1
Division Head, Engineering Division, PT Pamapersada Nusantara, Jakarta
Email: didiek.djarwadi@pamapersada.com
2
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRAK
Retak hidrolis adalah suatu fenomena retaknya permukaan inti kedap air bendungan urugan batu
oleh karena tekanan hidrolis air waduk. Fenomena ini bisa terjadi karena fenomena busur
(arching) yang terjadi pada inti kedap air bendungan urugan batu oleh karena beberapa hal.
Fenomena busur yang terjadi pada inti kedap air bendungan urugan baru menyebabkan tegangan
vertikal total akan berkurang dari nilai tekanan overburden. Pada saat penggenangan, waduk, dan
inti menjadi basah, tegangan efektif pada inti kedap air akan berkurang oleh karena adanya
tegangan air pori. Pada suatu kondisi, dimana tegangan efektif kurang dari tegangan tarik tanah,
maka tekanan air waduk dapat meretakkan permukaan inti kedap air suatu bendungan urugan batu.
Apabila retak pada inti kedap air berlanjut dengan rembesan dan erosi buluh (piping), maka
terdapat potensi runtuhnya bendungan, seperti yang dialami oleh bendungan Teton di Amerika
Serikat ada tahun 1976.
Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian tentang retak hidrolis baik di laboratorium dan
analisa numeris. Faktor penyebab terjadinya fenomena busur seperti konfigurasi bukit sandaran
(abutment) bendungan, bentuk dan konfigurasi inti kedap air, modulus bahan timbunan
bendungan, pengaruh tinggi bendungan, dan faktor internal bahan timbunan timbunan inti kedap
air seperti, kuat tarik tanah, kuat geser tanah, kandungan mineral lempung akan dibahas. Analisa
numeris untuk mengetahui kemungkinan terjadinya retak hidrolis dan uji laboratorium untuk
memperoleh nilai kuat tarik (t) akan dibahas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiringan lereng hulu, lebar dasar inti kedap air, dimensi
filter hulu, modulus bahan timbunan bendungan baik inti kedap air, filter, zona transisi dan rockfil,
serta kemiringan lereng bukit sandaran (abutment) adalah faktor luar (external factor) yang dapat
menyebabkan terjadinya retak hidrolis, sedangkan nilai kohesi dan kandungan mineral lempung
bahan timbunan inti kedap air bendungan urugan batu merupakan faktor internal penyebab
terjadinya retak hidrolis.
Kata kunci: retak hidrolis, bendungan urugan batu, inti kedap air, tekanan hidrolis air waduk,
1. PENDAHULUAN
Retak hidrolis (hydraulic fracturing) pada bendungan urugan batu didefinisikan sebagai peristiwa retaknya
permukaan hulu inti oleh tekanan air waduk, karena terjadinya fenomena busur (arching) yang menyebabkan
tegangan total vertikal kurang dari beban diatasnya (overburden pressure), dan pada penggenangan pertama
tegangan air pori mengurangi tegangan efektif sedemikian rupa sehingga tekanan hidrolis air waduk dapat membuat
retak tarik (tension fracture) (Nobari et al., 1973, Seed et al., 1976., dan Ng dan Small 1999). Beberapa bendungan
tercatat telah mengalami retak hidrolis antara lain; bendungan Balderhead, Yards Creek, Teton, Viddalsvatn,
Httejuvet dan lain-lainnya.
Retak hidrolis yang terjadi pada bendungan urugan batu tidak dipengaruhi oleh kecepatan penimbunan dan
kecepatan pengisian waduk. seperti disampaikan pada Tabel 1. Pada pelaksanaan penimbunan yang lebih lama,
tubuh bendungan akan mengalami konsolidasi yang lebih besar dibandingkan dengan bendungan dengan
pelaksanaan penimbunan yang cepat, demikian pula pada pengisian waduk yang lebih lama, inti akan mengalami
pembasahan yang lebih lama, sehingga jejaring aliran (flownet) sudah terbentuk dibandingkan dengan pengisian
waduk yang lebih cepat.
