Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

RUANG 7B RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR


STATUS EPILEPTIKUS

Oleh,
Prisca Triviana Yanuar
NIM. 0910720069

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
LAPORAN PENDAHULUAN
STATUS EPILEPTIKUS

1. Definisi
Status epileptikus (aktifitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang umum
yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk
mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa
kerusakan kesadaran. (Muttaqin, Arif.2008)
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan berbagai
macam penyebab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh bangkitan neuron
otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku,
perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak.
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang
yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus.
Masalah dasarnya diperkirakan akibat gangguan listrik (disritmia) pada sel syaraf di salah satu
bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak
terkontrol. Karakteristik kejang epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebih ini.

2. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
b. Kriptogenik:Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini
sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai
dengan ensefalopati difus.
c. Imptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma kepala,
infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.

3. Faktor Predisposisi
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-
obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol, atau
mengalami cedera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan.
c. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose, dan neurofibromatosis
dapat menyebabkan kejang yang berulang-ulang.
h. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.

4. Klasifikasi
Berdasarkan letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan, epilapsi diklasifikasikan menjadi:
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal dengan
gejala motorik, yaitu:
a) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja.
b) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas
ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c) Versif: epilepsi disertai gerakanmemutar kepala, mata, tubuh.
d) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu.
e) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris
spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindra dan
bangkitan yang disertai vertigo).
f) Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
g) Visual: terlihat cahaya.
h) Auditoris: terdengar sesuatu.
i) Olfaktorius: terhidu sesuatu.
j) Gustatorius: terkecap sesuatu.
k) Disertai vertigo.
l) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suku kata, kata atau bagian kalimat.
m) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa
di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
n) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o) Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
p) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
q) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran. Serangan parsial
sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian baru
menurun.
1) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
2) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
3) Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
b. Epilepsi umum
1) Petit mal / lena (absence)
a) Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, maka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama - menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
Gejalanya:
Hanya penurunan kesadaran.
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh, mendadak lemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan, menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
Dengan automatisme.
Dengan komponen autonom
b) Lena tak khas (atipical absence)
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand mal
a) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
b) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
c) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini
juga terjadi pada anak.

d) Tonik klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh tubuh kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira - menit diikuti kejang-kejang seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dalam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah meningkat ketika kejang, mulut menjadi berbusa
karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

e) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.

5. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas
neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang
lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-
acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini
aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke
belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai
penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih
mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika
natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak
umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis
jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena
pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas
kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

6. Fase Serangan Kejang


a. Fase Prodromal
Beberapa jam/hari sebelum serangan kejang. Berupa perubahan alam rasa (mood), tingkah
laku
b. Fase Aura
Merupakan fase awal munculnya serangan. Berupa gangguan perasaan, pendengaran,
penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang tidak menentu.
c. Fase Iktal
Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal.
Tanda lain : hipertensi, nadi meningkat, cyanosis, tekanan vu meningkat, tonus spinkter ani
meningkat, tubuh rigid-tegang-kaku, dilatasi pupil, stridor, hipersalivasi, lidah resiko tergigit,
kesadaran menurun.
d. Fase Post Iktal
Merupakan fase setelah serangan. Ditandai dengan : confuse lama, lemah, sakit kepala, nyeri
otot, tidur lama, amnesia retrograd, mual, isolasi diri.

7. Manifestasi Klinis
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak tak terkontrol; bicara
tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan penglihatan, suara,
bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak bertujuan;
dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka rangsang yang
berlebihan; tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
c. Kejang Umum (kejang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan
perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses
sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin dikerjakan
pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.
b. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak.
Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena berkaitan
dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan EEG telah
direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang epileptik,
sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya
dan masih menjadi perdebatan.
c. Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan
pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu penyakit
struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit neurologis fokal dan
perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi
dilakukannya pencitraan pada anak dengan SE.
Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan dikerjakan jika
kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara luas di unit
gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang
bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder.

