Anda di halaman 1dari 20

Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Saraf Referat

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

PERIODIK PARALISIS

Oleh
Revyta Salsabila Rachmadi

Pembimbing
dr. Yetty, O. H, Sp. S

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan
rahmat, anugrah, dan karunianya sehingga kami bisa menyelesaikan referat ini dengang baik
dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.
Yetty, O. H, Sp. S selaku pembimbing di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Abdoel Wahab
Sjahranie Samarinda.

Kami menyadari bahwa penulisan referat kami masih kurang sempurna. Untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar
kedepannya saya dapat memperbaiki dan menyempurnakan tulisan kami.

Kami Berharap agar referat yang saya tulis ini berguna bagi semua orang dan dapat
digunakan sebaik-baiknya sebagai sumber informasi. Atas perhatiannya kami ucapkan
terimakasih.

Samarinda, Mei 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
1.3. Tujuan .................................................................................................. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3

2.1. Definisi ................................................................................................. 3


2.2. Epidemiologi ........................................................................................ 3
2.3. Faktor Resiko ...................................................................................... 3
2.4. Patofisiologi ........................................................................................ 3
2.5. Klasifikasi ............................................................................................ 5
2.6. Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 8
2.7. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 9
2.8. Diagnosis Banding . 10

2.9 Penatalaksanaan.. 11

2.10 Prognosis 13

BAB 3 PENUTUP .......................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Periodik Paralisis (PP) adalah suatu sindrom klinis dengan kelemahan / paralisis otot akut. Penyakit yang
berat dapat dimulai pada masa anak-anak, sedangkan kasus yang ringan seringkali mulai pada dekade ketiga.
Penyakit ini sebagian besar bersifat herediter dan diturunkan secara autosomal dominan. Mekanisme yang
mendasari penyakit ini adalah malfungsi pada ion channel pada membran otot skelet / channelopathy.
Karakteristik umum dari PP primer meliputi: (1) genetic, (2) sebagian besar dikaitkan
dengan perubahan kadar kalium serum; (3) kadang-kadang miotonia dapat timbul bersamaan,
dan (4) myotonia dan PP akibat dari defek saluran ion.
Prevalensi 1 per 100.000 populasi. PP tirotoksik paling sering terjadi pada pria (85%)
keturunan Asia dengan frekuensi sekitar 2%. Angka kejadian hipokalema periodic paralisis
adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih
berat. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 120 tahun, frekuensi serangan
terbanyak di usia 1535 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.
Hal ini sering terjadi seiring dengan peningkatan konsumsi karbohidrat dikalangan
masyarakat, frekuensi aktivitas berat yang meningkat, penggunaan obat-obatan yang sering,
serta hal-hal lain yang merupakan factor resiko terjadinya periodic paralisis. PP juga sering
diabaikan oleh penderitanya karena bila diluar serangan, penderita bisa beraktivitas seperti
biasa tanpa adanya kelemahan.
Prognosis dari PP ini belum diketahui namun dapat menimbulkan kematian akibat adanya
aspirasi pneumonia dan kegagalan membersihkan sekresi. Oleh karena itu, penulis akan
membahas mengenai periodic paralisis lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi, klasifikasi, epidemiologi, dan factor resiko periodic paralisis?
2. Bagaimanakah gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis
banding , penatalaksanaan, prognosis periodic paralisis?

1.3 Tujuan
1. Mampu menjelaskan definisi, klasifikasi, epidemiologi, dan factor resiko periodic

1
2. Mampu menjelaskan patofisiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
diagnosis banding , penatalaksanaan, prognosis periodic paralisis

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kelompok penyakit otot yang dikenal dengan periodik paralisis (PP) cirinya adalah
episode kelemahan flaksid otot yang terjadi pada interval yang tidak teratur. Umumnya
diturunkan dan lebih episode daripada periode. Penyakit ini dapat dibagi dengan baik dalam
kelainan primer dan sekunder (Dexzal, 2010)

