Anda di halaman 1dari 8

Defenisi HIV

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency


syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV
ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh
dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke
dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang
mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel
mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).

Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan hilangnya
imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain yang mempunyai
protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan monosit juga dapat diinfeksi
oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia yang
mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah putih yang berperan dalam sistem
pertahanan tubuh manusia, sehingga ini meningkatkan probabilitas seseorang untuk
mendapat infeksi oportunistik (Levinson, 2008).

Defenisi AIDS

AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan


menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus HIV ini akan
menyerang sel-sel sistem imun manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan dalam
melawan infeksi dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus HIV akan menginvasi sel-
sel ini, dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu menghancurkannya.
Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia

tidak dapat lagi mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap
berbagai jenis penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem
pertahanan tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada
tahap lanjut (AVERT, 2011).

Epidemiologi

a. Umum

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan pada tahun 1987 (Mesquita, et


al, 2007). Secara kumulatif, kasus AIDS di Indonesia, sampai akhir 2010 adalah
sebanyak 24131. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS adalah 4539 orang.
Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1, di mana laki-laki
sebanyak 17626 orang dan perempuan sebanyak 8520 orang (Depkes RI,
2010).

Menurut Centre for Disease Control (CDC), peningkatan kasus HIV/AIDS


menjadi dua kali lipat dari tahun 2003 hingga 2004 (Mesquita, et al, 2007).
HIV/AIDS paling banyak ditransmisi melalui kontak seksual yaitu sebanyak
13441 kasus dan diikuti oleh penggunaan narkotika suntik sebanyak 9242
kasus (Depkes RI, 2010).

b. Pada kalangan pelajar

Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional pada tahun 2008,


sebanyak 63 % remaja Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar
nikah. Sifat ingin tahu yang sangat besar pada remaja menyebabkan mereka
mencoba segala sesuatu yang menurut mereka menarik sehingga
menyebabkan mereka tergolong ke dalam sub-populasi berperilaku risiko
tinggi.

Factor-faktor risiko

Faktor- faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan angka kejadian HIV/AIDS antara
lain:

lingkungan Sosial ekonomi khususnya kemiskinan latar belakang kebudayaan/etnis


keadaan demografi (banyaknya pelabuhan yang disinggahi orang asing). kelompok
masyarakat yang berpotensi punya risiko tinggi HIV adalah: status donor darah
(penerima transfusi darah, pendonor darah jika alat tidak steril), bayi dari ibu yang
dinyatakan menderita AIDS (proses kehamilan, kelahiran dan pemberian ASI),
pecandu narkotik (khususnya IDU, tindik dengan alat yang terpapar HIV/AIDS).
Mereka yang mempunyai banyak pasangan seks pramuria (baik di diskotik atau bar,
WPS, waria, panti pijat, homo dan heteroseks), pola hubungan seks, status awal
berhubungan seks, orang yang terpenjara, keluarga dengan penderita HIV/AIDS
positif (pasangan penderita misal suami/istri) yang tidak menggunakan pelindung,
pemakai alat suntik (pecinta tatto, tindik dengan alat terpapar HIV/AIDS ) sangat
mungkin tertular HIV dan AIDS (Nyoman S, 1990).

Menurut penelitian, risiko paling tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS yaitu perempuan
pekerja seks. Hasil penelitian di Moscow menemukan 79 % dari perempuan pengidap
HIV berasal dari kelompok pekerja seks ( Vilasis keener A dkk, 2001). Hubungan
heteroseks merupakan modus utama infeksi HIV di dunia. Sekitar 30 perempuan di
10 negara dari berbagai kebudayaan, geografi dan pengaturan pemukiman
melaporkan bahwa pengalaman seks pertama kali merupakan akibat dari pemaksaan
sehingga kekerasan seks merupakan pandemi AIDS (Kuniarti, 1995).

Kekerasan seks secara umum meningkatkan risiko penularan karena pelindung pada
umumnya tidak digunakan, sehingga mengakibatkan trauma fisik pada rongga vagina
dan memudahkan transmisi virus saat berhubungan seks (Koening Michael et al,
2007).

