Anda di halaman 1dari 9

PRESENTASI KASUS BEDAH RSUD AJIBARANG

16 November 2015

A. Identitas Pasien
1. Nama : Dwi Umar
2. Alamat : Grengseng
3. Usia : 9 tahun
B. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Onset : Nyeri perut baian bawah 1 hari lalu
2. Kualitas : Seperti ditusuk-tusuk
3. Kuantitas :-
4. Progresifitas : Semakin memburuk
5. Faktor memperberat : Mengejan, bersin
6. Faktor memperingan : -
7. Gejala Penyerta : Mual, muntah dan disertai dengan demam
b. Riwayat Penyakit Keluarga : DM (-) Apendisitis (-) Alergi (-) Dispepsia (-)
c. Riwayat Penyakit Dahulu : TBC (+) DBD (+) Dispepsia (-) riwayat operasi
(-)
d. Riwayat Sosioekonomi : Anak usia sekolah, sukar makan sayur, sering
makan jajanan di pingir sekolah
C. Pemeriksaan Fisik
a. Kadaan Umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda Vital : Suhu (37,60C), RR 23 x/menit, Nadi 96 x/menit, TD 80/40
mmhg
d. Tinggi Badan : 126 cm
e. Berat Badan : 21 kg
f. Kepala : Mesosefal, Deformitas (-)
g. Mata : Konjungtiva anemis (-), Konjungtiva ikterik (-)
h. Telinga : Discharge (-), Sekret (-)
i. Hidung : Discharge (-), Sekret (-)
j. Leher : JVP 5-2 cm H20, Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)
k. Jantung : S1 S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
l. Paru : Vesikuler +/+, Ronki - /-, Wheezing -/-
m. Abdomen
Inspeksi : Datar tegang
Palpasi : Distensi usus (+) Rosving sing (+) Mc Burney sign (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) lemah
n. Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT <2 detik
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
a. HB : 13.8 g/dL
b. Leukosit : 20.56 10^3/ul (H)
c. Hematokrit : 36.8 %
d. Eritrosit : 4.64 10^6/ul
e. Trombosit : 339 10^3/ul
f. MCV : 79.3 fL
g. MCH : 28.0 pg
h. MCHC : 35.3 g/dL
i. Basofil :0%
j. Eosinofil : 0 % (L)
k. Batang : 0.0 % (L)
l. Segmen : 85.7 % (H)
m. Limfosit : 7 % (L)
n. Monosit :7%
Elektrolit
a. Natrium : 137 mmol/L
b. Kalium : 4.0 mmol/L
c. Klorida : 98 mmol/L
GDS : 111 mg/dL
Sero Imunologi
a. HbeAg : Non reaktif
E. Diagnosis : Suspek apendisitis akut
F. Tatalaksana
a. Farmakologis : Inj cefotaxim 750 mg, metronidazol 3 x 350 mg, inj ranitidin
ampul, inj paracetamol.
b. Nonfarmakologis : Pro Apendiktomi CITO
G. Prognosis
Ad Vitam : bonam
Ad Sanam : bonam
Ad Sanationam : bonam
Apendisitis Akut

