Anda di halaman 1dari 50

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Respirologi

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

TONSILOFARINGITIS AKUT + ERUPSI OBAT

Disusun oleh:
Fanytha Libra Karmila (1610029003)

Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Maret 2017

1
Tutorial Klinik

TONSILOFARINGITIS AKUT + ERUPSI OBAT

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak

Menyetujui,

dr. Hj. Sukartini, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Maret 2017

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
yang berjudul Tonsilofaringitis Akut + Erupsi Obat.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Sukartini, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2016 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, Maret 2017

Penulis

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selain rinitis, faringitis juga merupakan salah satu infeksi saluran
pernapasan atas yang banyak terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada faringitis
tidak menyebabkan perubahan pada durasi atau derajat beratnya penyakit.
Faringitis biasa terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak berusia di bawah 1
tahun. Insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai
puncaknya pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insidens faringitis
Streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia di bawah 3 tahun,
dan sebanding antara laki-laki dan perempuan.
Faringitis dapat disebabkan oleh virus atau bakteri. Oleh karena itu,
diperlukan strategi untuk melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana, agar
dapat membedakan pasien-pasien yang membutuhkan terapi antibiotik, dan
mencegah serta meminimalisasikan penggunaan medikamentosa yang tidak perlu.
Erupsi obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang
diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat
diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga
dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk.
1.2 Tujuan
Untuk mempelajari dan lebih memahami tonsilofaringitis akut yang
didapatkan di preklinik dengan teori yang telah dipelajari.

4
BAB 2
RESUME KASUS

Pasien MRS pada tanggal 8 Maret 2017 melalui IGD RSUD A.W.
Sjahranie Samarinda.

1. Identitas Pasien:
Nama : An. G
Umur : 1 tahun 1 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kubar
Tanggal masuk : 8 Maret 2017

2. Identitas Ayah Pasien:


Nama : Tn. T
Umur : 31 tahun
Pekerjaan : Karyawan perusahaan
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Kubar

3. Identitas Ibu Pasien:


Nama : Ny. N
Umur : 36 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Kubar

Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan 14 Maret 2017.

Keluhan Utama
Kulit kemerahan dan bibir pecah-pecah
5
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien di bawah orang tuanya ke IGD RS AWS dengan keluhan timbul
ruam-ruam kemerahan pada seluruh tubuh disertai bibir pecah-pecah dan
menghitam sejak 3 hari SMRS ibu pasien juga mengeluhkan anaknya tidak mau
makan. Sebelumnya pasien mengalami batuk pilek dan demam sehingga di bawah
oleh orang tuanya ke puskesmas dan mendapatkan obat batuk pilek, penurun
panas paracetamol dan antibiotik namun ibu tidak mengingat antibiotik apa yang
diberi kepada anaknya, sehari setelah minum obat-obatan tersebut ibu mengatakan
muncul ruam-ruam diseluruh tubuh sehingga ibu memberhentikan pemberian
obat-obatan tersebut dan membawa anaknya ke poliklinik anak di RS HIS Kubar
dan mendapat obat yang sama, ibu hanya sekali meminumkan obat dari poliklinik
tersebut karena ruam-ruam dikulit semakin bertambah dan disertai bibir pecah-
pecah dan menghitam serta anak tidak mau makan sama sekali, kemudian ibu
meminta rujukan dari RS HIS Kubar untuk ke RSUD AWS Samarinda.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Pasien alergi terhadap susu sapi

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga lainnya yang memiliki keluhan serupa.
Ayah pasien alergi terhadap debu

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 3.100 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Berat badan sekarang : 10kg
Tinggi badan sekarang : 89 cm
Gigi keluar : 3 bulan
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
6
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 9 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 1 tahun
Berbicara 2 suku kata : 1 tahun
Masuk TK : -
Masuk SD :-

Makan dan minum anak


ASI : diberikan sejak lahir sampai dengan usia 6
bulan
Susu sapi/ buatan : diberikan susu soya sejak usia 10 bulan
Jenis susu : Soya
Takaran : -
Bubur susu : 6 bulan
Tim saring :-
Buah : : 1 tahun
Lauk dan makan padat : 1 tahun

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : bidan
Penyakit Kehamilan : sehat
Obat-obatan yang sering diminum : vitamin

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik bidan
Persalinan ditolong oleh : Bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : Spontan

7
Pemeliharaan postnatal
Periksa di : Puskesmas
Keadaan anak : sehat
Keluarga berencana : Ya, memakai pil / suntik

Riwayat Imunisasi Dasar

Imunisasi Usia saat imunisasi


I II III IV Booster I Booster II
BCG (+) //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio (+) (+) (+) (+)
Campak (+) //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT (+) (+) (+) ////////////
Hepatitis B (+) (+) (+) ////////////

Riwayat Saudara-Saudaranya
Hamil Kondisi Jenis Usia Sehat/ Umur Sebab
ke saat lahir persalinan (tahun) Tidak meninggal meninggal
1 Aterm spontan 1 tahun 1 Tidak sehat - -
bulan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 14 Maret 2017

Keadaan umum : Sakit sedang


Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6

Tanda-tanda vital
Frekuensi Nadi : 102 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi Nafas : 24 x/menit, regular
Suhu : 36,8oC, aksiler
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
8
Antropometri
Berat badan : 10 kg
Panjang badan : 89 cm

