Anda di halaman 1dari 10

Geoteknik

RETAK HIDROLIS PADA BENDUNGAN URUGAN BATU; FAKTOR PENYEBAB


DAN CARA UNTUK MENGHINDARINYA
(209G)

D. Djarwadi1, K.B. Suryolelono2, B. Suhendro2 dan H.C. Hardiyatmo2

1
Division Head, Engineering Division, PT Pamapersada Nusantara, Jakarta
Email: didiek.djarwadi@pamapersada.com
2
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Retak hidrolis adalah suatu fenomena retaknya permukaan inti kedap air bendungan urugan batu
oleh karena tekanan hidrolis air waduk. Fenomena ini bisa terjadi karena fenomena busur
(arching) yang terjadi pada inti kedap air bendungan urugan batu oleh karena beberapa hal.
Fenomena busur yang terjadi pada inti kedap air bendungan urugan baru menyebabkan tegangan
vertikal total akan berkurang dari nilai tekanan overburden. Pada saat penggenangan, waduk, dan
inti menjadi basah, tegangan efektif pada inti kedap air akan berkurang oleh karena adanya
tegangan air pori. Pada suatu kondisi, dimana tegangan efektif kurang dari tegangan tarik tanah,
maka tekanan air waduk dapat meretakkan permukaan inti kedap air suatu bendungan urugan batu.
Apabila retak pada inti kedap air berlanjut dengan rembesan dan erosi buluh (piping), maka
terdapat potensi runtuhnya bendungan, seperti yang dialami oleh bendungan Teton di Amerika
Serikat ada tahun 1976.
Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian tentang retak hidrolis baik di laboratorium dan
analisa numeris. Faktor penyebab terjadinya fenomena busur seperti konfigurasi bukit sandaran
(abutment) bendungan, bentuk dan konfigurasi inti kedap air, modulus bahan timbunan
bendungan, pengaruh tinggi bendungan, dan faktor internal bahan timbunan timbunan inti kedap
air seperti, kuat tarik tanah, kuat geser tanah, kandungan mineral lempung akan dibahas. Analisa
numeris untuk mengetahui kemungkinan terjadinya retak hidrolis dan uji laboratorium untuk
memperoleh nilai kuat tarik (t) akan dibahas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiringan lereng hulu, lebar dasar inti kedap air, dimensi
filter hulu, modulus bahan timbunan bendungan baik inti kedap air, filter, zona transisi dan rockfil,
serta kemiringan lereng bukit sandaran (abutment) adalah faktor luar (external factor) yang dapat
menyebabkan terjadinya retak hidrolis, sedangkan nilai kohesi dan kandungan mineral lempung
bahan timbunan inti kedap air bendungan urugan batu merupakan faktor internal penyebab
terjadinya retak hidrolis.

Kata kunci: retak hidrolis, bendungan urugan batu, inti kedap air, tekanan hidrolis air waduk,

1. PENDAHULUAN
Retak hidrolis (hydraulic fracturing) pada bendungan urugan batu didefinisikan sebagai peristiwa retaknya
permukaan hulu inti oleh tekanan air waduk, karena terjadinya fenomena busur (arching) yang menyebabkan
tegangan total vertikal kurang dari beban diatasnya (overburden pressure), dan pada penggenangan pertama
tegangan air pori mengurangi tegangan efektif sedemikian rupa sehingga tekanan hidrolis air waduk dapat membuat
retak tarik (tension fracture) (Nobari et al., 1973, Seed et al., 1976., dan Ng dan Small 1999). Beberapa bendungan
tercatat telah mengalami retak hidrolis antara lain; bendungan Balderhead, Yards Creek, Teton, Viddalsvatn,
Httejuvet dan lain-lainnya.
Retak hidrolis yang terjadi pada bendungan urugan batu tidak dipengaruhi oleh kecepatan penimbunan dan
kecepatan pengisian waduk. seperti disampaikan pada Tabel 1. Pada pelaksanaan penimbunan yang lebih lama,
tubuh bendungan akan mengalami konsolidasi yang lebih besar dibandingkan dengan bendungan dengan
pelaksanaan penimbunan yang cepat, demikian pula pada pengisian waduk yang lebih lama, inti akan mengalami
pembasahan yang lebih lama, sehingga jejaring aliran (flownet) sudah terbentuk dibandingkan dengan pengisian
waduk yang lebih cepat.
Retak hidrolis selalu terjadi pada saat penggenangan pertama, dimana inti kedap air akan menjadi basah oleh karena
air waduk. Dengan terjadinya pembasahan inti kedap air, maka tegangan efektif akan semakin kecil, dan pada saat
tegangan efektif yang terjadi kurang dari tegangan tarik tanah, maka akan terjadi retakan pada permukaan hulu inti

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 G - 165
Geoteknik

kedap air. Foster et al (2004) mendokumentasikan waktu terjadinya bocoran pada bendungan urugan batu sampai
dengan tahun 1986, dan hasilnya menunjukkan bahwa 24 dari 51 bendungan yang mengalami kebocoran terjadi
pada saat penggenangan pertama seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa retak hidrolis masih menjadi penyebab utama kebocoran pada bendungan urugan batu.