2.2 Epidemiologi
Frekuensi kelumpuhan periodik hiperkalemia, paramyotonia congenital (PC), dan
miotonia yang diperparah dengan kalium (PAM) tidak diketahui. Kelumpuhan periodik
hipotalamus memiliki prevalensi 1 kasus per 100.000 penduduk (Naganand Sripathi, 2017)
PP tirotoksik paling sering terjadi pada pria (85%) keturunan Asia dengan frekuensi
sekitar 2%. Angka kejadian hipokalema periodic paralisis adalah sekitar 1 diantara 100.000
orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan
pertama bervariasi dari 120 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 1535 tahun dan
kemudian menurun dengan peningkatan usia (Anik Widjajanti, 2005)

2.3 Faktor Resiko


a. Riwayat kelemahan otot:
Riwayat kelumpuhan singkat episodik satu, dua, atau keempat tungkai, tanpa
kehilangan kesadaran atau disfungsi sfingter adalah penunjuk kuat ke arah diagnosis
periodic paralisis. Kelemahan mungkin mulai proksimal dan kemudian menyebar
secara distal. Mungkin riwayat kelumpuhan lokal dalam satu anggota badan atau
dua, tapi kemudian anggota badan lainnya terlibat. Kelumpuhan bisa berlangsung
selama 1 sampai 24 jam atau beberapa hari dan bisa terjadi dengan variasi frekuensi
mulai dari harian hingga tahunan. Namun, dalam beberapa kasus, presentasi
mungkin dengan kelemahan otot progresif dan permanen bahkan tanpa riwayat masa
lalu kelumpuhan otot berulang pada usia muda. Dalam kasus yang jarang terjadi,
dengan penyakit parah, pernafasan otot dan otot yang dipasok oleh saraf kranial
mungkin terlibat. Kematian bisa terjadi di kasus ini jika tidak dikenali dan diobati
secara tepat (Arya, 2002)

3
b. Umur:
Usia onset di awal masa kanak - kanak pada periodik paralisis primer hyperkalemik
dan paramyotonia congenital. Usia onset segera setelah pubertas tapi lebih awal dari
25-30 tahun menunjukkan periodik paralisis hipokalemia primer. Onset setelah usia
25 tahun hampir selalu menunjuk ke paralisis periodik sekunder (Arya, 2002)
c. Riwayat keluarga:
Biasanya ada hubungan yang kuat dengan riwayat keluarga dalam periodik paralisis
primer, meski 33% kasus hipokalemia primer. Periodik paralisis mungkin bersifat
sporadis (Arya, 2002)
d. Waktu:
Kelumpuhan periodik terjadi biasanya pada bangun dari tidur atau istirahat setelah
berolahraga. Ini membedakannya dari myasthenia gravis (Arya, 2002)
e. Intensitas:
Banyak pasien memiliki riwayat dua jenis serangan - ringan dan
parah. Selama serangan ringan, ada perasaan keletihan dan kelelahan otot yang
biasanya hilang dalam satu jam (Arya, 2002)
f. Riwayat pemberian obat tertentu:
Pasien harus ditanyai tentang riwayat mengonsumsi diuretik, ACE-inhibitor,
Angiotensin-receptor-blocker, carbenoxolone-Natrium, gentamisin, karbenisilin, dll
(Arya, 2002)

2.4 Patofisiologi
Dasar fisiologis kelemahan otot flaksid adalah tidak adanya eksitabilitas membran
otot. Perubahan kadar kalium serum bukan defek utama pada PP primer; perubahan
metabolisme kalium adalah akibat PP. Pada primer dan tirotoksikosis PP, paralisis flaksid
terjadi dengan relatif sedikit perubahan dalam kadar kalium serum, sementara pada PP
sekunder, ditandai kadar kalium serum tidak normal. Tidak ada mekanisme tunggal yang
bertanggung jawab untuk kelainan pada kelompok penyakit ini. Mekanisme itu heterogen
tetapi punya bagian yang commontraits. Kelemahan biasanya secara umum tetapi bisa lokal.
Otot-otot kranial dan pernapasan biasanya tidak terkena. Reflek regang tidak ada atau
berkurang selama serangan. Serat otot secara elektrik tidak ada hantaran selama serangan.
Kekuatan otot normal diantara serangan tetapi, setelah beberapa tahun, tingkat kelemahan
yang menetap semakin berkembang pada beberapa tipe PP (khususnya PP primer).
Semua bentuk PP primer kecuali Becker myotonia kongenital (MC) juga terkait autosomal