Status generalisata
Kepala
Rambut : Rambut hitam
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil isokor (3mm/3mm), mata cowong (-
/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Telinga : bentuk normal, secret (-/-)
Mulut : faring hiperemis (+), mukosa bibir kering pecah-pecah,
pembesaran tonsil (+/+), gusi berdarah (-)
Leher
Pembesaran Kelenjar : pembesaran KGB (-)
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra et sinistra,
retraksi (-), Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Fremitus raba dekstra et sinistra, Ictus cordis teraba di
ICS V Mid Clavicula Line Sinistra
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), S1S2 tunggal reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, tampak cembung
Palpasi : distensi, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-
), turgor kulit baik
Perkusi : Timpani 4 kuadran
Auskultasi : Bising usus (+) N, metalic sound (-)

9
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-).
Status lokalis : palula eritam pada seluruh kulit tubuh dan ekstremitas

Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap

Pemeriksaan 08/03 Nilai normal

/2017

Leukosit 27.23 6000-17.000 /uL

Hb 8.7 11,5 - 13,5 g/dl

MCV 87.8 81 99 fl

MCH 28.0 27 31 pg

MCHC 31.1 33 37 g /dl

PLT 456 150.000- 450.000/l

Ureum 23.0 11.0-36.0 mg/dL

Creatinin 0.5 0.9-1.3 mg/dL

Natrium 136 135-155mmol/L

Kalium 5.3 3.6-5.5mmol/L

Chloride 106 98-108mmol/L

10
Evaluasi Darah Tepi

8/03/2017

Eritrosit Normokrom normositik, polikromasi,


anisositosis

Leukosit Jumlah meningkat, neutrofilia, sel blast (-)

Trombosit Jumlah meningkat, anisositosis

Kesan Anemia sedang normokrom anisositosis,


lekositosis reaktif, neutrofilia, trombositosis
reaktif ec susp Anemia penyakit kronik + proses
infeksi?

Diagnosis Kerja IGD


Suspek erupsi obat

Follow up harian

09 Maret 2017

S Demam (+),
Tidak mau menyusu dan makan (+)
Batuk (+)
Pilek (+)
Ruam (+)
O Composmentis
HR: 102x/menit
RR: 28x/menit
T: 37,8C
Kepala/leher: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), napas cuping hidung (-),
faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) grade T-2/T-1, pembesaran
11
KGB (-)

Thorax:
Inspeksi: besar dan bentuk dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi: gerakan napas simetris
Perkusi: sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi: vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-),
rhonki (-), s1s2 tunggal regular, murmur(-)
Abdomen:
Inspeksi: perut cembung,
Palpasi: nyeri tekan (-), organomegali (-)
Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi: BU (+)
Ekstremitas:
akral hangat, edema (-), CRT <2 detik, rash makulapapular (+)
A Tonsilofaringitis akut

Erupsi obat

P Diagnosis:

1. Cek IgE total, IgE spesifik


2. Cek APTT, PT
3. Cek DL
Terapi:
1. IVFD D5 NS 1000cc/hari
2. Ceftriaxone 2x400mg (H1)
3. Dexametason 3x1,5mg
4. Ibuprofen 3x1cth
5. Cetirizine 1x cth
6. CTM 1mg+Ambroxol 5mg+Rhinofed tab (3x1pulv)

12
10 Maret 2017

S Demam (+)

Tidak mau menyusu dan makan (+)

Batuk (<<)

Pilek (+)

Ruam (<<)

O Composmentis

HR: 98x/menit

RR: 26x/menit

T: 36,8C

Kepala/leher: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), napas cuping hidung (-),
faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) grade T-2/T-1, pembesaran
KGB (-)

Thorax:

Inspeksi: besar dan bentuk dinding dada simetris, retraksi (-), scar
(+)

Palpasi: gerakan napas simetris, fremitus suara simetris

Perkusi: sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi: vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-),


rhonki (-), s1s2 tunggal regular, murmur(-)

Abdomen:

Inspeksi: perut cembung,

Palpasi: nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen

Auskultasi: BU (+)

13
Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT <2 detik

Laboratorium:

Leukosit:27,34

Hb:8,6

PLT:633

A Tonsilofaringitis akut

Erupsi obat

P 1. IVFD D5 NS 1000cc/hari
2. Ceftriaxone 2x400mg (H2)
3. Dexametason 3x1,5mg
4. Ibuprofen 3x1cth
5. Cetirizine 1x cth
6. CTM 1mg+Ambroxol 5mg+Rhinofed tab (3x1pulv)
7. Diet BISTIKA

11 Maret 2017

S Demam (+)

Tidak mau menyusu dan makan (+)

Batuk (<<)

Pilek (+)

Ruam (<<)

O Composmentis

HR: 98x/menit

14
RR: 26x/menit

T: 36,6C

Kepala/leher: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), napas cuping hidung (-),
faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) grade T-2/T-1, pembesaran
KGB (-)

Thorax:

Inspeksi: besar dan bentuk dinding dada simetris, retraksi (-), scar
(+)

Palpasi: gerakan napas simetris, fremitus suara simetris

Perkusi: sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi: vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-),


rhonki (-), s1s2 tunggal regular, murmur(-)