Faktor perilaku WPS (Wanita Pekerja Seks) masih menjadi pemicu utama peningkatan
HIV/AIDS. Menurut Taher 2006, Butar et al, 2003, Della 2000, Lapona 1998 penelitian
tersebut menemukan bahwa mayoritas WPS di lokalisasi dan non lokalisasi tidak
konsisten dalam memakai kondom.
Menurut lapona 1998, perempuan menjadi pekerja seks didasari alasan: karena
kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan

serta penghasilan (54%), dikecewakan suami/pasangan (10 %) dan sisanya lain- lain.
Menurut publikasi PKAD tahun 2006 menyatakan dalam satu tahun cakupan
penggunaan kondom di lokalisasi pelacuran tiap bulan rata- rata hanya mencapai
33%. Gambaran ini menunjukkan masih belum optimalnya promosi kesehatan
tentang penggunaan kondom, cara penggunaan kondom yang konsisten serta cara
penggunaan yang benar (Kuniarti sc, 1995).

Gejala Klinis

Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu
gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala Mayor:

1. a) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.


2. b) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.

3. c) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.

4. d) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.

5. e) Demensia/ HIV ensefalopati.

Gejala Minor:

1. a) Batuk menetap lebih dari 1 bulan.


2. b) Dermatitis generalisata.

3. c) Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang.

4. d) Kandidias orofaringeal.

5. e) Herpes simpleks kronis progresif.

6. f) Limfadenopati generalisata

7. g) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

8. h) Retinitis virus sitomegalo

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.

a) Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam,
faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia,
penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal
neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous
maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan
plasma viremia.

Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang
itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas
beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun
terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan mengalami
limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.

b) Fase asimptomatik

Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat
RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik
daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.

c) Fase simptomatik

Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

Etiologi dan Patogenesis

Pada tahun 1983, penyebab AIDS ditemukan yaitu human T-cell lymphotropic virus-
type III/lymphadenopathy-associated virus (HTLV-III/LAV) dan kemudian namanya
ditukarkan kepada human immunodeficiency virus (HIV) (CDC, 2006). Virus ini
termasuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. HIV mempunyai nukleoid
yang berbentuk silindris yang dikelilingi oleh glikoprotein spesifik virus. Selain tiga
gen khas retrovirus yaitu gag, pol dan env yang berperan pada protein struktural,
genom RNA mempunyai enam gen. Dimana gen tat dan rev berperan dalam replikasi
dan empat gen lain yaitu nef, vif, vpr, dan vpu adalah gen aksesori yang tidak
berperan dalam replikasi (Levy, 2007)

Gen gag memberikan kode untuk protein p24. Gen pol memberikan kode untuk
beberapa protein, seperti reverse transcriptase yang berperan dalam mensintesa
DNA dengan menggunakan genom RNA sebagai template, intergrase yang
mengintergratasikan DNA virus kepada DNA selular, dan protease yang membelah
protein prekusor virus. Selain itu, gen env memberikan kode untuk protein gp160
yaitu protein prekusor yang dibelah membentuk glikoprotein gp120 dan gp41. Gen
tat berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi
transkripsional dari gen virus lainnya. Manakala gen rev berperan dalam mengawal
pengeluaran mRNA dari nukleus ke sitoplasma. Protein tat dan nef akan menekan
sintesa protein MHC kelas I, yang mengurangkan kemampuan sel T sitotoksik untuk
membunuh sel-sel yang telah diinfeksi oleh HIV. Gen vif meningkatkan infektifitas HIV
dengan menghambat apolipoprotein B RNA-editing enzyme (APOBEC3G). Enzim ini
menyebabkan hipermutasi dalam DNA retrovirus, dimana ia mendeaminasi sitosin
yang ada pada mRNA dan DNA retrovirus. Maka, ini menginaktivasi molekul lalu
menggurangkan infektifitas (Levinson, 2008).

Setelah virus masuk ke dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4 yaitu gp120.
Setelah itu HIV gp120 akan berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel,
yaitu reseptor kemokin seperti CXCR4 dan CCR5 (Weber, 2001). Virion gp41 protein
membantu fusi antara selubung virus dan membran sel, dan virus masuk ke dalam
sel. Masuk HIV kedalam CD4-positive cells memerlukan reseptor kemokin. Kemudian
T-cell-tropic strains HIV akan berikatan dengan CXCR4 dan macrophage-tropic stains
berikatan dengan CCR5. Setelah proses uncoating, virus RNA-dependent DNA
polymerase akan mentranskripsi genom RNA kepada DNA yang akan berintegrasi
dengan sel DNA manusia. Integrasi ini dimediasi oleh virus-encoded endonuclease
(integrase). mRNA virus ditranskripsi dari DNA proviral oleh RNA polimerase sel
tubuh manusia dan ia ditranslasikan kepada beberapa bentuk poliprotein besar.
Poliprotein gag, pol, dan env dibelah oleh enzim protease.

