Anda di halaman 1dari 3

VIII.

Sejarah Perubahan pada Pandangan Nilai

C. Pandangan Nilai pada Abad Pertengahan

1. Augustine (354-430)

Augustine menyebutkan bahwa dasar filosofi adalah keimanan pada Kekristenan Barat.
Tuhan dianggap abadi, tidak berubah, mahatau, mahakuasa, dan pencipta alam semesta ini. Sebagai
oposisi dari Neoplatonisme, Augustine membuat creation theory yang menganggap Tuhan secara
bebas menciptakan dunia dari nol, dan tidak memanfaatkan materi apapun. Lantas, mengapa
manusia berdosa? Karena Adam yang merupakan manusia pertama , menyalahgunakan kebebasan
dan mengkhianati Tuhan. Menurut Augustine, beriman kepada Tuhan, berharap anugerah-Nya, dan
mencintai-Nya merupakan cara untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Maka Augustine
menyebutkan tiga kebajikan yaitu Iman, Harapan, dan Cinta.

2. Thomas Aquinas (1225-1274)

Thoma Aquinas menyatakan bahwa Teologi Kristen terbagi atas dua kebajikan, yaitu Kebajikan
Agama dan Kebajikan Alamiah. Kebajikan Agama terdiri atas Iman, Harapan, dan Cinta. Sedangkan
Kebajikan Alamiah terdiri atas kebajikan filsafat Yunani yaitu, kebijaksanaan, keberanian,
kesederhanaan dan juga keadilan. Aquinas menganggap kebajikan alamiah merupakan sarana untuk
mendapatkan kebajikan agama.

D. Pandangan Nilai pada Era Modern

Pada Era modern merupakan bentuk perluasan dan transformasi dari filsafat Yunani dan pandangan
nilai-nilai Kristen.

Rene Descrates (1596-1650) meragukan semua nilai-nilai yang telah ada. Descrates menyatakan
bahwa akal merupakan dasar atas anggapan-anggapan dan tindakan-tindakan yang dilakukan.

Blaise Pascar (1623-1662) menganggap bahwa manusia merupakan makhluk yang kontradiktif,
disatu sisi memiliki kebaikan, disisi lain memilik keburukan. Pascal menganggap untuk mendapatkan
kebahagiaan yang hakiki, tidak semata-mata hanya menggunakan akal tapi juga menggunakan
keimanan dan melalui hati.

Immanuel Kant (1724-1804) mediskusikan bagaimana kebenaran, kebaikan, dan keindahan muncul
ke dalam Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, dan Critique of Judgement secara
terpisah. Kant menyatakan manusia harus mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut, karena berkaitan
dengan moralitas.

Jeremy Bentham (1748-1832) menyatakan konsep "kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar,"
bahwa keadaan tidak adanya rasa sakit adalah kebahagiaan. Bentham beralasan bahwa nilai tingkah
laku manusia bisa ditentukan dengan menghitung kesenangan dan rasa sakit secara kuantitatif.
Utilitarianisme Bentham merupakan teori nilai yang muncul karena konteks Revolusi Industri, dan
merupakan bagian dari pandangan Hyungsang tentang nilai.

Soren Kierkegaard (1813-1855) mengatakan ada tiga tahap dari eksistensi. Kerkegaard
menyatakan bahwa orang harus melewati "tahap estetika" kemudian "tahap etis" dan terakhir
"tahap religius" untuk mencapai eksistensi. Tidak mungkin terjadi apabila seseorang hidup tidak
mencari kesenangan; Dalam pandangannya, tidak cukup hidup dengan hati-hati dengan mengikuti
etika; Sebaliknya, orang harus hidup seolah-olah beriman hadapan Tuhan. Kierkegaard mencoba
menghidupkan kembali pandangan nilai Kristen yang sejati.

