Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Kesehatan

2.1.1 Pengertian Kebijakan

Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan.

Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan

atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do).

Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya

tujuan (goal), sasaran (objective) atau kehendak (purpose) (Abidin, 2002).

Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna

bahwa :

a. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah.

b. Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan

oleh badan pemerintah (Abidin, 2002).

Menurut Dunn proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan yaitu sebagai

berikut :

a. Penyusunan agenda (agenda seting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa

mendapat perhatian dari pemerintah.

b. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni suatu proses perumusan pilihan-

pilihan atau alternatif pemecahan masalah oleh pemerintah.

8
Universitas Sumatera Utara
c. Penentuan kebijakan (policy adoption), yakni suatu proses dimana pemerintah

menetapkan alternatif kebijakan apakah sesuai dengan kriteria yang harus

dipenuhi, menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan bagaimana proses

atau strategi pelaksanaan kebijakan tersebut.

d. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu suatu proses untuk

melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini perlu adanya

dukungan sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan.

e. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni suatu proses untuk memonitor dan

menilai hasil atau kinerja kebijakan (Subarsono, 2005).

2.1.2.Pengertian Kebijakan Kesehatan

Kebijakan publik bersifat multidisipliner termasuk dalam bidang kesehatan

sehingga kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Dari

penjelasan tersebut maka diuraikanlah tentang pengertian kebijakan kesehatan yaitu

konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi

pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang

optimal pada seluruh rakyatnya (AKK USU, 2010).

Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi semua

pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam

penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan kerangka

desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.2. Implementasi Kebijakan

Implementasi adalah proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai

hasil. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers

bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya

(Subarsono, 2005).

Secara garis besar fungsi implementasi adalah untuk membentuk suatu

hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan

publik diwujudkan sebagai outcome (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang dilakukan

oleh pemerintah (Wahab, 2008).

Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan

menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan

pemerintah dimana tugas implementasi adalah membangun jaringan yang

memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi

pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy

stakeholders) (Subarsono, 2005).

Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan tahap

pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan proses yang

memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian

aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi

kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan

alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro

(Parsons, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Langkah implementasi kebijakan dapat disamakan dengan fungsi actuating

dalam rangkaian fungsi manajemen. Aksi disini merupakan fungsi tengah yang terkait

erat dengan berbagai fungsi awal, seperti perencanaan (planning), pengorganisasian

(organizing), pembenahan personil (stuffing) dan pengawasan (controlling). Sebagai

langkah awal pada pelaksananan adalah identifikasi masalah dan tujuan serta

formulasi kebijakan. Untuk langkah akhir dari rangkaian kebijakan berada pada

monitoring dan evaluasi (Abidin, 2002).

Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel dan masing-

masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan

Edward III (1980), implementasi kebijakan mempunyai 4 variabel yaitu :

a. Komunikasi

Implementasi kebijakan mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus

dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan

kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.

Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui

sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi

dari kelompok sasaran (Subarsono, 2005). Semakin tinggi pengetahuan kelompok

sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan

dalam mengaplikasikan kebijakan (Indiahono, 2009).

b. Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi

apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi

Universitas Sumatera Utara


tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya

manusia maupun sumberdaya finansial (Subarsono, 2005). Sumberdaya manusia

adalah kecukupan baik kualitas dan kuantitas implementor yang dapat melingkupi

seluruh kelompok sasaran. Sumberdaya finansial adalah kecukupan modal dalam

melaksanakan kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi

kebijakan. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen

saja (Indiahono, 2009).

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karateristik yang dimiliki oleh implementor seperti

komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi

yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa

yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau

perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi

kebijakan juga menjadi tidak efektif (Subarsono, 2005). Kejujuran mengarahkan

implementor untuk tetap berada dalam arah program yang telah digariskan dalam

program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias dalam

melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan

meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota

kelompok sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan

menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap

implementor dan kebijakan (Indiahono, 2009).

Universitas Sumatera Utara


d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek

struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang

standar (SOP atau standard operating procedures). SOP menjadi pedoman bagi

setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang

akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni

prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini menyebabkan aktivitas

organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2005).

Keempat variabel diatas dalam model yang dibangun oleh Edward memiliki

keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan dari kebijakan. Semuanya

saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan mempengaruhi

variabel yang lain. Misalnya bila implementor tidak jujur akan mudah sekali

melakukan mark up dan korupsi atas dana kebijakan sehingga program tidak optimal

dalam mencapai tujuannya. Begitu pula bila watak dari implementor kurang

demokratis akan sangat mempengaruhi proses komunikasi dengan kelompok sasaran.