Poliprotein gag akan membentuk inti protein (p24) dan protein matriks (p17).
Manakala poliprotein pol akan membentuk reverse transcriptase, integrase, dan
protease. Virus immatur ini mempunyai prekusor poliprotein yang dibentuk di
sitoplasma. Virus immatur dibelah dari sel membran oleh enzim protease.
Pembelahan ini membentuk virus yang matur dan infeksius (Levinson, 2008). Sel T
yang telah diinfeksi oleh HIV akan berada di kelenjar getah bening sehingga mencapai
ambang replikasi yang akan dicapai dalam 2-6 minggu. Seterusnya berlaku
pengeluaran plasma viremia. Proses ini dikatakan infeksi HIV primer. Virus akan mula
menyebar ke seluruh tubuh. Puncak viremia akan menurun secara spontan selepas 2-
4 minggu disebabkan respon imun primer terhadap HIV. Walaupun plasma viremia
ditekan setelah serokonversi, virus HIV masih terdapat dalam tubuh dan genom HIV
dapat ditemukan dalam sel T. Setelah puncak viremia berkurang, sel CD4 akan
kembali ke tingkat dasar, tetapi tetap lebih rendah dari yang terlihat pada saat pre-
infeksi ini tahap dikatakan infeksi HIV kronik asimptomatik. Masa laten infeksi ini
berlaku selama 10 tahun (Weber, 2001).

Penurunan CD4 pada tahap kronik asimptomatik, membuktikan bahwa virus HIV
membunuh sel CD4 melalui cara lisis (Weber, 2001).Kematian sel yang telah diinfeksi
oleh HIV juga disebabkan oleh limfosit CD8 sitotoksik. Efektivitas sel T sitotoksik ini
terbatas karena protein virus yaitu tat dan nef akan menggurangkan sintesa protein
MHC kelas I. Hipotesa lain yang menerangkan tentang kematian sel T helper adalah
HIV berfungsi sebagai superantigen. Ini akan mengaktivasikan sel T helper lain dan
sehingga sel yang diinfeksi oleh HIV mati. Infeksi sel limfosit dan produksi HIV berlaku
secara berterusan (Levinson, 2008). Maka, apabila sel CD4 kurang dari 200 x
imunosupresi yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik (Weber, 2001).

Cara Penularan

HIV dapat ditemukan di darah dan cairan tubuh manusia seperti semen dan cairan
vagina. Virus ini tidak dapat hidup lama di luar tubuh, maka untuk transmisi HIV perlu
ada penukaran cairan tubuh dari orang yang telah terinfeksi HIV. Cara menular virus
ini paling banyak adalah melalui kontak seksual, jarum suntik, dan dari ibu ke anak
(AVERT, 2011).

1. Hubungan seksual
Secara global, penularan virus HIV paling banyak berlaku melalui
heteroseksual.
2. Pengguna narkoba jarum suntik
Pengguna narkoba jarum suntik adalah kelompok risiko tinggi untuk
mendapat HIV. Berkongsi penggunaan jarum suntik secara bergantian adalah
cara yang efisien untuk transmisi virus yang menular melalui darah seperti
HIV dan Hepatitis C. Cara ini akan meningkatkan risiko tiga kali lebih besar
daripada transmisi HIB melalui hubungan seksual.

3. Penularan dari ibu ke anak


Wanita hamil yang mempunyai HIV boleh mentransmisi virus ini saat hamil,
partus dan saat menyusui.

4. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.

5. Infeksi di tempat kesehatan


Hospital dan klinik harus berhati-hati dalam pencegahan penyebaran infeksi
melalui darah (Fan, Conner dan Villarreal, 2011).

Menurut CDC (2007), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan
antara lain:

1. Bekerja atau berada di sekeliling penderita HIV/AIDS.


2. Dari keringat, ludah, air mata, pakaian, telepon, kursi toilet atau melalui hal-
hal sehari-hari seperti berbagi makanan.

3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

4. Berjabat atau bersentuhan dengan penderita HIV/AIDS


5. Ciuman dengan mulut tertutup

Pengobatan

Tidak ada obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan


penyakit dapat diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi
yang tepat antara berbagai obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat
kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda
awal terjadinya AIDS (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011).

