Abstrak. Fokus perhatian dalam sistem peradilan pidana sejauh ini selalu mengarah terhadap
pelaku, sedangkan pihak terkait proses peradilan pidana meliputi pelaku, korban, dan
masyarakat. Seorang korban kejahatan, khususnya, akan menderita lebih banyak karena dia
dapat mengalami viktimisasi sekunder dalam sistem peradilan pidana. Undang-undang
tentang perlindungan korban dan saksi hanya menyatakan pembatasan bagi korban tindak
pidana untuk meminta kompensasi kepada sistem peradilan pidana, baik sebagai korban
tindak pidana langsung atau korban penyalahgunaan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum. Korban anak diperlakukan dengan cara yang sama seperti korban orang dewasa,
sementara mereka memiliki dimensi masalah dan dampak yang lebih besar untuk ditangani.
Mekanisme dan prosedur yang harus diikuti adalah ius constituendum (undang-undang yang
diharapkan / diinginkan), karena mereka hanya membagi harapan ganti rugi, kompensasi, dan
rehabilitasi yang belum diuji secara empiris dalam situasi nyata.
PENGANTAR
Anak-anak yang tinggal di masa kini perlu mendapat perhatian dari semua elemen
masyarakat, terutama dari pemerintah karena kewajiban konstitusionalnya untuk memberi
kesejahteraan kepada rakyatnya, dalam kasus (khususnya), anak-anak. Banyak anak tinggal
di jalanan dan menerima makanan dari orang-orang yang merasa kasihan terhadap mereka.
Mereka tidak memiliki akses terhadap kegembiraan dan kesenangan masa kecil mereka.
Menurut data yang dikeluarkan oleh UNICEF, lebih dari tiga juta anak terjebak dalam
kehidupan berbahaya dan lebih dari 100 ribu anak-anak dan perempuan diperdagangkan
setiap tahun dengan 70 ribu anak telah menjadi korban eksploitasi seksual. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Indonesia mencatat 140 kasus perdagangan anak
sepanjang tahun 2013, anak-anak yang menjadi korban kekerasan fisik dan seksual (58% atau
12,5 juta kasus adalah pelecehan seksual dan terjadi dengan tingkat tertinggi dalam Jakarta),
dan anak-anak yang mengalami pelecehan mental / emosional di lingkungan sosial mereka
(Forum Keadilan 2013, 09 Maret, Edisi 44. halaman 23). KPAI lebih lanjut mencatat bahwa
dalam kurun waktu 2010-2014 terdapat 21,6 juta kasus kekerasan terhadap anak-anak (data
diambil dari 179 kota dan 34 provinsi di Indonesia).
Kekerasan terhadap anak terjadi hampir setiap hari dan sering meningkat. Spiral
kekerasan berputar dari waktu ke waktu dan bergerak di banyak arah. Kekerasan hanya
menimbulkan kekerasan lain dan karena itulah pengobatan untuk korban kekerasan tidak
akan menjadi sesuatu yang mudah dilakukan. Semua masyarakat dan elemen masyarakat
harus bersatu untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan atau kejahatan lainnya.
Berbagai bentuk kekerasan yang terpapar pada anak-anak telah diambil tanpa
harapan. Dengan alasan ketidakmatangan fisik dan mental, anak-anak tidak berdaya
menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Inilah alasan kita harus
melindungi anak-anak dan mencegah kejadian semacam itu terjadi sejak masa kanak-kanak
akan menentukan kehidupan suatu bangsa di masa depan.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa, yang menyatakan bahwa seorang anak memerlukan perlindungan dan perawatan
khusus, termasuk perlindungan hukum yang sesuai. Oleh karena itu, kami berkewajiban
untuk memenuhi asas dasar hak anak, yaitu non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, hak
untuk bertahan hidup dan berkembang, dan menghormati pendapat anak.
Istilah korban adalah secara normatif tidak dikenal di KUHP Indonesia. Hal ini hanya
menjelaskan istilah kompensasi yang dapat dihukum dengan pelaku / pelanggar. Kata seorang
korban kejahatan hanya dinyatakan dalam terminologi hukum di kriminologi dan
viktimologi, yang kemudian dikembangkan melalui atau dalam sistem peradilan pidana.