Friedrich W. Nietzsche (1844-1900) menganggap di Eropa pada akhir abad ke-19 sebagai era
nihilisme, yaitu hancurnya semua sistem nilai. Nietzsche menggambarkan kekristenan sebagai "slave
morality" yaitu moralitas yang menindas orang. Dia menganggap agama Kristen sebagai penyebab
terbesar munculnya nihilisme. Maka, Nietzsche memunculkan teori nilai baru dengan "will to power"
sebagai standarnya.

Wilhelm Windelband (1848-1915). penganut Neo-Kantian, percaya dengan nilai-nilai sebagai isu
utama filsafat. Sebagai pengikut Kant yang telah membedakan fakta tentang masalah hak,
Windelband membedakan Judgement of Fact dan Judgement of Value, Windelband mengatakan
bahwa tugas filsafat adalah untuk menangani Judgement of Value

Judgement of fact adalah pernyataan obyektif mengenai sebuah fakta, sedangkan judgement of
value adalah pernyataan di mana penilaian subjektif atas sebuah fakta. Misalnya, pernyataan
tentang "bunga ini berwarna merah" adalah penilaian fakta; sedangkan pernyataan "bunga ini
indah" adalah penilaian nilai. Sejak saat itu, fakta dan nilai telah ditangani sebagai isu yang terpisah,
penilaian faktual ditangani dalam ilmu pengetahuan dan penilaian nilai ditangani dalam filsafat.

Pada Abad ini dianggap sebagai bangkitnya filsafat analitis yang menggunakan "logical analysis of
languange" sebagai metode filsafat yang paling tepat. Filosofi analitis yang berhubungan dengan
aksiologi adalah:

Seseorang tidak dapat mengetahui nilai kecuali melalui intuisi;


penghakiman atas nilai tidak lain adalah ungkapan perasaan seseorang tentang persetujuan
atau ketidaksetujuan moral
Aksiologi cukup signifikan hanya untuk menganalisa value languange. Filosofi analitis
biasanya berusaha untuk menyingkirkan aksiologi dari filsafat.

E. Kebutuhan untuk Pandangan Nilai Baru

Seperti yang disebutkan di atas, banyak sistem nilai muncul sepanjang sejarah.Sebenarnya, sejarah
merupakan cara untuk memperoleh keberhasilan melalui kegagalan untuk menetapkan nilai absolut.

Pada era Yunani kuno, Socrates dan Plato mencoba membangun nilai absolut dengan true
knowlegde. Dengan runtuhnya masyarakat Yunani, membuat pandangan nilai filsafat Yunani juga
runtuh.

Selanjutnya, Kekristenan mencoba untuk membangun nilai mutlak yang berpusat pada Gods Love.
Pandangan Kristen tentang nilai mengatur masyarakat abad pertengahan, namun seiring runtuhnya
masyarakat abad pertengahan, secara berangsur-angsur Pandangan Kristen kehilangan kekuatannya.

Pada periode modern, Descartes dan Kant membuat pandangan baru tentang nilai yang berpusat
pada akal, seperti dalam filsafat Yunani; Namun, pemahaman mereka tentang Tuhan yang menjadi
dasar pandangan mereka terhadap nilai menjadi ambigu. Akibatnya, pandangan mereka terhadap
nilai tidak masuk akal. Pascal dan Kierkegaard mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai Kristen
yang sejati, namun mereka gagal membuat sistem nilai yang kokoh.

Aliran Neo-Kantian sepakat dengan nilai sebagai salah satu isu utama dalam filsafat, namun mereka
benar-benar memisahkan filsafat dengan nilai dan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fakta.
Akibatnya, banyak masalah muncul. Karena para ilmuwan terus menganalisis fakta dengan
mengabaikan nilai, hasilnya adalah senjata pemusnah massal, pelecehan lingkungan alam, polusi, dll.

Utilitarianisme dan pragmatisme adalah sistem nilai materialistik, yang membuat pandangan mereka
tentang nilai-nilai sepenuhnya relatif. Filosofi analitik adalah filsafat tanpa nilai. Filosofi dan
komunisme Nietzsche dapat digambarkan sebagai filosofi anti-nilai yang menentang pandangan
tradisional tentang nilai.

Anda mungkin juga menyukai