Anda di halaman 1dari 11

RESUME STATUS PASIEN

Identitas:
An. RR/2tahun 6bulan//9,5kg

Anamnesa:
Demam sejak 35 hari SMRS, meningkat di malam hari dan membaik di siang hari,
disertai menggigil, mengigau.
Mual dan muntah sejak 21 hari SMRS, 2 kali dalam sehari.
BAB cair sejak 21 hari yang lalu, 3 kali dalam sehari, disertai sakit perut.

Pemeriksaan Fisik:
Tampak rewel, mata cowong
Tanda vital: suhu aksiler 39,10C
Nyeri tekan epigastrium

Pemeriksaan Penunjang:
Tinja : Makroskopis air lebih banyak dari ampas, terdapat lendir.
Darah : Leukosit meningkat

Diagnosa Banding: 1. Demam Tifoid


2. Malaria

Diagnosa Kerja Sementara: Demam Tifoid

Diagnosa Komplikasi: Dehidrasi ringan

1
Usul Penatalaksanaan:
Diberikan cairan rehidrasi IVFD RL dengan kecepatan 24 tetes per menit (makro)
selama 4 jam, setelah itu dievaluasi kembali tanda-tanda dehidrasi dan jika
terdapat perbaikan dari derajat dehidrasi maka dilanjutkan terapi cairan rumatan
IVFD RL 13 tpm (makro).
Chloramphenicol sirup 3 x 1 Cth
Zinc tablet 20mg 1 x 1 tablet selama 10 hari
Paracetamol sirup 3 x 2 Cth
Domperidon syrup 3 x Cth
Edukasi : Edukasi pada orang tua untuk menjaga kebersihan diri dan alat-alat
memasak maupun makanan, dan cara pengolahan makanan yang baik.

Prognosa: Bonam

2
PEMBAHASAN

Patogenesis Infeksi Salmonella


Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari tiga proses, yaitu
proses invasi bakteri Salmonella typhi ke dinding sel epitel usus, proses kemampuan
hidup dalam makrofag dan proses berkembangbiaknya bakteri dalam makrofag. Akan
tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk melawan dan
membunuh bakteri patogen ini, yaitu dengan adanya mekanisme pertahanan non
spesifik di saluran pencernaan baik secara kimiawi maupun fisik dan mekanisme
pertahanan yang spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular.
Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah bakteri
sampai di lambung, maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Kemampuan bakteri untuk dapat melewati barier asam lambung
dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang masuk dan kondisi asam lambung.
Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella typhi dan
pada pH 2,0 sebagian besar bakteri akan terbunuh dengan cepat dan sebagian bakteri
lain yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan
lokal berupa motilitas dan flora normal usus, dimana tubuh berusaha mengeluarkan
bakteri dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik
usus. Selain itu, adanya bakteri anaerob di usus juga akan menghalangi pertumbuhan
bakteri dengan pembentukan asam lemak. Rantai pendek yang akan menimbulkan
asam. Bila bkteri berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di usus halus,
maka bakteri akan masuk dan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus
epitel usus, bakteri akan masuk ke dlam kripta lamina propria, kemudian berkembang
biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag, namun demikian
Salmonella typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena
adanya perlindungan oleh kapsul bakteri. Bakteri masuk ke dalam peredaran darah

3
melalui pembuluh limfe usus halus hingga mencapai organ hati dan limpa. Bakteri
yang tidak dihancurkan akan multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam
folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limpa, sehingga organ-organ
tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Setelah melewati masa
inkubasi, maka bakteri akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus toraksikus
masuk kembali ke dalam sirkulasi sistemik (bakteriemia) dan menyebar ke seluruh
tubuh. Tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang,
kandung empedu dan Peyers Patch pada ileum terminal. Di kelenjar limfoid usus
halus, bakteri ini menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa di atas Peyers
Patch. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.
Gejala demam pada infeksi Salmonella typhi didapatkan pada 75% kasus.
Gejala demam pada tifoid disebabkan Salmonella typhi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam
hati, limpa, folikel limfoma usus halus dankelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan stimulasi sistem imunologis.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-
14 hari. Masa inkubasi penyakit ini bergantung pada jumlah bakteri yang tertelan dan
faktor host (keadaan umum, status gizi dan status imunologis penderita). Gejala yang
paling menonjol dari penyakit ini adalah demam yang berkepanjangan (38,80
40,50C).suatu fase prodromal dari beberapa gejala non spesifik sering mendahului
munculnya demam, termasuk menggigil, sakit kepala, anoreksia, batuk, lemah, nyeri
tenggorokan, pusing dan nyeri otot. Gejala gastrointestinal yang terjadi ckup
bervariasi. Pasien dapat datang dengan gejala diare atau konstipasi, diare lebih sering
didapatkan pada pasien dengan AIDS dan pada anak dibawah usia 1 tahun. Hanya 20-
40% pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen, walaupun sebagian besar
menunjukkan adanya nyeri tekan abdomen seiring dengan berjalannya penyakit.