Istilah korban kejahatan dapat dilihat dari arti luas dan sempit definisi karena banyak sarjana
telah menyatakan dalam pekerjaan mereka (misalnya, pendapat Arief Gosita, Muzakir, dll).
Korban didefinisikan dalam arti luas sebagai seseorang atau beberapa orang yang telah
menderita kerusakan atau kerugian sebagai akibat dari tindak pidana atau non-kriminal.
Sementara korban dalam arti sempit didefinisikan sebagai korban kejahatan.
Lilik Mulyadi (2012: 157) menjelaskan bahwa korban dalam perspektif hukum
pidana, sebagai akibat dari tindak pidana, dapat diklasifikasikan menjadi:
(1) Korban kejahatan, sebagaimana tercantum dalam KUHP yang mana pelaku akan
divonis bersalah. (2) Korban penyalahgunaan kekuasaan atau viktimisasi politik. (3)
Korban tindak pidana yang menimbulkan sanksi administratif. (4) Korban
pelanggaran norma dalam kehidupan bermasyarakat yang menimbulkan sanksi sosial.
Terminologi korban dalam dokumen internasional dapat ditemukan dalam Deklarasi
Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Konvensi
PBB 1985) yang mengklasifikasikan korban menjadi korban kejahatan dan korban
penyalahgunaan kekuasaan.
Korban kejahatan berarti orang yang secara individu atau kolektif telah menderita
kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau
kerusakan substansial hak dasarnya, melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar undang-
undang pidana yang beroperasi di negara-negara anggota, termasuk undang-undang yang
melarang penyalahgunaan kriminalitas. Sementara korban penyalahgunaan kekuasaan berarti
orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau
mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial hak dasarnya,
melalui tindakan atau kelalaian yang belum merupakan pelanggaran pidana nasional. hukum
tapi norma yang diakui secara internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Pendapat khusus yang disampaikan oleh Muladi yang mengatakan bahwa definisi
korban kejahatan berarti seseorang atau orang-orang yang telah mengalami kerugian akibat
tindakan kriminal atau rasa keadilannya telah dilanggar sebagai dampak dari pengalamannya.
menjadi sasaran kriminal (Muladi, 2002: 177). Berbagai istilah korban juga dapat ditemukan
di beberapa pasal peraturan perundang-undangan yang dinyatakan dalam istilah dan makna
yang berbeda. Misalnya istilah "penggugat" (pasal 108 Kode Acara Pidana / KUHAP, Pasal
32-34 Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, pasal 83-87 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010),
istilah "pelapor" (pasal 72 KUHAP), "saksi korban" (pasal 160 KUHAP), "pihak ketiga yang
berkepentingan" (pasal 80-81 KUHAP), "yang ketiga terluka/dilukai" (pasal 98,99 KUHAP),
dan istilah "individu, masyarakat, dan negara"(pasal 18, 41.42, Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Dengan akal sehat dan logis, setiap korban kejahatan harus diberi perlindungan
hukum. Ada dua alasan sebagai latar belakang pernyataan tersebut. Pertama, korban
kejahatan membutuhkan perawatan untuk luka seriusnya (secara fisik dan mental) dan untuk
menghilangkan keinginan balas dendam kepada pelaku yang terus terpikat di dalam pikiran
mereka. Negara mengambil alih hak korban untuk mengajukan tuntutan kepada
pelaku/pelanggar untuk meminimalkan potensi pembalasan dendam individu dan untuk
melakukan pengajuan tuntutan atas tuduhan berdasarkan pertimbangan rasional. Dengan
menerapkan tindakan tersebut, korban akan merasa terwakili. Kedua, merupakan kewajiban
konstitusional bagi negara untuk melindungi korban kejahatan sebagai konsekuensi cita-cita
perwujudan negara untuk menopang kehidupan dan kesejahteraan warganya. Perlindungan
korban dianggap sebagai faktor penting karena akan menyembuhkan pemutusan solidaritas
dan ikatan sosial yang disebabkan oleh tindak pidana. Dalam kasus kejahatan terhadap anak-
anak, penting untuk selalu mendasarkan setiap tindakan yang diambil pada filosofi "resolusi
untuk konflik" sebagai tujuan utama.
