TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh
epitel respiratori dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat empat macam tonsil yaitu, tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil
lingual, dan tonsil tuba esutachius yang semuanya membentuk lingkaran yang disebut
cincin Waldeyer. Pada bagian nasofaring terdapat tonsila faringealis, sedangkan pada
bagian orofaring terdapat tonsila lingualis dan tonsila palatina.3
Cincin Waldeyer ini merupakan jaringan limfe pada pintu masuk saluran
nafas dan saluran pencernaan dan berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi yang
berasal dari udara dan makanan. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting
dari cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia pubertas. Bagian
anterior tonsil dibatasi oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior
oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring,
bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh
palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi
oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil
ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal
dengan kripta. Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membrane tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini
berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk
masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut tertarik
sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin longgar akibat
peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di
dalam kripta tonsil.3,4
8
9
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-
kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler,dibawah mukosa
dinding faring posterior dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs).3
Tonsila Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglossus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tiap tonsilla
ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam
faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam
Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan
medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla
ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak
berdekatan dengan tonsilla lingual.3
10
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar
posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius
dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus,
sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar
anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah
terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.3,4
Vaskularisai
1. a. faringeal asenden
2. a. palatina desenden.
12
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan
bercabang pada tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden bercabang melalui
m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asendens juga bercabang pada
tonsil melalui bagian luar m. kosntriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke
pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior, dan plika posterior.
Arteri palatina desenden atau arteri palatina posterior memberi vaskularisasi tonsil
dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asendens.
Kutub bawah tonsil bagian anterior (a. lingualis dorsal) dan bagian posterior (a.
palatina asenden), di antara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh. A. tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh a. faringeal asendens dan a. palatina desendens.3
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena disekitar kapsul tonsil, vena lidah, dan
pleksus faringeal.3
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus
13
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.3
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kripta.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fossa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-
masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-
7 tahun kemudian akan mengalami regresi.3
DerajatPembesaranTonsil
oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori. Imunoglobulin
(Ig) G dan IgA secara pasif akan berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen rendah
akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan
respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga sensitif terhadap
antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun
merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan
imunoglobulin. Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun.
Tonsil mulai mengalami involusi pada saat pubertas, sehingga produksi sel B
menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif meningkat. Pada tonsilitis yang
berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler terjadi perubahan epitel squamous
stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi
transport antigen. Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta
menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga
berkurang.4,5
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan
dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil.
Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang
lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh
penderita mengalami penurunan.6
3.3 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada
anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis
virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda. Data epidemiologi menunjukkan
bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia
5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari
14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian
yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah
kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50%. Sedangkan Kisve pada
penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294
(62%) pada kelompok usia 5-14 tahun. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT
pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik
sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik
mulai Juni 2008Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah
kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari
seluruh jumlah kunjungan baru.8
3.4 Etiologi
Tonsilitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada
suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.10,11
Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses
radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara
klinis kripte ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat yang berwarna
kekuning-kuningan). Proses ini terus meluas hingga menembus kapsul sehingga
terjadi perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak, proses ini
akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.10,11
3.7 Manifestasi Klinis
Gejala klinis tonsilitis akut maupun kronik dapat ditemukan adanya nyeri
tenggorok, di mana pada tonsilitis kronik didahului gejala tonsilitis akut seperti nyeri
tenggorok yang tidak hilang sempurna. adapun gejala pada tonsilitis akut ditandai
dengan nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam, dan malaise. Halitosis akibat debris
yang tertahan di dalam kripta tonsil, yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi
berikutnya.12
1. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus
menerus, sakit waktu menelan, nafas bau, malaise, sakit pada sendi, kadang-
kadang ada demam dan nyeri pada leher, Pada anak, tonsil yang hipertrofi
dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan
hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat
menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat menyebabkan apnea
waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur yang dapat
diketahui dalam anamnesis.
20
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang
melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami
perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta
yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula. Disebutkan
dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di
tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi
mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya
hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris
dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis
dapat ditegakkan.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Leukosit
21
b. Hemoglobin
c. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas.
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan
apus tonsil. Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil.
Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian
pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold
standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman terbayak
yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus
aureus. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan
derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus,
Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.
3.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum dapat dilakukan seperti hal
berikut:13, 14, 15
d. Pemberian antipiretik
2. Penatalaksanaan tonsillitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau
terapi konservatif tidak berhasil.
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus
hemoliticus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8. Otitis media efusa atau otitis media supurataif
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat.
23
3.10Prognosis
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu
penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah
terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas
minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan
sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan
kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi
24
berulang. Orang orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci
tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.
3.12Komplikasi
1. Abses peritonsil
2. Abses parafaring
3. Abses intratonsilar
4. Tonsilolith (kalkulus tonsil)
5. Kista tonsilar
6. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis