menghambat aliran
litoral alami, sehingga mengganggu pasokan sedimen ke pantai bagian hilir dari
aliran litoral tersebut (US Army Corps of Engineers, 1984; Triatmodjo, 1999;
Dahuri et al. 1996). Penelitian yang dilakukan Apriyantika (2010) dan Marfai
(2012) menunjukkan terjadinya kemunduran garis pantai di Kecamatan Sayung.
Wilayah kepesisiran Kabupaten Demak juga mengalami genang pasang
air laut. Hingga tahun 2010, di wilayah kepesisiran Kecamatan Sayung, genang
pasang air laut telah masuk ke daratan hingga sejauh 1,5 km; 692,31 ha
pekarangan dan tambak terendam; dan 3 dusun telah hilang. Pada tahun 2012,
erosi pantai juga terjadi di pesisir Kecamatan Wedung (Anonim (a), 2012). Erosi
pantai dan genang pasang air laut tidak hanya merusak keanekaragaman hayati,
namun juga mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat pesisir
Kabupaten Demak.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Demak 2011 -
2031, sepanjang wilayah pantai Kabupaten Demak memang telah ditetapkan
sebagai kawasan lindung (Gambar 1.3); baik kawasan lindung sempadan pantai,
rawan bencana (erosi pantai dan gelombang pasang), maupun suaka alam
(kawasan pantai berhutan bakau); dengan arahan pemanfaatan lahan utama untuk
hutan mangrove. Akan tetapi, perencanaan tersebut masih bersifat umum dan
belum mempertimbangkan kondisi fisik dan sosial ekonomi pada tingkat yang
lebih detil dan mikro, sehingga belum terdapat pula rincian tentang bentuk
pengelolaan dan/atau konservasi mangrove yang harus dilakukan serta area mana
saja yang diprioritaskan.
Penentuan lokasi kawasan konservasi pada dasarnya berkaitan dengan
keputusan penggunaan lahan. Keputusan penggunaan lahan sendiri merupakan
suatu permasalahan yang kompleks dan seringkali kontroversial karena
melibatkan banyak faktor dan banyak aktor. Banyaknya faktor berakibat pada
kompleksnya analisis, namun hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan Sistem
Informasi Geografis (SIG) yang merupakan salah satu bentuk dari sistem
pendukung keputusan berbasis keruangan atau spatial decision support
system/SDSS (Fauzi, 1997; Faturrohmah, 2014). Meskipun memiliki banyak
keunggulan (Yeh, 2000), penggunaan SIG saja untuk penentuan penggunaan
lahan dianggap masih memiliki kekurangan karena penilaian hanya berdasarkan
pada penilaian tunggal dari seseorang ataupun suatu institusi, padahal keputusan
penggunaan lahan melibatkan banyak aktor.

Gambar 1.3. Peta pola ruang wilayah kepesisiran Kabupaten Demak 2011 - 2031
(Sumber: Peta pola ruang Kabupaten Demak 2011 2031)

Banyaknya aktor berkonsekuensi pada beragamnya pemahaman, nilai, dan


tujuan, sehingga berbeda pula keputusan penggunaan lahannya (Bordy, 2011;
Feick dan Hall, 2002; Malczewski, 2006 dalam Omo-Irabor, 2011; 2002;
Susskind dan Cruikshank, 1987 dalam Brody, 2006; Schmoldt et al. 2001). Sering
dijumpai suatu lahan yang seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi,
namun dimanfaatkan sebagai lahan budidaya (Gambar 1.2), baik karena
kesengajaan maupun ketidaktahuan dari para pemangku kepentingan di dalamnya.
Karenanya, penentuan penggunaan lahan tidak hanya membutuhkan pengetahuan,
keahlian, dan data; namun juga harus memperhitungkan pendapat para pemangku
kepentingan (Feick dan Hall, 2002; Kristanty, 2013; Schmoldt et al. 2001).
Salah satu metode yang dapat mengintegrasikan multifaktor dan multiaktor
dalam pengambilan keputusan adalah analisis multikriteria dengan Analytical
Hierarchial Process (AHP). Dengan AHP, dimungkinkan untuk melakukan
pemodelan pemilihan lokasi dengan pembobotan kriteria yang bervariasi,
bergantung pada prioritas setiap pemangku kepentingan yang terlibat (Hapsari,
2013; Hidayat, 2013; Zarkesh, 2005). Dalam penelitian ini, bobot kriteria
ditentukan oleh kelompok mangrove, petani tambak, perwakilan tokoh
masyarakat, dan pemerintah daerah bukan berdasarkan penilaian peneliti ataupun
regulasi, sehingga dapat diketahui preferensi para pemangku kepentingan
tersebut dalam pemilihan kawasan konservasi mangrove. Dengan demikian,
pemanfaatan AHP dalam penelitian ini merupakan salah satu bentuk participatory
GIS dan dengan mengadopsi preferensi para pemangku kepentingan tersebut,
diharapkan dapat terpilih lokasi kawasan konservasi mangrove dengan potensi
konflik kecil (Brody, 2006; Feick dan Hall, 2002; Omo-Irabor, 2011).
Selain dalam pembobotan kriteria, masyarakat juga dilibatkan dalam
penggalian informasi dinamika perubahan lingkungan yang terjadi dari waktu ke
waktu yang terekam dalam ingatan masyarakat dalam bentuk pengetahuan lokal.
Pengetahuan lokal ini dapat digali dan ditransformasi menjadi data spasial melalui
pemetaan partisipatif untuk membantu meningkatkan kualitas perencanaan (Abbot
et al. 1998; IFAD, 2009; McCall dan Minang, 2006; Nirwansyah, 2012; Suskind
et al. 2000 dalam Kay dan Alder, 2005). Penggabungan participatory GIS dan
expert system GIS merupakan kombinasi yang baik untuk membangun SDSS
berbasis masyarakat guna memilih lokasi kawasan konservasi mangrove dengan
meminimalkan potensi konflik pengelolaan kawasan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti mengidentifikasi
rumusan masalah utama dalam penelitian ini yaitu lokasi manakah yang
sebaiknya menjadi kawasan konservasi mangrove di wilayah pantai Kabupaten
Demak, dengan mengadopsi prioritas para pemangku kepentingan?.Meskipun
fokus dari penelitian ini adalah pengadopsian prioritas pemangku kepentingan;
aspek fisik, sosial, ekonomi, dan ancaman dalam penentuan lokasi kawasan
konservasi mangrove tetap dikaji. Rumusan masalah dalam penelitian ini
memunculkan tiga pertanyaan penelitian, sebagai berikut.
1. Bagaimana kesesuaian lahan secara fisik untuk mangrove di wilayah pantai
Kabupaten Demak?
2. Bagaimana prioritas pemangku kepentingan (kelompok mangrove, petani
tambak, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah) dalam pemilihan lokasi
kawasan konservasi mangrove di wilayah pantai Kabupaten Demak, dengan
mempertimbangkan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan ancaman?
3. Di mana lokasi yang sebaiknya menjadi kawasan konservasi mangrove di
wilayah pantai Kabupaten Demak, dengan mengadopsi prioritas para
pemangku kepentingan?