9. Penatalaksanaan Medis
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubu
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah
lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah
Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi
berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan
tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara
intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT
jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per
menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga
kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus
lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan
darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per
menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan
gambaran EEG.
ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS

1. Pengkajian
a. Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
b. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan berbicara
padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi
penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
c. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1) Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
2) Respon velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
3) Respon nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4) Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri ketika
dicubit dan ditepuk wajahnya.
d. Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan). Pengkajian berpedoman
pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
2) Breathing dan ventilasi
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
4) Disability
5) Eksposur

1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal.


Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
b) Distres pernafasan
c) Adanya kemungkinan fraktur cervical
Pada fase iktal, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga menghalangi
jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya
ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut
2) Breathing
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, dan kulit
tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami apneu
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam keadaan tidak
sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari epilepsi
yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera
tambahan akibat kejang
e. Pengkajian sekunder
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien mulai
serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu
tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang
disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa
menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol.
Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa
rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-
hati dalam hubungan dengan orang lain.
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan,, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan tonus
otot, gerakan involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi
inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas
kejang, kerusakan jaringan lunak

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi adalah:
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, peningkatan sekresi
mucus
b. Resiko tinggi injuri b.d perubahann kesadaran , kerusakan kognitif,selama kejang atau
kerusakan perlindungan diri.
c. Gangguan harga diri/identitas pribadi berhubungan dengan stigma berkenaan dengan
kondisi, persepsi tidak terkontrol ditandai dengan pengungkapan tentang perubahan gaya
hidup, takut penolakan; perasaan negative tentang tubuh
d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses perjalanan penyakit berhubungan dengan