A. Definisi
Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks. Peradangan ini pada
umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat apendiks. Apendisitis
akut adalah keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk
mencegah komplikasi yang lebih buruk (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
B. Etiologi
Sesuai dengan patofisiologi apendisitis akut, etiologi dari penyakit ini yang
berhubungan dengan sumbatan pada lumen apendiks (Sjamsuhidajat & De Jong,
2012). Hal-hal yang dapat menyebabkan, antara lain : Hiperplasia jaringan limfa
Masa fekalith Sumbatan oleh cacing ascaris Sumbatan karena fungsional, yang
terjadi karena kurangnya makanan berserat sehingga menimbulkan konstipasi.
Konstipasi menyebabkan peningkatan pertumbuhan flora normal kolon.
Keruskaan struktur sekitar, seperti erosi mukosa apendiks akibat infeksi
Entamoeba hystoliticai (Humes & Simpson, 2007).
C. Tanda Gejala
Gejala
a. Nyeri Perut
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien dengan
apendisitis akut. Karakteristik nyeri perut penting untuk diperhatikan klinisi
karena nyeri perut pada apendisitis memiliki ciri-ciri dan perjalanan penyakit
yang cukup jelas. Nyeri pada apendisitis muncul mendadak (sebagai salah satu
jenis dari akut abdomen) yang kemudian nyeri dirasakan samar-samar dan
tumpul. Nyeri merupakan suatu nyeri viseral yang dirasakan biasanya pada
daerah epigastrium atau periumbilikus. Nyeri viseral terjadi terus menerus
kemudian nyeri berubah menjadi nyeri somatik dalam beberapa jam. Lokasi
nyeri somatik umumnya berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari
garis khayalan dari spina iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus. Nyeri
somatik dirasakan lebih tajam, dengan intesitas sedang sampai berat. Pada
suatu metaanalisis, ditemukan bahwa neyri perut yang berpindah dan berubah
dari viseral menjadi somatik merupakan salah satu bukti kuat untuk
menegakkan diagnosis apendisitis. Sesuai dengan anatomi apendiks, pada
beberapa manusia letak apendiks berada retrosekal atau berada pada rongga
retroperitoneal. Keberadaan apendiks retrosekal menimbulkan gejala nyeri
perut yang tidak khas apendisitis karena terlindungi sekum sehingga
rangsangan ke peritoneum minimal. Nyeri perut pada apendisitis jenis ini
biasanya muncul apabila pasien berjalan dan terdapat kontraksi musculus
psoas mayor secara dorsal (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012) (Humes &
Simpson, 2007).
b. Mual dan Muntah
Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu makan
atau anoreksia merupakan tanda-tanda awal terjadinya apendisitis
(Sjamsuhidajat & De Jong, 2012) (Humes & Simpson, 2007).
c. Gejala Gastrointestinal
Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik dalam
bentuk diare maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering
ditemukan adanya diare 1-2 kali akibat respons dari nyeri viseral. Diare terjadi
karena perangsangan dinding rektum oleh peradangan pada apendiks pelvis
atau perangsangan ileum terminalis oleh peradangan apendiks retrosekal.
Akan tetapi, apabila diare terjadi terus menerus perlu dipikirkan terdapat
penyakit penyerta lain. Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien
apendisitis, terutama dilaporkan ketika pasien sudah mengalami nyeri somatik
(Sjamsuhidajat & De Jong, 2012) (Humes & Simpson, 2007).
Tanda
a. Keadaan Umum
Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien dengan
radang atau nyeri akut. Takikardia dan demam ringan-sedang sering