1.3. TUJUAN PENELITIAN


1. Menganalisis kesesuaian lahan secara fisik untuk mangrove di wilayah
pantai Kabupaten Demak.
2. Mengkaji prioritas pemangku kepentingan (kelompok mangrove, petani
tambak, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah) dalam pemilihan lokasi
kawasan konservasi mangrove di wilayah Kabupaten Demak, dengan
mempertimbangkan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan ancaman.
3. Memilih lokasi kawasan konservasi mangrove di wilayah pantai Kabupaten
Demak, dengan mengadopsi prioritas para pemangku kepentingan.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat bagi ilmu pengetahuan.
1. Memberikan pemahaman tentang sudut pandang para pemangku
kepentingan dalam memilih lokasi kawasan konservasi mangrove.
2. Sebagai rujukan metode pemilihan lokasi yang dalam pemilihannya tidak
hanya memperhitungkan kriteria-kriteria terukur, namun juga
memperhitungkan sudut pandang para pemangku kepentingan yang terlibat.

Manfaat bagi pembangunan daerah.


1. Sebagai masukan untuk evaluasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kecamatan Sayung; penyusunan RDTR Kecamatan Karangtengah, Bonang,
dan Wedung; sertapenyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Demak.
2. Sebagai masukan lokasi prioritas penanaman mangrove kepada berbagai
pihak (masyarakat lokal, pemerintah daerah, LSM) yang ingin melakukan
penanaman mangrove.

1.5. RUANG LINGKUP PENELITIAN


Kawasan konservasi diartikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu
yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah yang berkelanjutan (27
tahun 2007 pasal 1 ayat 20). Dalam konteks wilayah pantai Kabupaten Demak,
ciri khas tersebut adalah adanya vegetasi mangrove yang dengan manfaat
ekologinya dapat menjadi salah satu alternatif pelindung pantai Kabupaten Demak
yang sejak tahun 1998 mengalami erosi pantai dan genang pasang air laut cukup
besar (lihat Subbab 1.1). Dengan demikian kawasan konservasi pada penelitian ini
merujuk pada konservasi mangrove, baik sebagai individu (tegakan mangrove)
maupun komunitas (hutan mangrove).
Karena fokus kajian pada mangrove, maka daerah penelitian dibatasi pada
lingkungan tempat mangrove tumbuh. Mangrove tumbuh pada wilayah yang
masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yang dalam terminologi wilayah
kepesisiran disebut sebagai wilayah pantai. Namun, pada penelitian ini dikaji pula
aspek sosial dan kependudukan, dengan unit data berupa wilayah administrasi.
Karena terdapat dua unit data yang berbeda, yaitu unit lahan dan unit wilayah
administratif, maka digunakanlah desa pantai sebagai daerah penelitian, dengan
batasan desa pantai yaitu desa-desa di Kabupaten Demak yang masih terkena oleh
genang pasang air laut, yang berjumlah 27 desa (Arifin, 2012) (lihat Tabel 1.1 dan
Gambar 1.4).

Tabel 1.1. Desa-desa di Kabupaten Demak yang terkena genang pasang air laut
No. Desa Luas (km2) * No. Desa Luas (km2) *
Kecamatan Sayung 56,80 14. Gebang 4,56
1. Banjarsari 5,40 15. Margolinduk 1,20
2. Bedono 7,61 16. Morodemak 4,04
3. Gemulak 4,06 17. Purworejo 7,00
4. Purwosari 4,31 18. Tridonorejo 5,08
5. Sidogemah 6,61 Kecamatan Wedung 83,56
6. Sidorejo 8,44 19. Babalan 7,86
7. Sriwulan 4,30 20. Berahan Kulon 18,27
8. Surodadi 6,55 21. Berahan Wetan 12,77
9. Timbulsloko 6,18 22. Bungo 14,73
10. Tugu 3,34 23. Kedungkarang 3,34
Kecamatan Karangtengah 11,60 24. Kedungmutih 3,55
11. Tambakbulusan 7,43 25. Kendalasem 2,37
12. Wonoagung 4,17 26. Mutih Kulon 7,61
Kecamatan Bonang 26,46 27. Wedung 13,06
13. Betahwalang 4,58 TOTAL 178,42
Sumber: Arifin, 2012

1.6. KEASLIAN PENELITIAN


Penelitian tentang kesesuaian lahan untuk mangrove telah banyak
dilakukan dengan mengkaji banyak aspek, baik aspek biofisik danbiokimia lahan,
biodiversitas mangrove, maupun aspek fisik dan geografis lahan. Poedjirahardjoe
(2006) melakukan pengkajian yang cukup komprehensif tentang klasifikasi lahan
potensial untuk rehabilitasi mangrove di Pantai Utara Jawa Tengah. Dalam
penelitiannya, Poedjirahardjoe (2006) mengkaji faktor kerapatan, tinggi dan lebar
perakaran mangrove; lengas, tekstur, pH tanah, C, BO, N, P , K, KPK, Kadar
lempung, kadar debu, kadar pasir, kelas tekstur, suhu perairan, pH air, salinitas,
kadar oksigen terlarut, plankton, nekton; dengan unit analisis yaitu unit ekologis
berdasarkan kemiringan lereng, salinitas, ketebalan lumpur, tahun tanam
mangrove.Selain dalam unit ekologi, penelitian tentang kesesuaian lahan
mangrove juga banyak yang dilakukan dalam unit satuan lahan, yang merupakan
tumpangsusundari beberapa peta parameter lahan, dengan menggunakan teknologi
SIG, baik dengan teknik pengharkatan maupun pembandingan.Penelitian ini
diantaranya dilakukan oleh Fauzi (1997), yang melakukan penelitian model
peruntukan kawasan mangrove dengan citra penginderaan jauh di Indragiri Hilir,
Riau.
Dalam penelitiannya, Fauzi (1997) mengkombinasikan parameter
bentuklahan, penggunaan lahan, agihan mangrove, dan kedalaman laut untuk
menghasilkan peta unit lahan. Unit lahan tersebut dijadikan sebagai dasar
penentuan lokasi sampel uji. Setiap unit lahan tersebut nantinya akan memiliki
nilai parameter salinitas air, suhu air, pH air, tekstur tanah, bahan organik, lereng
(foto udara), kisaran pasang (data sekunder), batas banjir oleh hujan dan pasang
(data sekunder). Parameter-parameter itulah yang akan menjadi dasar penentuan
kesesuaian lahan dengan teknik pembandingan.
Penelitian yang lebih spesifik tentang mangrove di wilayah kepesisiran
Demak juga pernah dilakukan oleh Yuniastuti (2013) dan Faturrohmah (2014).
Parameter yang dikaji pun lebih beragam, tidak hanya memperhitungkan aspek
fisik lahan, namun juga aspek sosial ekonomi.
Penelitian Yuniastuti (2013) menekankan pada pemanfaatan citra
penginderaan jauh multitemporal untuk menginventaris tutupan lahan mangrove
di wilayah kepesisiran Demak pada tahun 1994, 2002, dan 2010; untuk
selanjutnya dijadikan dasar perumusan strategi pengelolaan ekosistem mangrove
di wilayah kepesisiran Demak. Dalam perumusan strategi pengelolaan, Yuniastuti
(2013) tidak hanya mempertimbangkan faktor fisik lahan, namun juga faktor
sosial ekonomi dan persepsi masyarakat tentang mangrove, serta faktor vegetasi
(kerapatan, luas penutupan, indeks nilai penting, indeks dominasi, indeks
keanekaragaman). Pada tahap akhir penelitian ini, Yuniastuti (2013) menentukan
lokasi prioritas program rehabilitasi mangrove. Lokasi prioritas ditentukan
berdasarkan (i) kerusakan ekosistem mangrove yang diidentifikasi dari
berkurangnya luas tutupan lahan mangrove, (ii) peta rawan bencana dan
permasalahan lingkungan yang termuat pada dokumen RTRW Kabupaten Demak,
(iii) pemodelan sabuk hijau dengan analisis lingkaran pengaruh sejauh 100 m ke
arah darat dari garis pantai, dan (iv) penilaian lahan potensial mangrove dengan
metode pengharkatan atas variabel-variabel fisik lahan.
Memilih lokasi penelitian yang sama dengan Yuniastuti (2013), yaitu
wilayah kepesisiran Demak, Faturrohmah (2014) mengambil tema yang sedikit
berbeda. Faturrohmah (2014) melakukan kajian perencanaan pemanfaatan ruang
berbasis konservasi mangrove di wilayah kepesisiran Demak. Penelitiannya
diawali dengan penilaian kekritisan mangrove, yang didasarkan pada jenis
penggunaan lahan, kerapatan tajuk, dan ketahanan tanah terhadap erosi. Serupa
dengan Yuniastuti (2013), Faturrohmah (2014) di akhir penelitiannya menentukan
lokasi prioritas konservasi mangrove, namun dengan kriteria yang berbeda.
Faturrohmah (2014) menentukan lokasi prioritas dengan metode pengharkatan
terhadap (i) pengurangan tutupan lahan mangrove, (ii) kekritisan lahan mangrove,
(iii) pemodelan sempadan pantai dan sempadan sungai, dan (iv) penilaian
kesesuaian lahan untuk mangrove. Untuk keperluan penyusunan arahan
pemanfaatan ruang, kesesuaian lahan yang dikaji tidak hanya kesesuaian lahan
untuk mangrove; namun juga kesesuaian lahan untuk tambak, pertanian,
pelabuhan, industri, permukiman, dan pariwisata. Dengan mengetahui kesesuaian
lahan untuk berbagai sektor, Septiana (2014) dapat merumuskan rencana
pemanfaatan ruang, dengan pemanfaatan ruang yang diprioritaskan adalah
pemanfaatan ruang untuk konservasi mangrove.
Berbeda dengan penelitian Poedjirahardjoe (2006) dan Fauzi (1997) yang
hanya memperhitungkan aspek fisik lahan dan biodiversitas mangrove, penelitian
yang akan dilakukan ini akan memperhitungkan pula aspek partisipasi
masyarakat, melalui SIG partisipatif. Penelitian Yuniastuti (2013) memang telah
mengkaji aspek sosial ekonomi, namun analisisnya bersifat umum dan belum
menggali pendapat dan keinginan masyarakat terhadap kawasan konservasi
mangrove. Ide mendasar dari SIG partisipatif adalah melibatkan masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan dengan SIG. Dalam penelitian ini,
penggunaan SIG partisipatif dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk memilih
lokasi kawasan konservasi mangrove dengan potensi konflik pemanfaatan lahan
paling kecil, namun tetap sesuai secara fisik.
SIG partisipatif telah banyak pula digunakan dalam banyak
penelitian,terutama penelitian tentang sumberdaya dan kebencanaan. Penelitian
yang menggunakan SIG partisipatif diantaranya dilakukan oleh Nirwansyah
(2012). Nirwansyah (2012) telah menerapkan SIG partisipatif untuk
meningkatkan kualitas model dan estimasi kerugian, serta untuk melengkapi
perolehan data tinggi dan lama genangan (dengan dibantu peta model, citra
Quickbird, dan GPS).
Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, masyarakat tidak hanya
berperan dalam pengumpulan data dan validasi model, namun masyarakat juga
terlibat dalam proses penentuan bobot parameter sebagai input dalam pemilihan
lokasi dengan metode analisis multikriteria. Analisis multikriteria memungkinkan
keterlibatan langsung pemangku kepentingan, yang dapat menyediakan
komunikasi umpan balik yang bersifat transparan bagi semua pihak.
Pengambilan keputusan, termasuk dalam hal keputusan untuk memilih
lokasi, jalan, ataupun rute; dengan pendekatan analisis multikriteria telah cukup
banyak dilakukan (Omo-Iraboret al. 2011;Hidayat, 2013; Hapsari, 2013). Omo-
Irabor et al. (2011) menggunakan analisis multikriteria dengan ILWIS untuk
memodelkan kerentanan kerusakan ekosistem mangrove dengan
mempertimbangan aspek lingkungan dan sosial ekonomi. Berbeda dengan Omo-
Irabor et al. (2011), Hidayat (2013) dan Hapsari (2013) menggunakan analisis
multikriteria dengan ArcGIS.
Hidayat (2013) menggunakan analisis multikriteria dengan AHP untuk
menentukan jalur kereta api dari Kota Yogyakarta menuju (rencana) bandara baru
Nyi Ageng Serang di Kabupaten Kulonprogo. Dalam penelitiannya, Hidayat
(2013) memperhitungkan aspek teknis (kondisi geologi dan topografi, desain
jalur, dampak lalu lintas, dan kemudahan pelaksanaan), ekonomi (manfaat
ekonomi, finansial, dan kebutuhan dana), lingkungan (cagar alam budaya, konflik
