Bab IV Salma Dhia Fix
Bab IV Salma Dhia Fix
HASIL PENELITIAN
41
Tabel 4.1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Karakteristik Dasar
Persentase
No Variabel Klasifikasi Frekuensi
(%)
1. Jenis Kelamin - Laki-laki 81 100
- Perempuan 0 0
2 Usia - 20-30 tahun 3 3,7
- 31-40 tahun 4 4,9
- 41-50 tahun 16 19,8
- 50-60 tahun 35 43,2
- >60 tahun 23 28,4
3. Riwayat Penyakit - Ya 20 24,7
Jantung Koroner - Bukan 61 75,3
4. Diabetes Mellitus - Ya 20 24,7
- Tidak 61 75,3
5. Dislipidemia - Ya 44 54,3
- Tidak 37 45,7
6. Hipertensi - Ya 57 70,4
- Tidak 24 29,6
7 Obesitas - Ya 15 18,5
- Tidak 66 82,5
43
sampel dengan dua faktor risiko yaitu merokok dan hipertensi sebesar
17,3%. Sampel yang hanya memiliki faktor risiko merokok sebesar 3,7%.
38%
Perokok baru PJK
Perokok baru Non PJK
62%
19%
Perokok lama PJK
81%
25%
75%
45
Diagram 4.4 Distribusi Frekuensi Perokok Sedang yang Menderita PJK
22%
78%
18%
82%
46
4.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan antara lama
merokok dan jumlah konsumsi rokok dengan penyakit jantung koroner
menggunakan uji statistik ChiSquare dan rasio prevalensi (RP) untuk
memperkirakan risiko variabel yang diteliti. Adapun hasil analisis dapat
dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5.
Tabel 4.4 Hubungan lama merokok dengan penyakit jantung koroner pada
pasien rawat inap di Intensive Cardiovascular Care Unit (ICCU) RSUD
M. Yunus Bengkulu (n=81)
Lama Merokok Penyakit Jantung Koroner Total
Ya Tidak
N % N %
Perokok baru 5 62,5% 3 37,5% 8
Perokok lama 59 80,8% 14 19,2% 73
Tabel 4.4 diatas merupakan tabel 2x2 hasil analisa hubungan antara
lama merokok dengan penyakit jantung koroner menggunakan uji Chi-
Square, namun berdasarkan hasil statistik diperoleh 1 sel yang memiliki
nilai expected count <5, sehingga tidak memenuhi syarat uji Chi-square
dan sebagai uji alternatif dilakukan uji Fisher.
Pada Tabel 4.5 hasil uji statistik dengan uji Fisher diperoleh nilai
p = 0,355 (p > 0,05) dan didapatkan nilai RP 0,395 dengan Confidence
Interval (IC) sebesar 95% 0,9-19,95 dan Rasio Prevalensi <1 maka secara
statistik dapat disimpulkan bahwa H1 ditolak artinya tidak terdapat
hubungan antara lama merokok dengan penyakit jantung koroner pada
pasien rawat inap di Intensive Cardiovascular Care Unit (ICCU) RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu.
47
Tabel 4.5 Hubungan lama merokok dengan penyakit jantung koroner
menggunakan uji Fisher
PJK
Total RP P
Lama Merokok Ya Tidak
Perokok baru 5 3 8
F: uji Fisher
Keterangan:
RP = Rasio prevalensi
p = Pearson Correlation Chi-Square test
Tabel 4.6 diatas merupakan tabel 3x2 hasil analisa hubungan antara
jumlah konsumsi rokok per hari dengan penyakit jantung koroner
menggunakan uji Chi-Square dan diperoleh hasil p= 0,849 (p> 0,05), RP=
48
0,667 untuk perokok ringan dan RP= 0,794 untuk perokok sedang dengan
Confidence Interval (IC) sebesar 95% 0,9-19,95 dan Rasio Prevalensi <1
yang berarti secara statistik tidak ada hubungan antara jumlah konsumsi
rokok dengan penyakit jantung koroner pada pasien rawat inap di Intensive
Cardiovascular Care Unit (ICCU) RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
49
BAB V
PEMBAHASAN
50
pasien PJK yang menderita DM hanya sebesar 39,58%. DM yang tidak
dikelola dengan baik akan berkomplikasi menjadi mikroangiopati seperti
retinopati dan makroangiopati seperti penyakit jantung koroner dan stroke.
Orang yang menderita DM lebih berisiko terkena penyakit jantung dua
sampai empat kali dibandingkan dengan yang tidak menderita DM
(Yuliani et al., 2014).