Retak hidrolis selalu terjadi pada saat penggenangan pertama, dimana inti kedap air akan menjadi basah oleh karena
air waduk. Dengan terjadinya pembasahan inti kedap air, maka tegangan efektif akan semakin kecil, dan pada saat
tegangan efektif yang terjadi kurang dari tegangan tarik tanah, maka akan terjadi retakan pada permukaan hulu inti
kedap air. Foster et al (2004) mendokumentasikan waktu terjadinya bocoran pada bendungan urugan batu sampai
dengan tahun 1986, dan hasilnya menunjukkan bahwa 24 dari 51 bendungan yang mengalami kebocoran terjadi
pada saat penggenangan pertama seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa retak hidrolis masih menjadi penyebab utama kebocoran pada bendungan urugan batu.
Tabel 1 Perbedaan kecepatan penimbunan dan penggenangan pada bendungan yang mengalami retak hidrolis.
Waktu pelaksanaan Kecepatan penggenangan
Bendungan Tinggi (m)
(tahun) (m/bulan)
Balderhead 48 4 2
Hyttejuvet 90 1 20
Viddalsvatn 70 1 11
Teton 93 3 27
Yards Creek 24 2 7
Tabel 2 Waktu terjadi keruntuhan bandungan urugan batu karena erosi buluh (Foster et al., 2004).
Jumlah Jumlah % penyebab runtuh
Waktu terjadi keruntuhan
runtuh rusak Runtuh Rusak
Dalam pelaksanaan 1 0 2 0
Selama pengisian pertama 24 26 48 26
Dalam 5 tahun sejak pengisian 7 13 14 13
Setelah 5 tahun 18 60 36 61
Tidak tercatat 1 3 - -
Total kasus erosi buluh 51 102 100 100
busur yang terjadi tidak besar. Pemilihan bahan timbunan inti kedap air yang kompeten dimaksudkan untuk
memperoleh nilai kuat tarik tanah (t) yang cukup besar, sehingga tekanan hidrolis air waduk terhadap inti kedap air
(wedging) yang menimbulkan tegangan tarik pada permukaan hulu inti kedap air tidak melebihi nilai kuat tarik
tanah yang digunakan sebagai bahan inti kedap air.
Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya retak hidrolis dan cara menghindarinya, maka dilakukan uji retak
hidrolis di laboratorium dengan alat uji khusus yang dibuat untuk mengetahui nilai kuat tarik tanah (t), dan analisa
numeris dengan menggunakan metoda elemen hingga pada contoh tanah sebagai bahan timbunan inti kedap air dari
6 (enam) bendungan urugan batu di Indonesia yaitu; bendungan Batubulan dan Pelaparado di Sumbawa, bendungan
Batutegi di Lampung, Bendungan Sermo di Yogyakarta, bendungan Kedungombo di Jawa Tengah, serta bendungan
Wonorejo di Jawa Timur. Untuk memperoleh hasil yang komprehensif, selain pada kondisi aslinya, bahan inti kedap
air tersebut diatas dimodelkan kembali dengan kadar butiran halus ( < 0,074 mm) dari 30, 40, 50, 60, 70 dan 80
persen, sedangkan pemadatan dimodelkan pada kondisi kering, optimum dan basah. Dari pemodelan tersebut
diperoleh 324 contoh tanah yang berbeda. Komposisi mineral lempung dari masing masing bahan timbunan inti
kedap air juga dianalisa guna analisa pengaruh mineral lempung terhadap retak hidrolis.
4. UJI RETAK HIDROLIS DI LABORATORIUM
Pada penelitian ini, konsep retak hidrolis pada permukaan hulu inti kedap air bendungan urugan batu didasarkan
pada pengembangan konsep penelitian terdahulu yaitu tekanan vertikal efektif pada suatu titk kurang dari tekanan
hidrolis, sedangkan tegangan efektif vertikal pada titik tersebut kurang dari tekanan oleh berat sendiri karena
pengaruh busur (arching), dan pola kerusakan adalah retak tarik (tension). Benda uji bukan merupakan model inti di
lapangan, tetapi benda uji hanya suatu sarana untuk memperoleh nilai tegangan tarik tanah pada saat retak (t)
dengan pola retak tarik di laboratorium, yang tegangan awal uji sebagai representasi tegangan pada permukaan inti.
