Anda di halaman 1dari 9

FAKTOR RESIKO

Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun,
dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia (Sjamsuhidajat, 2007).

1. Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.
Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia
(Sjamsuhidajat, 2007).

2. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia,
tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat
toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada saat rotasi
saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi
neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa
esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh
epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua,banyak
perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik
virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles
dan varicella zoster pada pasien akalasia (Sjamsuhidajat, 2007).

3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh
limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi
tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun
lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus
mienterikus (Sjamsuhidajat, 2007).

4. Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan
proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit
Parkinson dan depresi (Sjamsuhidajat, 2007).
TANDA DAN GEJALA

Diagnosis Akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis. Gambaran
radiologis, esofagoskopi, dan pemeriksaan manometrik.

1. Disfagia
Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia
dapat t e r j a d i secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada
g a n g g u a n e m o s i . Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif
lambat. Biasanya cairan lebih mudah ditelan dari pada makan makanan padat
(Woodfilde, 2000).
2. Regurgitasi
Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring.
Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur ,
s e h i n g g a dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru, rasa terbakar dan
nyeri substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan
timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai
serangan angina pectoris (Woodfilde, 2000).
3. P e n u r u n a n b e r a t b a d a n
Penurunan Berat Badan terjadi karena penderita berusaha
m e n g u r a n g i makannya (Woodfilde, 2000).
1. Gejala Lain
Gejala lain yang biasa dirasakan pada penderita Akalasia adalah r a s a
penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi
m a k a n a n . P e m e r i k s a a n Iadiologik Pada foto polos toraks tidak menampakkan
adanya gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga
menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah posterior mediastinum
(Woodfilde, 2000)..
Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi ,
tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran
peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di bagian distal esophagus
atau esopagogastric junction yang menyerupai bird-beak like appearance (Woodfilde,
2000).

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis Akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, gambaran
radiologis, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.

1. Anamnesis
Adanya gejala klinik yang sering berupa:
a. Disfagia
Perjalanan penyakit biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah berat. Berat
ringannya disfagia menurut British Oesophageal Surgery dibagi menjadi 5 tingkat,
yaitu:
Tingkat 0 : normal
Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat
Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus
Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair
Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah
b. Nyeri dada
Gejala kurang menonjol pada permulaan penyakit. Rasa nyeri biasanya di
substernal dan dapat menjalar ke belakang bahu, rahang dan lengan, timbul bila
makan/minum dingin.
c. Regurgitasi
Timbul tidak hanya berhubungan dengan bentuk/jenis makanan tetapi juga
berhubungan dengan posisi. Bila penyakit makin kronis, maka pada saat penderita
berbaring sisa makanan dan saliva yang terdapat pada kantong esofagus dapat mengalir
ke faring dan mulut sehingga akhirnya dapat menimbulkan aspirasi pneumonia.
d. Kehilangan berat

2. Pemeriksaan Fisik
Secara umum pada akalsia dalam pemeriksaan fisik tidak ada kelainan yang khas dan
biasanya dalam batas normal.
a. Kepala dan Leher
Biasanya hygiene kepela tetap terjaga dan pada leher biasanya tidak terdapat
pembesaran kelenjar getah bening
b. Mata
Biasanya konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik dan palpebra tidak oedema
c. Hidung
Biasanya tidak ditemukan kelainan
d. Mulut
Biasanya kebersihan mulut dan gigi tetap terjaga dan mukosa bibir kering
e. Telinga
Biasanya tidak ditemukan kelainan
f. Dada/Thorax
Paru-paru
I : biasanya simetris kiri-kanan
P : biasanya fremitus kiri-kanan
P : biasanya sonor
A : biasanya vesikuler, ronchi tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung

I : biasanya Ictus tidak terlihat

P : biasanya Ictus teraba 1 jari LMCS RIC V

P : biasanya jantung dalam batas-batas normal

A : biasanya irama teratur

Abdomen

I : biasanya tidak asites, cekung

P : biasanya Hepar dan lien tidak teraba

P : biasanya Tympani

A : biasanya BU normal

g. Genitourinaria

Biasanya tidak ada kelainan dan keluhan

h. Ekstremitas

Biasanya tidak ada oedema

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologi sangat membantu dalam penegakan diagnosis pada suatu
penyakit, ini harus dikorelasikan dengan temuan klinis dan riwayat penyakitnya.12 Pada
foto polos toraks pasien achalasia tidak menampakkan adanya gelembung-gelembung
udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level
pada sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium dengan
pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus
dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di bagian
distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti bird-beak like
appearance (Goyal, 2010).

b. Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien
akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi
dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan
ada tidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus
dengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian
proksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan
kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi makanan. Sfingter
esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan
esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah (Goyal, 2010).

c. Pemeriksaan Manometrik
Gunanya untuk memulai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan
tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan
kelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan
memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Pada
akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus
bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya.
Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme
relaksasinya. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagus
meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi proses
menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak
terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan (Siegel, 2006).