sosial dan fisik), serta aspek tata ruang (kesesuaian RTRW dan pengembangan
kawasan). Untuk menentukan bobot setiap parameter inilah digunakan AHP.
Bobot ditentukan berdasarkan pendapat responden tentang tingkat kepentingan
relatif dari setiap parameter terhadap parameter lainnya. Dalam penelitian Hidayat
(2013), pihak yang terlibat dalam penentuan bobot adalah para pakar yang
dianggap benar-benar mengetahui tentang masalah yang dibahas, mempunyai
pengaruh dalam hal kebijakan, serta dapat memberi masukan terhadap penetuan
kriteria. Para pakar tersebut berasal dari Ditjen Perkeretaapian, BAPPEDA, Dinas
Perhubungan, dan PT.KAI. Selain para pakar, pengguna kereta pada Bandara Adi
Sucipto juga turut dilibatkan dalam penentuan bobot parameter. Bobot inilah yang
digunakan untuk memilih jalur kereta yang paling sesuai dengan pembobotan
tersebut. Namun, penelitian Hidayat (2013) ini belum bersifat spasial, melainkan
hanya memilih jalur terbaik diantara beberapa pilihan jalur.
Hapsari (2013) melakukan penelitian dengan AHP bereferensi spasial,
yaitu dengan bantuan ekstensi AHP spasial pada software ArcGIS 9.3. Hapsari
memanfaatkan AHP spasialuntuk melakukan penataan wilayah kerjaTaman
Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang dilatarbelakangi oleh masih rendahnya
nilai efektivitas Resort Based Management (RBM) dalam pengelolaan TNGC.
Penataan wilayah resort di taman nasional membutuhkan pendekatan
berbagai kriteria, yaitu aspek SDA kawasan, sosial ekonomi masyarakat, serta
aspek sumberdaya organisasi pengelola. Hal ini dikarenakan karakteristik khas
taman nasional yang merupakan sumberdaya milik bersama, sehingga
kepentingan berbagai pihak dan juga kepentingan ekologi terdapat dalam satu
kesatuan ekosistem taman nasional. Dengan latar belakang tersebut, Hapsari
(2013) menggunakan metode analisis multikriteria keruangan dengan
menggunakan AHP spasial yang mengintegrasikan karakteristik fisik kawasan dan
aspek-aspek penting pengelolaan taman nasional menjadi dasar pengambilan
keputusan.
Dalam operasionalisasinya, penelitian Hapsari (2013) mempertimbangkan
empat aspek dalam penataan wilayah kerja pengelolaan taman nasional, yaitu
aspek fisik (karakteristik kawasan sebagai unit bentanglahan ekologi), ancaman
potensial, ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Selain kelima aspek tersebut,
Hapasri (2013) mempertimbangkan pula aspek manajemen, yang terdiri atas
realisasi pal batas, zonasi, batas administrasi desa, batas alam, dan aksesibilitas.
Pembobotan ditentukan melalui wawancara dan diskusi terbuka dengan
responden, tentang tingkat kepentingan suatu parameter terhadap parameter yang
lain. Terdapat 9 responden dalam penelitian Hapsari (2013), terdiri atas 4 dosen
fakultas kehutanan dengan kepakaran pengelolaan kawasan konservasi dan
analisis spasial, 3 praktisi dari eselon 2 dan 3 kementerian kehutanan pusat yang
membidangi RBM, dan 2 eselon 4 kepala seksi pengelolaan TNGC. Dalam
penelitiannya ini diperoleh hasil bahwa untuk efektivitas, jumlah wilayah kerja
hendaknya dikurangi dari 11 wilayah kerja menjadi 5 wilayah kerja.
Feick dan Hall (2002) juga telah menggunakan AHP untuk pemilihan
lokasi. Feick dan Hall (2002) mengintegrasikan SIG partisipatif dan analisis
multikriteria untuk memilih lokasi hotel di Grand Cayman, Kepulauan Karibia
dengan meminimalkan potensi konflik. Dalam penelitiannya itu, Feick dan Hall
(2002) melakukan dua tahapan utama, yaitu pemilihan lokasi potensial dan
mengevaluasi lokasi potensial. Pemilihan lokasi potensial dilakukan dengan
fungsi-fungsi SIG dasar seperti pemilihan berdasarkan data atribut dan teknik
tumpangsusun, sedangkan evaluasi lokasi dilakukan dengan analisis multikriteria.
Analisis multikriteria digunakan untuk memeringkatkan prioritas kriteria secara
relatif terhadap kriteria yang lain menurut pendapat masing-masing pemangku
kepentingan.
Lebih spesifik dari penelitian Feick dan Hall (2002), Zarkesh (2005)
menggunakan AHP spasial untuk memilih lokasi dam pengendali banjir di Iran.
Dalam penelitiannya ini, pemilihan lokasi dilakukan dalam 3 tahap, mulai dari
pemilihan zona potensial pada skala kecil, evaluasi kesesuaian lahan pada skala
menengah, hingga mengevaluasi kesesuaian lokasi dan tipe desain pada skala
besar. Kesemua tahapan pemilihan tersebut dilakukan dengan AHP spasial.
Hidayat (2013), Hapsari (2013), dan Feick dan Hall (2002) telah
menerapkan analisis multikriteria dengan AHP untuk kepentingan mereka
masing-masing. Hidayat (2013) menggunakan AHP untuk memilih rute terbaik,
Hapsari (2013) menggunakan AHP untuk mengevaluasi dan meningkatkan
efisiensi pengelolaan taman nasional, dan Feick dan Hall (2002) menggunakan
AHP untuk memilih lokasi terbaik untuk pembangunan dam. Dalam penelitian ini,
peneliti akan menggunakan AHP untuk memilih lokasi kawasan konservasi
mangrove yang paling memenuhi prioritas setiap pemangku kepentingan, namun
tetap sesuai secara fisik. Tabel 1.2 menyajikan penelitian-penelitian sebelumnya
yang dibahas pada Subbab1.6, dilengkapi rincian tujuan, metode, dan hasil yang
diperoleh.
Dari uraian pada Subbab 1.6 ini, peneliti telah menunjukkan bahwa
penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Pebedaan ini terletak pada (i) parameter yang digunakan (penelitian ini akan
memperhitungkan pula aspek kepemilikan lahan, kebergantungan terhadap lahan,
dan kekuatan gelombang); (ii) metode analisis yang digunakan
(diperhitungkannya pendapat pemangku kepentingan dalam bentuk pembobotan
kriteria melalui analisis multikriteria dengan AHP spasial), dan (iii) kriteria lokasi
prioritas untuk kawasan konservasi mangrove (lokasi kawasan konservasi
mangrove pada penelitian ini yaitu lokasi yang paling memenuhi kriteria para
pemangku kepentingan, dengan mempertimbangkan aspek fisik, sosial, ekonomi,
dan ancaman).
Tabel 1.2. Penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan tema mangrove,SIG partisipatif, dan analisis multikriteria
No. Judul Peneliti Tujuan Metode Hasil
1. Damage Nirwansyah, 1. Menghasilkan peta banjir Pengumpulan data: Hasil:
Exposure 2012 pesisir berdasarkan 1. Interpretasi citra (perolehan 1. Peta model banjir pasang dan kenaikan muka air laut di
Estimation due to ketinggian air pasang dan data penggunaan lahan Kota Pekalongan.
Coastal Flood skenario IPCC, dengan 2. Wawancara 2. Informasi kerentanan lahan dari hasil kegiatan SIG
and Sea Level kombinasi 3. Studi literatur (PDRB dan partisipatif.
Rise in informasi/partisipasi NJOP) 3. Angka estimasi kerugian banjir pasang dan kenaikan
Pekalongan masyarakat. Analisis data: muka air laut di Kota Pekalongan pada tahun 2012,
Municipal Using 2. Menggunakan informasi 4. Pemodelan banjir pesisir 2030, dan 2050.
Participatory lokal dan kemungkinan dengan DEM pada ArcGIS, Kesimpulan:
GISMethod to pengimplementasian SIG disertai validasi model 1. Peta model banjir pesisir dapat dibuat dengan
Support Spatial partisipatifuntuk melalui SIG partisipatif menggunakan DEM (metode krigging). Sebagai peta
Planning identifikasi elemen yang 5. Analisis dengan tool-tool tentatif, partisipasi masyarakat berperan untuk validasi
berisiko terhadap banjir dasar dalam SIG, untuk model tersebut.
pesisir. perhitungan kerugian banjir 2. SIG partisipatifberkolaborasi dengan metode SIG
3. Mengestimasi kerugian pasang dan kenaikan muka konvensional dapat memprediksi proyeksi kerugian
banjir pesisir dengan air laut, berdasarkan PDRB akibat banjir pesisir dan kenaikan muka air laut di masa
meggunakan peta banjir dan NJOP mendatang. SIG partisipatif berperan dalam validasi
pesisir berdasarkan model, sehingga diperoleh prediksi kerugian yang lebih
ketinggian air pasang, realistis.
skenario kenaikan muka 3. Kerugian akibat banjir pasang dan kenaikan muka air
air laut IPCC, dan harga laut di Kota Pekalongan akan meningkat bersamaan
lahan dengan dengan meningkatnya tinggi muka air laut. Diperkirakan
memperhitungkan PDRB, kerugian akan mencapai 1,04 triliun (skenario terendah).
discount rate, dan laju
inflasi.