Tabel 1 Perbedaan kecepatan penimbunan dan penggenangan pada bendungan yang mengalami retak hidrolis.
Waktu pelaksanaan Kecepatan penggenangan
Bendungan Tinggi (m)
(tahun) (m/bulan)
Balderhead 48 4 2
Hyttejuvet 90 1 20
Viddalsvatn 70 1 11
Teton 93 3 27
Yards Creek 24 2 7

Tabel 2 Waktu terjadi keruntuhan bandungan urugan batu karena erosi buluh (Foster et al., 2004).
Jumlah Jumlah % penyebab runtuh
Waktu terjadi keruntuhan
runtuh rusak Runtuh Rusak
Dalam pelaksanaan 1 0 2 0
Selama pengisian pertama 24 26 48 26
Dalam 5 tahun sejak pengisian 7 13 14 13
Setelah 5 tahun 18 60 36 61
Tidak tercatat 1 3 - -
Total kasus erosi buluh 51 102 100 100

2. FAKTOR PENYEBAB FENOMENA BUSUR


Fenomena busur (arching) yang terjadi pada bendungan urugan batu adalah berkurangnya tegangan total vertikal ()
dari nilai yang seharusnya yaitu sebesar beban diatasnya. Sebagai bukti, tegangan vertikal yang terukur pada inti
kedap air bendungan Holle dan Harspranget di Norwegia, hanya sebesar 50% dari beban timbunan diatasnya
(Lofquist, 1951). Fenomena busur dapat disebabkan oleh perbedaan modulus yang besar antara bahan timbunan inti
kedap air dengan zona timbunan batuan, dan kemiringan pangkal bendungan (abutment). Cavounidis dan Vaziri
(1982) melakukan analisis pengaruh plastisitas bahan timbunan terhadap perpindahan beban. Pada kemiringan
pangkal bendungan 1V : 0,5H, tegangan total yang terukur hanya sebesar 0,52 beban timbunan di atasnya,
sedangkan pada kemiringan 1V : 0,85H, tegangan total hanya sebesar 0,74 beban timbunan di atasnya (Zhang dan
Du, 1997).
Fenomena busur dapat memicu terjadinya retak hidrolis pada bendungan urugan batu. Beberapa peneliti telah
melakukan penelitian pada pengaruh fenomena busur terhadap retak hidrolis. Kulhawy dan Gurtowski (1976)
melakukan analisis terhadap kemungkinan terjadinya hydraulic fracturing pada bendungan rockfill oleh pengaruh
load transfer. Zhu dan Wang (2004) melakukan analisis pengaruh busur terhadap terjadinya retak hidrolis pada
bendungan urugan batu.
Fenomena busur pada bendungan urugan batu tidak bisa dihindarkan, jadi yang dapat dilakukan adalah mengurangi
besaran fenomena busur yang terjadi, dengan mengendalikan selisih modulus yang besar antara inti kedap air
dengan zona timbunan batu, dengan cara menambahkan zona timbunan filter hulu dan zona transisi diantaranya. Hal
ini terbukti bahwa dengan variasi susunan bahan timbunan tersebut, perbedaan modulus dapat secara bertahap
berkurang, sehingga fenomena busur menjadi lebih kecil. Pembuatan pangkal bendungan yang lebih landai juga
dapat mengurangi besaran fenomena busur pada inti kedap air bendungan urugan batu. Kenaikan modulus elastisitas
atau poisson ratio bahan timbunaninti kedap air dapat mengurangi pengaruh fenomena busur. Pelebaran bidang
kontak inti kedap air dengan fondasi bendungan, yang menyebabkan inti kedap air lebih tebal juga dapat
mengurangi pengaruh fenomena busur.

3. FAKTOR PENYEBAB RETAK HIDROLIS


Faktor penyebab terjadinya retak hidrolis pada bendungan urugan batu secara pasti sudah disepakati oleh para
peneliti adalah karena fenomena busur. Fenomena busur yang terjadi pada inti bendungan urugan batu dapat
disebabkan oleh karena: konfigurasi atau bentuk inti kedap air, tinggi bendungan, dan susunan bahan timbunan
bendungan urugan batu. Selain masalah fenomena busur, tanah sebagai bahan timbunan inti kedap air juga
mempunyai kontribusi terhadap inisiasi terjadinya retak hidrolis yaitu; nilai kohesi tanah (c), dan kandungan mineral
lempung. Fenomena busur pada bendungan urugan batu tidak dapat dihindari, tetapi perlu dilakukan rekayasa baik
pada bentuk dan konfigurasi inti kedap air, dan susunan bahan timbunan bendungan urugan batu agar fenomena