Abdomen:

Inspeksi: perut cembung,

Palpasi: nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen

Auskultasi: BU (+)

Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT <2 detik

A Tonsilofaringitis akut

Erupsi obat

Stomatitis

P 1. IVFD D5 NS 1000cc/hari
2. Ceftriaxone 2x400mg (H2)
3. Dexametason 3x1,5mg (stop)
15
4. Ibuprofen 3x1cth
5. Cetirizine 1x cth
6. CTM 1mg+Ambroxol 5mg+Rhinofed tab (3x1pulv)
7. Diet BISTIKA

13 Maret 2017

S Demam (+)

Tidak mau menyusu dan makan (+)

Batuk (<<)

Pilek (+)

Ruam (<<)

O Composmentis

HR: 100x/menit

RR: 28x/menit

T: 36,4C

Kepala/leher: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), napas cuping hidung (-),
faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) grade T-2/T-1, pembesaran
KGB (-)

Thorax:

Inspeksi: besar dan bentuk dinding dada simetris, retraksi (-), scar
(+)

Palpasi: gerakan napas simetris, fremitus suara simetris

Perkusi: sonor pada seluruh lapangan paru

16
Auskultasi: vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-),
rhonki (-), s1s2 tunggal regular, murmur(-)

Abdomen:

Inspeksi: perut cembung,

Palpasi: nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen

Auskultasi: BU (+)

Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT <2 detik

A Tonsilofaringitis akut

Erupsi obat

Stomatitis

P Diagnosis:

1. Konsul THT suspek OMA


Terapi:
1.IVFD D5 NS 1000cc/hari

2. Ceftriaxone 2x400mg (H5)

3. Ibuprofen 3x1cth

4. Cetirizine 1x cth

5. CTM 1mg+Ambroxol 5mg+Rhinofed tab (3x1pulv)

6. Diet BISTIKA

17
14 Maret 2017

S Demam (+)

Tidak mau menyusu dan makan (+)

Batuk (<<)

Pilek (+)

Ruam (<<)

O Composmentis

HR: 96x/menit

RR: 26x/menit

T: 36,3C

Kepala/leher: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), napas cuping hidung (-),
faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) grade T-2/T-1, pembesaran
KGB (-)

Thorax:

Inspeksi: besar dan bentuk dinding dada simetris, retraksi (-), scar
(+)

Palpasi: gerakan napas simetris, fremitus suara simetris

Perkusi: sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi: vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-),


rhonki (-), s1s2 tunggal regular, murmur(-)

18
Abdomen:

Inspeksi: perut cembung, soefl

Palpasi: nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen

Auskultasi: BU (+)

Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT <2 detik

Jawaban THT:

Otitis media serosa akut dextrasinistra

Terapi:

- Cetirizine
- Efedrin
- N-Acetil sistein
- Vitamin C
Laboratorium:

Leukosit: 24.78

Hb: 9.4

PLT: 1.123

A Tonsilofaringitis akut

Erupsi obat

Stomatitis

OMSA

P Diagnosis:

1. Besok cek DL
Terapi:

19
1.IVFD RL 1300cc/hari

2. Ceftriaxone 2x400mg (H5)

3. Ibuprofen 3x1cth

4. Cetirizine 1x cth

5. CTM 1mg+Ambroxol 5mg+Rhinofed tab (3x1pulv)

6. Diet BISTIKA

7. vit C 1x tab

8. tramenza 3x1/3cth

16 Maret 2017

S Demam (-)

Mau menyusu dan makan (+)

Batuk (<<)

Pilek (<<)

Ruam (<<)

O Composmentis

HR: 102x/menit

RR: 26x/menit

T: 36,2C

Kepala/leher: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), napas cuping hidung (-),
faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) grade T-2/T-0, pembesaran
KGB (-)

20
Thorax:

Inspeksi: besar dan bentuk dinding dada simetris, retraksi (-), scar
(+)

Palpasi: gerakan napas simetris, fremitus suara simetris

Perkusi: sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi: vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-),


rhonki (-), s1s2 tunggal regular, murmur(-)

Abdomen:

Inspeksi: perut cembung, soefl

Palpasi: nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen

Auskultasi: BU (+)

Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT <2 detik

Laboratorium:

Leukosit: 17.770

Hb: 8.2

PLT: 1.030

21
A Tonsilofaringitis akut

Erupsi obat

Stomatitis

OMSA

Trombositosis

P Diagnosis:

1. Besok cek DL
Terapi:
1.IVFD RL 1400cc/hari

2. Ceftriaxone 2x400mg (H

3. Ibuprofen 3x1cth (k/p)

4. Cetirizine 1x cth

5. CTM 1mg+Ambroxol 5mg+Rhinofed tab (3x1pulv)

6. Diet BISTIKA

22
17 Maret 2017

S Demam (-)

Mau menyusu dan makan (+)

Batuk (-)

Pilek (<<)

Ruam (-)

O Composmentis

HR: 98x/menit

RR: 26x/menit

T: 36,6C

Kepala/leher: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), napas cuping hidung (-),
faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) grade T-2/T-1, pembesaran
KGB (-)

Thorax:

Inspeksi: besar dan bentuk dinding dada simetris, retraksi (-), scar
(+)