4
dominan atau sporadik (paling sering muncul dari point mutation). Ion channel yang sensitif
tegangan secara tertutup meregulasi pergantian potensial aksi (perubahan singkat dan
reversibel tegangan mebran sel). Disana terdapat permeabilitas ion channel yang selektif dan
bervariasi. Energi tergantung voltase ion channel terutama gradien konsentrasi. Selama
berlangsungnya potensial aksi ion natrium bergerak melintasi membran melalui voltage-gated
ion channel. Masa istirahat membran serat otot depolarisasi terutama oleh pergerakan klorida
melalui channel klorida dan dipolarisasi kembali oleh gerakan kalium.natrium,klorida dan
kalsium channelopati sebagai sebuah grup, dihubungkan dengan myotoniadan PP. Subunit
fungsional channel natrium, kalsium dan kalium adalah homolog. Natrium channelopati lebih
dipahami daripada kalsium atau klorida channelopati (Naganand Sripathi, 2017)

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi periodik paralisis yang bermanfaat secara klinis ditunjukkan pada Tabel 1,
mencakup bentuk hipokalemik, hiperkalemik, normokalemik dan paramyotonik:
Hiperkalemik periodik paralisis
Onset pada umur kurang dari 10 tahun. Pasien biasanya menjekaskan
suaturasa berat dan kekakuan pada otot. Kelemahan dimulai pada paha dan betis, yang
kemudian menyebar ke tangan dan leher. Predominan kelemahan proksimal; otot-otot
distal mungkin bisa terlibat setelah latihan-latihan yang melelahkan (Naganand
Sripathi, 2017)
Pada anak, suatu lid lag myotonik (kelambatan kelopak mata atas
saatmenurunkan pandangan) bisa menjadi gejala awal. Paralisis komplet jarang dan
masih ada sedikit sisa gerakan. Keterlibatan otot pernapasan jarang. Serangan terakhir
kurang dari 2 jam dan pada sebagian besar kasus,kurang dari 1 jam. Sfingter tidak
terlibat. Disfungsi pencernaan dan saluran kemih disebabkan oleh kelemahan otot
abdomen (Naganand Sripathi, 2017)
Kelemahan terjadi selama istirahat setelah suatu latihan berat atau
selama puasa. Hal ini juga bisa dicetuskan oleh kalium, dingin, etanol, karbohidrat,
atau stres. Penyakit ini bisa disembuhkan dengan latihan ringan atau intak
ekarbohidrat. Pasien juga mungkin melaporkan nyeri otot dan parestesia. Diantara
serangan, klinikal dan alektrikal myotonia datang pada sebagian besar pasien.
Beberapa pasien tidak mempunyai myotonia. Kelemahan interiktal, jika ada, tidak
seberat hipokalemik PP (Naganand Sripathi, 2017)

5
Hipokalemik periodik paralisis
Merupakan kelainan yang ditandai dengan kadar kalium yang rendah (luring dari 3,5 mmol/L)
pada saat serangan, disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal.
Hypokalemia dapat terjadi karena adanya factor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar
karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi,
konsumsi alcohol, dan lain-lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak
penderita. Karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan akan
terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstraselular masuk ke dalam sel, sehingga pada pemeriksaan
kalium darah terjadi hypokalemia. Kadar kalium biasanya dalam batas normal diluar serangan.
Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga tidak ada korelasi antara besarnya penurunan kadar
kalium serum dengan beratnya paralisis otot skeletal. Penderita dapat mengalami serangan hanya
sekali, tetapi dapatjuga serangan berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga
bervariasi (Anik Widjajanti, 2005)
Kasus yang berat muncul pada awal masa kanak-kanak dan kasus yang ringan mungkin
muncul selambat-lambatnya dekade ketiga. Sebagian besar kasus muncul sebelum
umur 16 tahun. Kelemahan bisa bertingkat mulai dari kelemahan sepintas pada
sekelompok otot yang terisolasi sampai kelemahan umum yang berat. Serangan berat
dimulai pada pagi hari, sering dengan latihan yang berat atau makan tinggi
karbohidrat padahari sebelumnya. Pasien bangun dengan kelemahan simetris berat,
sering dengan keterlibatan batang tubuh. Serangan ringan bisa sering dan hanya
melibatkan suatu kelompok otot penting, dan bisa unilateral, parsial, atau monomelic.
Hal ini bisa mempengaruhi kaki secara predominan; kadang-kadang, otot ektensor
dipengaruhi lebih dari fleksor. Durasi bervariasi dari beberapa jam sampai hampir 8
hari tetapi jarang lebih dari 72 jam. Serangannya intermiten dan infrekuen pada
awalnya tetapi bisa meningkatfrekuensinya sampai serangan terjadi hampir setiap
hari. Frekuensi mulai berkurang saat usia 30 tahun dan jarang terjadi setelah umur 50
tahun (Anik Widjajanti, 2005)
Normokalemik periodik paralisis
Periodik paralisis normokalemik (NormoKPP) adalah kelainan otot bawaan
yang ditandai dengan serangan episodik kelemahan otot. Hal ini pada awalnya
dianggap sebagai kondisi yang berbeda, namun kebanyakan dokter sekarang
menganggapnya sebagai varian dari periodik paralisis hyperkalemic. Pasien dengan
periodic paralisis hyperkalemic mengalami peningkatan kadar kalium selama

