HIV
HIV
Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan hilangnya
imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain yang mempunyai
protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan monosit juga dapat diinfeksi
oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia yang
mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah putih yang berperan dalam sistem
pertahanan tubuh manusia, sehingga ini meningkatkan probabilitas seseorang untuk
mendapat infeksi oportunistik (Levinson, 2008).
Defenisi AIDS
tidak dapat lagi mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap
berbagai jenis penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem
pertahanan tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada
tahap lanjut (AVERT, 2011).
Epidemiologi
a. Umum
Factor-faktor risiko
Faktor- faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan angka kejadian HIV/AIDS antara
lain:
Menurut penelitian, risiko paling tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS yaitu perempuan
pekerja seks. Hasil penelitian di Moscow menemukan 79 % dari perempuan pengidap
HIV berasal dari kelompok pekerja seks ( Vilasis keener A dkk, 2001). Hubungan
heteroseks merupakan modus utama infeksi HIV di dunia. Sekitar 30 perempuan di
10 negara dari berbagai kebudayaan, geografi dan pengaturan pemukiman
melaporkan bahwa pengalaman seks pertama kali merupakan akibat dari pemaksaan
sehingga kekerasan seks merupakan pandemi AIDS (Kuniarti, 1995).
Kekerasan seks secara umum meningkatkan risiko penularan karena pelindung pada
umumnya tidak digunakan, sehingga mengakibatkan trauma fisik pada rongga vagina
dan memudahkan transmisi virus saat berhubungan seks (Koening Michael et al,
2007).
Faktor perilaku WPS (Wanita Pekerja Seks) masih menjadi pemicu utama peningkatan
HIV/AIDS. Menurut Taher 2006, Butar et al, 2003, Della 2000, Lapona 1998 penelitian
tersebut menemukan bahwa mayoritas WPS di lokalisasi dan non lokalisasi tidak
konsisten dalam memakai kondom.
Menurut lapona 1998, perempuan menjadi pekerja seks didasari alasan: karena
kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan
serta penghasilan (54%), dikecewakan suami/pasangan (10 %) dan sisanya lain- lain.
Menurut publikasi PKAD tahun 2006 menyatakan dalam satu tahun cakupan
penggunaan kondom di lokalisasi pelacuran tiap bulan rata- rata hanya mencapai
33%. Gambaran ini menunjukkan masih belum optimalnya promosi kesehatan
tentang penggunaan kondom, cara penggunaan kondom yang konsisten serta cara
penggunaan yang benar (Kuniarti sc, 1995).
Gejala Klinis
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu
gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala Mayor:
Gejala Minor:
4. d) Kandidias orofaringeal.
6. f) Limfadenopati generalisata
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
a) Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam,
faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia,
penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal
neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous
maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan
plasma viremia.
Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang
itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas
beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun
terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan mengalami
limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
b) Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat
RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik
daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
c) Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
Pada tahun 1983, penyebab AIDS ditemukan yaitu human T-cell lymphotropic virus-
type III/lymphadenopathy-associated virus (HTLV-III/LAV) dan kemudian namanya
ditukarkan kepada human immunodeficiency virus (HIV) (CDC, 2006). Virus ini
termasuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. HIV mempunyai nukleoid
yang berbentuk silindris yang dikelilingi oleh glikoprotein spesifik virus. Selain tiga
gen khas retrovirus yaitu gag, pol dan env yang berperan pada protein struktural,
genom RNA mempunyai enam gen. Dimana gen tat dan rev berperan dalam replikasi
dan empat gen lain yaitu nef, vif, vpr, dan vpu adalah gen aksesori yang tidak
berperan dalam replikasi (Levy, 2007)
Gen gag memberikan kode untuk protein p24. Gen pol memberikan kode untuk
beberapa protein, seperti reverse transcriptase yang berperan dalam mensintesa
DNA dengan menggunakan genom RNA sebagai template, intergrase yang
mengintergratasikan DNA virus kepada DNA selular, dan protease yang membelah
protein prekusor virus. Selain itu, gen env memberikan kode untuk protein gp160
yaitu protein prekusor yang dibelah membentuk glikoprotein gp120 dan gp41. Gen
tat berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi
transkripsional dari gen virus lainnya. Manakala gen rev berperan dalam mengawal
pengeluaran mRNA dari nukleus ke sitoplasma. Protein tat dan nef akan menekan
sintesa protein MHC kelas I, yang mengurangkan kemampuan sel T sitotoksik untuk
membunuh sel-sel yang telah diinfeksi oleh HIV. Gen vif meningkatkan infektifitas HIV
dengan menghambat apolipoprotein B RNA-editing enzyme (APOBEC3G). Enzim ini
menyebabkan hipermutasi dalam DNA retrovirus, dimana ia mendeaminasi sitosin
yang ada pada mRNA dan DNA retrovirus. Maka, ini menginaktivasi molekul lalu
menggurangkan infektifitas (Levinson, 2008).