Terkadang ide hebat gagal memenuhi kenyataan. Hal ini juga diterapkan pada kasus
tindak pidana dimana korban sebagai pihak yang menderita kerugian dan kerugian gagal
mendapatkan perhatian yang benar dan secara terpisah memisahkan diri dari sistem peradilan
pidana. Stephen Schafer mengatakan dalam bukunya yang berjudul "The Victims and His
Criminal" bahwa pernyataan tersebut serupa dengan cinderella dalam buku hukum pidana
(Stephen Schafer, 1968: 8). Demikian juga, Robert Reif mencatat bahwa masalah kejahatan
selalu dipersempit menjadi "apa yang bisa dilakukan terhadap penjahat" dan tidak ada yang
bertanya "apa yang bisa dilakukan terhadap korban" (Lilik Mulyadi, 2007: 127-132). Hukum
pidana di Indonesia masih berlaku seperti sistem karena berorientasi kepada pelaku,
sedangkan pihak korban hanya diwakili oleh jaksa penuntut yang menjalankan tugasnya atas
nama kepentingan korban kejahatan yang pada kasus tertentu menunjukkan lambatnya proses
penuntutan dan oleh karena itu , mengurangi pentingnya kepentingan korban. Korban
kejahatan yang mengalami kerugian dan kerugian sebelumnya adalah aktor dominan. Negara,
sebagai perwakilan formal masyarakat, mengambil alih hak korban untuk mengendalikan
kasus mereka. Akibatnya, korban kejahatan perlahan dianggap sebagai orang yang terlupakan
dan tidak lagi menjadi sasaran sistem peradilan pidana. Hal lain yang juga harus menjadi
pertimbangan dalam hal ini adalah perlindungan kolektif bagi korban kejahatan lingkungan
yang seringkali terbengkalai oleh pihak terkait.
Ketentuan yang menyiratkan perlindungan bagi korban dapat dilihat dari pernyataan
hukuman mati kepada pelaku dan pemberian kompensasi untuk korban. Namun demikian,
bersifat fakultatif terhadap alam karena korban memerlukan implikasi penting yang
mewajibkan hakim untuk memasukkan kompensasi dalam putusan tersebut. Selanjutnya,
sebuah saran yang tunduk pada kode undang-undang pidana pembaharuan menetapkan
ketentuan tersebut sebagai hukum pidana yang substansial.
Pasal 99 ayat (1) KUHAP menyatakan jika pihak yang dirugikan berusaha
menghindari klaimnya dengan kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 98,
pengadilan negeri harus mempertimbangkan kompetensinya untuk mengadili klaim tersebut,
kebenaran dasar klaim tersebut, dan perintah yang memerlukan penggantian biaya yang
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
Ungkapan "penggantian biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut"
dapat dianggap sebagai kerugian material dan diberi ganti rugi dengan kompensasi material,
sedangkan kompensasi bukan material tidak dapat diancam secara langsung karena
memerlukan bukti lengkap dan harus menjalani kasus persidangan secara reguler. Jika
diajukan bersamaan dengan kasus joinder, klaim di atas tidak dapat diterima (niet
onvankelijke) (M. YahyaHarahap, 2005: 82).
Peraturan perundang-undangan lain untuk KUHP dan KUHAP yang menyangkut soal
korban dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli, Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-
Undang Nomor 13 tahun dari tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, dll.