Palpasi: gerakan napas simetris, fremitus suara simetris

Perkusi: sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi: vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-),


rhonki (-), s1s2 tunggal regular, murmur(-)

Abdomen:

Inspeksi: perut cembung, soefl

23
Palpasi: nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen

Auskultasi: BU (+)

Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT <2 detik

Laboratorium:

Leukosit: 17.530

Hb: 9.1

PLT: 1.250

A Tonsilofaringitis akut

Erupsi obat

Stomatitis

OMSA

Trombositosis

P Terapi:
1.IVFD RL 1400cc/hari

2. Ceftriaxone 2x400mg (H

3. Ibuprofen 3x1cth (k/p)

4. Cetirizine 1x cth

5. CTM 1mg+Ambroxol 5mg+Rhinofed tab (3x1pulv)

6. Diet BISTIKA

24
18 Maret 2017

S Demam (-)

Mau menyusu dan makan (+)

Batuk (-)

Pilek (<<)

Ruam (-)

O Composmentis

HR: 100x/menit

RR: 28x/menit

T: 36,4C

Kepala/leher: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), napas cuping hidung (-),
faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) grade T-2/T-0, pembesaran
KGB (-)

Thorax:

Inspeksi: besar dan bentuk dinding dada simetris, retraksi (-), scar
(+)

Palpasi: gerakan napas simetris, fremitus suara simetris

Perkusi: sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi: vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-),


rhonki (-), s1s2 tunggal regular, murmur(-)

Abdomen:

Inspeksi: perut cembung,soefl

25
Palpasi: nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen

Auskultasi: BU (+)

Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT <2 detik

A Tonsilofaringitis akut

Erupsi obat

Stomatitis

OMSA

Trombositosis

P Terapi:
Keluar rumah sakit

26
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tonsilofaringitis
3.1.1 Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut
pada faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14
hari. Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur
lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil,
jarang terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian
faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis.
Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri
tenggorok. Faringitis Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah
infeksi akut orofaring dan/atau nasofaring oleh SBHGA.

3.1.2 Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis
sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia 3
tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus,
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus
Epstein Barr dapat menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi
mononucleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi
sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella,
dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut.
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% (di luar
kejadian epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada
dewasa hanya sekitar 5-10% kasus. Streptokokus grup A biasanya buka penyebab
yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi di tempat
penitipan anak.

27
3.1.3 Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak
langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan
benda yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang
kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan.
Penyebaran SBHGA memerlukan penjamu yang rentan dan difasilitasi
dengan kontak yang erat. Infeksi jarang terjadi pada anak berusia di bawah 2
tahun, mungkin karena kurang kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel.
Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan organisme beberapa kali
sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA jarang terjadi pada
kelompok ini.
Bakteri maupun virus yang dapat secara langsung menginvasi mukosa
faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar
peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan
penyakitnya adalah terjadi inokulasi agen infeksius di faring yang menyebabkan
peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya.
Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta pelepasan toksin
ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA
terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan dengan
kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72
jam.

3.1.4 Gejala klinis


Gejala tonsilofaringitis akut khas akibat bakteri streptokokus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang
biasa dikeluhkan oleh anak berusia di bawah 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri
perut, dan muntah. Selain itu juga dilaporkan demam yang dapat mencapai suhu
40C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti rinorea,
suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus.
Kontak dengan pasien rinitis juga dapat ditemukan dalam anamnesis.

28
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut
streptokokus menunjukkan tanda infeksi streptokokus, yaitu eritema pada tonsil
dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil.
Pada tonsilofaringitis akut streptokokus akan dijumpai gejala dan tanda
sebagai berikut:
Awitan akut, disertai mual dan muntah
Faring hiperemis
Demam
Nyeri tenggorokan
Tonsil bengkak dengan eksudasi
Kelenjar getah bening anterior bengkak dan nyeri
Uvula bengkak dan merah
Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
Petekie palatum mole
Sedangkan jika dijumpai gejala dan tanda sebagai berikut ini, maka
kemungkinan besar bukan karena streptokokus:
Usia di bawah 3 tahun
Awitan bertahap
Kelainan melibatkan beberapa mukosa
Konjungtivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
Mengi, ronki di paru
Eksantema ulseratif
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah,
dan berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas
anterior tonsil hingga ke palatum mole dan/atau uvula.
Pada tonsilofaringitus akut akibat virus dapat ditemukan juga ulkus di
palatum mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit
dibedakan dengan eksudat faringitis streptokokus. Gejala yang timbul dapat
hilang dalam 24 jam, berlangsung selama 4-10 hari (self limitting disease), jarang
menimbulkan komplikasi. Prognosis baik.

29
3.1.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.
Sulit untuk membedakan antara tonsilofaringitis streptokokus dan
tonsilofaringitis virus berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Baku emas
penegakkan diagnosis tonsilofaringitis bakteri atau virus adalah melalui
pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada
area tonsil diperlukan untuk menegakkan adanya S.pyogenes. Untuk
memaksimalkan akurasi maka diambil apusan dari dinding faring posterior dan
regio tonsil, lalu diinokulasikan pada media segar darah domba 5% dan piringan
basitrasin diaplikasikan, kemudian ditunggu 24 jam.