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


G - 166 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Geoteknik

busur yang terjadi tidak besar. Pemilihan bahan timbunan inti kedap air yang kompeten dimaksudkan untuk
memperoleh nilai kuat tarik tanah (t) yang cukup besar, sehingga tekanan hidrolis air waduk terhadap inti kedap air
(wedging) yang menimbulkan tegangan tarik pada permukaan hulu inti kedap air tidak melebihi nilai kuat tarik
tanah yang digunakan sebagai bahan inti kedap air.
Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya retak hidrolis dan cara menghindarinya, maka dilakukan uji retak
hidrolis di laboratorium dengan alat uji khusus yang dibuat untuk mengetahui nilai kuat tarik tanah (t), dan analisa
numeris dengan menggunakan metoda elemen hingga pada contoh tanah sebagai bahan timbunan inti kedap air dari
6 (enam) bendungan urugan batu di Indonesia yaitu; bendungan Batubulan dan Pelaparado di Sumbawa, bendungan
Batutegi di Lampung, Bendungan Sermo di Yogyakarta, bendungan Kedungombo di Jawa Tengah, serta bendungan
Wonorejo di Jawa Timur. Untuk memperoleh hasil yang komprehensif, selain pada kondisi aslinya, bahan inti kedap
air tersebut diatas dimodelkan kembali dengan kadar butiran halus ( < 0,074 mm) dari 30, 40, 50, 60, 70 dan 80
persen, sedangkan pemadatan dimodelkan pada kondisi kering, optimum dan basah. Dari pemodelan tersebut
diperoleh 324 contoh tanah yang berbeda. Komposisi mineral lempung dari masing masing bahan timbunan inti
kedap air juga dianalisa guna analisa pengaruh mineral lempung terhadap retak hidrolis.
4. UJI RETAK HIDROLIS DI LABORATORIUM
Pada penelitian ini, konsep retak hidrolis pada permukaan hulu inti kedap air bendungan urugan batu didasarkan
pada pengembangan konsep penelitian terdahulu yaitu tekanan vertikal efektif pada suatu titk kurang dari tekanan
hidrolis, sedangkan tegangan efektif vertikal pada titik tersebut kurang dari tekanan oleh berat sendiri karena
pengaruh busur (arching), dan pola kerusakan adalah retak tarik (tension). Benda uji bukan merupakan model inti di
lapangan, tetapi benda uji hanya suatu sarana untuk memperoleh nilai tegangan tarik tanah pada saat retak (t)
dengan pola retak tarik di laboratorium, yang tegangan awal uji sebagai representasi tegangan pada permukaan inti.
Pada penelitian ini, uji retak hidrolis di laboratorium dilakukan dengan asumsi sebagai berikut:
a. tegangan pada seluruh titik di dalam benda uji dianggap sama,
b. tekanan hidrolis dianggap sebagai tinggi muka air di dalam waduk,
c. tegangan awal adalah tegangan vertikal (y) dan tegangan horizontal (x) pada permukaan hulu inti,
d. tegangan pada permukaan lubang di dalam benda uji dianggap sama,
e. kuat tarik benda uji saat retak dirumuskan sebagai tegangan utama major efektif dikurangi dengan tekanan
retak hidrolis, dan dapat dinyatakan dalam persamaan:

t ( 1' u f ) (1)

dengan t = kuat tarik tanah pada saat retak (kPa), 1 = tegangan efektif utama major (kPa), dan uf =
tekanan retak hidrolis (kPa)
f. fenomena busur oleh pengaruh kemiringan bukit sandaran bendungan urugan batu tidak termodelkan dalam
uji retak hidrolis di laboratorium.

Pada penelitian ini bentuk benda uji yang digunakan adalah silider dengan lubang ditengah. Dimensi benda uji
adalah tinggi 120 mm, diameter 104 mm, sedangkan diameter lubang ditengah adalah 18 mm. Gambar 1
menunjukkan benda uji untuk uji retak hidrolis di laboratorium.

Gambar 1. Benda uji pada uji retak hidrolis di laboratorium

Alat uji hydraulic fracturing di laboratorium dibuat khusus dan merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari
alat uji serupa yang dibuat oleh; Nobari et al (1973), Hassani et al (1985) dan Mori and Tamura (1987). Alat uji

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 G - 167
Geoteknik

akan terdiri dari beberapa bagian/komponen yang mempunyai fungsi yang berbeda. Bagian atau komponen alat uji
hydraulic fracturing inti kedap air bendungan rockfill di laboratorium adalah:
a. hydraulic fracturing chamber,
b. pressure chamber,
c. alat untuk pemberi tekanan hidraulik,
d. alat untuk pemberi takanan isotropik,
e. alat pengukur tegangan pada benda uji,
f. alat pengukur deformasi aksial benda uji,
g. alat pengukur aliran air ke dalam benda uji.