4
Temuan fisis yang didapatkan pada fase awal adalah adany ruam (rose spots),
hepatosplenomegali, epistaksis, dan bradikardia relatif. Rose spots menunjukkan
gambaran pucat, warnanya seperti ikan salmon, makulopapular yang berlokasi
terutama pada trunkus tubuh dan dada. Ruam yang muncul tampak nyata pada sekitar
30% pasien pada akhir minggu pertama dan menghilang setelah 2-5 hari tanpa
meninggalkan bekas. Warna ruam yang pucat membuat identifikasi ruam menjadi
sulit pada orang dengan kulit gelap. Pada beberapa kesempatan, pasien dengan gejala
neuropsikiatrik toksik disebut delirium muttering atau coma vigil dengan gerakan
seperti mengambil baju atau benda2 khayalan.
Komplikasi terlambat yang sering muncul pada minggu ke3-4 infeksi,
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi, adalah perforasi usus atau
perdarahan gastrointestinal. Komplikasi ini dapat terjadi meskipun dari luar tampak
adanya perbaikan keadaan umum pasien, dan diduga sebagai akibat dari adanya
nekrosis pada lokasi infiltrasi Salmonella ke Peyers Patch di usus halus. Kedua
komplikasi ini bersifat mengancam nyawa dan membutuhkan penanganan segera,
menggunakan antibiotik spektrum luas untuk peritonitis polimikrobial dan
penanganan untuk perdarahan gastrointestinal.

Pemeriksaan Penunjang
1. Darah:
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah terdapat tanda-tanda terjadinya infeksi
serta untuk mengetahui jumlah komponen darah guna menunjang diagnosis. Pada
pasien ini didapatkan hasil peningkatan leukosit yang mana ini menunjang pada
tanda adanya suatu proses infeksi.
2. Urine
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah terdapat tanda-tanda infeksi/
kerusakan pada saluran kecing bagian atas ataupun bawah guna menunjang
diagnosis.
Hasil yang di dapat :

5
Makroskopis : jernih kuning dan tidak di dapat darah
Mikroskopi : tidak dilakukan karena tidak ada ketersediaan alat
3. Tinja
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah terdapat tanda tanda infeksi atau
kelainan yang terjadi pada GIT dan untuk membedakan jenis kuman yang
menginfeksi seperti virus, bakteri atau parasit dari bentuk feses.
Hasil yang didapat :
Makroskopis : warna kuning, konsistensi cair, ada berlendir dan tidak
ada darah.
Mikroskopis : tidak ditemukannya eritrosit maupun leukosit dan tidak
ditemukan parasit dan cacing atau telur cacing.

Diagnosa Komplikasi: Dehidrasi ringan


Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input).
Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat rewel disertai adanya mata cowong. Turgor
kulit perut baik, nadi 110 kali per menit. Berdasarkan skor Maurice King, hal tersebut
termasuk dehidrasi ringan dengan skor 2.

Usul Penatalaksanaan
IVFD RL
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
BB: 9,5 kg , diberikan rehidrasi untuk dehidrasi ringan, menggunakan cairan Ringer
Laktat.
Kehilangan cairan 0-4%
4% x 9500g = 380 cc diberikan dalam 4 jam
= 95 cc / jam
= 95 x 15 / 60
= 24 tetes per menit (makro)

6
Jadi, dapat diberikan cairan rehidrasi dengan kecepatan 24 tetes per menit (makro)
selama 4 jam. Kemudian dilakukan evaluasi kembali terhadap tanda-tanda dehidrasi.
Bila sudah terdapat perbaikan dehidrasi, maka diberikan cairan rumatan:
Kebutuhan cairan 9,5 kg x 100 cc = 950 cc
Demam 39,10C 2 x (10% x 950 cc) = 2 x 950 = 190 cc
BAB cair 3 kali sehari, tiap BAB 50 cc 3 x 50 cc = 150 cc +
Total kebutuhan cairan rumatan = 1290 cc/24 jam
Tetesan per menit = 1290 x 15 / 24 x 60
= 13 tetes per menit makro
Kemudian jika anak sudah tidak demam dan tidak BAB cair, cairan rumatan bisa
diturunkan menjadi 950 cc/ 24jam, dengan tetesan 10 tetes per menit (makro).

Chloramphenicol sirup
Obat pilihan pertama bagi demam tifoid adalah Chloramphenicol, diberikan dengan
dosis 50 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, diberikan selama
1014 hari.
BB = 9,5kg (9,5 x 50mg) (9,5 x 100mg)/hari
= 475 950mg/ hari dibagi 3 kali pemberian
= 158,3 316,7 mg tiap kali pemberian
Chloramphenicol sirup mengandung 125mg/5ml chloramphenicol. Maka dapat
diberikan 3 x 250mg chloramphenicol, atau 3 x 2 Cth Chloramphenicol sirup selama
10 hari.