6
serangan; pasien dengan bentuk normokalemik tidak mengalami perubahan kadar
kalium saat mengalami kelemahan, namun sebagian besar tumbuh lemah saat diberi
potassium (NIH, 2012).
Kondisi ini menyebabkan terjadinya episode kelemahan otot ekstrem yang
biasanya dimulai pada masa bayi atau masa kanak-kanak. Episode ini sering
melibatkan ketidakmampuan sementara untuk menggerakkan otot lengan dan kaki.
Faktor-faktor yang mungkin dapat memicu serangan adalah istirahat setelah
berolahraga, menelan makanan atau minuman tinggi kalium, kelelahan, puasa, dan /
atau terpapar suhu dingin. Kekuatan otot umumnya membaik di antara serangan,
meski banyak orang yang terus mengalami kekakuan ringan (myotonia) pada
beberapa otot (NIH, 2012).

Potassium-aggravated myotonia
Kelainan terkait autosom dominan ini dibagi dalam 3 kategori, myotonia
flunctuan, myotnia permanen, azetazolamide-responsive MC. Kelemahan jarang pada
kelainan ini. Tetapi nyeri otot episodik kekakuan disebabkan myotonia muncul pada
myotonia flunctuan dan acetazolamide-responsive MC, ketika kelainan itu berlanjut
pada myotonia permanen. Serangan dimulai pada istirahat segera setelah latihan pada
myotonia tetapi lebih sering dengan latihan pada asetazolamid-responsive MC
(Naganand Sripathi, 2017)

Paramyotonia kongenital
Pada kelainan terkait autosomal dominan ini, myotonia diperburuk dengan
aktivitas (paradoxical myotonia) atau temperatur dingin. Gejala-gejala paling
diperberat pada wajah. Kelemahan episodik juga bisa berkembang setelah latihan atau
temperatur dingin dan biasanya berlangsung hanya beberapa menit, tetapi bisa
berlangsung sepanjang hari. Pemasukan kalium biasanya memperburuk gejala, tetapi
pada beberapa kasus,menurunkan kadar kalium serum mencetuskan serangan (Naganand
Sripathi, 2017)

Tirotoksikosis periodik paralisis


Ini adalah hipokalemik PP yang paling banyak. Ini paling banyak terjadi pada
dewasa umur 20-40 tahun. Hiperinsulinemia, pemasukan karbohidrat, dan latihan

7
penting dalam mencetuskan serangan paralitik. Kelemahannya proksimal dan jika
berat otot pernapasan dan mata ikut terlibat. Serangan dalam jam sampai hari.
Prevalensi tirotoksikosis periodik paralisis (TPP) pada pasien dengan tirotoksikosis
diperkirakan 0,1-0,2 % pada Kaukasian dan 13-14 % pada Chinese. 95 % kasus TPP
adalah sporadik. Karena TPP lebih sering pada orang Asia, diduga kuat
predisposisinya adalah genetic (Naganand Sripathi, 2017)

8
2.6 Pemeriksaan Fisik
Banyak pasien dengan mempunyai kesamaan gambaran klinik, sebagaimana berikut:
eyelid myotonia, sensasi normal pada beberapa kasus, kelemahan menetap bagian proksimal,
khususnya dengan hipokalemik PP , dan berkurangnya reflek regang selama serangan
(Dexzal, 2010)