ditemukan. Demam pada apendisitis umumnya sekitar 37,5 38,5C. Demam
yang terus memberat dan mencapai demam tinggi perlu dipikirkan sudah
terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012) (Humes & Simpson,
2007).
b. Keadaan Lokal
Pada apendisitis, tanda-tanda yang ditemukan adalah karena perangsangan
langsung pada peritoneum oleh apendiks atau perangsangan tidak langsung.
Perangsangan langsung menyebabkan ditemukannya nyeri tekan dan nyeri
lepas pada perut kanan bawah, terutama pada titik McBurney. Selain itu pada
inspeksi dan palpasi abdomen akan mudah dilihat terdapat deffense muscular
sebagai respons dari nyeri somatik yang terjadi secara lokal. Perangsangan
tidak langsung ditunjukkan oleh beberapa tanda, antara lain Rovsing sign yang
menandakan nyeri pada perut kiri bawah apabila dilakukan penekanan pada
titik McBurney. Begitupula Blumberg sign adalah nyeri pada perut kiri bawah
apabila dilakukan pelepasan pada titik McBurney Pada apendisitis retrosekal,
tanda-tanda umum di atas seringkali tidak muncul akan tetapi dapat cukup
khas ditegakkan dengan Psoas sign dan Obturator sign. Tanda psoas adalah
nyeri timbul apabila pasien melakukan ekstensi maksimal untuk meregangkan
otot psoas. Secara praktis adalah dengan fleksi aktif sendi panggul kanan
kemudian paha kanan diberikan tahanan. Hal ini akan menimbulkan
rangsangan langsung antara apendiks dengan otot psoas sehingga timbul nyeri.
Tanda obturator muncul apabila dilakukan fleksi dan endorotasi sendi panggul
yang menyebabkan apendiks bersentuhan langsung dengan muskulus obturator
internus. Biasanya untuk mengetahui terdapat tanda psoas maupun obturator,
dapat pula diperdalam mengenai timbulnya nyeri saat berjalan, bernafas, dan
beraktivitas berat (Humes & Simpson, 2007).
D. Penegakkan Diagnosis
a) Anamnesis mengenai gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya, gejala
penyerta seperti mual-muntah-anoreksia, dan ada tidaknya gejala
gastrointestinal.
b) Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh karena tanda-tanda vital juga
sudah dapat mengarah ke diagnosis apendisitis. Takikardia dan demam sedang
merupakan tanda-tanda yang sering ditemukan. Pada pemeriksaan gigi dan
mulut, sering ditemukana adanya lidah kering dan terdapat fethor oris. Pada
pemeriksaan abdomen dilakukan cermat pada tiap tahap. Dari auskultasi
sering ditemukan bising usus menurun karena terjadi ileus paralitik
(Sjamsuhidajat & De Jong, 2012). Pada inspeksi, dapat ditemukan bahwa
dinding perut terlihat kaku dan kemudian dikonfirmasi dengan palpasi. Pada
palpasi, ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas serta terdapat tahanan (deffense
muscular). Palpasi dilakukan pada beberapa titik diagnostik apendisitis yaitu
titik McBurney, uji Rovsig, dan uji Blomberg. Uji psoas dan uji obturator juga
dapat dilakukan terutama pada kecurigaan apendisitis yang terjadi secara
retrosekal (Humes & Simpson, 2007).
c) Pemeriksaan penunjang kurang bermakna pada diagnosis apendisitis karena
penegakan diagnosis umumnya cukup berasal dari penemuan klinis.
Pemeriksaan urin dan darah perifer lengkap dapat membantu dengan
menunjukkan adanya tanda-tanda inflamasi secara umum, yaitu adanya
leukositosis dan keberadaan pyuria.
d) Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan
suatu alat bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score.
Dengan memperoleh nilai lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya
dapat ditegakkan (Brunicardi, 2006). Komponen Alvarado Score adalah :