Pada penelitian ini, uji retak hidrolis di laboratorium dilakukan dengan asumsi sebagai berikut:
a. tegangan pada seluruh titik di dalam benda uji dianggap sama,
b. tekanan hidrolis dianggap sebagai tinggi muka air di dalam waduk,
c. tegangan awal adalah tegangan vertikal (y) dan tegangan horizontal (x) pada permukaan hulu inti,
d. tegangan pada permukaan lubang di dalam benda uji dianggap sama,
e. kuat tarik benda uji saat retak dirumuskan sebagai tegangan utama major efektif dikurangi dengan tekanan
retak hidrolis, dan dapat dinyatakan dalam persamaan:
t ( 1' u f ) (1)
dengan t = kuat tarik tanah pada saat retak (kPa), 1 = tegangan efektif utama major (kPa), dan uf =
tekanan retak hidrolis (kPa)
f. fenomena busur oleh pengaruh kemiringan bukit sandaran bendungan urugan batu tidak termodelkan dalam
uji retak hidrolis di laboratorium.
Pada penelitian ini bentuk benda uji yang digunakan adalah silider dengan lubang ditengah. Dimensi benda uji
adalah tinggi 120 mm, diameter 104 mm, sedangkan diameter lubang ditengah adalah 18 mm. Gambar 1
menunjukkan benda uji untuk uji retak hidrolis di laboratorium.
Alat uji hydraulic fracturing di laboratorium dibuat khusus dan merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari
alat uji serupa yang dibuat oleh; Nobari et al (1973), Hassani et al (1985) dan Mori and Tamura (1987). Alat uji
akan terdiri dari beberapa bagian/komponen yang mempunyai fungsi yang berbeda. Bagian atau komponen alat uji
hydraulic fracturing inti kedap air bendungan rockfill di laboratorium adalah:
a. hydraulic fracturing chamber,
b. pressure chamber,
c. alat untuk pemberi tekanan hidraulik,
d. alat untuk pemberi takanan isotropik,
e. alat pengukur tegangan pada benda uji,
f. alat pengukur deformasi aksial benda uji,
g. alat pengukur aliran air ke dalam benda uji.
Konfigurasi alat uji hydraulic fracturing yang merupakan rangkaian bagian atau komponenyang dibuat di
Laboratorium Mekanika Tanah, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada seperti diuraikan diatas
disampaikan pada Gambar 2.
c. tegangan tarik yang terjadi pada titik tersebut kemudian dibandingkan dengan tegangan tarik pada saat
terjadi retakan hasil uji retak hidrolis di laboratorium,
d. apabila tegangan tarik pada titik yang ditinjau lebih besar dari tegangan tarik pada saat terjadi retakan hasil
uji retak hidrolis di laboratorium, maka akan terjadi retak hidrolis,
e. apabila tegangan tarik pada titik yang ditinjau lebih kecil dari tegangan tarik pada saat terjadi retakan hasil
uji retak hidrolis di laboratorium, meskipun terjadi tegangan tarik, tetap tidak terjadi retak hidrolis.
6. HASIL PENELITIAN
Pengaruh bentuk inti kedap air bendungan urugan batu
Bentuk inti kedap air sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya retak hidrolis pada bendungan urugan batu.
Untuk membuktikan hal ini, dilakukan analisa retak hidrolis dengan analisa numerik pada bendungan Hyttejuvet
yang mengalami retak hidrolis seperti dilaporkan oleh Kjaernsli dan Torblaa (1968). Gambar 3 menunjukkan
potongan melintang bendungan Hyttejuvet, dengan bentuk inti kedap air yang menipis secara drastis pada bagian
atas, dan vertikal pada bagian hilirnya.
Gambar 3. Tipikal potongan melintang bendungan Hyttejuvet (Kjaernsli dan Torblaa, 1968).
Hasil analisa numerik dengan metoda elemen hingga menunjukkan bahwa dengan mengganti parameter bahan
timbunan inti kedap air dengan bahan timbunan inti kedap air dari bendungan Batubulan, Batutegi, Kedungombo,
Pelaparado, Sermo dan Wonorejo pada 6 variasi kadar butiran halus dan 3 variasi pemadatan, semua menunjukkan
terjadinya retak hidrolis. Gambar 4 menunjukkan contoh hasil analisa numerik model bendungan Hyttejuvet dengan
bahan timbunan inti kedap air dari bendungan Batubulan yang dipadatkan pada kondisi optimum. Lebih spesifik,
hasil analisa menunjukkan lokasi terjadinya retak hidrolis relative sama, dan sesuai dengan lokasi yang dilaporkan
oleh (Kjaernsli dan Torblaa, 1968). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk dan konfigurasi inti kedap air suatu
bendungan urugan batu akan sangat menentukan kemungkinan terjadinya retak hidrolis.