Hasil yang didapat untuk subjek penelitian yang mengalami
obesitas di ruang ICCU RSUD M. Yunus hanya sebesar 18,5%. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Poli Klinik Jantung RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh pada tahun 2012 yakni proporsi subjek
penelitian yang menderita PJK dan mengalami obesitas sebesar 7,4 %
(Aisyatun, 2014). Menurut Westlund dan Nicholay Sen dalam Rilantono
(2012), obesitas sedang akan meningkatkan risiko penyakit jantung
koroner 10 kali lipat, bahkan jika berat badan lebih besar 45% dari berat
badan standar, maka risiko terjadinya penyakit DM akan meningkat
menjadi 30 kali lipat.
Proporsi yang cukup tinggi di ruang ICCU RSUD M. Yunus
ditempati oleh faktor risiko dislipidemia yaitu sebesar 54,3%. Dislipidemia
merupakan salah satu dari faktor risiko utama untuk terjadinya
aterosklerosis dan menjadi penyakit jantung koroner selain merokok dan
hipertensi.
Hasil penelitian di Ruang ICCU RSUD M. Yunus bengkulu
menunjukkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko yang paling
banyak pada subjek penelitian yaitu sebesar 70,4%. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan di RSUPN DR Cipto Mangunkusumo pada
tahun 2012 yaitu proporsi subjek penelitian yang menderita hipertensi
sebesar 57,35%. Risiko penyakit jantung akan meningkat sejalan dengan
peningkatan tekanan darah terutama pada peningkatan tekanan darah
sistolik 130-139 mmHg dan tekanan darah diastolik 85-89 mmHg akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah
51
sebesar 2 kali dibandingkan dengan tekanan darah kurang dari 120/80
mmHg (Rosmiatin, 2012).
Hasil penelitian di Ruang ICCU RSUD M. Yunus Bengkulu juga
menunjukkan bahwa proporsi faktor risiko terbesar yang menyebabkan
penyakit jantung koroner yaitu merokok, hipertensi dan dislipidemia yaitu
sebesar 18,5 %. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa
kebiasaan merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor risiko
utama penyakit jantung koroner di samping hipertensi dan
hiperkolesterolemia. Orang yang mengonsumsi rokok lebih 20 batang
perhari dapat mempengaruhi atau bahkan memperkuat efek dua faktor
utama risiko lainnya (Rilantono, 2012).
5.2 Distribusi frekuensi lama merokok dan jumlah konsumsi rokok pada
pasien rawat inap di Intensive Cardiovascular Care Unit (ICCU) RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu
52
5.3 Hubungan lama merokok dengan penyakit jantung koroner pada
pasien rawat inap di Intensive Cardiovascular Care Unit (ICCU) RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu
Hasil uji statistik didapatkan p value = 0,355 (> 0,05) yang berarti
bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama
merokok dengan penyakit jantung koroner di Intensive Cardiovascular
Care Unit (ICCU) RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu dan didapatkan pula
nilai Rasio Prevalensi (RP) = 0,395 dengan Confidence Interval (IC)
sebesar 95% 0,9-19,95 dan Rasio Prevalensi <1 yang menandakan lama
merokok belum bisa ditentukan sebagai faktor risiko atau faktor protektif
untuk timbulnya penyakit jantung koroner pada pasien rawat inap di
Intensive Cardiovascular Care Unit (ICCU) RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu bulan Januari-Maret tahun 2016.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di poli
jantung RSUD Dr H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada tahun 2015
yang menyatakan ada hubungan antara riwayat lama merokok dengan
penyakit jantung koroner dengan p= 0,000 ( Dayu, 2015). Hasil penelitian
ini juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara lama merokok dengan penyakit jantung koroner dengan nilai
p = 0,003 (Savia et al., 2013). Hasil penelitian ini juga tidak sejalan
dengan teori bahwa merokok dalam jangka waktu yang lama akan
meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan serangan jantung,
merokok akan memicu pembentukan plak pada arteri, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko penyakit jantung
koroner dengan cara menurunkan kadar kolesterol HDL (Ramandika,
2012) dan Efek inhalasi asap kronik dari rokok mengakibatkan cedera
toksik berulang pada sel endotel sehingga mempercepat terjadinya
aterogenesis (Biermann, 2000).
53
Tidak adanya hubungan yang signifikan dalam penelitian ini
kemungkinan dikarenakan banyaknya faktor risiko lain yang bisa
mempengaruhi terjadinya PJK seperti faktor risiko yang tidak dapat
diubah yaitu riwayat menderita PJK dalam keluarga, faktor usia dan jenis
kelamin dan juga faktor lain yang berhubungan dengan pola hidup dan
riwayat penyakit lain seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia,
obesitas dan aktivitas fisik yang kurang. Selain itu juga jumlah sampel
yang sedikit dan ketidakseimbangan antara jumlah sampel yang menderita
PJK dengan tidak menderita PJK di ruang ICCU kemungkinan
mempengaruhi hasil statistik sehingga dibutuhkan sampel yang lebih
banyak dan seimbang. Selama tiga bulan penelitian jumlah sampel yang
ditemukan sedikit karena cukup banyak calon subjek penelitian yang
tereksklusi dan tidak memenuhi kriteria inklusi.
5.4 Hubungan jumlah konsumsi rokok dengan penyakit jantung koroner
pada pasien rawat inap di Intensive Cardiovascular Care Unit (ICCU)
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Hasil uji statistik didapatkan p value = 0,849 (p> 0,05) yang berarti
secara statistik tidak ada hubungan antara jumlah konsumsi rokok dengan
penyakit jantung koroner pada pasien rawat inap di intensive
cardiovascular care unit (ICCU) RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Nilai
RP = 0,667 untuk perokok ringan, dan RP = 0,794 untuk perokok sedang
dengan Confidence Interval (IC) sebesar 95% 0,9-19,95 dan Rasio
Prevalensi <1 yang berarti jumlah konsumsi rokok belum bisa ditentukan
sebagai faktor risiko atau faktor protektif untuk terjadinya penyakit
jantung koroner pada pasien rawat inap di intensive cardiovascular care
unit (ICCU) RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu bulan Januari-Maret tahun
2016.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang menyatakan ada
hubungan antara jumlah batang rokok yang dikonsumsi dengan penyakit
54
jantung koroner dengan nilai p = 0,002 (Savia et al., 2013). Hasil
penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa
seorang perokok setidaknya dua kali lebih mungkin untuk mengalami
penyakit jantung koroner dibandingkan dengan bukan perokok. Bukti yang
muncul bahwa risiko mungkin akan lima kali lipat lebih tinggi terjadi pada
perokok dibawah 50 tahun. Risiko kematian pada serangan jantung lebih
besar terjadi pada perokok. Sebuah studi yang dilakukan 34.439 dokter
umum antara tahun 1951 hingga 2001, menemukan bahwa terjadi
peningkatan angka mortalitas sebesar 62% akibat serangan jantung pada
perokok dibandingkan dengan bukan perokok dan juga terjadi peningkatan
risiko sebesar 32% dibandingkan dengan mantan perokok. Bahkan
perokok ringan juga meningkatkan risiko terkena PJK. Sebuah studi di
Denmark menemukan bahwa merokok 3-5 batang per hari secara
signifikan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (Honjo et al.,
2010).
Tidak adanya hubungan yang signifikan dalam penelitian ini
kemungkinan dikarenakan banyaknya faktor risiko lain yang bisa
mempengaruhi terjadinya PJK seperti faktor risiko yang tidak dapat
diubah yaitu riwayat menderita PJK dalam keluarga, faktor usia dan jenis
kelamin dan juga faktor lain yang berhubungan dengan pola hidup dan
riwayat penyakit lain seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia,
obesitas dan aktivitas fisik yang kurang. Selain itu juga jumlah sampel
yang sedikit dan ketidakseimbangan antara jumlah sampel yang menderita
PJK dengan tidak menderita PJK di ICCU kemungkinan mempengaruhi
hasil statistik sehingga dibutuhkan sampel yang lebih banyak dan
seimbang. Selama tiga bulan penelitian jumlah sampel yang ditemukan
sedikit karena cukup banyak calon subjek penelitian yang tereksklusi dan
tidak memenuhi kriteria inklusi.
55
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Intensive Cardiovascular Care Unit
(ICCU) RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu pada bulan Januari-Maret tahun
2016 didapatkan bahwa:
a. Jumlah perokok yang menderita penyakit jantung koroner lebih
banyak dibandingkan dengan perokok yang tidak menderita
penyakit jantung koroner.
b. Proporsi sampel terbesar ada pada perokok lama yang menderita
penyakit jantung koroner sebesar 80,8% dan perokok berat yang
menderita penyakit jantung koroner sebesar 81,8%.
c. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama merokok
dengan penyakit jantung koroner dan lama merokok belum bisa
ditentukan sebagai faktor risiko atau faktor protektif untuk
timbulnya penyakit jantung koroner
d. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah konsumsi
rokok dengan penyakit jantung koroner dan jumlah konsumsi rokok
belum bisa ditentukan sebagai faktor risiko atau faktor protektif
untuk timbulnya penyakit jantung koroner.
6.2 Saran
1. Terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi kejadian penyakit
jantung koroner. Oleh karena itu, sebaiknya perlu dipertimbangkan
untuk melakukan penelitian terhadap semua faktor risiko penyakit
jantung koroner khususnya di RSUD M.Yunus Bengkulu.
2. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan sampel yang lebih besar,
jumlah sampel yang tidak menderita penyakit jantung koroner lebih
banyak dan waktu yang lebih lama.
56
3. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian
dengan studi case control karena lebih baik dari studi cross sectional.
57