3.1.6 Penatalaksanaan
Usaha untuk membedakan tonsilofaringitis bakteri atau virus bertujuan
agar pemberian antibiotik sesuai indikasi. Tonsilofaringitis akut streptokokus grup
A merupakan satu-satunya tonsilofaringitis yang memiliki indikasi kuat dan
aturan khusus dalam pemberian antibiotik.
Penggunaan antibiotik tidak diperlukan pada tonsilofaringitis virus karena
tidak akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan.
Istirahat cukup dan pemberian cairan intravena yang sesuai terapi suportif dapat
diberikan. Selain itu, pemberian obat kumur dan obat hisap, pada anak yang cukup
besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri atau
demam, dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak
dianjurkan, terutama pada infeksi influenza, karena insiden sindrom Reye kerap
terjadi.
Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasar pada gejala klinis dan
hasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Antibiotik pilihan pada
terapi tonsilofaringitis akut Streptokokus grup A adalah Penisilin V oral 15-30
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin
G IM dengan dosis 600.000 IU (BB<30kg) dan 1.200.000 IU (BB>30kg).
amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih
kecil, karena selain karena efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang
30
lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan penisilin V oral selama 10 hari. Untuk
anak yang alergi dapat diberikan eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari,
eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2-4 kali per hari
selama 10 hari.
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk
mengurangi frekuensi tonsilitis rekurens. Dasar tindakan ini masih belum jelas.
Pengobatan dengan adenoidektomi dan tonsilektomi telah menurun dalam 2
dekade terakhir. Ukuran tonsil dan adenoid bukan indikator yang tepat.
Tonsilektomi biasanya dilakukan pada tonsilofaringitis berulang atau kronis.

3.1.7 Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Beberapa
kasus dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri
dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang sangat luas.
Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara
hematogen. Akibat perluasan langsung, faringitis dapat berlanjut menjadi
rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau
parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran hematogen bakteri Streptokokus
hemolitikus grup A dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis, atau arthritis
septik, sedangkan komplikasi nonsupuratif berupa demam reumatik dan
glomerulonefritis.

3.2 Erupsi Obat


3.2.1 Definisi
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang
diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat
diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga
dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson
2007). Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada
tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga

31
memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit,
pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen
sampai kematian. Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi
obat alergi. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi
alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian
obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).

3.2.2 Faktor Risiko


Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah (Patterson,

2009):

1. Jenis kelamin dan usia

Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang tersensitisasi akibat


obat jika dibandingkan dengan orang dewasa. Akan tetapi beberapa jenis kasus
erupsi obat alergi yang memiliki prognosis buruk lebih sering mengenai anak-
anak. Pada anak anak, ruam merah yang timbul akibat virus sering mengaburkan
gambaran klinis erupsi alergi obat akibat antimikroba yang diberikan. Wanita
lebih sering menderita erupsi obat alergi dibandingkan pria.

2. Faktor genetik

Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan misalnya
pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat sulfonamida. Hal ini berhubungan
dengan gen human leukocyte antigen. Diantara para remaja yang memiliki
orang tua dengan riwayat alergi antibiotika, 25,6% remaja tersebut juga memiliki
alergi obat yang sama.

3. Pajanan obat sebelumnya

Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat yang sebelumnya
menimbulkan alergi ataupun obat obatan lain yang memiliki struktur kimia
yang sama.Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat persisten. Setelah pajanan,
imunnoglobulin e dapat bertahan dari 55 hongga 2000 hari.

32
4. Riwayat penyakit yang dimiliki

Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita dermatitis


atopi.

5. Bentuk obat

Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan sulfonamida memiliki
potensial untuk mensensitisasi tubuh.

6. Cara masuk obat

Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih menyebabkan erupsi


alergi obat. Antibiotika beta laktam dan sulfonamida jarang digunakan secara
topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi pemberian obat juga berperan dalam
timbunya erupsi alergi obat.

3.2.3 Patogenesis
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah
mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya
erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme
imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang
disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan
dalam metabolisme (Riedl & Casillas, 2003). Menurut Lee & Thomson (2006),
terdapat empat mekanisme imunologis. Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi
anafilaksis) merupakan mekanisme yang paling banyak ditemukan. Pada tipe ini,
imunoglobulin yang berperan ialah imunoglobulin E yang mempunyai afinitas
tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak
menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama,
maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan
heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek
misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya
33
syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat
ikatan antara imunoglobulin G dan imunoglobulin M dengan antigen yang
melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi
yang berakhir dengan lisis. Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi
kompleks imun) dimana antibodi yang berikatan dengan antigen akan
membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini
mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi
radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator
oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme
keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini
melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan
antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
setelah pajanan terhadap antigen (Lee & Thomson, 2006).

34
3.2.4 Gejala klinis
Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan
gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu (Hamzah, 2007):

1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis

Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat


diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan
simetris yang terdiri atas eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang
ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu
setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, obat
anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan tetrasiklin.

2. Urtikaria dan angioedema

Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang-kadang disertai


angioedema. Pada angioedema yang berbahaya ialah terjadinya asfiksia bila
menyerang glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat lesi.
Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria
dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri kepala dan
vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia
eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus angioedema pada lidah dan laring harus
mendapat pertolongan segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam
asetilsalisilat, dan obat anti inflamasi non steroid.