Water pressure
750 Overburden pressure 750
30.14%
40.12%
50.24% 740
740 60.21%
70.27%
81.30%
730 730
720 720
710
Elevasi (m)
710
Elevasi (m)
690 690
Lokasi tegangan tarik tetapi tidak terjadi hydraulic fracturing
680 680
660 660
650 650
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Tegangan efektif/Tekanan hidraulik (kPa) Persen butiran halus (%)
karena tegangan air pori pada inti kedap air bagian bawah cukup besar, sehingga diputuskan pada bagian atas
dilakukan revisi dengan penipisan bendtuk inti kedap air. Hal ini tanpa disadari menambah nilai fenomena busur.
Cara menghindarkan terjadinya retak hidrolis dalam hal ini adalah merencanakan inti kedap air dengan kemiringan
sisi hulu dan hilir secara simetris, dengan sudut tertentu yang tergantung dari parameter bahan timbunan inti kedap
air, agar fenomena busur dapat dikurangi.
Pengaruh tinggi bendungan
Pengaruh tinggi bendungan dalam hal ini adalah perubahan rasio tinggi berbanding lebar dasar inti kedap air suatu
bendungan urugan batu apabila bendungan tersebut semakin tinggi dengan mempertahankan kemiringan sisi hulu
dan hilir, serta lebar atas inti kedap air dari bendungan tersebut. Pada penelitian ini, data inti kedap air dari ke-enam
bendungan yang diteliti disampaikan pada Tabel 3, sedangkan apabila ke-enam bendungan tersebut dimodelkan
mempunyai tinggi 125 meter dengan kemiringan sisi hulu dan hilir, serta lebar atas inti kedap air sama, maka
konfigurasi inti kedap air disampaikan dalam Tabel 4. Kalau dicermati, dalam hal ini yang berubah adalah rasio
tinggi berbanding lebar dasar inti kedap air. Analisis statistik oleh Fell et al (2004), menyatakan bahwa rasio tinggi
berbanding lebar dasar inti bendungan (H/W > 2) adalah bendungan yang sangat rawan terhadap retak hidrolis,
sedangkan apabila rasio 1<(H/W)<2, maka bendungan tersebut rawan terjadi retak hidrolis. Hal ini menempatkan
bendungan Batubulan, Batutegi, Kebungombo, Pelaparado dan Sermo adalah bendungan yang rawan terhadap retak
hidrolis, sedangkan bendungan Wonorejo adalah bendungan yang sangat rawan terhadap retak hidrolis.
Hasil analisa numerik dengan metoda elemen hingga pada keenam bendungan yang diteliti menunjukkan bahwa:
a. Bendungan Batubulan dengan tinggi aslinya 37 meter, pada model dengan tinggi 125 meter dengan bahan
timbunan mengandung 30 60% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami retak hidrolis,
b. Bendungan Kedungombo dengan tinggi aslinya 60 meter, pada model dengan tinggi 125 meter dengan
bahan timbunan mengandung 30 70% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami retak hidrolis,
c. Bendungan Pelaparado dengan tinggi aslinya 61 meter, pada model dengan tinggi 125 meter dengan bahan
timbunan mengandung 30 70% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami retak hidrolis,
d. Bendungan Sermo dengan tinggi aslinya 49 meter, pada model dengan tinggi 125 meter dengan bahan
timbunan mengandung 30 50% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami retak hidrolis,
e. Bendungan Wonorejo dengan tinggi aslinya 100 meter, pada model dengan tinggi 125 meter tidak
mengalami retak hidrolis,
f. Bendungan Batutegi dengan tinggi aslinya 125 meter, tidak dilakukan analisis karena tinggi aslinya sudah
sama dengan model yang diteliti.
Gambar 5 menunjukkan pola tegangan efektif pada bendungan Batubulan pada tinggi asli dan model 125 meter.