Model implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai alat menggambarkan

implementasi program diberbagai tempat dan waktu.

Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara sempurna karena

pelaksanaan kebijakan pada umumnya memang lebih sukar dari sekedar

merumuskannya. Proses perumusan memerlukan pemahaman tentang berbagai aspek

dan disiplin ilmu terkait serta pertimbangan mengenai berbagai pihak namun

Universitas Sumatera Utara


pelaksanaan kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam kenyataannya sering terjadi

implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang dirumuskan

dengan apa yang dilaksanakan. Kesenjangan tersebut bisa disebabkan karena tidak

dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya (non implementation) dan karena tidak

berhasil atau gagal dalam pelaksanaannya (unsuccessful implementation) (Abidin

2002).

Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa faktor eksternal yang

biasanya mempersulit pelaksanaan suatu kebijakan, antara lain :

a. Kondisi Fisik

Terjadinya perubahan musim atau bencana alam. Dalam banyak hal kegagalan

pelaksanaan kebijakan sebagai akibat dari faktor-faktor alam ini sering dianggap

bukan sebagai kegagalan dan akhirnya diabaikan, sekalipun dalam hal-hal tertentu

sebenarnya bisa diantisipasi untuk mencegah dan mengurangi resiko yang terjadi.

b. Faktor Politik

Terjadinya perubahan politik yang mengakibatkan pertukaran pemerintahan dapat

mengubah orientasi atau pendekatan dalam pelaksanaan bahkan dapat

menimbulkan perubahan pada seluruh kebijakan yang telah dibuat. Perubahan

pemerintahan dari kepala pemerintahan kepada kepala pemerintahan lain dapat

menimbulkan perbedaan orientasi sentralisasi ke desentralisasi sistem

pemerintahan, perubahan dari orientasi yang memprioritaskan strategi

industrialisasi ke orientasi agri-bisnis, perubahan dari orientasi yang

memprioritaskan pasar terbuka ke strategi dependensi dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


c. Attitude

Attitude dari sekelompok orang yang cenderung tidak sabar menunggu

berlangsungnya proses kebijakan dengan sewajarnya dan memaksa melakukan

perubahan. Akibatnya, terjadi perubahan kebijakan sebelum kebijakan itu

dilaksanakan. Perubahan atas sesuatu peraturan perundang-undangan boleh saja

terjadi, namun kesadaran untuk melihat berbagai kelemahan pada waktu baru

mulai diberlakukan tidak boleh dipandang sebagai attitude positif dalam budaya

bernegara.

d. Terjadi penundaan karena kelambatan atau kekurangan faktor inputs.

Keadaan ini terjadi karena faktor-faktor pendukung yang diharapkan tidak

tersedia pada waktu yang dibutuhkan, atau mungkin karena salah satu faktor

dalam kombinasi faktor-faktor yang diharapkan tidak cukup.

e. Kelemahan salah satu langkah dalam rangkaian beberapa langkah pelaksanaan.

Jika pelaksanaan memerlukan beberapa langkah yang berikut : A > B > C > D,

kesalahan dapat terjadi diantara A dengan B atau diantara B dengan C dan atau

antara C dengan D.

f. Kelemahan pada kebijakan itu sendiri. Kelemahan ini dapat terjadi karena teori

yang melatarbelakangi kebijakan atau asumsi yang dipakai dalam perumusan

kebijakan tidak tepat (Abidin, 2002).

Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan, asumsi

yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap. Tetapi tanpa pelaksanaan yang

baik, sebuah rumusan kebijakan yang baik sekalipun hanya akan merupakan sekedar

Universitas Sumatera Utara


suatu dokumen yang tidak mempunyai banyak arti dalam kehidupan bermasyarakat

(Abidin, 2002).

2.3. Kebijakan Kesehatan sebagai Tanggung Jawab Pemerintah

Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa kesehatan adalah

keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 5 disebutkan bahwa setiap

orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan.

Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 14 disebutkan bahwa

pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,

membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan

terjangkau oleh masyarakat.