Pemindahan perhatian hukum pidana dan sistem peradilan pidana dari pelaku ke
korban kejahatan memiliki dasar rasional. Pertama, pemindahan tersebut akan menciptakan
sistem hukum pidana yang komprehensif dan sistem peradilan pidana dalam bentuk
perlakuan dan perhatian yang sama baik terhadap pelaku / pelaku maupun korban (daaddader
strafrecht). David Austern menyatakan bahwa "satu-satunya syarat penting untuk penegakan
hukum yang efektif adalah kemauan korban kejahatan untuk bekerja sama", (David Austern,
1987: 9). Kedua, sesuai dengan prinsip bahwa undang-undang dibuat untuk melindungi
seluruh warga negara, maka sistem peradilan pidana harus dapat menyeimbangkan dan
melakukan tindakan proporsional yang akan menjaga semua kepentingan setiap pihak yang
terkait dengan hukum. Sayangnya, situasi yang berbeda terjadi pada saat di mana putusan
pengadilan sebagian besar berorientasi pada kepentingan pelaku daripada untuk korban (atau
dapat dikatakan tidak pernah memikirkan korban).
Ketiga, pemindahan juga terjadi dalam konflik hukum pidana dimana paradigma
retributif berubah menjadi keadilan restoratif. Konsepsi kejahatan diterima sebagai tindakan
pelanggaran terhadap kepentingan individu dengan restitusi sebagai bagian dari proses
hukum pidana. Teori keadilan restoratif memberi nilai lebih tinggi bagi korban untuk lebih
terlibat dalam proses peradilan. Korban dianggap sebagai unsur kontrol terhadap jalannya
keadilan. Perspektif keadilan restoratif menuntut adanya kerja sama antara pelaku, korban,
masyarakat, dan pemerintah untuk merekonsiliasi konflik yang telah terjadi serta
menyelesaikan kerugian / kerusakan dan memastikan keamanan di masyarakat pada saat
bersamaan. Deskripsi keadilan restoratif dapat ditemukan dalam pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa
"Hakim harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan di
masyarakat. Hal ini juga dapat dilihat pada ketentuan pasal 79 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 yang memberikan keleluasaan bagi Mahkamah Agung untuk mengatur lebih
lanjut mengenai hal-hal yang diperlukan untuk pelaksanaan proses peradilan yang belum
diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa positivisme yang
telah diadopsi oleh pengadilan telah beralih ke konsep yurisprudensi sosiologis. Konsep rinci
tentang keadilan restoratif tercantum dalam Konvensi PBB tentang pengendalian obat dan
pencegahan kejahatan yang menyatakan bahwa "keadilan restoratif adalah sebuah istilah baru
untuk sebuah konsep lama, sepanjang sejarah pendekatan keadilan restoratif umat manusia
telah digunakan untuk menyelesaikan konflik antar pihak. dan untuk memulihkan perdamaian
di masyarakat. Pendekatan retributif atau rehabilitatif terhadap kejahatan adalah, sebagai
perbandingan, pendekatan yang relatif baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir,
ketidakpuasan dengan pendekatan retributif dan rehabilitatif telah melahirkan minat baru
terhadap keadilan restoratif. (Konvensi PBB 1985).
Bila sistem peradilan mengacu pada Konvensi PBB tersebut, maka kepentingan
pelaku, korban, dan masyarakat akan diakomodasi dan dilaksanakan oleh hakim. Jadi, dengan
konsekuensi logis, peradilan pidana di Indonesia harus mengacu pada konsep atau model
keseimbangan kepentingan (daad dader strafrecht) daripada kedua model yang telah
diterapkan di sistem peradilan pidana yang dikenal dengan Model Kontrol Kejahatan (Crime
Control Model) dan Model Proses Kehendak (Due Process Model). Kedua model tersebut
tidak sesuai jika diterapkan di Indonesia.
Pendahuluan dalam artikel ini telah menyebutkan bahwa ada banyak anak yang
menjadi korban kejahatan dan mereka tidak berdaya untuk mencegahnya. Fokus perhatian
dari artikel ini adalah untuk mengukur sejauh mana undang-undang tersebut memberi korban
perlindungan hukum.
Perlindungan hukum bagi korban (korban dewasa pada umumnya) juga bisa
diterapkan pada korban anak. Hal pertama yang harus dilakukan sebelum membahas
perlindungan hukum bagi korban anak adalah dengan melihat sistem peradilan pidana
terhadap anak-anak dan ketentuan-ketentuan lainnya mengenai kesejahteraan anak.