Konfigurasi alat uji hydraulic fracturing yang merupakan rangkaian bagian atau komponenyang dibuat di
Laboratorium Mekanika Tanah, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada seperti diuraikan diatas
disampaikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Konfigurasi alat uji hydraulic fracturing di laboratorium

5. ANALISIS NUMERIK RETAK HIDROLIS BENDUNGAN URUGAN BATU


Analisis numerik retak hidrolis dilakukan dengan metoda elemen hingga, dengan analisis couple untuk analisis
deformasi/tegangan dengan analisis aliran air dalam media porous. Pemilihan analisis couple dilakukan untuk
memodelkan perilaku bendungan pada saat penggenangan untuk pertama kali, dimana retak hidrolis pada inti kedap
air dapat terjadi. Untuk memeperoleh hasil yang lebih akurat dalam analisis couple disarankan menggunakan elemen
high order pada elemen berbentuk triangular dan quadrilateral. Pemilihan model tanah (soil model) harus
disesuaikan dengan kondisi pembebanan di lapangan, agar uji laboratorium yang diperlukan sebagai data masukan
oleh program komputer yang digunakan dapat dilakukan dengan seksama. Pada pelaksanaan penimbunan
bendungan, pemadatan dilakukan lapis demi lapis dengan tebal lapisan sekitar 30 cm pada inti kedap air sampai
dengan 100 cm pada timbunan rockfill, memberikan gambaran bahwa tegangan yang terjadi pada tubuh bendungan
akan naik secara bertahap mengikuti perkembangan tinggi bendungan. Apabila tinggi bendungan dikonversikan
terhadap tekanan kekang (confining pressure), maka kenaikan tegangan di dalam tubuh bendungan dapat
dimodelkan sebagai fungsi dari tekanan kekang, dan mengingat bahwa sifat sifat tanah tidak dapat dimodelkan
sebagai bahan yang linier elastis, maka model tanah pada penimbunan bendungan lebih sesuai apabila dimodelkan
sebagai non-linear elastic hyperbolic soil model. Perlu diperhatikan pula pemodelan fase air (water phase) yaitu
fungsi perubahan kadar air volumetrik akibat penggenangan yang dirumuskan dalam program elemen hingga.
Apabila pemodelan fase air digunakan model elastis, maka pemilihan soil model juga harus selaras dengan
pemodelan fase air tersebut, dan apabila kedua model berbeda maka analisis couple tidak dapat dilakukan.
Kriteria terjadinya retak hidrolis dalam analisis retak hidrolis dengan metoda elemen hingga diperoleh dari evaluasi
tegangan sebagai berikut:
a. nilai tegangan vertikal efektif (y) pada permukaan hulu inti hasil analisis tegangan dan deformasi dengan
menggunakan analisis ganda dibandingkan dengan tekanan hidrolis air waduk (w) dalam suatu table dan
grafik,
b. apabila tegangan vertikal efektif pada suatu titik lebih kecil dari tekanan hidrolik (y < w), maka pada
titik tersebut terjadi tegangan tarik (t) dan berpotensi terjadi retak hidrolis,

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


G - 168 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Geoteknik

c. tegangan tarik yang terjadi pada titik tersebut kemudian dibandingkan dengan tegangan tarik pada saat
terjadi retakan hasil uji retak hidrolis di laboratorium,
d. apabila tegangan tarik pada titik yang ditinjau lebih besar dari tegangan tarik pada saat terjadi retakan hasil
uji retak hidrolis di laboratorium, maka akan terjadi retak hidrolis,
e. apabila tegangan tarik pada titik yang ditinjau lebih kecil dari tegangan tarik pada saat terjadi retakan hasil
uji retak hidrolis di laboratorium, meskipun terjadi tegangan tarik, tetap tidak terjadi retak hidrolis.
6. HASIL PENELITIAN
Pengaruh bentuk inti kedap air bendungan urugan batu
Bentuk inti kedap air sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya retak hidrolis pada bendungan urugan batu.
Untuk membuktikan hal ini, dilakukan analisa retak hidrolis dengan analisa numerik pada bendungan Hyttejuvet
yang mengalami retak hidrolis seperti dilaporkan oleh Kjaernsli dan Torblaa (1968). Gambar 3 menunjukkan
potongan melintang bendungan Hyttejuvet, dengan bentuk inti kedap air yang menipis secara drastis pada bagian
atas, dan vertikal pada bagian hilirnya.