kurangnya informasi
3. Rencana Intervensi
No Perencanaan
Dx Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
.
1 Pola napas tidak Mempertahankan a. Anjurkan klien untuk a. Menurunkan resiko
efektif pola pernapasan mengosongkan mulut aspirasi atau masuknya
berhubungan efektif dengan dari benda / zat tertentu benda asing ke faring
b. Meningkatkan aliran
dengan kerusakan jalan napas paten / gigi palsu atau alat
(drainase) secret,
neuromuskuler, lainnya jika fase aura
mencegah lidah jatuh
peningkatan terjadi dan untuk
sehingga menyumbat
sekresi mucus menghindari rahang
jalan napas
mengatup jika kejang
c. Untuk memfasilitasi
terjadi tanpa ditandai
usaha bernapas
gejala awal. d. Mencegah tergigitnya
b. Letakkan klien pada
lidah dan memfasilitasi
posisi miring, permukaan
saat melakukan
datar, miringkan kepala
penghisapan lender. Jalan
selama serangan kejang
napas buatan mungkin
c. Tanggalkan pakaian
diindikasikan setelah
pada daerah leher, dada,
meredanya aktivitas
dan abdomen
d. Masukkan spatel lidah kejang jika pasien
/ jalan napas buatan atau tersebut tidak sadar dan
gulungan benda lunak tidak dapat
sesuai indikasi mempertahankan posisi
e. Lakukan penghisapan
lidah yang aman
sesuai indikasi e. Menurunkan resiko
f. Berikan tambahan
aspirasi atau asfiksia
oksigen / ventilasi manual f. Dapat menurunkan
sesuai kebutuhan pada hipoksia serebral sebagai
fase posiktal akobat dari sirkulasi yang
g. Siapkan / bantu
menurun atau oksigen
melakukan intubasi jika
sekunder terhadap
ada indikasi
spasme vaskuler selama
serangan kejang
g. Munculnya apneu yang
berkepanjangan pada
fase posiktal
membutuhkan dukungan
ventilator mekanik
2 Resiko tinggi Mengurangi a. Kaji karakteristik a. Untuk mengetahui
injuri b.d resiko injuri pada kejang seberapa besar tingkatan
b. Jauhkan pasien dari
perubahann pasien kejang yang dialami
benda benda tajam /
kesadaran , pasien sehingga
membahayakan bagi
kerusakan pemberian intervensi
pasien
kognitif,selama berjalan lebih baik
c. Masukkan spatel lidah /
b. Benda tajam dapat
kejang atau
jalan napas buatan atau
melukai dan mencederai
kerusakan
gulungan benda lunak
fisik pasien
perlindungan diri.
sesuai indikasi c. Dengan meletakkan
d. Kolaborasi dalam
spatel lidah diantara
pemberian obat anti
rahang atas dan rahang
kejang
bawah, maka resiko
pasien menggigit lidahnya
tidak terjadi dan jalan
nafas pasien menjadi
lebih lancer
d. Obat anti kejang dapat
mengurangi derajat
kejang yang dialami
pasien, sehingga resiko
untuk cidera pun
berkurang
3 Gangguan harga Mengidentifikasi a. Diskusikan perasaan a. Reaksi yang ada
diri/identitas perasaan dan pasien mengenai bervariasi diantara
pribadi metode untuk diagnostic, persepsi diri individu dan pengetahuan
berhubungan koping dengan terrhadap penanganan / pengalaman awal
dengan stigma persepsi negative yang dilakukannya. dengan keadaan
b. Anjurkan untuk
berkenaan pada diri sendiri penyakitnya akan
mengungkapkan /
dengan kondisi, mempengaruhi
mengekspresikan
persepsi tentang penerimaan
perasaannya b. Adanya keluhan
tidak terkontrol
c. Identifikasi/antisipasi
merasa takut, marah dan
ditandai dengan
kemungkinan reaksi
sangat memperhatikan
pengungkapan
orang pada keadaan
tentang implikasinya di
tentang
penyakitnya. Anjurkan
perubahan gaya klien untuk tidak masaa yang akan datang
hidup, takut merahasiakan dapat mempengaruhi
penolakan; masalahnya pasien untuk menerima
d. Gali bersama pasien
perasaan negative keadaanya
mengenai keberhasilan c. Memberikan
tentang tubuh
yang telah diperoleh atau kesempatan untuk
yang akan dicapai berespon pada proses
selanjutnya dan kekuatan pemecahan masalah dan
yang dimilikinya memberikan tindakan
e. Tentukan sikap /
control terhadap situasi
kecakapan orang
yang dihadapi
terdekat. Bantu d. Memfokuskan pada
menyadari perasaan aspek yang positif dapat
tersebut adalah normal, membantu untuk
sedangkan merasa menghilangkan perasaan
bersalah dan dari kegagalan atau
menyalahkan diri sendiri kesadaran terhadap diri
tidak ada gunanya sendiri dan membentuk
f. Tekankan pentingnya
pasien mulai menerima
orang terdekat untuk
penangan terhadap
tetap dalam keadaan
penyakitnya
tenang selama kejang e. Pandangan negative
dari orang terdekat dapat
berpengaruh terhadap
perasaan kemampuan/
harga diri klien dan
mengurangi dukungan
yang diterima dari orang
terdekat tersebut yang
mempunyai resiko
membatasi penanganan
yang optimal
f. Ansietas dari pemberi
asuhan adalah menjalar
dan bila sampai pada
pasien dapat
meningkatkan persepsi
negative terhadap
keadaan lingkungan/diri
sendiri
4 Kurang pengetahuan a. Kaji tingkat pendidikan a. pendidikan merupakan
pengetahuan keluarga keluarga klien. salah satu faktor penentu
b. Kaji tingkat
keluarga tentan meningkat, tingkat pengetahuan
pengetahuan keluarga
proses perjalanan keluarga mengerti seseorang
klien. b. untuk mengetahui
penyakit dengan proses
c. Jelaskan pada keluarga
seberapa jauh informasi
berhubungan penyakit epilepsy,
klien tentang penyakit
yang telah mereka
dengan keluarga klien
kejang demam melalui
ketahui,sehingga
kurangnya tidak bertanya
penyuluhan.
pengetahuan yang
informasi lagi tentang d. Beri kesempatan pada
nantinya akan diberikan
penyakit, keluarga untuk
dapat sesuai dengan
perawatan dan menanyakan hal yang
kebutuhan keluarga
kondisi klien. belum dimengerti.
c. untuk meningkatkan
e. Libatkan keluarga
pengetahuan
dalam setiap tindakan
d. untuk mengetahui
pada klien.
seberapa jauh informasi
yang sudah dipahami
e. agar keluarga dapat
memberikan penanngan
yang tepat jika suatu-
waktu klien mengalami
kejang berikutnnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang Klinik Penanganan
Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.
2. Penatalaksanaan status epileptikus, Available at : http://owthey.blogspot.com/ diakses 1 April
2011.
3. Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
4. Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from: http://emedicine.medscape.com/diakses 3 April
2011
5. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of
convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
6. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am 2001;48:683-94.

Anda mungkin juga menyukai