Setelah virus masuk ke dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4 yaitu gp120.
Setelah itu HIV gp120 akan berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel,
yaitu reseptor kemokin seperti CXCR4 dan CCR5 (Weber, 2001). Virion gp41 protein
membantu fusi antara selubung virus dan membran sel, dan virus masuk ke dalam
sel. Masuk HIV kedalam CD4-positive cells memerlukan reseptor kemokin. Kemudian
T-cell-tropic strains HIV akan berikatan dengan CXCR4 dan macrophage-tropic stains
berikatan dengan CCR5. Setelah proses uncoating, virus RNA-dependent DNA
polymerase akan mentranskripsi genom RNA kepada DNA yang akan berintegrasi
dengan sel DNA manusia. Integrasi ini dimediasi oleh virus-encoded endonuclease
(integrase). mRNA virus ditranskripsi dari DNA proviral oleh RNA polimerase sel
tubuh manusia dan ia ditranslasikan kepada beberapa bentuk poliprotein besar.
Poliprotein gag, pol, dan env dibelah oleh enzim protease.
Poliprotein gag akan membentuk inti protein (p24) dan protein matriks (p17).
Manakala poliprotein pol akan membentuk reverse transcriptase, integrase, dan
protease. Virus immatur ini mempunyai prekusor poliprotein yang dibentuk di
sitoplasma. Virus immatur dibelah dari sel membran oleh enzim protease.
Pembelahan ini membentuk virus yang matur dan infeksius (Levinson, 2008). Sel T
yang telah diinfeksi oleh HIV akan berada di kelenjar getah bening sehingga mencapai
ambang replikasi yang akan dicapai dalam 2-6 minggu. Seterusnya berlaku
pengeluaran plasma viremia. Proses ini dikatakan infeksi HIV primer. Virus akan mula
menyebar ke seluruh tubuh. Puncak viremia akan menurun secara spontan selepas 2-
4 minggu disebabkan respon imun primer terhadap HIV. Walaupun plasma viremia
ditekan setelah serokonversi, virus HIV masih terdapat dalam tubuh dan genom HIV
dapat ditemukan dalam sel T. Setelah puncak viremia berkurang, sel CD4 akan
kembali ke tingkat dasar, tetapi tetap lebih rendah dari yang terlihat pada saat pre-
infeksi ini tahap dikatakan infeksi HIV kronik asimptomatik. Masa laten infeksi ini
berlaku selama 10 tahun (Weber, 2001).
Penurunan CD4 pada tahap kronik asimptomatik, membuktikan bahwa virus HIV
membunuh sel CD4 melalui cara lisis (Weber, 2001).Kematian sel yang telah diinfeksi
oleh HIV juga disebabkan oleh limfosit CD8 sitotoksik. Efektivitas sel T sitotoksik ini
terbatas karena protein virus yaitu tat dan nef akan menggurangkan sintesa protein
MHC kelas I. Hipotesa lain yang menerangkan tentang kematian sel T helper adalah
HIV berfungsi sebagai superantigen. Ini akan mengaktivasikan sel T helper lain dan
sehingga sel yang diinfeksi oleh HIV mati. Infeksi sel limfosit dan produksi HIV berlaku
secara berterusan (Levinson, 2008). Maka, apabila sel CD4 kurang dari 200 x
imunosupresi yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik (Weber, 2001).