Gambar 3. Tipikal potongan melintang bendungan Hyttejuvet (Kjaernsli dan Torblaa, 1968).
Hasil analisa numerik dengan metoda elemen hingga menunjukkan bahwa dengan mengganti parameter bahan
timbunan inti kedap air dengan bahan timbunan inti kedap air dari bendungan Batubulan, Batutegi, Kedungombo,
Pelaparado, Sermo dan Wonorejo pada 6 variasi kadar butiran halus dan 3 variasi pemadatan, semua menunjukkan
terjadinya retak hidrolis. Gambar 4 menunjukkan contoh hasil analisa numerik model bendungan Hyttejuvet dengan
bahan timbunan inti kedap air dari bendungan Batubulan yang dipadatkan pada kondisi optimum. Lebih spesifik,
hasil analisa menunjukkan lokasi terjadinya retak hidrolis relative sama, dan sesuai dengan lokasi yang dilaporkan
oleh (Kjaernsli dan Torblaa, 1968). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk dan konfigurasi inti kedap air suatu
bendungan urugan batu akan sangat menentukan kemungkinan terjadinya retak hidrolis.
Water pressure
750 Overburden pressure 750
30.14%
40.12%
50.24% 740
740 60.21%
70.27%
81.30%
730 730

720 720

710
Elevasi (m)

710
Elevasi (m)

Lokasi terjadi hydraulic fracturing


700 700

690 690
Lokasi tegangan tarik tetapi tidak terjadi hydraulic fracturing
680 680

670 670 core

660 660

650 650
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Tegangan efektif/Tekanan hidraulik (kPa) Persen butiran halus (%)

Gambar 4. Lokasi terjadinya retak hidrolis pada model bendungan Hyttejuvet


dengan bahan timbunan dari bendungan Batubulan.
Pada kasus bendungan Hyttejuvet, konfigurasi dan bentuk inti kedap air tidak lazim digunakan pada perencanaan
bentuk inti kedap air bendungan urugan batu. Penipisan bagian atas inti kedap air bendungan Hyttejuvet dilakukan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 G - 169
Geoteknik

karena tegangan air pori pada inti kedap air bagian bawah cukup besar, sehingga diputuskan pada bagian atas
dilakukan revisi dengan penipisan bendtuk inti kedap air. Hal ini tanpa disadari menambah nilai fenomena busur.
Cara menghindarkan terjadinya retak hidrolis dalam hal ini adalah merencanakan inti kedap air dengan kemiringan
sisi hulu dan hilir secara simetris, dengan sudut tertentu yang tergantung dari parameter bahan timbunan inti kedap
air, agar fenomena busur dapat dikurangi.
Pengaruh tinggi bendungan
Pengaruh tinggi bendungan dalam hal ini adalah perubahan rasio tinggi berbanding lebar dasar inti kedap air suatu
bendungan urugan batu apabila bendungan tersebut semakin tinggi dengan mempertahankan kemiringan sisi hulu
dan hilir, serta lebar atas inti kedap air dari bendungan tersebut. Pada penelitian ini, data inti kedap air dari ke-enam
bendungan yang diteliti disampaikan pada Tabel 3, sedangkan apabila ke-enam bendungan tersebut dimodelkan
mempunyai tinggi 125 meter dengan kemiringan sisi hulu dan hilir, serta lebar atas inti kedap air sama, maka
konfigurasi inti kedap air disampaikan dalam Tabel 4. Kalau dicermati, dalam hal ini yang berubah adalah rasio
tinggi berbanding lebar dasar inti kedap air. Analisis statistik oleh Fell et al (2004), menyatakan bahwa rasio tinggi
berbanding lebar dasar inti bendungan (H/W > 2) adalah bendungan yang sangat rawan terhadap retak hidrolis,
sedangkan apabila rasio 1<(H/W)<2, maka bendungan tersebut rawan terjadi retak hidrolis. Hal ini menempatkan
bendungan Batubulan, Batutegi, Kebungombo, Pelaparado dan Sermo adalah bendungan yang rawan terhadap retak
hidrolis, sedangkan bendungan Wonorejo adalah bendungan yang sangat rawan terhadap retak hidrolis.

Tabel 3. Data konfigurasi inti bendungan yang diteliti


Tinggi Data inti Rasio
Nama
bendungan Lebar Kemiringan Kemiringan Lebar dasar tinggi/lebar
bendungan
(m) puncak (m) lereng hulu lereng hilir (m) dasar (H/W)
Batubulan 37,00 6,00 1V : 0,20H 1V : 0,20H 20,80 1,78
Batutegi 125,00 6,00 1V : 0,25H 1V : 0,25H 68,50 1,82
Kedungombo 60,00 6,00 1V : 0,60H 1V : 0,20H 54,00 1,11
Pelaparado 61,00 6,00 1V : 0,30H 1V : 0,30H 42,60 1,43
Sermo 49,00 6,00 1V : 0,20H 1V : 0,20H 25,60 1,91
Wonorejo 100,00 6,00 1V : 0,182H 1V : 0,182H 42,40 2,36