130
30,14%
40,12%
120
50,24%
60,21%
110 70,27%
82,39%
100 Tekanan hidraulik
90
40 30,14%
40,12%
80
50,24%
35 60,21%
Tinggi (m)
70,27% 70
82,39%
30 Tekanan hidraulik
60
25
50
Tinggi (m)
20 40
15 30
10 20
5 10
0
0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
0 200 400 600 800 1000
Tegangan efektif (kPa) Tegangan efektif (kPa)
Gambar 5. Distribusi tegangan efektif pada permukaan hulu inti kedap air bendungan Batubulan pada kondisi asli
dan model dengan tinggi 125 meter.
Gambar 6. Model dan variasi dimensi filter hulu untuk analisa retak hidrolis
Elevasi (m)
Elevasi (m)
Elevasi (m)
Gambar 8a memperlihatkan bahwa hampir seluruh tegangan efektif vertikal pada permukaan hulu inti kurang dari
tekanan hidrolis air waduk, sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila bendungan urugan batu dilaksanakan tanpa
zona timbunan transisi maupun filter hulu, maka dipastikan akan terjadi retak hidrolis. Pada variasi tebal dasar filter
hulu antara 2 sampai 6 meter seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8b, terlihat semakin tebal dimensi filter hulu,
pengaruh fenomena busur pada permukaan hulu inti berkurang, sehingga resiko terhadap terjadinya retak hidrolis
juga akan berkurang. Gambar 8b juga memperlihatkan bahwa pada dimensi filter hulu dengan lebar bawah 6,00
meter dan tebal atas 2,00 meter, lokasi terjadinya retak hidrolis sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kjaernsli dan
Toeblaa (1968), sedangkan apabila dimensi filter hulu dipertebal menjadi lebar dasar 8,00 dan 10,00 meter dan tebal
atas 2,00 meter seperti terlihat pada Gambar 8c, pengaruh fenomena busur sedemikian kecil, sehingga tidak terjadi
retak hidrolis. Hal ini membuktikan bahwa susunan dan dimensi zona timbunan bagian hulu suatu bendungan
urugan batu akan menentukan kemungkinan terjadinya retak hidrolis.
50
45
tegangan awal 1=200 kPa
40 3=140 kPa
30
25
20
10
0
40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
Kohesi (kPa)
Gambar 9. Hubungan nilai kohesi (c) dengan kuat tarik saat retak (t)
Pengaruh mineral lempung
Hasil uji kuantitatif mineral lempung pada ke enam bendungan yang diteliti mengandung mineral lempung
halloysite, alpha quartz dan hematite dengan persentase yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 5, sedangkan
Bendungan Batubulan, Wonorejo, dan Kedungombo mempunyai mineral montmorillonite masing-masing sebesar
25.78% dan 17.47% dan feldspar masing-masing 20.22%, 14.40% dan 9,91%. Telah diketahui bahwa mineral
montmorrilonite 1/2Ca,Na (Al,Mg,Fe)4(Si,Al)8O20(OH)4.nH2O mempunyai sejumlah molekul air (nH2O) didalamnya
yang memberikan pengaruh terhadap kemampuan menyerap air tinggi, tetapi tidak mempunyai daya adhesi (lekatan)
antar molekulnya, sehingga nilai dispersivitas tanah yang mengandung mineral montmorrilonite tinggi. Hal ini yang
menyebabkan kuat tarik pada saat retak (t) pada bahan inti bendungan Batubulan lebih kecil dibanding dengan inti
bendungan Wonorejo dan Kedungombo. Tampak bahwa mineral lempung montmorillonite mempengaruhi nilai
tekanan retak hidrolis (uf) pada inti bendungan urugan batu.