2. Analisis Hidayat, 2013 1. Menganalisis beberapa 1. Perumusan alternatifjalur, 1. Jalur yang direncanakan yaitu jalur A (melewati Stasiun
Pengembangan alternatif pengembangan dilakukan oleh peneliti Kedundang), jalurB (melewati Stasiun Wates),jalur C
Jalur Kereta jalur kereta menuju berdasarkan peta dan data (melewati Stasiun Kalimenur), jalur D (melewati Kota
Menuju Rencana bandara baru di pendukung lainnya Bantul).
Bandara Baru di Kabupaten Kulonprogo. 2. Pembobotan parameter 2. Pembobotan kriteria cagar alam budaya (14,12%),
Kulonprogo 2. Mengkaji alternatif jalur untuk setiap jalur, pengembangan kawasan (13,44%), manfaat ekonomi
Yogyakarta kereta api terbaik menuju dilakukan dengan (10,9%), konflik sosial (10,66%), kesesuaian RTRW
bandara ditinjau dari menggunakan kuesioner dan (10,56%), finansial (7,13%), fisik (6,99%), dampak lalu
aspek teknis, ekonomi, wawancara, kemudian lintas (6,56%), kebutuhan dana (5,895), kemudahan
lingkungan, dan tata ruang diolah dengan AHP pelaksanaan (4,875), desain jalur (4,51%), dan terakhir
Lanjutan Tabel 1.2
dengan melakukan kondisi geologi dan topografi (4,29%).
pembobotan nilai 3. Rincian responden: 3. Dari segi teknis, operasional, dan lingkungan; rute yang
menggunakan teknik 8 responden regulator, 4 terbaik adalah rute A.
AHP. operator, 55 pengguna 4. Rekomendasi jalur jangka pendek Rute A, dan jangka
transportasi. panjang Rute D.