Tabel 4. Rasio (H/W) model bendungan dengan tinggi 125 meter


Tinggi Data inti Rasio
Nama
bendungan Lebar Kemiringan Kemiringan Lebar dasar tinggi/lebar
bendungan
(m) puncak (m) lereng hulu lereng hilir (m) dasar (H/W)
Batubulan 125,00 6,00 1V : 0,20H 1V : 0,20H 56,00 2,23
Batutegi 125,00 6,00 1V : 0,25H 1V : 0,25H 68,50 1,82
Kedungombo 125,00 6,00 1V : 0,60H 1V : 0,20H 106,00 1,18
Pelaparado 125,00 6,00 1V : 0,30H 1V : 0,30H 81,00 1,54
Sermo 125,00 6,00 1V : 0,20H 1V : 0,20H 56,00 2,23
Wonorejo 125,00 6,00 1V : 0,182H 1V : 0,182H 51,,50 2,43

Hasil analisa numerik dengan metoda elemen hingga pada keenam bendungan yang diteliti menunjukkan bahwa:
a. Bendungan Batubulan dengan tinggi aslinya 37 meter, pada model dengan tinggi 125 meter dengan bahan
timbunan mengandung 30 60% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami retak hidrolis,
b. Bendungan Kedungombo dengan tinggi aslinya 60 meter, pada model dengan tinggi 125 meter dengan
bahan timbunan mengandung 30 70% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami retak hidrolis,
c. Bendungan Pelaparado dengan tinggi aslinya 61 meter, pada model dengan tinggi 125 meter dengan bahan
timbunan mengandung 30 70% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami retak hidrolis,
d. Bendungan Sermo dengan tinggi aslinya 49 meter, pada model dengan tinggi 125 meter dengan bahan
timbunan mengandung 30 50% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami retak hidrolis,
e. Bendungan Wonorejo dengan tinggi aslinya 100 meter, pada model dengan tinggi 125 meter tidak
mengalami retak hidrolis,
f. Bendungan Batutegi dengan tinggi aslinya 125 meter, tidak dilakukan analisis karena tinggi aslinya sudah
sama dengan model yang diteliti.
Gambar 5 menunjukkan pola tegangan efektif pada bendungan Batubulan pada tinggi asli dan model 125 meter.

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


G - 170 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Geoteknik

130
30,14%
40,12%
120
50,24%
60,21%
110 70,27%
82,39%
100 Tekanan hidraulik

90
40 30,14%
40,12%
80
50,24%
35 60,21%

Tinggi (m)
70,27% 70
82,39%
30 Tekanan hidraulik
60
25
50
Tinggi (m)

20 40

15 30

10 20

5 10

0
0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
0 200 400 600 800 1000
Tegangan efektif (kPa) Tegangan efektif (kPa)

Gambar 5. Distribusi tegangan efektif pada permukaan hulu inti kedap air bendungan Batubulan pada kondisi asli
dan model dengan tinggi 125 meter.

Pengaruh susunan bahan timbunan bendungan


Pengaruh susunan bahan timbunan dalam hal ini adalah susunan bahan timbunan pada bagian hulu bendungan
urugan batu. Dalam hal ini perbedaan nilai modulus antara timbunan batuan dengan inti kedap air yang terbuat dari
tanah adalah sangat besar. Perbedaan nilai modulus yang besar mempunyai potensi yang besar dalam menimbulkan
fenomena busur, sehingga harus ada zona timbunan diantara timbunan batuan dan inti kedap air yang mempunyai
modulus diantara keduanya sebagai jembatan (bridging) untuk mengurangi fenomena busur. Pada bendungan
modern zona timbunan transisi yang terdiri dari batuan dengan gradasi yang lebih kecil dibandingan zona timbunan
batuan dan filter hulu dilaksanakan untuk maksud mengrangi fenomena busur. Sebagai bukti bahwa zona timbunan
filter hulu atau zona transisi dapat mengurangi fenomena busur dan disampaikan dengan cara memodelkan
bendungan Hyttejuvet yang mengalami retak hidrolis dengan memvariasikan tebal filter hulu. Gambar 6
menunjukkan variasi tebal filter hulu, sedangkan Gambar 7 menunjukkan diskretisasi elemen pada model
bendungan Hyttejuvet. Analisa retak hidrolis dilaksanakan dengan analisa numeris menggunakan metoda elemen
hingga.

Gambar 6. Model dan variasi dimensi filter hulu untuk analisa retak hidrolis

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 G - 171
Geoteknik

Gambar 7. Diskretisasi elemen model bendungan Hyttejuvet.

Hasil analisa disampaikan pada Gambar 8 berikut ini.