Sistem peradilan pidana terhadap anak-anak adalah sistem peradilan yang secara
khusus dipisahkan dan ditujukan bagi anak-anak untuk mendapatkan perlindungan hukum
dan hak asasi mereka yang melekat padanya. Pemisahan ini adalah conditio sine quanon
karena seorang anak adalah manusia di bawah umur (bertanggung jawab atas kehidupan
mereka sendiri). Mereka adalah kelompok manusia yang rentan yang membutuhkan sistem
peradilan tertentu terlepas dari sistem peradilan pidana pada umumnya (Barbara Henkes,
2000: 87). Sistem peradilan pidana untuk anak merupakan salah satu unsur sistem peradilan
pidana mengenai penanganan kasus-kasus kelakuan anak dengan fokus perhatian pada
mekanisme penyelesaian kasus anak. Polisi sebagai sub sistem peradilan pidana adalah
instrumen pertama dalam sistem yang memiliki tanggung jawab untuk memutuskan apakah
pelaku (anak yang melakukan pelanggaran) akan dibebaskan dari tuduhan atau dikenai proses
hukum lebih lanjut. Selanjutnya, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat akan menentukan
apakah akan membebaskan anak tersebut atau membawanya ke pengadilan. Tahap
selanjutnya adalah pengadilan untuk anak-anak yang akan menetapkan apakah anak tersebut
akan dibebaskan dari kasus tersebut atau dibawa ke sistem pengadilan..
Perlindungan terhadap anak dengan konflik hukum harus dilihat dalam memperluas
makna yang mencakup perlindungan terhadap hak asasi dan kebebasan anak-anak dan
berbagai kepentingan yang terkait dengan kesejahteraan anak (Barda Nawawi Arief,
1998: 153).
Pernyataan ini sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa
perlindungan anak adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk menjamin dan melindungi
anak-anak dengan hak mereka untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi
secara optimal di sesuai dengan martabat manusia dan juga perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Kesimpulan yang diperoleh dari penjelasan tersebut adalah (1) perlindungan
kebebasan anak, (2) perlindungan hak asasi manusia anak, (3) perlindungan hukum untuk
semua kepentingan anak berkenaan dengan kesejahteraan (Joni, 1999: 35). Perlindungan
hukum untuk anak-anak dengan konflik hukum menarik perhatian internasional dan mereka
menerbitkan berbagai instrumen hukum internasional seperti deklarasi hak asasi manusia,
deklarasi hak anak, standar internasional mengenai sistem peradilan anak, dll.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak
sebagai berikut: (a) diperlakukan dengan cara dengan memperhatikan kepentingannya selama
berabad-abad. (b) disimpan terpisah dari orang dewasa. (c) mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainnya secara efektif (d) melakukan kegiatan rekreasi. (e) bebas dari penyiksaan,
penghukuman, atau perlakuan kejam lainnya, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat
mereka, (f) tidak akan ada hukuman mati atau hukuman seumur hidup untuk vonis tersebut
(g) Tidak akan ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali sebagai ukuran upaya terakhir untuk
jangka waktu yang paling singkat, (h) untuk mendapatkan keadilan di hadapan pengadilan
anak yang objektif, tidak memihak, dan dekat untuk publik (j) tidak akan ada pengungkapan
identitasnya.
Sebuah kepastian untuk terdakwa, orang dewasa atau anak-anak, tidak akan segera
memberikan keadilan bagi korban anak-anak, mengingat ada masalah lain yang timbul
meskipun terdakwa telah dipidana. Perlindungan hukum bagi korban anak menurut keadilan
restoratif dilaksanakan sebagai berikut:
(1) Membuat program penilaian untuk mengetahui tingkat tingkat penderitaan korban
anak dan mengajukan saran perawatan dan perawatan yang relevan dalam waktu
dekat. (2) Program intervensi perorangan bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan
kesengsaraan dan membuat mereka kembali ke kondisi normal mereka dalam waktu
dekat. Pemulihan akan menjadi upaya terakhir dari semua proses intervensi melalui
metode klinis. (3) Program advokasi sosial di dua lokasi operasional yaitu advokasi
advokasi kasus dan sistem. Advokasi kasus membuat anak korban menerima layanan
yang dibutuhkan. Sistem advokasi ada untuk mewakili dan membela korban secara
umum sebagai kelas untuk meningkatkan kesadaran dan untuk memastikan bahwa
korban anak mendapatkan akses terhadap layanan yang mereka butuhkan, dan juga
mengusulkan kebijakan / undang-undang baru yang relevan dan penting bagi mereka.