Cara Penularan
HIV dapat ditemukan di darah dan cairan tubuh manusia seperti semen dan cairan
vagina. Virus ini tidak dapat hidup lama di luar tubuh, maka untuk transmisi HIV perlu
ada penukaran cairan tubuh dari orang yang telah terinfeksi HIV. Cara menular virus
ini paling banyak adalah melalui kontak seksual, jarum suntik, dan dari ibu ke anak
(AVERT, 2011).
1. Hubungan seksual
Secara global, penularan virus HIV paling banyak berlaku melalui
heteroseksual.
2. Pengguna narkoba jarum suntik
Pengguna narkoba jarum suntik adalah kelompok risiko tinggi untuk
mendapat HIV. Berkongsi penggunaan jarum suntik secara bergantian adalah
cara yang efisien untuk transmisi virus yang menular melalui darah seperti
HIV dan Hepatitis C. Cara ini akan meningkatkan risiko tiga kali lebih besar
daripada transmisi HIB melalui hubungan seksual.
4. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.
Menurut CDC (2007), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan
antara lain:
Pengobatan
Terdapat 5 golongan obat antiretroviral yang bekerja dengan cara yang berbeda.
Nucleoside/nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors adalah salah satu obat ARV
yang bekerja melalui menganggu protein HIV yang dikenali reverse transcriptase,
yang diperlukan untuk replikasi virus. Selain itu Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitors, yang menghambat replikasi dalam sel melalui menginhibisi
protein reverse transcriptase. Seterusnya Protease Inhibitors, yang menginhibisi
protease yang terlibat dalam proses replikasi virus HIV. Entry Inhibitors menghambat
pengikatan atau kemasukkan virus HIV ke dalam sel-sel imun tubuh manusia (Dyk,
2008). Integrase Inhibitors bekerja melalui menga nggu integrase enzyme yang
diperlukan sehingga virus HIV dapat insersi bahan genetik ke dalam sel manusia
(Pontali, Vareldzis, Perriens dan Lo, 2004).
Menurut rekomendasi WHO (2006), orang dewasa dan remaja dengan HIV sebaiknya
memulai terapi antiretroviral ketika:
Infeksi HIV Stadium IV menurut kriteria WHO, tanpa memandang jumlah CD4.
Infeksi HIV Stadium III menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4 <350/mm3.
Infeksi HIV Stadium I atau II menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4
<200/mm3.
Apabila tes CD4 tidak dapat dilaksanakan, maka terapi antiretroviral
sebaiknya dimulai ketika:
Infeksi HIV Stadium IV, tanpa memandang jumlah limfosit total.
Infeksi HIV Stadium III, tanpa memandang jumlah limfosit total.
Infeksi HIV Stadium II dengan jumlah limfosit total <1200/mm3c.
Begitu memulai pengobatan HIV, ia harus digunakan untuk waktu yang sangat lama.
Dengan demikian ia dapat menunda kemungkinan efek samping obat dan benar-
benar memanfaatkan keampuhan efek awal pengobatan terhadap HIV dalam tubuh
manusia (ODHA Indonesia, 2007).
Pencegahan
Menurut The National Womens Health Information Center (2009), tiga cara untuk
pencegahan HIV/AIDS secara seksual adalah abstinence (A), artinya tidak melakukan
hubungan seks, be faithful (B), artinya dalam hubungan seksual setia pada satu
pasang yang juga setia padanya, penggunaan kondom (C) pada setiap melakukan
hubungan seks. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan ABC.
Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut kepada bayinya
ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. Seorang ibu dapat
mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang dapat menghambat
transmisi virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika melahirkan, obat antiviral diberi
kepada ibu dan anak untuk mengurangkan risiko transmisi HIV yang bisa berlaku
ketika proses partus. Selain itu, seorang ibu dengan HIV akan direkomendasikan
untuk memberi susu formula karena virus ini dapat ditransmisi melalui ASI ( The
Nemours Foundation, 1995). Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti
Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan
pembuangan barang- barang tajam , mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum
dan sesudah dilakukannya semua prosedur, menggunakan alat pelindung seperti
sarung tangan, celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat harus
bersentuhan langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya, melakukan desinfeksi
instrumen kerja dan peralatan yang terkontaminasi dan penanganan seprei
kotor/bernoda secara tepat.
Selain itu, darah dan cairan tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah
terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang apakah status orang tersebut baru diduga
atau sudah diketahui status HIV-nya (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011).