PATOGENESIS

Secara umum, esofagus dibagi menjadi tiga bagian fungsional yaitu sfingter esofagus
bagian atas yang biasanya selalu tertutup untuk mencegah refluks makanan dari korpus esofagus
ke tenggorokan. Bagian kedua yang terbesar adalah korpus esofagus yang berupa tabung
muskularis dengan panjang 20 cm, sedangkan bagian yang terakhir adalah esofagus bagianbawah
(SEB) yang mencegah makanan dan asam lambung dari gaster ke korpus esofagus. (Bakry.
2009).
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh neurotransmitter
perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta neurotransmitter penghambat seperti nitrit
oxyde dan ,vasoactive intestinal peptide (VIP). (Bakry. 2009)

Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :

1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan sfingter


esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi
sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya hubungan antara kenaikan SEB
dengan sensitifitas terhadap hormone gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm
sedangkan tekanan SEB basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB
meningkat sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg. Gagalnya relaksasi SEB
ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun
sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam
lambung.
Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus.
Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan residual.
Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual,
makanan dapat masuk ke dalam lambung. (Bakry. 2009).

2. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan dilatasi
bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak terkoordinasinya peristaltik
sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus makanan melewati SEB. Dengan
berkembangnya penelitian ke arah motilitas, secara obyektif dapat ditentukan
motilitas esofagus secara manometrik pada keadaan normal dan akalasia. (Bakry,
2009).
Mekanisme lain terjadinya akalasia dapat juga karena penurunan neuron NCNA
intramural serta pengurangan reaktivitas neuron ini terhadap asetilkolin yang
dilepaskan di praganglion. Akibat dari kelainan ini pasien dengan akalasia memiliki
tekanan istirahat yang sangat meningkat pada sfingter esofagus bagian bawah,
relaksassi reseptif meuncul terlambat, danyang paling penting, terlalu lemah sehingga
lama fase refleks tekanan dalam sfingter jauh lebih tinggi daripada di lambung. Selain
itu, penjalaran gelombang peristaltik terhenti. Jadi gejala akalasia berupa disfagia
(kesulitan menelan), regurgitasi makanan (bukan muntah), nyeri retrosternal dan
penurunan berat badan. Komplikasi akalasia yang berbahaya adalah esophagitis dan
pneumonia, disebabkan olehaspirasi isi esofagus (mengandung bakteri) (Siberbagl,
2006).
GAMBARAN HISTOLOGI

Gambaran histopatologik akalasia ditandai dengan degenerasi ganglia pleksus Auerbach


di gastro-esophageal junction yang mengatur motilitas esofagus. Selain itu,terjadi dilatasi dan
hipertrofi esophagus (Hirano, 2007).

Ketiadaan ganglia pada pleksus Auerbach di gastro-esophageal junction (Hirano, 2007) :


Gambar a : tampak sedikit infiltrasi limfosit.
Gambar b : inflamasi ringan pleksus mienterikus Auerbach. Infiltrasisedang limfosit, sel
ganglion dapat teridentifikasi.
Gambar c : inflamasi sedang tampak infiltrasi limfosit. Hilangnya sel ganglion.
Gambar d : Radang berat mienterikus dengangambaran limfosit banyak.

Daftar Pustaka :

Goyal, Raj K. 2010. Diseases of The Esophagus. In: Jeffers, J. D., Boynton, S. D. Harrisons
Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill, Inc. New York.

Siegel, G. Leighton. 2006. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan Mediastinum
Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies, Lawrence R., Higler, P. A.
BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. EGC.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta: EGC.
Woodfield, Eourtney A, et al. 2000. Diagnosis of Primary Versus Secondaru Achalasia.
American Roentgen Ray Society Journal. Vol.175:727-731.
Bakry, Fuad. 2009. Achalasia. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:InternaPublishing.
Hal : 491-492.
Sibernagl, Stefan. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC
Hirano,Ikuo. 2007. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm. [Online]cited;
Available from : http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html#f1 diakses
pada tanggal 10 Juni 2014.

Anda mungkin juga menyukai

  • DBD3M
    DBD3M
    Dokumen14 halaman
    DBD3M
    NabelaAzahra
    Belum ada peringkat
  • DBD3M
    DBD3M
    Dokumen14 halaman
    DBD3M
    NabelaAzahra
    Belum ada peringkat
  • F1 DBD
    F1 DBD
    Dokumen25 halaman
    F1 DBD
    NabelaAzahra
    Belum ada peringkat
  • Belajar Resep
    Belajar Resep
    Dokumen45 halaman
    Belajar Resep
    NabelaAzahra
    Belum ada peringkat
  • PCOS
    PCOS
    Dokumen21 halaman
    PCOS
    NabelaAzahra
    Belum ada peringkat
  • PCOS
    PCOS
    Dokumen8 halaman
    PCOS
    NabelaAzahra
    Belum ada peringkat
  • Kelas 12 Biologi Idun Kistinnah
    Kelas 12 Biologi Idun Kistinnah
    Dokumen316 halaman
    Kelas 12 Biologi Idun Kistinnah
    ulfiatirahmah
    100% (4)