2.4. Kebijakan Kesehatan dalam Program Pemberantasan DBD

Depkes telah melewati pengalaman yang cukup panjang dalam

penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD

adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi

diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke TPA (Tempat

Penampungan Air). Kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil

yang memuaskan terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambahnya jumlah

wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan vaksin untuk membunuh virus

dengue belum ada maka cara yang paling efektiv untuk mencegah penyakit DBD

Universitas Sumatera Utara


ialah dengan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) yang dilaksanakan oleh

masyarakat atau keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Oleh karena itu saat

ini Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan upaya Pemberantasan Sarang

Nyamuk (Ditjen PP & PL, 2004).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada Bagian PMK

(Pengendalian Masalah Kesehatan) Dinkes Tebing Tinggi tentang kebijakan

pemberantasan DBD di Tebing Tinggi dipaparkan sebagai berikut :

a. Untuk pencegahan penyakit DBD dilaksanakan PSN (Pemberantasan Sarang

Nyamuk) melalui 3M Plus dengan melibatkan masyarakat yaitu 3M yakni

menguras dan menyikat tempat penampungan air, menutup rapat tempat

penampungan air, mengubur barang bekas yang dapat menampung air. Kegiatan

lainnya yang melibatkan masyarakat yaitu gotong royong dan ini dilakukan 1x

1minggu. Plus yakni memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa,

mengatur ventilasi dan pencahayaan dalam ruangan, mengganti air vas bunga atau

tempat minum burung, menghindari menggantung pakaian dalam kamar,

menggunakan obat anti nyamuk, menaburkan larvasida di tempat penampungan

air, dan lainnya. Sosialiasi dibuat dalam bentuk leaflet, spanduk, baliho. Selain

kegiatan tersebut pemerintah juga melakukan fogging massal dan abatesasi.

b. Kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat diwujudkan kembali dalam

kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang dilaksanakan 1 bulan 1 kali oleh

kader Jumantik ditiap puskesmas. Saat ini di Tebing Tinggi terdapat 356 kader

Universitas Sumatera Utara


Jumantik (2 orang kader per lingkungan) dengan penggajian Rp. 25.000 per bulan

untuk setiap jumantik.

c. Survailens / Penyelidikan Epidemiologi di Tebing Tinggi dilakukan pada setiap

kasus yang dimiliki dengan radius 200 meter dari rumah penderita. Bila

ditemukan bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya ataupun

ditemukan faktor resiko (jentik) maka dilakukan fogging fokus dengan siklus 2

kali dan fogging massal bila diperlukan.

d. Setiap RS di Tebing Tinggi memiliki Laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit

(KD-RS) DBD yang dikirim dalam 24jam setelah penegakan diagnosis sebagai

laporan ke Dinas Kesehatan bahwa ada ditemukan penderita baru untuk segera

dilaksanakan surveilans epidemiologi.

Kriteria penetapan suatu daerah sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) sesuai

dengan Peraturan Menkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 yaitu :

a. Timbulnya kasus yang sebelumnya tidak ada, atau tidak dikenal pada suatu daerah.

b. Jumlah kasus dalam periode 1 bulan menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih

dibandingkan dengan angka rata-rata kasus perbulan tahun sebelumnya.

c. Angka kematian (CFR) dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan

50% atau lebih dibandingkan angka kematian periode seelumnya dalam kurun

waktu yang sama (Ditjen PP & PL 2011).

Sebagai pedoman dalam upaya untuk memberantas penyakit DBD maka telah

dikeluarkan beberapa ketentuan melalui aspek hukum, antara lain :

a. UU RI No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.

Universitas Sumatera Utara


b. Kepmenkes No.581 tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit DBD.

c. PP No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah & kewenangan provinsi

sebagai daerah otonom.

d. Kepmenkes No.004/Menkes/SK/I/2003 tentang kebijakan & strategi

desentralisasi bidang kesehatan .

e. Permenkes No.741 tahun 2008 tentang SPM bidang kesehatan di kabupaten/kota

dengan target 100% kejadian DBD ditangani sesuai standar.

f. Permenkes No.1501/Menkes/Per/X/2010 tentang jenis penyakit menular tertentu

yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangannya (hasil revisi dari

Permenkes No.560 tahun 1989 karena dipandang tidak memadai lagi dalam

penanggulangan berbagai penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah).

Dengan diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 sebagai revisi UU No.22

tahun 1999 tantang pemerintahan daerah serta PP No.25 tahun 2000 tentang

kewenangan pemerintah & kewenangan provinsi sebagai daerah otonom telah terjadi

pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah termasuk didalamnya kewenangan

dalam bidang kesehatan. Namun lambatnya penanganan penyakit demam berdarah itu

tidak lepas dari kendala jarak dalam hubungan struktural antara pemerintah pusat &

pemerintah kabupaten atau kota sebagai pelaksana program (Hidayat, 2008).

Melalui Kepmenkes No. 581 tahun 1992, telah ditetapkan Program Nasional

Penanggulangan DBD yang terdiri dari beberapa pokok program yaitu :

a. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB. Untuk setiap kasus DBD

harus dilakukan penyelidikan epidemiologi meliputi radius 100 meter dari rumah

Universitas Sumatera Utara


penderita. Apabila ditemukan bukti-bukti penularan yaitu adanya penderita DBD

lainnya, ada 3 penderita demam atau ada faktor resiko yaitu ditemukan jentik,

maka dilakukan penyemprotan (Fogging Fokus) dengan siklus 2 kali disertai

larvasidasi, dan gerakan PSN.

b. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala ( PJB ) setahun 4

kali untuk memonitor kepadatan jentik diwilayahnya.

c. Lebih mengutamakan pencegahan yaitu dengan melaksanakan PSN

(Pemberantasan Sarang Nyamuk ) melalui 3M Plus, dengan melibatkan

masyarakat.

d. Memfasilitasi terbentuknya tenaga Jumantik ( Juru Pemantau Jentik)

e. Kemitraan melalui wadah Pokjanal (Kelompok Kerja Operasional), bersama

Depdagri dan lintas sektor lainnya terutama Depdiknas.

f. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada (Ditjen PP & PL,

2011).

Adapun beberapa pengembangan program pencegahan DBD dari program-

program yang ada yaitu :

a. Mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) di berbagai

tingkat administrasi.

b. Pengendalian DBD masuk dalam SPM bidang kesehatan kabupaten atau kota

sehingga upaya pengendalian (operasional dan non operasional) menjadi

tanggung jawab kabupaten atau kota (Permenkes 741 tahun 2008).

Universitas Sumatera Utara


c. Kegiatan pengendalian DBD telah dimasukkan dalam petunjuk teknis BOK tahun

2011 berupa : surveilans, pelacakan dan penemuan kasus, serta pengendalian dan

pemberantasan vektor.

d. Advokasi kepada bupati atau walikota didaerah agar meningkatkan komitmen

terhadap pengendalian DBD seperti meningatkan pendanaan untuk kegiatan juru

pemantau jentik (Jumantik) contoh DKI Jakarta, Mojokerto (Jawa Tengah),

Denpasar (Bali).

e. Adanya regulasi pemerintah daerah tentang pengendalian DBD contoh beberapa

daerah yang telah memiliki perda tentang pengendalian DBD antara lain DKI

Jakarta, Jawa Timur, NTT.

f. Meningkatkan kerjasama dengan sektor terkait :

1. Kementrian Pendidikan Nasional & Kementrian Agama :untuk mengaktifkan

UKS.

2. Kementrian Dalam Negeri : untuk pemberdayaan masyarakat melalui PKK.

3. Kementrian Lingkungan Hidup : pengembangan surveilans berdasarkan iklim.

g. Menggalang kemitraan dibidang kesehatan dengan mitra kerja masing-masing

daerah (misalnya : perguruan tinggi, media massa, organisasi dan komponen

masyarakat lainnya) dalam PSN (Ditjen PP & PL, 2011).

Pada tanggal 14 15 Juni 2011 yang lalu Indonesia berhasil

menyelenggarakan Asean Dengue Conference untuk pertama kalinya di Jakarta yang

dihadiri oleh Negara yang tergabung dalam Asean dan menetapkan tanggal 15 Juni

sebagai Hari Dengue se-Asean. Bersamaan dengan itu telah dilaksanakan pula dialog

Universitas Sumatera Utara


nasional yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri serta

dihadiri oleh perwakilan daerah se-Indonesia dan perwakilan WHO yang

menghasilkan Deklarasi Nasional tahun 2011 yaitu :

a. Meningkatkan mutu sumber daya manusia untuk lebih mampu mengatasi

permasalahan demam berdarah.

b. Meningkatkan upaya promosi kesehatan pencegahan demam berdarah.

c. Meningkatkan mutu sistem pengamatan penyakit secara terus menerus

(surveilans).

d. Menyiapkan logistik serta pendanaan operasional yang memadai.