3. Penataan Ulang Hapsari, 2013 1. Mengetahui aspek-aspek 1. Pembobotan parameter, 3. Analisis multikriteria dapat digunakan sebagai metode
Wilayah Kerja penting yang perlu dilakukan dengan untuk penataan wilayah kerja di TNGC yang mampu
Resort dipertimbangkan dalam menggunakan kuesioner dan mengakomodasi berbagai aspek penting, yaitu aspek
Menggunakan menyusun rancangan wawancara, kemudian fisik, ancaman, ekologi, ekonomi, dan sosial budaya
Spatial penataan wilayah kerja di diolah dengan AHP. masyarakat sekitar kawasan.
Multicriteria Taman Nasional Gunung 2. Rincian responden: 4 4. Kriteria ancaman dan fisik mempunyai pengaruh yang
Analysis (Studi Ciremai (TNGC). dosen, 3 praktisi dari eselon besar dalam penentuan jumlah dan luasan wilayah kerja
Kasus di Taman 2. Mengevaluasi pembagian 2 dan 3 kementrian di TNGC.
Nasioanl Gunung wilayah kerja resort di kehutanan, dan 2 eselon 4 5. Tingkat kesesuaian wilayah kerja di TNGC sangat
Ciremai) TNGC menggunakan kepala seksi pengelolaan rendah .
metode analisis TNGC 6. Alternatif wilayah kerja terpilih membagi kawasan
multikriteria keruangan. Analisis Data: TNGC menjadi 5 wilayah dengan luas yang bervariasi
1. AHP spasial yang dipengaruhi oleh tingkat intensitas pengolahan
2. Teknik tumpangsusun SDA.