Zinc tablet
Tiap tablet mengandung zinc sulfat 64,9 mg setara dengan zinc 20 mg. Zinc termasuk
mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang optimal.
Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk
pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, kekebalan seluler, pengecapan serta

7
nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan
mediator pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan
pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna
dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada
diare dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan
kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan brush border apical, dan
meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus.
Dosis:
- Bayi dibawah 6 bulan : 10mg diberikan setiap hari selama 10 hari berturut-turut
(bahkan ketika diare telah berhenti)
- Anak 6 bulan keatas : 20mg diberikan setiap hari selama 10 hari berturut-turut
(bahkan ketika diare telah berhenti)

Paracetamol sirup
Demam yang tinggi (>390C) dapat menimbulkan efek yang mengganggu seperti
berkurangnya napsu makan, gelisah, dapat menyebabkan kejang demam pada anak
yang berusia antara 6 bulan 5 tahun, meningkatkan konsumsi oksigen (berbahaya
pada anak dengan pneumonia sangat berat, gagal jantung atau meningitis).
Pemberian parasetamol oral harus dibatasi pada anak usia >2bulan yang menderita
demam >390C dan gelisah atau rewel karena demam tinggi tersebut. Anak yang sadar
dan aktif kemungkinan tidak akan mendapat manfaat dengan parasetamol. Dosis yang
dianjurkan adalah 10-15mg/kgBB/6 jam.
BB = 9,5 kg
Dosis Paracetamol yang diperlukan = (9,5 x 10mg) (9,5 x 15mg)
= 95mg 142,5mg
Sediaan paracetamol sirup mengandung 120mg/5ml paracetamol. Maka dosisnya
adalah: 3 x 5ml atau 3 x 1 Cth, diberikan bila anak demam.

8
Domperidon sirup
Obat anti muntah diberikan bila memang benar-benar diperlukan. Obat diberikan bila
anak menolak minum setelah muntah atau muntah telah berlangsung lebih dari 24
jam.
Pada gangguan saluran cerna seperti yang terjadi pada infeksi, golongan antagonis
reseptor dopamin yang bekerja pada pusat (CTZ) dan perifer (saluran cerna)
merupakan obat pilihan. Dari golongan tersebut, metoklopramid dan domperidon
merupakan jenis obat yang banyak digunakan sebagai antimuntah. Domperidon
banyak digunakan karena efeknya yang positif dan efek sampingnya yang lebih kecil.
Obat ini selain menghambat reseptor dopamin di CTZ juga pada reseptor di perifer
(saluran cerna). Domperidon meningkatkan kontraktilitas lambung, memperbaiki
koordinasi antroduodenum, dan mempercepat pengosongan lambung.
Dosis: 0,2 0,4 mg/kgBB/untuk 1 kali pemberian, diberikan 3 kali sehari.
BB : 9,5kg dosis: (9,5 x 0,2) (9,5 x 0,4) = 1,9 3,8 mg
Domperidon sirup sediaan yang tersedia adalah 5 mg/ 5 ml, diberikan 3 x 2,5ml atau
3 x Cth jika anak muntah.

Edukasi
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui cara umum dan khusus. Termasuk
dalam cara umum adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene
dan sanitasi saja sudah dapat menurukan insidensi demam tifoid. Termasuk disini
adalah penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah, serta higiene
keluarga dan pribadi.
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk ke mulut (minuman,
makanan) supaya tidak tercemar Salmnella typhi. Penting juga untuk membatasi dan
memperhatikan kebiasaan jajan di sembarang tempat yang tidak terjaga higiene dan
sanitasinya.

Prognosis:

9
Penderita demam tifoid dapat mengalami komplikasi berupa pneumonia,
hepatitis, ensefalopati dan kelainan neurologis, perforasi dan perdarahan usus, ileus,
ISK, hingga syok. Termasuk penyulit adalah relaps dan karier.
Diagnosis dini adalah salah satu hal penting yang menentukan prognosis
pasien dan kemungkinan munculnya komplikasi. Pasien ini dibawa ke rumah sakit
setelah timbul gejala cukup lama, meningkatkan resiko terhadap munculnya
komplikasi, namun dengan penatalaksanaan yang baik di RS dan edukasi orang tua
prognosis pasien adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA

Hasibuan, Siska Ishaliani. 2009. Karakteristik penderita Demam Tifoid Rawat Inap di
Rumah Sakit Sri Pamela PTPN 3 Tebing Tinggi pada Tahun 2004 2008

10
(online). (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14687/1/10E00
291.pdf Diakses tanggal 14 September 2011).
Juffrie M; Soenarto, S; Oswari, H, dkk. 2011. Buku Ajar Infeksi Tropik Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. Hal.338-346.
Lesser, Cammie F.; Miller, Samuel. 2005. Salmonellosis dalam Harrisons Textbook
of Internal Medicine 15th Edition. New York: McGraw-Hill. Hal 897-900.

11

Anda mungkin juga menyukai