e. Meningkatkan kerjasama antar lintas sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat.

f. Mengembangkan wilayah bebas jentik baik di institusi pemerintah , swasta, dan

masyarakat, terutama di lingkungan sekolah dan tempat-tempat umum lainnya.

g. Menggerakkan peran serta masyarakat mulai dari lembaga pendidikan, karang

taruna, pramuka, PKK untuk lebih aktif dan tanggap terhadap demam berdarah.

h. Meningkatkan peran pemerintah pusat dalam pengendalian demam berdarah.

i. Melakukan revitalisasi Pokjanal, demam berdarah di berbagai tingkatan baik

pusat, provinsi, kabupaten atau kota.

j. Membuat regulasi daerah untuk pencegahan dan pengendalian demam berdarah

(Ditjen PP & PL, 2011).

Guru Besar Penyakit Dalam FK UI Prof. Nelwan mengatakan sejak 1975

Malaysia telah menerapkan undang-undang yang tidak memperkenankan adanya

jentik nyamuk di rumah. Begitu juga dengan Singapura sejak 1996 memberlakukan

Universitas Sumatera Utara


ketentuan serupa yang disebut Destruction of Disease Bearing Insect untuk

mengendalikan penularan demam berdarah melalui pengontrolan jentik di negaranya.

Lewat aturan tersebut tiap pemilik rumah didenda bila dijumpai jentik nyamuk di

rumah. Bagi Malaysia dan Singapura aturan khusus itu juga bisa menjadi sumber

pendapatan negara. Singapura mengumpulkan uang penalti hingga 317 ribu dolar

Singapura. Sedangkan Malaysia mencapai 2,4 juta ringgit Malaysia. Rita Kusriastuti

berpendapat kalau pemerintah Indonesia berniat mengeluarkan aturan seperti itu

harus dilaksanakan konsekuen sehingga tidak menjadi sia-sia. Beliau setuju terhadap

aturan tersebut mengingat Indonesia belum ada regulasi seperti halnya Singapura atau

Malaysia. Di Indonesia perkara mengeluarkan sebuah aturan memang bukan

gampang setidaknya butuh waktu dan biaya apalagi pembuatan regulasi setingkat UU

harus mengikutsertakan parlemen (Bantors, 2007).

Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin

Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan gerakan lain

serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih Sehat

(PHBS). Negara Sri Lanka menggunakan Green Home Movement yaitu

menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan

kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aedes aegypti dan menempelkan stiker

hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi

pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk

membersihkan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orang

tersebut didenda (BPPN, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Untuk mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam PSN DBD

maka pada tahun 2004 WHO memperkenalkan suatu pendekatan baru yaitu

Komunikasi Perubahan Perilaku / KPP ( Communications for Behavioral Impact /

COMBI ), tetapi beberapa Negara di dunia seperti Negara Asean (Malaysia, Laos,

Vietnam), Amerika Latin telah menerapkan pendekatan ini dengan hasil yang baik.

Di Indonesia sudah diterapkan daerah uji coba yaitu di Jakarta Timur dan

memberikan hasil yang baik. Pendekatan ini lebih menekankan kepada kekompakan

kerja tim, yang disebut sebagai tim kerja dinamis dan penyampaian pesan, materi dan

media komunikasi direncanakan berdasarkan masalah yang ditemukan oleh

masyarakat dengan cara pemecahan masalah yang disetujui bersama. Diharapkan

dengan pendekatan KPP / Combi ini, perubahan perilaku masyarakat kearah

pemberdayaan PSN dapat tercapai secara optimal (Ditjen PP & PL,2008).

DKI Jakarta telah memiliki Perda No.6 Tahun 2007 tentang pengendalian

penyakit DBD dimana dalam pasal 21 disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar

ketentuan dan pada tempat tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk Aedes aegypti

atau jentik nyamuk Aedes albopictus dikenakan sanksi sebagai berikut:

a. Teguran tertulis.

b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui penempelan

stiker di pintu rumah.

c. Denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana

kurungan paling lama 2 (dua) bulan.

Universitas Sumatera Utara


Pasal 22 menyebutkan bahwa setiap pengelola, penanggung jawab atau pimpinan

yang karena kedudukan, tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab terhadap

urusan kerumahtanggaan dan atau kebersihan lingkungan masyarakat yang melanggar

ketentuan dan ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti atau jentik nyamuk Aedes

albopictus pada lingkungan masyarakat yang menjadi lingkup tanggung jawabnya

dikenakan sanksi sebagai berikut :

a. Teguran tertulis

b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada masyarakat melalui penempelan

stiker di lobbi atau pintu masuk kantor

c. Denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau denda paling banyak

Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) atau pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan.

Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang

43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968

menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan.

Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang

tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011

sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %).

Berdasarkan rekapitulasi data kasus yang ada sampai tanggal 22 Agustus 2011

tercatat hanya Provinsi Bali yang masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target

nasional (Ditjen PP & PL, 2011).

Universitas Sumatera Utara


DBD sangat endemis di Indonesia, penyebab meluasnya penyakit DBD di

Indonesia multi faktorial antara lain:

a. Faktor Manusia dan Sosial Budaya

1. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kejadian kasus

DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus DBD di kota tersebut. Hal ini

karena berkaitan dengan penyediaan infrastruktur yang kurang memadai seperti

penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga terkumpul

barang-barang bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat

perkembang biakan nyamuk Aedes, penular DBD.

2. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain

mempengaruhi penyebaran penyakit DBD.

3. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari

seperti menampung air hujan, air sumur, harus membeli air didalam bak mandi,

membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan

nyamuk .

4. Kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan

terhadap adanya air-air yang tertampung didalam wadah-wadah dan kurang

melaksanakan kebersihan dan 3M Plus ( menguras, menutup dan mengubur,

serta Plus yaitu menaburkan larvasida , memelihara ikan pemakan jentik dll. )

b. Faktor Agen dan Lingkungan.

Universitas Sumatera Utara


1. Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah

Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, dipertahankan siklusnya didalam

tubuh nyamuk.

2. Faktor nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok

tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan.

3. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di

Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung

menampung air dan didaerah sulit air orang menampung air didalam bak-bak

air/drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun.

c. Standar Operasional Prosedur

1. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan penatalaksanaan

penderita DBD sesuai standar pada sebagian klinisi baik di Rumah Sakit,

Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya, sehingga sering terjadi

over diagnosis.

2. Belum semua rumah sakit menggunakan form KD-RS (Kewaspadaan Dini

Rumah Sakit) DBD dan seringnya keterlambatan pelaporan kasus dari rumah

sakit ke Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar, seharusnya

setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam agar

dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan kasus secara cepat dan tepat

sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi.

d. Ketersediaan Tenaga Pelayanan

Universitas Sumatera Utara


1. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya petugas

lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan program

pengendalian DBD.

2. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh karena

keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB ( Pemeriksaan Jentik

Berkala) dimana kader-kader jumantik melaksanakan pemeriksaan jentik

seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak tersedia dana operasional

maupun biaya pengganti transport bagi para kader jumantik sehingga

kegiatannya mengendur. Beberapa kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan,

Mojokerto sangat aktif melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui

peran serta masyarakat dan Jumantik.

e. Kondisi Sarana Pendukung

Mesin fogging tersedia disetiap Dinas Kesehatan kota atau Puskesmas jumlahnya

bervariasi, namun biasanya tidak disertai biaya pemeliharaan. Oleh karena itu

mesin-mesin yang rusak tidak tersedia suku cadang , sering kali diambil dari

mesin-mesin yang ada, sehingga banyak mesin fogging yang rusak.

f. SumberPembiayaan

1. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di beberapa wilayah

sehingga alokasi dana APBD untuk penanggulangan DBD masih tergolong

kecil di masing-masing wilayah endemis.

2. Untuk penyemprotan suatu area , luas radius 100 meter ( 1 HA , estimasi hanya

untuk 20-40 rumah ) dibutuhkan biaya Rp.300.000 - 500.000 / 2 siklus. Area

Universitas Sumatera Utara


yang disemprot harus memenuhi kriteria PE tersebut, dengan tujuan membunuh

nyamuk yang mengandung virus. Oleh karena itu apabila masyarakat meminta

penyemprotan yang tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus menanggung

biaya itu sendiri. Penyemprotan liar ini biasanya dilakukan oleh perusahaan

penyemprot/ pihak swasta yang hanya mengutamakan aspek keuntungan saja.

3. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga Maret dimana

pada bulan-bulan tersebut dana operasional belum turun dari APBD, ini

membuat hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan kasus di lapangan.

g. Faktor kerjasama atau peran serta lintas sektor (Ditjen PP &PL, 2011).