Tekanan hidrolis
750 Tekanan oleh berat sendiri 750 750
sisi kering
kepadatan maksimum
740 sisi basah 740 Tebal zona transisi 2,00 meter 740
Tebal atas zona transisi 2,00 m,
730 730 Tebal atas zona transisi 2,00 m, 730 tebal bawah 8,00 m
tebal bawah 4,00 m

720 720 720


Tebal atas zona transisi 2,00 m,
Tebal atas zona transisi 2,00 m, tebal bawah 10,00 m
710 710 tebal bawah 6,00 m 710

Elevasi (m)
Elevasi (m)

Elevasi (m)

700 700 700

690 690 690

680 680 680

670 670 670


Tekanan hidrolis air waduk
Tekanan hidrolis air waduk
660 660 660

650 650 650


0 500 1000 1500 2000 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Tegangan efektif pada permukaan inti kedap Tegangan efektif pada permukaan inti kedap
Tegangan efektif atau Tekanan hidraulik (kPa)
air (kPa) air (kPa)

(a) (b) (c)


Gambar 8. Hasil analisa retak hidrolis pada model bendungan Hyttejuvet dengan variasi tebal filter hulu

Gambar 8a memperlihatkan bahwa hampir seluruh tegangan efektif vertikal pada permukaan hulu inti kurang dari
tekanan hidrolis air waduk, sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila bendungan urugan batu dilaksanakan tanpa
zona timbunan transisi maupun filter hulu, maka dipastikan akan terjadi retak hidrolis. Pada variasi tebal dasar filter
hulu antara 2 sampai 6 meter seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8b, terlihat semakin tebal dimensi filter hulu,
pengaruh fenomena busur pada permukaan hulu inti berkurang, sehingga resiko terhadap terjadinya retak hidrolis
juga akan berkurang. Gambar 8b juga memperlihatkan bahwa pada dimensi filter hulu dengan lebar bawah 6,00
meter dan tebal atas 2,00 meter, lokasi terjadinya retak hidrolis sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kjaernsli dan
Toeblaa (1968), sedangkan apabila dimensi filter hulu dipertebal menjadi lebar dasar 8,00 dan 10,00 meter dan tebal
atas 2,00 meter seperti terlihat pada Gambar 8c, pengaruh fenomena busur sedemikian kecil, sehingga tidak terjadi
retak hidrolis. Hal ini membuktikan bahwa susunan dan dimensi zona timbunan bagian hulu suatu bendungan
urugan batu akan menentukan kemungkinan terjadinya retak hidrolis.

Pengaruh kohesi tahan bahan timbunan inti kedap air


Kohesi tanah merupakan salah satu parameter kuat geser tanah. Di dalam penelitian tentang retak hidrolis pada
bendungan urugan batu (Djarwadi, 2009), dilakukan usaha untuk mengetahui hubungan retak hidrolis dengan
parameter tanah yang digunakan sebagai inti kedap air pada beberapa bendungan yang diteliti. Salah satu dari hasil
penelitian adalah hubungan antara nilai kohesi bahan timbunan inti kedap air dari ke enam bendungan yang diteliti
dengan kuat tarik tanah pada saat mengalami retakan (t). Gambar 9 menunjukkan hubungan antara nilai kohesi
bahan inti kedap air bendungan dengan kuat tarik tanah pada saat mengalami retakan. Gambar 9 tesebut
menginformasikan bahwa terdapat kecenderungan hubungan antara kohesi tanah (c) dengan kuat tarik saat retak
pada uji retak hidrolis sebagai berikut:
a. kuat tarik saat retak (t) cenderung naik pada kohesi tanah yang lebih besar,
b. kuat tarik saat retak (t) cenderung lebih kecil pada uji dengan tegangan awal yang lebih besar.

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


G - 172 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Geoteknik

50

45
tegangan awal 1=200 kPa
40 3=140 kPa

Kuat Tarik saat Retak (kPa)


35

30

25

20

tegangan awal 1=280 kPa


15
3=200kPa

10

tegangan awal 1=360 kPa


5
3=260 kPa

0
40 50 60 70 80 90 100 110 120 130

Kohesi (kPa)

Gambar 9. Hubungan nilai kohesi (c) dengan kuat tarik saat retak (t)
Pengaruh mineral lempung
Hasil uji kuantitatif mineral lempung pada ke enam bendungan yang diteliti mengandung mineral lempung
halloysite, alpha quartz dan hematite dengan persentase yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 5, sedangkan
Bendungan Batubulan, Wonorejo, dan Kedungombo mempunyai mineral montmorillonite masing-masing sebesar
25.78% dan 17.47% dan feldspar masing-masing 20.22%, 14.40% dan 9,91%. Telah diketahui bahwa mineral
montmorrilonite 1/2Ca,Na (Al,Mg,Fe)4(Si,Al)8O20(OH)4.nH2O mempunyai sejumlah molekul air (nH2O) didalamnya
yang memberikan pengaruh terhadap kemampuan menyerap air tinggi, tetapi tidak mempunyai daya adhesi (lekatan)
antar molekulnya, sehingga nilai dispersivitas tanah yang mengandung mineral montmorrilonite tinggi. Hal ini yang
menyebabkan kuat tarik pada saat retak (t) pada bahan inti bendungan Batubulan lebih kecil dibanding dengan inti
bendungan Wonorejo dan Kedungombo. Tampak bahwa mineral lempung montmorillonite mempengaruhi nilai
tekanan retak hidrolis (uf) pada inti bendungan urugan batu.