4. Model Fauzi, 1997 1. Mengkaji kemampuan Pengumpulan data: 1. Keadaan biofisik yang dapat disadap Foto udara
Peruntukan foto udara untuk 1. Interpretasi citra pankromatik hitam putih skala 1:20000: bentuklahan,
Kawasan perolehan data biofisik penginderaan jauh penggunaan lahan, agihan mangrove. Kemiringan
Mangrove dengan pantai. 2. Survei lapangan lereng, batas daerah banjir oleh air pasang laut , batas
Citra 2. Membuat model Analisis data : daerah banjir oleh air hujan. Lapangan: salinitas, suhu,
Penginderaan peruntukan kawasan 1. Pembandingan antara pH. Laboratorium: tekstur tanah, pH tanah, kandungan
Jauh di Indragiri mangrove berdasarkan kondisi fisik lahan dengan bahan organik.
Hilir Riau data dari foto udara dan persyaratan tumbuh 2. Lahan yang cocok untuk kawasan lindung adalah unit
data lapangan. mangrove lahan rataan pasang surut, dataran aluvial pantai.
3. Formasi mangrove terdepan untuk kawasan lindung
pantai/sempadan sungai, tengah untuk tambak
perikanan, belakang untuk permukiman.

5. Strategi Yuniastuti, 1. Memetakan kondisi Pengumpulan data: 1. Luas hutan mangrove di zona kepesisiran Demak seluas
Pengelolaan 2013 eksisting dan perubahan 1. Interpretasi citra 1979 ha (1994), 1.077 ha (2002), 1.159 ha (2010).
Ekosistem kawasan mangrove penginderaan jauh 2. Persyaratan tumbuh dan berkembangnya ekosistem
Mangrove menggunakan citra multitemporal mangrove di zona kepesisiran Demak yaitu (i)
Menggunakan multitemporal di zona 2. Survei lapangan, dengan bentuklahan asal proses marin, (ii) curah hujan 1.000
Lanjutan Tabel 1.2
Citra kepesisiran Demak. metode sampling purposive 3.000 mm/tahun, (iii) rata-rata salinitas <= 33 , (iv)
Multitemporal di 2. Mendeskripsikan random sampling suhu perairan 25 33,3 oC, (v) substrat tanah
Zona Kepesisiran persyaratan tumbuh dan (karakteristik fisik lahan) didominasi debu (silt) dan lempung (clay), (vi) tekstur
Demak berkembangnya ekosistem dan simple random tanah yang mendominasi lempung berdebu, (vii) julat
mangrove di zona sampling (karakteristik pasang surut < 2 m termasuk mikropasut, (viii)tinggi
kepesisiran Demak yang masyarakat) genangan < 2m, (ix) penggunaan lahan yang sesuai
dijadikan prioritas dalam 3. Analisis data sekunder adalah tambak tambak ikan dan tambak garam.
penanganannya. 4. Observasi lapangan 3. Daerah prioritas program rehabilitasi mangrove di zona
3. Menentukan daerah yang 5. Wawancara kepesisiran Demak yaitu di (i) Kecamatan Wedung
perlu menjadi prioritas Analisis data: (pada sempadan pantai yang belum ditanami mangrove),
utama dalam rehabillitasi 6. Satuan lahan: bentuklahan (ii) Kecamatan Bonang dan Sayung (di daerah dengan
ekosistem mangrove di dan penggunaan lahan jarak 100 200 m serta> 200 m dari garis pantai dan
zona kepesisiran Demak. 7. Analisis buffer, merupakan daerah potensial yang termasuk kelas kurang
4. Menentukan strategi pengharkatan, dan potensial, (iii) Kecamatan Karangtengah (pada daerah >
pengelolaan ekosistem tumpangsusun. 200 m dari garis pantai dan belum ditumbuhi mangrove,
mangrove di zona pada 0 100 m dan sudah ditumbuhi mangrove, serta di
kepesisiran Demak. daerah potensial dengan kelas tidak potensial).
4. Strategi pengelolaan ekosistem mangrove di zona
kepesisiran Demak: (i) menentukan prioritas penanaman
mangrove yang disesuaikan dengan persyaratan tumbuh
mangrove dan tipologi zona kepesisiran Demak, (ii)
menanam mangrove di sepanjang zona greenbelt untuk
mengurangi terjadinya erosi pantai dan melindungi
pesisir dari ancaman kerusakan ekosistem pesisir
lainnya, (iii) memanfaatkan dan mengelola ekosistem
mangrove berbasis masyarakat .