9
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Hipokalemik periodik paralisis
Penurunan kadar serum, tetapi tidak selalu dibawah normal, selama serangan.
Pasien punya riwayat retensi urin dengan penigkatan kadar sodium, kalium dan
klorida urin. Penurunan kadar fosfor serum secara bertahap juga terjadi.
Kadar fosfokinase (CPK) meningakat selama serangan. ECG bisa menunnjukkan
sinus bradikardi dan bukti hipokalemi (gelombang T datar, gelombang U di lead II, V2,V3
dan V4 dan depresi segment ST) (Naganand Sripathi, 2017)
Hiperkalemik periodik paralisis
Kadar kalium serum bisa meningkat setinggi 5-6 mEq /L. Kadang bisa
diatas batas normal, dan jarang mencapai kadar yang kardiotoksik. Kadar natrium
serum bisa turun karena kenaikan kadar kalium. Hal ini bisa terjadi karena masuknya
ionnatrium kedalam otot. Cairan juga bergerak pada arah ini, menyebabkan
hemokonsentrasi dan selanjutnya hiperkalemi. Hiperregulasi bisa terjadi pada akhir
serangan,disebabkan hipokalemi. Diuresis air kreatinuria, dan peningkatan kadar CPK
juga bisaterjadi pada akhir serangan. EKG bisa menunjukkan gelombang T tinggi (Naganand
Sripathi, 2017)

Pemeriksaan penunjang lainnya:


Elektrodiagnosis :
a. Pemeriksaan konduksi saraf :
Amplitudo compound muscle action potential (CMAP) menurun
selama serangan paralitik, lebih menurun lagi pada kelumpuhan
periodik hipokalemia. Temuan penelitian konduksi saraf sensorik
normal pada kebanyakan pasien dengan periodik paralisis. Temuan
konduksi saraf mungkin tidak normal saat pasien memiliki neuropati
perifer yang terkait dengan tirotoksikosis (Naganand Sripathi, 2017)
b. Pendinginan otot
Pendinginan otot sampai 20 C menyebabkan pengurangan tekanan
dan relaksasi berkedut berkepanjangan pada PC dan lesi periodik
hyperkalemic. Kelumpuhan otot berkepanjangan dan gigih bahkan
setelah rewarming (Naganand Sripathi, 2017)

10
Depolarisasi otot pada suhu yang berbeda pada pasien yang
berbeda, suhu otot 20-25C lebih baik. Hal ini paling baik dicapai
dengan merendam seluruh lengan di air es. Hal tersebut yang
menyebabkan kelemahan pada banyak pasien (Naganand Sripathi,
2017)
Latihan singkat (durasi 2-3 detik) meningkatkan kelemahan dan
menghasilkan CMAP yang sangat kecil (Naganand Sripathi, 2017)
c. Tes latihan pada periodik paralisis
Ini adalah salah satu tes diagnostik yang paling informatif untuk
periodic paralisis. Tes ini didasarkan pada 2 observasi yang telah
dijelaskan sebelumnya: amplitudo CMAP rendah pada otot yang
dilemahkan oleh periodic paralisis dan kelemahannya dapat diinduksi
dengan olahraga. Perekaman elektroda ditempatkan di atas otot
hipotalamus dan CMAP diperoleh dengan memberi rangsangan
supramaksimal. Rangsangan diulang setiap 30-60 detik untuk jangka
waktu 2-3 menit, sampai amplitudo dasar yang stabil diperoleh. Dua
macam tes latihan bisa dilakukan (Naganand Sripathi, 2017)
d. Pemeriksaan jarum elektrode
Tes provokatif
Tindakan pencegahan umum untuk pengujiannya meliputi (1) kehadiran
dokter selama pengujian, (2) kinerja pengujian dalam lingkungan perawatan intensif,
(3) menghindari pengujian pasien dengan gangguan potasium serum, diabetes
melitus, atau disfungsi ginjal atau jantung, (4) Pemantauan ketat EKG, dan (5)
kemampuan untuk pengujian dan koreksi elektrolit dan glukosa yang cepat
(Naganand Sripathi, 2017)