(4) Program penyampaian kebijakan publik yang mengakomodasi hak anak korban.
Hal itu bisa dilakukan dengan sinkronisasi legislasi, memberdayakan semua aspek
hukum, dan memodifikasi semua peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dan yang memberikan perlindungan
hukum lebih sedikit untuk anak-anak, terutama anak korban kejahatan. (Ali Makki,
2015: 238-239).
Poin penting dalam pemulihan korban kejahatan anak adalah sisi psikologis yang
telah disebutkan sebelumnya dan prosedur semacam itu harus menjadi tanggung jawab
negara sebagai konsekuensi pelaksanaan UUD negara yang mewajibkan negara untuk
mensejahterakan seluruh rakyatnya, sementara materi kompensasi atau restitusi tetap menjadi
tanggung jawab pelaku sebagai penuntutan pidana.
Perlindungan hukum untuk anak korban kejahatan, yang baru-baru ini dikeluarkan,
cenderung tidak menguntungkan dan menyebabkan tambahan penderitaan bagi anak-anak
karena prosedur yang rumit dan tidak adanya mekanisme yang jelas tentang bagaimana
menuntut ganti rugi, restitusi, dan kompensasi yang harus diterima oleh anak korban
kejahatan Cara termudah dan tercepat untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah agar
pengadilan menerapkan terobosan baru dalam hukum acara atau penuntutan yang nantinya
akan mengubah berbagai undang-undang yang berorientasi pada kepentingan anak secara
keseluruhan.
Perlunya prosedur cepat terjadi saat kita melihat pasal 1 angka 2 jo pasal 4 Undang-
Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa
perlindungan anak mencakup semua kegiatan untuk memastikan dan melindungi anak-anak
dan hak mereka untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan martabat dan perlindungan manusia dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 17 ayat (2) undang-undang ini juga menyatakan bahwa setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku pelecehan seksual atau konflik dengan hukum berhak untuk
dirahasiakan, selanjutnya pasal 18 menegaskan bahwa setiap anak korban atau pelaku berhak
untuk mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Sedangkan perlakuan khusus untuk
korban dapat dilihat pada Pasal 59 yang menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga
pemerintah lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak korban kekerasan baik fisik maupun mental.
Pelaksanaan pasal 59 dijelaskan secara jelas dalam pasal 64 ayat (3) yang menyatakan
bahwa perlindungan khusus untuk anak-anak yang menjadi korban kejahatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: (1) usaha rehabilitasi, baik di dalam maupun di
luar institusi (2 ) melindungi usaha pengungkapan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari pelabelan (3) penyediaan jaminan keselamatan bagi saksi dan saksi ahli, baik
fisik, mental, dan sosial dan (4) penyediaan aksesibilitas untuk memperoleh informasi tentang
pengembangan kasus tersebut.
KESIMPULAN
Anak korban kejahatan harus menjadi fokus perhatian dalam kasus hukum.
Pembahasan anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban kejahatan harus
menjadi pusat perhatian tanpa dipilah-pilah dan dibagi dalam prioritas karena "anak" apakah
sebagai pelaku dan korban kejahatan tetap merupakan aset negara. Reorientasi dan evaluasi
ulang peraturan tentang anak harus diintegrasikan dengan program pembangunan sosial untuk
anak-anak. Sistem Peradilan Pidana Hukum Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak,
Kesejahteraan Hukum dan Hukum Pidana dan Kode Hukum Acara Pidana harus sejajar
dengan tangan untuk melindungi kepentingan semua elemen meliputi pelaku, korban,
masyarakat, dan negara.