6. Perencanaan Faturrohmah, 1. Mengidentifikasi Pengumpulan data: 1. Luas hutan mangrove di wilayah kepesisiran Demak
Pemanfaatan 2014 keterdapatan hutan - Survei lapangan seluas 1979 ha (1994), 1.077 ha (2002), 1.405 ha (2010).
Ruang Berbasis mangrove di wilayah - Uji laboratorium 2. Pada wilayah kepesisiran Demak, seluas 1.163 ha
Konservasi kepesisiran Kabupaten Analisis data: (83,29%) hutan mangrove dalam kategori rusak, 177 ha
Mangrove di Demak. - Pengolahan citra satelit (12,68%) rusak berat, dan 56 ha (4,04%) tidak rusak.
Wilayah 2. Menyusun rencana (ALOS 2010, Landsat TM 3. Arahan konservasi mangrove di wilayah kepesisiran
Kepesisiran konservasi hutan 1994 dan Landsat ETM Demak meliputi kawasan konservasi mangrove prioritas
Kabupaten mangrove di wilayah 2002) I seluas 3.058 ha pada wilayah sempadan pantai dan
Demak kepesisiran Kabupaten - Interpretasi visual citra sempadan sungai; prioritas II seluas 1.531,7 ha di
Demak. penginderaan jauh sebagaian besar wilayah Kecamatan Wedung dan sekitar
3. Mendeskripsikan - Transformasi NDVI sempadan sungai; serta prioritas III seluas 9.782,5 ha
kesesuaian lahan wilayah (kerapatan tanjuk) yang tersebar di seluruh wilayah penelitian.
Lanjutan Tabel 1.2
kepesisiran Kabupaten - Pengharkatan parameter, 4. Arahan rencana pemanfaatan ruang berbasis konservasi
Demak pada berbagai untuk pengkajian mangrove di wilayah kepesisiran Demak mencakup
peruntukan sektor (i) kekritisan mangrove, (i) kawasan konservasi mangrove prioritas I seluas 3.177
kegiatan. (ii) lahan potensial ha;(ii) kawasan konservasi mangrove prioritas II seluas
4. Menyusun rencana mangrove, (iii) arahan 166,2 ha; (iii) kawasan konservasi mangrove prioritas III
pemanfaatan ruang lokasi kawasan konservasi seluas 351,7 ha;(iv) lahan silvofishery (kawasan
berbasis konservasi mangrove, dan (iv) konservasi mangrove prioritas III dan tambak) seluas
mangrove di wilayah kesesuaian lahan untuk 9.444 ha; (v) lahan silvofishery (kawasan konservasi
kepesisiran Kabupaten berbagai peruntukan: mangrove prioritas II dan tambak) seluas 1.211 ha;
Demak. - Teknik analisis buffer , (vi) lahan silvofishery (kawasan konservasi mangrove
untuk pemodelan sempadan prioritas III dan tambak) seluas 9.444 ha; (vii) lahan
pantai (100 meter dari garis pertanian seluas 19.400 ha; (viii) lahan permukiman
pantai) dan sungai (50 m ke seluas 1.590 ha; dan (ix) lahan tambak seluas 40,28 ha.
kanan-kiri garis pasang Peta Hasil Analisis
tertinggi air sungai). 1. Peta perubahan tutupan lahan mangrove tahun 1994,
- Parameter yang 2002, dan 2010*.
diperhitungkan untuk 2. Peta kekritisan mangrove*.
mengkaji kesesuaian lahan 3. Peta kesesuaian lahan potensial mangrove (kategori:
untuk mangrove: sangat potensial, potensial, kurang potensial, dan tidak
bentuklahan, kemiringan potensial)
lereng, tekstur tanah, pasang 4. Peta sempadan pantai dan sungai*.
surut, genangan, salinitas, 5. Peta arahan spasial dan skala prioritas konservasi
penutup/penggunaan lahan. mangrove wilayah kepesisiran Kabupaten Demak
- Pengkajian kekritisan (kategori: prioritas I, II, III, di luar kawasan prioritas)*
mangrove menggunakan 6. Peta kesesuaian lahan untuk berbagai sektor di wilayah
parameter penggunaan kepesisiran Kabupaten Demak, terdiri atas kesesuaian
lahan, kerapatan tajuk lahan untuk (i) pelabuhan, (ii) tambak, (iii) industri,
mangrove, ketahanan tanah (iv) permukiman, (v) pariwisata.
terhadap erosi pantai. 7. Peta alternatif pemanfaatan ruang berbasis konservasi
mangrove wilayah kepesisiran Kabupaten Demak*.
8. Peta rencana pemanfaatan ruang berbasis konservasi
mangrove wilayah kepesisiran Kabupaten Demak*.
* Peta dibuat dalam 2 skala, yaitu skala 1:100.000
yangmencakupseluruh wilayah kepesisiran Demak dan
skala 1:50.000. Peta skala 1:50.000 terdiri atas 3 area,
setiap area dilayout dalam 1 lembar peta tersendiri). Area I
Wedung, area II Bonang dan Karangtengah, dan area III
Sayung.

Anda mungkin juga menyukai