E. Patomekanisme
Apendisitiskemungkinandimulaiolehobstruksidarilumenyangdisebabkanoleh
feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan
epidemiologibahwaapendisitisberhubungandenganasupanseratdalammakanan
yangrendah(Burkitt,Quick,Reed,2007).
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasiinikemudianberlanjutkesubmukosadanmelibatkanlapisanmuskular
dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan,sepertiususataudindingabdomen,menyebabkanperitonitislokal
(Burkitt,Quick,Reed,2007).
Dalamstadiuminimukosaglandularyangnekrosisterkelupaskedalamlumen,
yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks
menjadi bertrombositdanapendiks yangkurangsuplaidarahmenjadi nekrosis
ataugangren.Perforasiakansegeraterjadidanmenyebarkeronggaperitoneal.
Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi
(Burkitt,Quick,Reed,2007).
F. Tatalaksana
a) Medikamentosa
Persiapan operasi dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa
analgetik dan antibiotik spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat.
Pasien apendisitis seringkali datang dengan kondisi yang tidak stabil karena
nyeri hebat sehingga analgetik perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk
profilaksis, dengan cara diberikan dosis tinggi, 1-3 kali dosis biasanya (Humes
& Simpson, 2007). Antibiotik yang umum diberikan adalah cephalosporin
generasi 2 / generasi 3 dan Metronidazole. Hal ini secara ilmiah telah
dibuktikan mengurangi terjadinya komplikasi post operasi seperti infeksi luka
dan pembentukan abses intraabdominal (Tjandra et al., 2006). Pilihan
antibiotik lainnya adalah ampicilin-sulbactam, ampicilin-asam klavulanat,
imipenem, aminoglikosida, dan lain sebagainya. Waktu pemberian antibiotik
juga masih diteliti. Akan tetapi beberapa protokol mengajukan apendisitis akut
diberikan dalam waktu 48 jam saja. Apendisitis dengan perforasi memerlukan
administrasi antibiotik 7-10 hari (Morris & Wood, 2009).
b) Apendektomi
Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang
diterapkan adalah segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu
kasus gawat-darurat. Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan
sebenarnya menemukan operasi yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam
setelah nyeri dirasakan) tidak bermakna menurunkan komplikasi post-operasi
dibanding yang dilakukan biasa (12-24 jam). Akan tetapi ditemukan bahwa
setiap penundaan 12 jam waktu operasi, terdapat penambahan risiko 5%
terjadinya perforasi (Humes & Simpson, 2007).
Teknik yang digunakan dapat berupa, (1) operasi terbuka, dan (2) dengan
Laparoskopi. Operasi terbuka dilakukanndengan insisi pada titik McBurney
yang dilakukan tegak lurus terhadap garis khayalan antara SIAS dan
umbilikus. Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk
menemukan massa yang membesar. Setelah dilakukan insiis, pemebdahan
dilakukan dengan identiifkasi sekum kemudian dilakukan palpasi ke arah
posteromedial untuk menemukan apendisitis posisi pelvik (Tjandra et al.,
2006). Mesoapendiks diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks kemudian
dilakukan ligasi dan transeksi. Apendektomi dengan bantuan laparoskopi
mulai umum dilakukan saat ini walaupun belum ada bukti yang menyatakan
bahwa metode ini memberikan hasil operasi dan pengurangan kejadian
komplikasi post-operasi. Apendekotmi laparoskopi harus dilakukan apabila
diagnosis masih belum yakin ditegakkan karena laparoskopi dapat sekaligus
menjadi prosedur diagnostik. Sampai saat ini penelitian-penelitian yang
dilakukan masih mengatakan keunggulan dari metode ini adalah
meningkatkan kualitas hidup pasien. Perbaikan nfeksi luka tidak terlalu
berpengaruh karena insisi pada operasi terbuka juga sudah dilakukan dengan
sangat minimal (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012). Komplikasi pasca-operasi
dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka dan abses inttraabdomen.
Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
perioperatif. Abses intra-abdomen dapat muncul akibat kontaminasi rongga
peritoneum (Tjandra et al., 2006).
G. Komplikasi
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka
penanganan segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya
diawali dengan adanya masa periapendikuler terlebih dahulu. Masa
periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih berupa penutupan lekuk
usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini dapat diremisi oleh tubuh
setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan tetapi, risiko terjadinya abses dan
penyebaran pus dalam infilitrat dapat terjadei sewaktu-waktu sehingga massa
periapendikuler ini adalah target dari operasi apendektomi.
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis karena
selain angka morbiditas yang tinggi, penanganan akan menjadi semakin
kompleks. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai nyeri
hebat seluruh peruhk, demam tinggi, dan gejala kembung pada perut. Bisis usus
dapat menurun atau bahkan menghilang karena ileus paralitik yang terjadi. Pus
yang menyebar dapat menjadi abses inttraabdomen yang paling umum dijumpai
pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tata laksana yang dilakukan pada kondisi
berat ini adalah laparotomi eksploratif untuk membersihkan pus-pus yang ada.
Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparoskopi
sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
H. Prognosis
Pada umumnya selama tidak ditemukan tanda-tanda perforasi pasca operasi, pada
umunmya prognosis apendisitis akut adalah baik

DAFTAR PUSTAKA
Burkitt H G, Quick C R G, and Reed J B. 2007. Essential Surgery: Problems,
Diagnosis and Management. 4th Ed. Churchill Livingstone Elsevier: Oxford. Page :
784.
Brunicardi F C. 2006. Schwartzs Manual of Surgery. 8th edition. London: McGraw-
Hill. p. 784-95
Humes D J, Simpson J. 2007. Clinical Review: Acute appendicitis. BMJ. P. 540-34.
Morris PJ, Wood WC. 2009. Oxfords Textbook of Surgery. 2nd ed.Oxford; eBook.
Samsjuhidajat R, De Jong W. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Tjandra J J, Clunie G J A, Kaye A H, Smith J A. 2006. Textbook of Surgery. 3rd ed.
Blackwell Publishing; p. 123-27.

Anda mungkin juga menyukai