Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

Regional Anestesi pada Sectio


Caesaria

Disusun Oleh:
Herdanti Dwi Putri, S.Ked
110.2010.121

Pembimbing:
dr. Dublianus Sp.An
dr. Evita Sp.An
dr. Tati Sp.An

DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI SALAH SATU


PERSYARATAN TUGAS KEPANITERAAN DI BAGIAN
RADIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON


2015

0
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya karena atas rahmat dan ridho-Nya,
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Regional Anestesi pada Sectio
Caearia. Penulis sangat sadar bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak,
penulis tidak akan dapat menyelesaikan referat ini.

Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis tujukan kepada:


1. Kedua orangtua penulis, ibunda R.A. Etika Astara dan ayahanda tercinta dr. Herman
Bermawi, Sp.A(K), yang akan selalu menjadi sumber inspirasi penulis, yang tidak pernah
berhenti memberikan dukungannya baik dalam moral maupun materiil.
2. Dr. Dublianus Sp. An, Dr. Evita Sp.An, dan Dr. Tati Sp.An selaku pembimbing yang
dengan segala kesibukan dan aktifitasnya, masih meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis.
3. Teman-teman dan semua pihak yang telah turut membantu dalam pembuatan referat ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Tak lupa penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan laporan kasus
ini karena terbatasnya pengetahuan yang dimiliki. Masukan kritik dan saran yang konstruktif
sangat penulis hargai. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Cilegon, September 2015

(Herdanti Dwi Putri, S.Ked.)

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 1

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 3

BAB 2 LAPORAN KASUS ........................................................................... 4

BAB 3 LAPORAN ANESTESI ..................................................................... 8

BAB 4 ANALISA KASUS ............................................................................. 13

BAB 5 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 32

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi secara umum diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
pada prosedur pembedahan dan berbagai prosedur lainya. Obat untuk mengilangkan nyeri
dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat penghilang
nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran. Terdapat berberapa tipe anestesi, yaitu anestesi total
dengan menghilangkan kesadaran secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada tubuh
daerah tertentu,anestesi regional dengan blokade selektif pada spinal atau saraf sehingga
bekerja pada bagian yang lebih luas.
Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok perifer.
Spinal anestesi, adalah teknik regional pertama utama dalam praktek klinis. Operasi sectio
caesaria memerlukan anestesi yang efektif yaitu regional (epidural atau tulang belakang) atau
anestesi umum. Dengan epidural anestesi, obat anestesi yang dimasukkan ke dalam ruang di
sekitar tulang belakang pasien, sedangkan dengan spinal anestesi yaitu obat anestesi
disuntikkan sebagai dosis tunggal ke dalam tulang belakang pasien. Dengan dua jenis
anestesi regional ini pasien terjaga dalam proses persalinan, tetapi mati rasa dari pinggang ke
bawah.
Keuntungan dari spinal anestesi dibandingkan dengan anestesi epidural adalah
kecepatan onsetnya. Kerugian spinal anestesi adalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-
muntah intrapartum, kemungkinan adanya post spinal headache, lama kerja obat anestesi
terbatas. Komplikasi yang paling umum ditemui dengan anestesi spinal adalah hipotensi,
yang disebabkan blokade sistem saraf simpatik. Akibatnya, penurunan resistensi vaskuler
sistemik dan perifer terjadi penurunan cardiac output. Dalam beberapa kasus, efek
kardiovaskular dapat bermanifestasi sebagai hipotensi mendalam & bradikardia. Hipotensi
merupakan masalah yang serius yang terjadi dalam spinal anestesi pada operasi sectio
caesaria.

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

3
Nama : Ny. R

Usia : 23 tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Alamat : P. Merak, Cilegon

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Tanggal Masuk RS : 25 September 2015

Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria

Teknik Anestesi : Regional Anestesi Spinal Anestesi

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 September 2015,


pukul 12.30

Keluhan Utama
Usia kehamilan melebihi perkiraan tanggal lahir.
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli kandungan RSUD Cilegon pada tanggal 25


September pukul untuk memeriksakan kehamilannya karena sudah
melewati tanggal perkiraan lahir yaitu pada tanggal 17 September 2015
dan pasien beum merasa mulas. Hari Pertama Haid Terakhir pada tanggal
10 Desember 2014. Ketika di USG dikatakan jumlah cairan ketuban
tinggal sedikit dan pasien disarankan untuk melahirkan dengan cara SC.
Pasien dirawat selama 1 hari di ruang edelweis,

Riwayat Penyakit Dahulu

4
- Riwayat penyakit penyerta misal; diabetes melitus, asma, penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, penyakit ginjal, dan penyakit paru
disangkal.
- Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat atau makanan.
- Pasien pernah menjalani operasi Sectio Caesaria pada kehamilan
pertama pada tahun 2008 dengan Regional Anesthesia.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : tampak sakit sedang, sedikit cemas

Kesadaran : compos mentis

Status Gizi : TB : 160 cm

BB : 64 kg

Tekanan Darah : 130 / 80 mmHg

Pernapasan : 22 x/menit

Nadi : 92 x/menit

Suhu : 36o C

Status Generalis

Kepala :Normocephali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah


dicabut, tidak rontok

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor

Telinga :Normotia, liang telinga lapang, hiperemis -/-, sekret +/+


Hidung :Deviasi septum (-), mukosa hiperemis -/-, sekret -/-
Mulut :Sianosis (-), mukosa hiperemis (-)
Gigi geligi : Gigi palsu (-), gigi goyang (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-)
Thorax :
- Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
- Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

5
Abdomen

- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) 2 x/menit
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), nyer lepas (-), hepar lien tidak
teraba
- Perkusi : timpani
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

Status Lokalis
Tinggi Fundus Uteri : 32 cm
DJJ : 138x/menit
His :-
Leopold : Presentasi kepala, punggung kanan
Vaginal Toucher : Pembukaan 1 jari, ketuban intak

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil laboratorium tanggal 25 September 2015

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hematologi
Hemoglobin 10,3 gr/dl 12 - 15 gr/dl
Leukosit 11.250 / l 5.000 10.000 / l
Hematokrit 32,1 % 36 47 %
Trombosit 206.000 / l 150.000 400.000 / l
Gula Darah Sewaktu 83 mg/dl < 150 mg/dl
PT 11,1 11 15
INR 0,97
APTT 31,7 25 35
Golongan Darah O Rh +
Imunologi Serologi
HbSAg Negatif -
Anti HIV Nonreaktif -
Fungsi Hati
Bilirubin Total 0,5 mg % 0,2 1 mg %
Albumin 3,6 gr % 3,8 5,0 gr %
Globulin 2,2 gr % 2,3 3,2 gr %
SGOT 24 5 40 l
SGPT 8 5 - 41 l
Fungsi Ginjal
Ureum 17 mg/dl 15 40 mg/dl
Kreatinin 1,0 mg/dl 0,5 1,5 mg/dl

V. KESAN ANESTESI

6
Pasien seorang perempuan berusia 23 tahun dengan diagnosis G2P1A0 parturient
postterm dengan oligohidramnion, klasifikasi ASA I.

VI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien meliputi:
a. Intravena fluid drip RL 1000 cc
b. Informed consent mengenai tindakan operasi
c. Informed consent pembiusan dengan regional anestesi.

VII. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan :

Diagnosa perioperative : G2P1A0 postterm dengan oligohidramnion

Status operatif : ASA 1

Jenis operasi : Sectio Caesaria

Jenis anestesi : Regional anestesi

7
BAB III
LAPORAN ANESTESI

Tanggal Operasi : 26 september 2015


Diagnosa Pre Operasi : G2P1A0 Post term dengan Oligohidramnion
Diagnosa Pasca Operasi : P2A0 SC atas indikasi Oligohidramnion
Tindakan : SC

1. Preoperatif
- Informed consent (+)
- Puasa (+)
- Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
- IV line terpasang dengan infuse Ringer Laktat
- Keadaan umum baik
Berat badan : 64 Kg
ASA :I
- Tanda vital

Tekanan darah : 130/80 mmHg


Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,2o C

2. Premedikasi Anestesi

Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansetron 4 mg melalui bolus


Intravena.