2.8 Diagnosis Banding

Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

Cauda Equina and Conus Medullaris Syndromes

Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

Emergent Management of Myasthenia Gravis

11
Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome (LEMS)

Multiple Sclerosis

Pediatric Guillain-Barre Syndrome

Spinal Cord Hemorrhage

Spinal Cord Infarction

Spinal Cord, Topographical and Functional Anatomy

Spinal Epidural Abscess

(Naganand Sripathi, 2017)

2.9 Penatalaksanaan
Obat

Carbonic anhydrase (CA) (Naganand Sripathi, 2017)


Carbonic anhydrase (CA) adalah enzim yang ditemukan di banyak jaringan tubuh,
termasuk mata. Ini mengkatalisis reaksi reversibel dimana karbon dioksida menjadi
terhidrasi dan asam karbonat mengalami dehidrasi.
a. Dicholperamide (Keveiys)
Penghambat anhidrase karbonat, namun mekanisme yang tepat dimana
diklorphenamide mampu mengobati periodic paralisis tidak diketahui. Fungsinya
adalah menghambat ekskresi ion H + pada tubulus ginjal, menghasilkan
peningkatan sodium, potasium, bikarbonat, dan ekskresi air dan menghasilkan
diuresis alkali. Hal ini ditunjukkan untuk periodic paralisis hyperkalemik primer,
periodic paralisis hypokalemik primer, dan varian terkait.
b. Asetazolamid (Diamox)
Mekanisme tindakan yang tepat tidak diketahui. Pada PP hipokalemia, dapat
menurunkan aliran masuk kalium ke otot karena asidosis metabolik. Pada PP
hiperkalemia, efek kaliopenic inhibitor CA mungkin bermanfaat. Data terbaru
menunjukkan penghambat anhidrase karbonat mengaktifkan saluran BK otot
rangka (kanal kalium yang dipicu Ca2 +).

12
Pengobatan sering dibutuhkan untuk serangan akut hipokalemik PP tetapi jarang untuk
hiperkalemik PP. Pengobatan profilaksis dibutuhkan ketika serangan semakin sering
(frequent): (Naganand Sripathi, 2017)
Hipokalemik periodik paralisis
Selama serangan, suplemen oral kalsium lebih baik dari suplemen IV. Yang
terakhir diberikan untuk pasien yang mual atau tidak bisa menelan. Garam kalium oral
pada 6 dosis 0,25 mEq/kg seharusnya diberikan setiap 30 menit sampai kelemahan
membaik. Kalium Klorida IV 0,05-0,1 mEq/kgBB dalam manitol 5% bolus adalah
lebih baik sebagai lanjutan infus. Monitoring ECG dan pengukuran kalium serum
berturut dianjurkan. Untuk profilaksis, asetazolamid diberikan pada dosis 125-1500
mg/hari dalam dosis terbagi. Dichlorphenamide 50-150 mg/hari telah menunjukkan
keefektifan yang sama. Potasium-sparing diuretik seperti triamterene (25-100
mg/hari) dan spironolakton (25-100 mg/hari) adalah obat lini kedua untuk digunakan
pasien yang mempunyai kelemahan buruk (worsens weakness) atau mereka yang
tidak respon dengan penghambat karbonik anhidrase. Karena diuretik ini potassium
sparing, suplemen kalium bisa tidak dibutuhkan. Triamterene atau spironolactone dapat
membantu mencegah terjadinya serangan pada penderita yang tidak memberikan
respondengan pemberian acetazolamide. Hipokalemik periodik paralisis biasanya
berespon baik terhadap pengobatan, pengobatan dapat mencegah bahkan sebaliknya
dapat juga menyebabkan kelemahan otot yang progressif. Pada penderita ini tidak
sampai mendapat pengobatan acetazolamide, triamterene atau spironolactone, karena
dengan pemberian kalium per oral dan menghindari konsumsi makanan yang
mengandung MSG sudah dapat mengatasi keadaan hipokalemik periodic paralisisnya
Tirotoksikosis PP
Pengobatan terdiri dari kontrol tirotoksikosis dan agen beta- blocking
Hiperkalemik periodik paralisis
Beruntungnya, serangan biasanya ringan dan jarang meminta pengobatan.
Kelemahanterjadi terutama karena makanan tinggi karbohidrat. Stimulasi beta
adrenergik seperti salbutamol inhaler juga memperbaiki kelemahan (tetapi kontra
indikasi pada pasien aritmia jantung). Monitoring EKG yang berkelanjutan selalu
dibutuhkan selama pengobatan. Diuretik tiazid dan karbonik anhidrase inhibitor
digunakan sebagi profilaksis. Diuretik tiazid mempunyai beberapa efek samping
jangka pendek; obat-obat ini dicoba sebagai terapi lini pertama. Kadang-kadang