2.5. Demam Berdarah Dengue

2.5.1. Pengertian DBD

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab

yang jelas, berlangsung terus menerus selama 27 hari, manifestasi perdarahan

(petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan

gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple Leede) positif,

100.000/l
trombositopeni (jumlah trombosit ), hemokonsentrasi (peningkatan

hemotokrit 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes RI,

2005).

Universitas Sumatera Utara


2.5.2. Etiologi DBD

Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk kelompok B

anthropida borne virus (Arboviruses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili

Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotype, yaitu :DEN1, DEN2, DEN3 dan

DEN4. Salah satu infeksi serotypeakan menimbulkan antibodi terhadap serotype

yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotype lain dan

sangat kekurangan, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan terhadap serotype

yang lain. Keempat serotype virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di

Indonesia. Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan

banyak yang menunjukkan manifestasi klinis berat. Serotype DEN3 berasal dari

Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imunitas rendah dengan tingkat

penyebaran yang tinggi, sudah diketahui sejak 300 tahun yang lalu

penanggulangannya belum juga tuntas (Depkes RI, 2005).

2.5.3. Cara Penularan DBD

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus

dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada

manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes

polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun

merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung

virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.

Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari

Universitas Sumatera Utara


(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada

saat gigitan berikutnya.

Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya

(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting.

Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk

tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia,

virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum

menimbulkan penyakit.

Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk

menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas

sampai 5 hari setelah demam timbul. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi

oleh keadaan sekitarnya terutama keadaan lingkungan fisik, seperti kebersihan

halaman rumah, jenis kontainer, perilaku dan sosial ekonomi masyarakat. Nyamuk ini

dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah kurang lebih 1000 meter,

nyamuk ini tidak dapat berkembang biak lebih dari ketinggian tersebut, suhu udara

terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk untuk

berkembang biak (Depkes RI, 2005).

2.5.4. Epidemiologi

Secara epidemiologi dapat dilihat bahwa, kasus DBD dapat menyerang semua

golongan umur, jenis kelamin, terutama anak anak. Tetapi dalam dekade terakhir ini

terlihat ada kecenderungan peningkatan porsi penderita DBD pada golongan dewasa.

Kasus DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim

Universitas Sumatera Utara


penghujan atau bebarapa minggu setelah musim hujan, maka kasus DBD

memperlihatkan siklus 5 (lima) tahun sekali (Depkes RI, 2005).

Peningkatan kasus diprediksikan akibat lemahnya surveilans epidemiologi dan

upaya pemberdayaan masyarakat untuk memantau jentik sebagai upaya pencegahan

kurang terlaksana secara optimal. Demikian juga dengan angka kematian meningkat

akibat keterlambatan mendapat pertolongan, perilaku masyarakat membersihkan

sarang nyamuk masih kurang (Sungkar, 2007).

2.5.5. Tanda dan Gejala Klinis

Penyakit DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade

terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa.

Sedangkan masa inkubasi DBD biasanya berkisar antara 4-7 hari (Depkes RI, 2005).

Diagnosa penyakit DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosa WHO

tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis, ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosa

yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosis). Kriteria klinis

tersebut seperti:

a. Demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang berlangsung 2-7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji tornique positif,

petekia, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis

dan melena.

c. Pembesaran hati.

d. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan

nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan penderita tampak

Universitas Sumatera Utara


gelisah. Kriteria laboratorium seperti trombositopenia 100.000 / ul atau kurang

dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat peningkatan hemotokrit 20% atau lebih.

Dua kriteria klinis ditambah hematokrit cukup untuk menegakkaan diagnosis

klinis DBD (Depkes RI, 2005).

WHO (1997) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) derajat, yaitu :

Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi perdahan

ialah uji torniqet positif.

Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain. Derajat

III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan jadi

menurun ( < 20 mmHg ) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan

penderita menjadi gelisah.

Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah

yang tidak dapat diukur (Depkes RI, 2005).