3. Tindakan Anestesi

Regional anestesi spinal anestesi. Sub Arachnoid Block Sit Position L3-L4 LCS (+)
dengan Spinal needle No. 27.

4. Pemantauan Selama Anestesi

Melakukan monitoring terus menerus tentang kedaan pasien yaitu reaksi pasien terhadap
pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung.

8
Kardiovaskular

Dilakukan pemantauan terhadap nadi dan tekanan darah setiap 5 menit.

Respirasi

Inspeksi pernafasan spontan dan saturasi oksigen pada pasien.

5. Monitoring Anestesi

Jam Tindakan Tekanan Darah Nadi Saturasi O2

10.35 Pasien masuk ruang


operasi, ditidurkan
terlentang di atas
meja operasi,
dipasangkan manset
tekanan darah di
tangan kanan, dan
pulse oksimeter di
tangan kiri
10.40 Injeksi Ondansetron 130/80 mmHg 90 x/menit
4 mg bolus IV
10.45 Injeksi Bupivacain 125/80 mmHg 90 x/menit
20 mg secara
perlahan-lahan
(subarachnoid block
sit position) L3-L4
LCS (+)
10.50 Operasi dimulai 110/70 mmHg 96 x/menit 99 %
10.55 Bayi lahir, jenis 105/65 mmHg 90 x/menit 98 %
kelamin perempuan,
tali pusat dipotong.
Injeksi Oxytocin 10
IU drip dalam RL
dan injeksi
methylergometrin
0,25 mg IV

9
11.00 110/70 mmHg 88 x/menit 99 %
11.05 112/68 mmHg 87 x/menit 98 %
11.10 Operasi selesai 120/70 mmHg 84 x/menit 100 %
11.15 Injeksi Tramadol 120/70 mmHg 80 x/menit 100 %
100mg drip dalam
RL 500 cc

6. Laporan Anestesi
1 Penatalaksanaan Anestesi
a Jenis pembedahan : SC
b Jenis Anestesi : Regional Anestesi
c Teknik Anestesi : Sub Arachnoid Block,
LCS(+) Spinocan No. 27
d Mulai Anestesi : pukul 10.45 WIB
e Mulai Operasi : pukul 11.50 WIB
f Premedikasi : Ondansentron 4 mg IV
g Medikasi : Bupivacain 20 mg, Oxytocin 10
IU, Methyelrgometrin 0,25 mg
h Medikasi tambahan : Tramadol 100 mg,
Pronalgesic supp 100 mg
i Respirasi : Pernapasan spontan
j Cairan durante operasi : RL 1000 cc
k Pemantauan tekanan darah dan HR : terlampir
l Selesai operasi : pukul 11.15 WIB

2 Post Operatif
a Operasi berakhir pukul 11:15 WIB.

Selesai operasi pasien belum sadar kemudian pasien dipindahkan ke Ruang


Pemulihan (Recovery Room) dengan terpasangnya guedel dan tamponade pada
kedua hidung, pasien segera diberi bantuan oksigenasi melalui Canul O 2 2
lt/menit melalui guedel, melanjutkan pemberian cairan, dan diobservasi hingga
pasien sadar penuh.

b Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
TD : 119/77 mmHg
Nadi : 78x/menit
Respirasi : 18x/menit
Pemeriksaan fisik:

10
Warna kulit kemerahan, airway paten, nafas spontan, akral hangat dan CRT <2
detik
Skor Aldrete untuk menilai pemulihan anestesia: >8 sudah pulih dari anestesia
dan dapat dipindahkan ke ruangan
Pasien diobservasi di ruangan recovery dengan keadaan stabil sehingga tidak
perlu dimasukkan keruang ICU, tidak terdapat syok dan peningkatan tekanan
darah terkontrol. Skala pulih anestesia 9 di ruang recovery.
GERAKAN SKOR

Dapat menggerakan ke 4 ekstremitasnya sendiri atau dengan


2
perintah

Dapat menggerakkan ke 2 ekstremitasnya sendiri atau


1
dengan perintah

Tidak dapat menggerakkan ekstremitasnya sendiri atau dengan


0
perintah

PERNAPASAN

Bernapas dalam dan kuat serta batuk 2

Bernapas berat atau dispnu 1

Apnu atau napas dibantu 0

TEKANAN DARAH SKOR

Sama dengan nilai awal + 20% 2

Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1

Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0

KESADARAN SKOR

Sadar penuh 2

Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1

Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan 0

WARNA KULIT SKOR

Merah 2

Pucat , ikterus, dan lain-lain 1

Sianosis 0

11
Skor Total 9
9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
5 : Dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)6

12
BAB IV
ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien


didiagnosis G2P1A0 hamil 41 minggu dengan oligohidramnion dan ASA 1, yakni pasien
sehat secara fisik dan mental kecuali keadaan yang akan dioperasi. Pasien direncanakan
untuk operasi section caesaria. Menjelang operasi pasien tampak tenang karena belum
merasakan mulas dan kesadaran compos mentis. Pasien sudah dipuasakan sejak malam hari
pukul 02.00 . Jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik spinal
anestesi subarachnoid block sit position.3
Pada pasien diberikan premedikasi Ondansetron 4 mg secara bolus IV.Ondansetron
merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diberikan sebagai pencegahan
dan pengobatan mual mual dan muntah selama dan pasca bedah. Ondansetron diberikan pada
pasien untuk mencegah mual muntah yang dapat menyebabkan aspirasi. Pelepasan 5HT3 ke
dalam usus merangsang reflex muntah dan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat
reseptornya.2
Dilakukan induksi dengan Bupivacain 20 mg (dosis induksi 1-2 mg/kgBB).
Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang memiliki masa kerja panjang dan mula kerja
yang pendek. Seperti halnya anestesi lokal lainnya, bupivacain menghasilkan blokade
konduksi atau blokade lorong natrium pada dinding saraf yang bersifat reversibel, jika
digunakan pada saraf sentral atau perifer.2
Oxytocin dan Methylergometrin diberikan sebagai ureterotonika yang berguna
mengontrol perdarahan paska persalinan dengan merangsang kontraksi uterus. Oxytocin
diberikan 10 IU perdrip dan methylergometrin 0,2 mg diberikan secara bolus intravena.
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tiap 5 menit secara efisien dan
terus-menerus, dan pemberian cairan intravena Ringer Laktat.
Tramadol merupakan analgetik kuat yang bekerja pada reseptor opiat dan bekerja di
sentral. Selain itu tramadol menghambat pelepasan neuroransmiter dari saraf aferen yang
sensitif terhadap rangsang sehingga menghambat impuls nyeri.
Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi dilanjutkan pada pasien post-operatif
di recovery room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi,
respirasi, dan saturasi oksigen.

13
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI REGIONAL

A. Definisi

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri pada bagian tubuh sementara
pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir
untuk sementara. Fungsi motorik juga dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya.

B. Pembagian Anestesi/Analgesia Regional

1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.

2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan,
dan analgesia regional intravena.

C. Keuntungan Anestesia Regional


1. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
2. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
3. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.

14
4. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh)
karena penderita sadar.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.

D. Kerugian Anestesia Regional


1. Tidak bisa dilakukan pada lokasi tertentu
2. Durasi pembiusan yang cepat jika operasi memakan waktu lama
3. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
4. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif, sulit pada anak.
5. intoksikasi

15
ANESTESI SPINAL
A. DEFINISI

Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4.2,3

Gambar 1. Lokasi Anestesi Spinal


B.
INDIKASI

Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah


papila mammae ke bawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal
2-3 jam. 2,3 sehingga cocok dilakukan untuk pembedahan sebagai berikut:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah

16
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan

A. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subarakhnoid blok terbagi menjadi dua yaitu
kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare: karena
pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat ke dalam rongga
subarakhnoid, maka dapat semakin menambah tinggi tekanan intrakranial dan
dapat menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya.
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis yang sudah ada pada
pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-120 menit,
bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150
menit.