13
diuretik tiazid bisa menghasilkan kelemahan hipokalemik paradoksal, yang respon
dengan suplementasi kalium. Telah dilaporkan bahwa orang-orang dengan bentuk
hiperkalemik dapat mencegah serangan dengan makan makanan yang sering kaya
akan karbohidrat dan rendah potasium dan dengan menghindari puasa, aktivitas berat,
dan paparan dingin.
Normokalemik periodik paralisis
Penelitian terbatas yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa penghambat
anhidrase asam karbonat dapat mengurangi frekuensi serangan dan tingkat keparahan
pada kelumpuhan periodik. Namun, belum ada informasi yang memadai mengenai
inhibitor anhidrida asam karbonat (dichlorphenamide atau acetazolamide) yang lebih
efektif atau memiliki sedikit efek samping (NIH, 2012)
Para ahli sepakat bahwa individu yang terkena dampak harus menghindari
pemicu serangan melalui gaya hidup dan modifikasi diet. Gejala individu yang
normokalemik selama serangan bisa diperbaiki dengan berolahraga (NIH, 2012)
Paramyotonia kongenital
Karena kelemahannya tidak biasa (uncommon), pengobatan ditujukan
untuk mengurangi myotonia. Ketika diuretik yang disebut diatas bisa dicoba, obat
tersebut sering tidak efektif. Mexiletine telah ditunjukkan dapat membantu tetapi
kontraindikasi pada pasien dengan blok jantung.
Potasium-associated myotonia
Pengobatan dengan mexiletine atau diuretik tiazid bisa mengurangi keparahan
myotonia.

Diet

Hipokalemik PP
Diet rendah karbohidrat dan rendah natrium bisa menurunkan frekuensi serangan
Hiperkalemik PP
Diet permen yang berisi glukosa atau karbohidrat dengan rendah kalium
bisamemperbaiki kelemahan.
(Naganand Sripathi, 2017)

2.10 Prognosis

Hiperkalemik periodik paralisis dan paramyotonia kongenital

14
1. Ketika tidak dihubungkan dengan kelemahan, kelainan ini biasanya
tidak mengganggu pekerjaan.
2. Myotonia bisa memerlukan pengobatan
3. Harapan hidup tidak diketahui.
(Naganand Sripathi, 2017)
Hipokalemik periodik paralisis
Pasien yang tidak diobati bisa mengalami kelemahan proksimal menetap, yang
bisa mengganggu aktivitas. Beberapa kematian sudah dilaporkan, paling banyak
dihubungkan dengan aspirasi pneumonia atau ketidakmampuan membersihkan sekresi
(Naganand Sripathi, 2017)

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kelompok penyakit otot yang dikenal dengan periodik paralisis (PP) cirinya adalah
episode kelemahan flaksid otot yang terjadi pada interval yang tidak teratur. Umumnya
diturunkan dan lebih episode daripada periode. Klasifikasi periodik paralisis mencakup
bentuk hipokalemik, hiperkalemik, dan paramyotonik yang memiliki gejalanya masing-
masing. Penatalaksanaannya dapat diberikan beberapa obat serta melakukan diet yang benar
dan teratur. Prognosis dari PP belum diketahui namun dapat menimbulkan kematian akibat
aspirasi pneumonia dan kegagalan membersihkan sekresi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anik Widjajanti, S. A. (2005). HIPOKALEMIK PERIODIK PARALISIS. Indonesian


Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.

Arya, S. (2002). Periodic Paralysis. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine .

Dexzal. (2010). Periodik Paralisis.

Naganand Sripathi, M. (2017). Periodic Paralyses. Emedicine Medscape.

NIH, N. I. (2012). Normokalemic periodic paralysis.

17

Anda mungkin juga menyukai