Terdapat 5 golongan obat antiretroviral yang bekerja dengan cara yang berbeda.
Nucleoside/nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors adalah salah satu obat ARV
yang bekerja melalui menganggu protein HIV yang dikenali reverse transcriptase,
yang diperlukan untuk replikasi virus. Selain itu Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitors, yang menghambat replikasi dalam sel melalui menginhibisi
protein reverse transcriptase. Seterusnya Protease Inhibitors, yang menginhibisi
protease yang terlibat dalam proses replikasi virus HIV. Entry Inhibitors menghambat
pengikatan atau kemasukkan virus HIV ke dalam sel-sel imun tubuh manusia (Dyk,
2008). Integrase Inhibitors bekerja melalui menga nggu integrase enzyme yang
diperlukan sehingga virus HIV dapat insersi bahan genetik ke dalam sel manusia
(Pontali, Vareldzis, Perriens dan Lo, 2004).

Menurut rekomendasi WHO (2006), orang dewasa dan remaja dengan HIV sebaiknya
memulai terapi antiretroviral ketika:

Infeksi HIV Stadium IV menurut kriteria WHO, tanpa memandang jumlah CD4.
Infeksi HIV Stadium III menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4 <350/mm3.
Infeksi HIV Stadium I atau II menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4
<200/mm3.
Apabila tes CD4 tidak dapat dilaksanakan, maka terapi antiretroviral
sebaiknya dimulai ketika:
Infeksi HIV Stadium IV, tanpa memandang jumlah limfosit total.
Infeksi HIV Stadium III, tanpa memandang jumlah limfosit total.
Infeksi HIV Stadium II dengan jumlah limfosit total <1200/mm3c.

Begitu memulai pengobatan HIV, ia harus digunakan untuk waktu yang sangat lama.
Dengan demikian ia dapat menunda kemungkinan efek samping obat dan benar-
benar memanfaatkan keampuhan efek awal pengobatan terhadap HIV dalam tubuh
manusia (ODHA Indonesia, 2007).

Pencegahan

Menurut The National Womens Health Information Center (2009), tiga cara untuk
pencegahan HIV/AIDS secara seksual adalah abstinence (A), artinya tidak melakukan
hubungan seks, be faithful (B), artinya dalam hubungan seksual setia pada satu
pasang yang juga setia padanya, penggunaan kondom (C) pada setiap melakukan
hubungan seks. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan ABC.

Terdapat cara-cara yang efektif untuk motivasikan masyarakat dalam mengamalkan


hubungan seks aman termasuk pemasaran sosial, pendidikan dan konseling
kelompok kecil. Pendidikan seks untuk remaja dapat mengajarkan mereka tentang
hubungan seksual yang aman, dan seks aman. Pemakaian kondom yang konsisten
dan betul dapat mencegah transmisi HIV (UNAIDS, 2000).

Bagi pengguna narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk


mengurangi risiko tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang harus disuntikkan ke
yang dapat diminum secara oral, jangan gunakan atau secara bergantian
menggunakan semprit, air atau alat untuk menyiapkan NAPZA, selalu gunakan jarum
suntik atau semprit baru yang sekali pakai atau jarum yang secara tepat disterilkan
sebelum digunakan kembali, ketika mempersiapkan NAPZA, gunakan air yang steril
atau air bersih dan gunakan kapas pembersih beralkohol untuk bersihkan tempat
suntik sebelum disuntik (Watters dan Guydish, 1994).

Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut kepada bayinya
ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. Seorang ibu dapat
mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang dapat menghambat
transmisi virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika melahirkan, obat antiviral diberi
kepada ibu dan anak untuk mengurangkan risiko transmisi HIV yang bisa berlaku
ketika proses partus. Selain itu, seorang ibu dengan HIV akan direkomendasikan
untuk memberi susu formula karena virus ini dapat ditransmisi melalui ASI ( The
Nemours Foundation, 1995). Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti
Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan
pembuangan barang- barang tajam , mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum
dan sesudah dilakukannya semua prosedur, menggunakan alat pelindung seperti
sarung tangan, celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat harus
bersentuhan langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya, melakukan desinfeksi
instrumen kerja dan peralatan yang terkontaminasi dan penanganan seprei
kotor/bernoda secara tepat.

Selain itu, darah dan cairan tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah
terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang apakah status orang tersebut baru diduga
atau sudah diketahui status HIV-nya (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011).

Anda mungkin juga menyukai