Tabel 5. Hasil uji kuantiatif mineral lempung bahan timbunan inti kedap air
Jenis mineral Persentasi (%)
lempung Batutegi Sermo Pelaparado Wonorejo Batubulan Kedungombo
Halloysite 51,51 73,08 66,93 42,22 42,18 21,48
Alpha Quartz 42,92 18,50 25,07 8,06 19,40 33,04
Hematite 5,57 8,42 8,00 3,80 6,85 3,41
Montmorillonite --- --- --- 17,47 25,70 9,91
Feldspar --- --- --- 20,22 14,10 ---
Aragonite --- --- --- --- --- 4,89
Calcite --- --- --- --- --- 27,27
7. KESIMPULAN
Masalah retak hidrolis pada bendungan urugan batu, penyebabnya dan cara menghindarinya telah dibahas
berdasarkan hasil penelitian di laboratorium dan analisa numeris dengan menggunakan metoda elemen hingga,
beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan acuan di dalam perencanaan dan pelaksanaan bendungan urugan batu
disampaikan sebagai berikut:
a. Retak hidrolis pada bendungan urugan batu disebabkan oleh fenomena busur yang terjadi oleh karena
konfigurasi dan bentuk inti kedap air, tinggi bendungan, kemiringan pangkal bendungan (abutment), dan
modulus bahan timbunan bendungan.
b. Inti kedap air bendungan urugan batu disarankan mempunyai bentuk trapesium dengan kemiringan sisi
hulu diperhitungkan agar tidak menyebabkan terjadinya fenomena busur secara berlebihan,
c. Rasio tinggi berbanding lebar dasar inti kedap air agar diperhatikan guna mengurangi besaran fenomena
busur,
d. Bahan timbunan inti kedap air diusahakan mempunyai nilai kohesi yang besar agar kuat tarik saat retak (t)
tanah cukup besar,
e. Bahan timbunan inti kedap air diusahakan tidak mengandung mineral lempung montmorillonite.
DAFTAR PUSTAKA
Cavounidis, S., and Vaziri, H., 1982, Effect of Plasticity on Load Transfer in Zoned Dams, Proc 4th Intl Conf on
Numerical Methods in Geomechanics, Edmonton, Vol 2, pp 663-669.
Djarwadi, D., 2009. Analisis Retak Hidrolis Inti Bendungan Urugan Batu pada Variasi Kadar Butiran Halus.
Disertasi Doktor pada Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fell, R., Wan, C.F. and Foster, M., 2004, Methods for Estimating the Probability of Failure of Embankment Dams
by Internal Erosion and Piping through the Embankment, Uniciv Report R-428, May 2004, University of New
South Wales, Australia, ISBN: 85841 395 7.
Foster, M., Fell, R., and Spannagle, M. 2000, The statistics of embankment dam failures and accidents, Canadian
Geotechnical Journal, Vol.37, pp 1000 1024.
Kjaernsli, B., and Torblaa, I., 1968, Leakage through horizontal cracks in the core of Hyttejuvet Dam, Norwegian
Geotechnical Institute, Publication no. 80, pp 39-47.
Kulhawy, F.H., and Gurtowski. T.M., (1976), Load transfer and hydraulic fracturing in zoned dams, Journal Soil
Mechanics and Foundation Engineering, ASCE, Vol.102, No.GT9, pp 963-974.
Loftquist, B.,1951, Earth Pressure in a Thin Impervious Core, Transaction of 4th International Congress on Large
Dams, New Delhi, Vol 1, pp.99-109.
Mori, A., and Tamura, M., 1987, Hydrofracturing pressure of cohesive soils. Journal of Soils and Foundation,
JSSMFE, Vol. 27, no.1, pp 14-22.
Ng, K.L.A., and Small, J.C., 1999, A Case Study of Hydraulic Fracturing using finite element. Canadian
Geotechnical Journal, Vol 36, pp 861 875.
Nobari, E.S., Lee, K.L., and Duncan, J.M., 1973, Hydraulic fracturing in Zoned Earth and Rockffill Dams, A Report
of an Investigation, US Army Engineer Waterways Experiment Station, Report no. TE-73-1, Vicksburg. 76pp.
Seed, H.B., Leps, T.M., Duncan, J.M., and Bieber, R.E., 1976, Hydraulic fracturing and its possible role in the
Teton Dam failure. Report to US Department of the Interior and State of Idaho on Failure of Teton dam by
Independent Panel, US Government Printing office. Washington D.C. Appendix D.
Zhang, L., and Du, J., 1997, Effects of abutment slopes on the performance of high rockfill dams. Canadian
Geotechnical Journal. Vol.34. no. 4. pp 489-497.
Zhu, J.G., and Wang, J.J. 2004. Investigation to arch action and hydraulic fracturing of core rockfill dam. New
Development in Dam Engineering. Proc 4th Intl Conf on Dam Engineering. Taylor & Francis Group. London,
pp 1171-1180.