3. Fixed drug eruption

Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia (Docrat,2005).
Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai.
Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong
dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang
lama, baru hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil
kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.
Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-
laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-

35
kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang
sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan analgesik.

4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)

Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai skuama.


Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain di samping
alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada
sistem limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma karena
alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru timbul pada stadium
penyembuhan. Obat-obat yang biasa menyebabkannya ialah sulfonamid,
penisilin,dan fenilbutazon.

5. Purpura

Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang bila
ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat.
Biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau
tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan
disertai rasa gatal.

6. Vaskulitis

Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable
purpura yang mengenai kapiler. Biasanya distribusinya simetris pada ekstremitas
bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan
anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non
steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah
sedang berbentuk eritema nodosum. Kelainan kulit berupa eritema dan nodus
yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum berupa demam dan
malese. Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Eritema
nodosum dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya
tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap sering
menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral.

36
7. Reaksi fotoalergik

Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergik,


lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan dapat
meluas ke daerah tidak terpajan matahari. Obat yang dapat menyebabkan
fotoalergi ialah fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi non steroid, dan
griseofulvin.

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat, diduga dapat


disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas
terhadap merkuri dan dermatitis kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul
miliar nonfolikular yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura
dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi,
dan pustul pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti
deskuamasi selama beberapa hari.

9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa


eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.

Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau


subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel
keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa
generalisata akut dan psoriasis pustulosa, yaitu Pustulosis eksantematosa
generalisata akut terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis
eksantematosa generalisata akut pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan
demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.

3.2.5 Diagnosis
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-
obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa
hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang
biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik

37
distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul
(Hamzah, 2007).

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari


jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.
Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data
kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian
obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya
hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat
yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang
bersifat persisten (Nayak & Acharjta, 2008).

Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan


mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan
aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang
didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat
alergi adalah (Nayak & Acharjya, 2008):

- Biopsi kulit

Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu


menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya
eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat
menentukan obat penyebab erupsi.

- Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan


diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini
mencakup perhitungan darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia,
eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah
eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila perhitungan eosinofil
lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi obat alergi yang serius. Level obat
dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.

38
- Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi

Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji
provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang
dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya
reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati
dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.

3.2.6 Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi adalah
dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.
Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat
mungkin (Nayak & Acharjya, 2008). Pemberian kortikosteroid sangat penting
pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah
prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura,
eritema nodosum, dan eksantema fikstum dosis standar untuk orang dewasa
adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari (Hamzah, 2007). Antihistamin yang
bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada
urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid (Hamzah,
2007). Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%
ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa
gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam
salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat
diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %. Pada
eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami
skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian
(Hamzah, 2007).

39
3.2.7 Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk,
misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven
Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. (Hamzah,
2007). Sindrom Steven Johnsons memiliki angka mortalitas dibawah 5 %
sedangkan toxic epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan pasien
meninggal akibat sepsis (Nayak & Acharjya 2008).

3.2.8 Gambaran jenis-jenis obat yang menyebabkan erupsi obatalergi


Menurut penelitian Saha et al (2012), jenis-jenis obat yang paling sering
menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti
flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,
allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%. Menurut penelitian
Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan
erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 34,10%, lalu diikuti
golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan golongan anti inflamasi non steroid
sekitar 21,51%. Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis
obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan
antimikroba yaitu sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid
sekitar 21,90%. Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), jenis-jenis
obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan
antimikroba yaitu kotrimoksazole sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.
Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%, dan
obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao (2006),
jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan
antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar 25%,
obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik sekitar 9%. Menurut
penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang

40
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar
22,2%, lalu diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma,
Sethuraman & Kumar (2001), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan
erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti
golongan anti inflamasi non steroid sekitar 18%.

41
BAB 4

ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An.G usia 1 tahum


datang bersama orang tuanya ke Instalasi Gawat Darurat RSU AWS Samarinda
pada 08 Maret 2017 dengan keluhan utama ruam-ruam kulit dan bibir pecah-
pecah. Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah suspek erupsi obat.
Diagnosis diruangan menjadi tonsilofaringitis akut + erupsi obat. Diagnosis ini
ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.

TEORI KASUS

ANAMNESIS

Tonsilofaringitis Akut Tonsilofaringitis Akut


- Awitan akut, disertai mual dan Pasien mengeluhkan anaknya tidak
muntah mau makan. Sebelumnya pasien
- Faring hiperemis mengalami batuk pilek dan demam.
- Demam
- Nyeri tenggorokan Erupsi Obat
- Tonsil bengkak dengan eksudasi Timbul ruam-ruam kemerahan pada
- Kelenjar getah bening anterior seluruh tubuh disertai bibir pecah-
bengkak dan nyeri pecah dan menghitam sejak 3 hari
- Uvula bengkak dan merah SMRS. Sebelumnya pasien
mengalami batuk pilek dan demam
Erupsi Obat sehingga di bawah oleh orang tuanya
- Reaksi silang obat adalah reaksi ke puskesmas dan mendapatkan obat
berbahaya atau tidak diinginkan batuk pilek, penurun panas
yang diakibatkan dari penggunaan paracetamol dan antibiotik namun
produk pengobatan. ibu tidak mengingat antibiotik apa
- Faktor risiko : Jenis kelamin dan yang diberi kepada anaknya, sehari
usia, faktor genetik, pajanan obat setelah minum obat-obatan tersebut