17
Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi ke arah jantung
akibat efek obat anestesi lokal.
Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan.
Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.2,3

B. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
Informed consent: Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi
selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis, atau
pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah. 2,3,5,7

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obat-
obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1 Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oximetri, EKG.
2 Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3 Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare),
dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G.
4 Betadine, alkohol untuk antiseptik.
5 Kapas/ kasa steril dan plester.

18
6 Obat-obatan anestetik lokal.
7 Spuit 3 ml dan 5 ml.
8 Infus set. 2,3,5

Gambar 2 : Jenis Jarum Spinal 7

C. OBAT-OBATAN PADA ANESTESI SPINAL

2.3 Penggolongan Obat Anesthesi Regional


Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia,
yaitu golongan ester dan golongan amide. Derivat ester contohnya kokain,
benzokain, oksibuprokain, ametokain, prokain, tetrakain, klorprokain. Sedangkan
derivat amide contohnya lidokain, mepivakain, bupivakain, etidokain, dibukain,
ropivakain, levobupikain. . Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal ini
adalah menghamba t pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama
kerja obat anestesi lokal adalah di membran sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membran pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.8

Tabel 1. Perbedaan obat anesthesi regional golongan ester dan amide.


ESTER AMIDE

Dihidrolisis di dalam plasma Dihidrolisis di hepar

Hidrolisis cepat Hidrolisis lambat

19
Durasi singkat Durasi lama

Alergi >> (hasil metabolit : PABA) Alergi <<

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi lokal.
Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada jaringan
saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi lokal bersifat reversible.
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan saraf. Batas
keamanan harus lebar dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus
cukup lama. Zat anestesi lokal ini juga harus larut dalam air.

Tabel 2. Penggolongan obat anesthesi regional berdasarkan potensi dan durasi kerja

POTENSI RENDAH DAN POTENSI DAN POTENSI TINGGI DAN


DURASI SINGKAT DURASI SEDANG DURASI PANJANG
Prokain Mepivakain Tetrakain
(60 90 mnt) (120 240 mnt) (180 600 mnt)
Klorprokain Prilokain Bupivakain
(30 60 mnt) (120 240 mnt) (180 600 mnt)
Lidokain Etidokain
-
(90 200 mnt) (180 600 mnt)

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik
lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat
jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil
dari LCS disebut hipobarik.
1. Isobarik digunakan untuk infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, blok plexus dan
blok epidural.
2. Hipobarik digunakan untuk analgesik regional intravena. Konsentrasi obat dibuat
separuh dari konsentrasi isobarik.
3. Hiperbarik digunakan khusus untuk injeksi intrathecal atau blok subarachnoid.
Konsentrasi obat dibuat lebih tinggi
Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan
tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. 8

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:

20
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-
100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033,
sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis
5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

a. Lidokain
Lidokain (durasi pendek intermediate spinal anestesia) dengan dosis 20 100 mg
seringkali dipilih untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu 75 menit atau
kurang. Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 % dektrose
meskipun 1,5 dan 2 % lidokain juga berguna.
Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan anestesia 15 40 menit, tergantung
dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan dengan blok motoris yang
memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat.
Fentanyl 15 25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi
substansial pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan
insiden transient neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri
torniquet pada ekstremitas bawah.

Onset cepat.
Tidak iritatif (tidak menyebabkan iritasi lokal) terhadap jaringan walaupun diberikan
dalam konsentrasi larutan 88 %.
Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil.
Sebagian dimetabolisme di hepar, sebagian disekresi melalui urine dalam bentuk yang
tidak berbuah.
Toksisitas dua kali lebih tinggi dari pada prokain.
Konsentrasi injeksi 0,5 2 %. Untuk topikal 4 %.
Bebas dari reaksi alergi dan sering digunakan sebagai penghilang nyeri sebelum
injeksi propofol.
Dosis maksimal 3 mg/Kg BB (tanpa adrenalin), 7 mg/Kg BB (dengan adrenalin).

21
Gambar 3. Sediaan Lidokain HCL
b. Bupivakain HCl
Lebih kuat dan lama kerjanya 2 3 x lebih lama dibanding lidokain atau mepivakain.
Onset anesthesi lebih lambat dibanding lidokain.
Ikatan dengan HCl mudah larut dalam air.
Pada konsentrasi rendah blok motorik kurang adekuat. Sifat hambatan sensoris lebih
dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya.
Ekskresi melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan sebagian besar dalam
bentuk metabolitnya.
Konsentrasi 0,25 0,75 %. Dosis 1 2 mg/Kg BB.
Dosis maksimal untuk satu kali pemberian 200 500 mg.
Untuk operasi abdominal diperlukan konsentrasi 0,75 %. Bupivacaine (durasi
intermediate spinal anestesia) dengan dosis 5 15 mg adalah sesuai untuk
pembedahan selama 50 150 menit, meskipun durasi dari bupivakain tampaknya
memiliki deviasi yang lebih lebar daripada standar, bila dibandingkan dengan
lidokain.
Spinal anestesia umumnya dilakukan dengan 0,75% bupivacaine dalam 8,25 %
dekstrosa. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit
hipobarik dan umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah. Epinephrine
memanjangkan blok sensoris dan motoris kira-kira 30 45 menit saat ditambahkan
pada bupivakain dosis kecil (7,5 mg).
Fentanyl juga dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosis bupivakain
(sehingga hipotensi lebih sedikit) dan meningkatkan analgesia.

c. Tetrakaine
Tetrakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 4 12 mg dipakai untuk
pembedahan dengan durasi 3 4 jam. Tetracaine merupakan salah satu dari agen
spinal anestesi tertua. Tersedia dalam sediaan komersial sebagai kristal niphanoid (20
mg) atau larutan 1 %. Tetracaine kurang stabil pada bentuk larutan cair (daripada

22
lidokain) dan menghasilkan tetracaine ampul dengan potensi rendah karena sebagian
obat didegradasi selama penyimpanan. Tetracaine adalah unik diantara agen spinal
anestesi lainnya, karena keberhasilan untuk memblok sangat tergantung dengan co-
administration epinephrine.
Kegagalan blok hampir 35 % pada plain tetracaine. Tetracaine & epinephrine adalah
spinal anestetic agent paling lama, menghasilkan anestesia pada abdomen bawah kira-
kira 4 jam dan ekstremitas bawah 5 6 jam.

2.4 Toksisitas Obat Anesthesi Regional


Obat anesthesi regional bila diberikan dengan dosis yang tepat dan pada lokasi yang
tepat merupakan obat yang cukup aman. Intoksikasi akan terjadi bila secara tidak sengaja
masuk kedalam intravaskuler atau melebihi dosis maksimal.
Apabila obat anesthesi masuk ke dalam intravaskuler, gejala intoksikasi akan timbul <
5 menit, sedangkan pada pemberian infiltrasi atau epidural gejala akan timbul dalam 20
menit.

Gejala intoksikasi dapat berupa :


1. Gejala Sistemik
a. Sistem Saraf Pusat : eksitasi dan depresi
b. Sistem Kardiovaskuler : hipotensi, hipertensi, syok, bahkan cardiac arrest
2. Gejala Lokal
a. Kerusakan saraf
b. Gangguan otot
3. Gejala Lain
a. Alergi
b. Methemoglobinemia
c. Adiksi

Obat anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anestesia spinal.
1 Sistem saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi lokal,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem saraf akan terjadi
paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2 Sistem respirasi: Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.

23
3 Sistem kardiovaskular: Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls saraf. Jika
impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi
henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang
masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga
henti jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4 Sistem imun: Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka memungkinkan
terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi
lokal dapat terjadi reaksi pelepasan histamin seperti gatal, edema, eritema.
Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.
5 Sistem muskular: obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung ke dalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur,
bisa menyebabkan nekrosis otot.
6 Sistem hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan
darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama
saat menggunakan obat anestesi lokal.3,8,9

Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi lokal khususnya pada
anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1 Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat


berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi lokal di ruang subaraknoid. Obat anestesi lokal dimetabolisme lambat di
dalam rongga subarakhnoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung
kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat
vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari rongga
subarakhnoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih lama.5,7,8
2 Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesik opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi lokal menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesik opioid
pada anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.10,11

24
3 Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi
akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.11

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 4 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal 9

D. TEKNIK ANESTESI SPINAL

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.

1 Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/RL sebanyak 500 - 1500 ml (pre-


loading).
2 Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/menit
3 Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4 Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5 Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6 Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus menekan
cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7 Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8 Beri anestesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

25
9 Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G
atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa
yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, epidural,
duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan
serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke
dalam ruang arakhnoid tersebut.3,5,7

Gambar 4 & 5 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi & Posisi Duduk pada
Spinal Anestesi7

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.7

26
Gambar 6 : Tusukan Medial dan Paramedial7

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motorik pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah
bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum
diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan
keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,
pusing, mual, berkeringat.7

E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah:


Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

27
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik.
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.3
Lama kerja anestetik lokal tergantung:
1. Jenis anestetik lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal

F. MASALAH KLINIS PADA ANESTESI SPINAL

Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi


spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat
melakukan anestesi spinal:

1 Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan
yang keluar: Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik,
kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan LCS,
dapat dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada
jarum.
2 Terdapat darah yang keluar melalui jarum: tunggu sesaat, jika perdarahan berhenti,
lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat penusukan
mengenai vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan
sedikit lebih medial.

28
3 Pasien merasa nyeri tajam di kaki: kemungkinan jarum mengenai radiks saraf.
Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat
tusukan awal.
4 Jarum terasa menusuk tulang: perhatikan kembali posisi pasien apakah saat
dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah
menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien
melakukan ekstensi saat menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.7

G. KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL


Komplikasi tindakan anestesi spinal :
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai
T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

29
30
BAB VI
KESIMPULAN

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah
endoskopi urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan bedah
anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan
anestesi.

Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan
praoperasi golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin, parasetamol),
heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil.

Prinsip yang digunakan adalah menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat
hantaran saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motorik juga terhambat
sebagian. Dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar.

Seluruh persiapan wajib dicermati mulai dari persiapan pasien, alat, obat anestesi
lokal, obat emergensi yang harus disediakan jika terjadi komplikasi, hingga kemungkinan
untuk mengganti prosedur menjadi anestesi umum seketika prosedur anestesi spinal tidak
berjalan dengan baik. Saat penusukan diperlukan ketelitian untuk menentukan lokasi
suntikan, kemudian memperhatikan pendekatan untuk melakukan penusukan serta
memperhatikan faktor yang mempengaruhi anestesi.

Prosedur ini merupakan sebuah alternatif pada operasi dengan durasi singkat. Pilihan
ini menyediakan opsi yang memiliki komplikasi yang lebih sedikit ketimbang melakukan
prosedur anestesi umum diantaranya adalah waktu pemulihan pasca-dilakukan posedur
anestesi.

31
DAFTAR PUSTAKA

1 Latief, Said. 2009. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2 Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5, 2013]
Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview
3 S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV. Infomedika, 2004;
125-8.
4 Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
5 NYSORA New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal
Block [Last Update Oct 4 2013], Available at
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-techniques/landmark-
based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html
6 Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
7 University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block
anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.html
8 Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta;
Balai Penerbit FKUI, 259-72.
9 G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal
Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.
10 Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last Update on
July 4 2011] Available at http://totw.anaesthesiologists.org/wp-
content/uploads/2011/07/230-Neuraxial-adjuvants.pdf
11 Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in Regional
Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2, 16170.

32

Anda mungkin juga menyukai