Tabel 5. Hasil uji kuantiatif mineral lempung bahan timbunan inti kedap air
Jenis mineral Persentasi (%)
lempung Batutegi Sermo Pelaparado Wonorejo Batubulan Kedungombo
Halloysite 51,51 73,08 66,93 42,22 42,18 21,48
Alpha Quartz 42,92 18,50 25,07 8,06 19,40 33,04
Hematite 5,57 8,42 8,00 3,80 6,85 3,41
Montmorillonite --- --- --- 17,47 25,70 9,91
Feldspar --- --- --- 20,22 14,10 ---
Aragonite --- --- --- --- --- 4,89
Calcite --- --- --- --- --- 27,27

7. KESIMPULAN
Masalah retak hidrolis pada bendungan urugan batu, penyebabnya dan cara menghindarinya telah dibahas
berdasarkan hasil penelitian di laboratorium dan analisa numeris dengan menggunakan metoda elemen hingga,
beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan acuan di dalam perencanaan dan pelaksanaan bendungan urugan batu
disampaikan sebagai berikut:
a. Retak hidrolis pada bendungan urugan batu disebabkan oleh fenomena busur yang terjadi oleh karena
konfigurasi dan bentuk inti kedap air, tinggi bendungan, kemiringan pangkal bendungan (abutment), dan
modulus bahan timbunan bendungan.
b. Inti kedap air bendungan urugan batu disarankan mempunyai bentuk trapesium dengan kemiringan sisi
hulu diperhitungkan agar tidak menyebabkan terjadinya fenomena busur secara berlebihan,

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 G - 173
Geoteknik

c. Rasio tinggi berbanding lebar dasar inti kedap air agar diperhatikan guna mengurangi besaran fenomena
busur,
d. Bahan timbunan inti kedap air diusahakan mempunyai nilai kohesi yang besar agar kuat tarik saat retak (t)
tanah cukup besar,
e. Bahan timbunan inti kedap air diusahakan tidak mengandung mineral lempung montmorillonite.

DAFTAR PUSTAKA
Cavounidis, S., and Vaziri, H., 1982, Effect of Plasticity on Load Transfer in Zoned Dams, Proc 4th Intl Conf on
Numerical Methods in Geomechanics, Edmonton, Vol 2, pp 663-669.
Djarwadi, D., 2009. Analisis Retak Hidrolis Inti Bendungan Urugan Batu pada Variasi Kadar Butiran Halus.
Disertasi Doktor pada Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fell, R., Wan, C.F. and Foster, M., 2004, Methods for Estimating the Probability of Failure of Embankment Dams
by Internal Erosion and Piping through the Embankment, Uniciv Report R-428, May 2004, University of New
South Wales, Australia, ISBN: 85841 395 7.
Foster, M., Fell, R., and Spannagle, M. 2000, The statistics of embankment dam failures and accidents, Canadian
Geotechnical Journal, Vol.37, pp 1000 1024.
Kjaernsli, B., and Torblaa, I., 1968, Leakage through horizontal cracks in the core of Hyttejuvet Dam, Norwegian
Geotechnical Institute, Publication no. 80, pp 39-47.
Kulhawy, F.H., and Gurtowski. T.M., (1976), Load transfer and hydraulic fracturing in zoned dams, Journal Soil
Mechanics and Foundation Engineering, ASCE, Vol.102, No.GT9, pp 963-974.
Loftquist, B.,1951, Earth Pressure in a Thin Impervious Core, Transaction of 4th International Congress on Large
Dams, New Delhi, Vol 1, pp.99-109.
Mori, A., and Tamura, M., 1987, Hydrofracturing pressure of cohesive soils. Journal of Soils and Foundation,
JSSMFE, Vol. 27, no.1, pp 14-22.
Ng, K.L.A., and Small, J.C., 1999, A Case Study of Hydraulic Fracturing using finite element. Canadian
Geotechnical Journal, Vol 36, pp 861 875.
Nobari, E.S., Lee, K.L., and Duncan, J.M., 1973, Hydraulic fracturing in Zoned Earth and Rockffill Dams, A Report
of an Investigation, US Army Engineer Waterways Experiment Station, Report no. TE-73-1, Vicksburg. 76pp.
Seed, H.B., Leps, T.M., Duncan, J.M., and Bieber, R.E., 1976, Hydraulic fracturing and its possible role in the
Teton Dam failure. Report to US Department of the Interior and State of Idaho on Failure of Teton dam by
Independent Panel, US Government Printing office. Washington D.C. Appendix D.
Zhang, L., and Du, J., 1997, Effects of abutment slopes on the performance of high rockfill dams. Canadian
Geotechnical Journal. Vol.34. no. 4. pp 489-497.
Zhu, J.G., and Wang, J.J. 2004. Investigation to arch action and hydraulic fracturing of core rockfill dam. New
Development in Dam Engineering. Proc 4th Intl Conf on Dam Engineering. Taylor & Francis Group. London,
pp 1171-1180.

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)


G - 174 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013

Anda mungkin juga menyukai