42
sebelumnya, riwayat penyakit yang ibu mengatakan muncul ruam-ruam
dimiliki, bentuk obat, cara masuk diseluruh tubuh sehingga ibu
obat. memberhentikan pemberian obat-
- Beberapa jenis obat seperti obatan tersebut. dan membawa
antibiotika beta laktam dan anaknya ke poliklinik anak di RS
sulfonamida memiliki potensial HIS Kubar dan mendapat obat yang
untuk mensensitisasi tubuh. sama, ibu hanya sekali meminumkan
- Obat yang diaplikasikan secara obat dari poliklinik tersebut karena
kutaneus cenderung lebih ruam-ruam dikulit semakin
menyebabkan erupsi alergi obat. bertambah dan disertai bibir pecah-
Antibiotika beta laktam dan pecah dan menghitam serta anak
sulfonamida jarang digunakan tidak mau makan sama sekali.
secara topikal karena alasan ini. Pasien alergi terhadap susu sapi
Dosis dan durasi pemberian obat Ayah pasien alergi terhadap debu
juga berperan dalam timbunya
erupsi alergi obat.
- Gambaran Klinis : Erupsi
makulapapular atau morbiliformis,
urtikaria dan angiedema, fixed
drug eruption, Eritroderma,
purpura, vaskulitis, reaksi
fotoalergik, pustulosis
eksantematosa generalisata akut.

PEMERIKSAAN FISIK

Tonsilofaringitis Akut Tonsilofaringitis Akut


- Keadaan umum baik: tidak tampak Demam, Faring hiperemis (+),
sakit berat. pembesaran tonsil (+/+) grade T-2/T-
- Faring hiperemis 0, pembesaran KGB (-), gusi
- Pembengkakan tonsil berdarah (-).
- Pemeriksaan toraks dan abdomen
Erupsi Obat

43
dalam batas normal Mukosa bibir kering pecah-pecah
Erupsi Obat dan menghitam. Papula eritam pada
- Gambaran Klinis : Erupsi seluruh kulit tubuh dan ekstremitas
makulapapular atau morbiliformis,
urtikaria dan angiedema, fixed
drug eruption, Eritroderma,
purpura, vaskulitis, reaksi
fotoalergik, pustulosis
eksantematosa generalisata akut.
- Disamping kelainan-kelainan
tersebut dapat terjadi kelainan
berupa eritema multiforme,
sindrom Stevens-Johnson, dan
nekrolisis epidermal toksik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tonsilofaringitis Akut Pemeriksaan Darah Lengkap:


Baku emas penegakkan diagnosis - Leukosit : 27.23/ uL
tonsilofaringitis bakteri atau virus - Hemoglobin : 8.7 g/dl
adalah melalui pemeriksaan kultur dari - MCV : 8.78 fl
apusan tenggorok. Apusan tenggorok - MCH : 28.0 pg
yang adekuat pada area tonsil - MCHC : 31.1 g/dl
diperlukan untuk menegakkan adanya - Platelet : 456.000/uL
S.pyogenes. Untuk memaksimalkan - Ureum : 23.0 mg/dl
akurasi maka diambil apusan dari - Creatinin : 0.5 mg/dL
dinding faring posterior dan regio - Natrium : 136 mmol/L
tonsil, lalu diinokulasikan pada media - Kalium : 5.3 mmol/L
segar darah domba 5% dan piringan - Chloride : 106 mmol/L
basitrasin diaplikasikan, kemudian
ditunggu 24 jam. Evaluasi Darah Tepi:
Anemia sedang normokrom

44
Erupsi Obat anisositosis, lekositosis reaktif,
Pemeriksaan histopatologik didapati neutrofilia, trombositosis reaktif ec
pustul intraepidermal atau subkorneal susp Anemia penyakit kronik +
yang dapat disertai edema dermis, proses infeksi?
vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear
perivaskuler dengan eosinofil atau Erupsi Obat
nekrosis fokal sel-sel keratinosit.
Terdapat 2 perbedaan utama antara
Pustulosis eksantematosa generalisata
akut dan psoriasis pustulosa, yaitu
Pustulosis eksantematosa generalisata
akut terjadinya akut dan terdapat
riwayat alergi obat. Pada Pustulosis
eksantematosa generalisata akut
pustul-pustul pada kulit yang
eritematosa dan demam lebih cepat
menghilang, selain itu gambaran
histopatologik juga berbeda.

DIAGNOSIS

Tonsilofaringitis Akut Tonsilofaringitistegakkan


- Diagnosis ditegakkan berdasarkan Berdasarrkan anamnesis,
gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemerikssaan fisik pada rongga
pemeriksaan laboratorium. mulut dimana ditemukan faring
- Baku emas penegakkan diagnosis yang hiperemis dan adanya
tonsilofaringitis bakteri atau virus pembesaran tonsil grade T-2/T-0
adalah melalui pemeriksaan kultur dengan adanya gejala sistemik
dari apusan tenggorok. Apusan demam. Selain itu dari hasil
tenggorok yang adekuat pada area pemeriksaan laboratorium
tonsil diperlukan untuk menegakkan ditemukan adanya leukositosis.
adanya S.pyogenes. Untuk
memaksimalkan akurasi maka

45
diambil apusan dari dinding faring Erupsi Obat
posterior dan regio tonsil, lalu
diinokulasikan pada media segar
darah domba 5% dan piringan
basitrasin diaplikasikan, kemudian
ditunggu 24 jam.

Erupsi Obat
- Dasar diagnosis erupsi obat alergi
adalah anamnesis yang teliti
mengenai obat-obatan yang
dipakai, kelainan kulit yang timbul
akut atau dapat juga beberapa hari
sesudah masuknya obat, dan rasa
gatal yang dapat pula disertai
demam yang biasanya subfebris.
- Pemeriksaan diagnostik untuk kasus
erupsi obat alergi adalah dengan
mengkonfirmasi marker biokemikal
atau marker imunologi yang
menyatakan aktivasi jalur
imunopatologi reaksi obat.
- Biopsi kulit yaitu pemeriksaan
histopatologi dan imunofloresensi
direk dapat membantu menegakkan
diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini
dapat dilihat dari adanya eosinofil
dan edema jaringan.
- Pemeriksaan Laboratorium :
mencakup perhitungan darah
lengkap (atypical lymphocytosis,
46
neutrophilia, eosinophilia, dan lain-
lain) serta fungsi kerja hati dan
ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil
dapat menunjukkan erupsi obat
alergi dimana bila perhitungan
eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3
menunjukkan erupsi obat alergi
yang serius.
- Pemeriksaan uji tempel.
- Uji Provokasi : dengan melakukan
pemaparan kembali obat yang
dicurigai adalah yang paling
membantu untuk saat ini.
PENATALAKSANAAN

Tonsilofaringitis Akut 1. IVFD RL 1400cc/hari


- Pemberian cairan dan nutrisi yang 2. Ceftriaxone 2x400mg (H)
adekuat. 3. Ibuprofen 3x1cth (k/p)
- Apabila oleh karena bakteri dapat 4. Cetirizine 1x cth
diberikan antibiotik golongan 5. CTM 1mg+Ambroxol
penisilin 5mg+Rhinofed tab (3x1pulv)
6. Diet BISTIKA
Erupsi Obat
- Hentikan pengobatan yang
dicurigai sebagai penyebab secepat
mungkin.
- Berikan kortikosteroid : prednison
3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
- Antihistamin yang bersifat sedatif
untuk rasa gatalnya.
- Pengobatan topikal untuk kelainan
kulit dalam keadaan kering bedak

47
salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus seperti mentol -1%
untuk mengurangi rasa gatal.
- Jika kelainan kulit dalam keadaan
basah dapat diberikan krim
kortikosteroid, misalnya
hidrokortison 1% sampai 2 %.

48
BAB 5
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Pasien An. G, laki-laki usia 1 tahun datang ke IGD RSUD Abdul Wahab
Sjahrani Samarinda dengan ruam pada kulit dan bibir pecah-pecah. Secara umum,
untuk menegakkan diagnosis dari tonsilofaringitis akut dapat berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
kultur apusan tenggorok. Penatalaksaan yang tepat adalah nutrisi dan penggunaan
antibiotik yang tepat sasaran untuk bakteri.

5.2 Saran

Perlunya anamnesis yang mendalam dan pemeriksaan fisik yang lengkap


serta pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan sehingga dapat ditegakkan
diagnosis yang tepat serta dapat ditentukan penatalaksanaan yang tepat.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Bare BG., Smeltzer SC. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
hal : 45. Jakarta: EGC.
2. Harrison, 2003. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume
ketiga, Jakarta: EGC.
3. Melbye H., Kongerud J, Vorland L, 2009. Reversible Airflow Limitation
in Adults with Respiratory Infection. Eur Respir J 2009 7 : 1239-1245
4. Muttaqin, Arif (2008 ), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
5. Nelson, S. L. (2014). Tonsilofaringitis. Diambil kembali dari MedScape:
http://emedicine.medscape.com/article/1135286-followup#a2649
6. Pudjiadi, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P.,
Harmoniati, E. D., & Yuliarti, K. (2011). Pedoman Pelayanan Medis
IDAI, Edisi II. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
7. Schiffman, George, 2004. Pulmo diseases and disorder respiratory, edisi 4,
volume kedua hal: 123-139. Jakarta: EGC.
8. Rahajoe,N.N., Supriyanto B., Setyanto.D.B. (2012). Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
9. Marcdante.K.J., Kliegman.R.M. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Esensial. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
10. Indarto.F.W. (2015). Skoring TB pada Anak. Diambil kembali dari IDAI
Yogyakarta:http://www.idaijogja.or.id/skoring-tb-pada-anak.
11. Hamzah (2007). Erupsi Obat Alergi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 5. Jakarta: FK UI
12. Nayak S, et al. Indian J Dermatol (2008). Adverse cutaneous drug
reaction. India : Department of skin and VD, MKGG Medical College and
Hospital

50

Anda mungkin juga menyukai