Panduan WHO di tahun 2009 telah diterbitkan yang merupakan

penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu WHO 1997, penyempurnaan ini

dilakukan karena dalam temuan di lapangan ada hal-hal yang kurang sesuai dengan

panduan WHO 1997 tersebut. Diusulkan adnya redefenisi kasus terutama untuk kasus

infeksi dengue berat. Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak memenuhi ke

empat kriteria WHO 1997 namun terjadi syok. Sehingga disepakatilah panduan

terbaru WHO tahun 2009 :

Universitas Sumatera Utara


Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah :

a. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs) yakni :

1. Bertempat tinggal di daerah endemik dengue atau bepergian ke daerah

endemik dengue

2. Demam disertai 2 dari hal berikut : mual ataupun muntah, ruam, sakit dan

nyeri, uji torniqet positif, leukopenia.

b. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs)yakni :

nyeri perut, muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan

mukosa, letargi atau lemah, pembesaran hati > 2cm, kenaikan hematokrit seiring

dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.

c. Dengue berat (severe dengue ) yakni :

1. Kebocoran plasma berat yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi

cairan dengan distress pernafasan.

2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan dokter / petugas kesehatan.

3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan kesadaran,

gangguan jantung, dan organ lain) (Primal, 2010).

Prognosis DBD sulit di ramalkan dan pengobatan yang spesifik untuk DBD

tidak ada, karena obat terhadap virus dengue belum ada. Prinsip dasar pengobatan

penderita DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran

plasma (Depkes RI, 2005).

Universitas Sumatera Utara


2.6. Landasan Teori

Model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh George

Edward III (1980) menunjukkan empat variabel yang berperan penting dalam

pencapaian keberhasilan implementasi. Empat variabel tersebut adalah komunikasi,

sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

a. Komunikasi, yaitu bagaimana petugas kesehatan menyampaikan program dari

suatu kebijakan dengan tujuan dan sasaran yang jelas sehingga kelompok sasaran

mengetahui hal tersebut. Semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran tentang

program tersebut maka akan mengurangi kekeliruan dalam mengaplikasikannya.

Dalam hal ini peneliti meneliti apakah masyarakat mengetahui program-program

pemberantasan DBD yang ditetapkan Pemerintah Kota Tebing Tinggi.

b. Sumber daya, yaitu sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.

Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas petugas

kesehatan yang dapat melingkupi seluruh kelompok masyarakat. Dalam hal ini

peneliti meneliti apakah petugas kesehatan yang akan melaksanakan kebijakan

memadai jumlahnya, bagaimana kemampuan petugas kesehatan yang akan

mengaplikasikan kebijakan tersebut, tingkat pemahaman terhadap tujuan dan

sasaran serta aplikasi detail program, dan kemampuan menyampaikan program

dan mengarahkan. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas

sebuah kebijakan. Dalam hal ini peneliti akan meneliti apakah program memiliki

sarana dan prasarana yang baik dan berjalan dengan baik.

Universitas Sumatera Utara


c. Disposisi, yaitu bagaimana watak karateristik petugas kesehatan. Karateristik yang

penting adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Peneliti meneliti tentang

karakter petugas kesehatan yaitu bagaimana tingkat komitmen dan kejujurannya

yang dapat diukur dengan tingkat konsistensi antara pelaksanaan kegiatan dengan

aturan yang ditetapkan, semakin sesuai dengan aturannya maka semakin tinggi

komitmennya. Tingkat demokratis dapat diukur dengan intensitas pelaksana

melakukan komunikasi dengan kelompok sasaran dan mencari solusi dari masalah

yang dihadapi.

d. Struktur birokrasi, mencakup dua aspek penting yaitu mekanisme dan struktur

organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah

ditetapkan melalui Standar Operating Procedur (SOP) yang dicantumkan dalam

guideline kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas,

sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi

acuan dalam bekerjanya implementor. Dalam hal ini peneliti meneliti seberapa

jauh rentang kendali antara pimpinan atas dan bawahan dalam sturuktur

organisasi pelaksana, semakin jauh berarti semakin rumit, birokratis dan lambat

untuk merespon perkembangan program. Struktur organisasi pelaksana harus

dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam

program secara cepat.

Universitas Sumatera Utara


2.7. Kerangka Konsep

Dari landasan teori yang disebut diatas, maka disusunlah kerangka teori

bahwa peneliti ingin mengetahui bagaimana implementasi kebijakan dengan

variabelnya yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi memiliki pengaruh terhadap

kejadian DBD di kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi. Dalam hal ini, peneliti

membatasi variabel yang akan diteliti dengan menghilangkan variabel struktur

birokrasi dikarenakan variabel tersebut bersifat struktur organisasi dinas kesehatan

yang tidak dapat ditanyakan kepada responden masyarakat.

Variabel Independen Variabel Dependen

Implementasi Kebijakan :
1. Komunikasi Kejadian DBD
2. Sumber Daya
3. Disposisi

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai