Anda di halaman 1dari 30

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering
dijumpai di instalasi gawat darurat.(1). Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan
darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari
peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan
hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang
mengancam jiwa.(2).

B. Epidemiologi

Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan
10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu
kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan
jiwa penderita. Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di
negara maju berkisar 2 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 60 tahun dengan
pengobatan yang tidak teratur selama 2 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam
10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya
lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada
laporan tentang angka kejadian ini. [1,2,3]

Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis.
Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada
penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini
dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut
menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target. Sebagian besar pasien dengan stroke
perdarahan mengalami hipertensi krisis. Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke
dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam
pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih
agresif.(1).

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi,epidemiologi, etiologi dari krisis hipertensi
2. Untuk mengetahui patofisiologi dan klasifikasi dari krisis hipertensi
3. Untuk mengetahui tatalaksana diagnosis dan terapi serta prognosis krisis hipertensi

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis di mana tekanan darah menjadi sangat
tinggi dengan kemungkinan adanya kerusakan organ seperti otak (stroke), ginjal, dan jantung.
Krisis hipertensi sangat sering terjadi pada pasien hipertensi lama yang tidak rutin atau lalai
meminum obat antihipertensinya.Krisis hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan
penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya.
Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah.
(Cermin dunia kedokteran no.67,th 1991)

Hipertensi darurat merupakan suatu kondisi di mana diperlukan penurunan tekanan


darah dengan segera (tidak selalu diturunkan sampai batas normal), untuk mencegah atau
membatasi kerusakan organ. Misalnya pada ensefalopati hipertensif, perdarahan intrakranial,
infark miokard akut, dan eklampsia.

Krisis hipertensi didefinisikan sebagai kondisi peningkatan tekanan darah yang disertai
kerusakan atau yang mengancam kerusakan terget organ dan memerlukan penanganan segera
untuk mencegah kerusakan atau keparahan target organ. The Fifth Report of the Joint National
Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7, 2004)
membagi krisis hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : Hipertensi emergensi (darurat) dan
Hipertensi urgensi (mendesak). Kedua hipertensi ini ditandai nilai tekanan darah yang tinggi,
yaitu 180 mmHg/120 mmHg dan ada atau tidaknya kerusakan target organ pada hipertensi.

Membedakan kedua golongan krisis hipertensi bukanlah dari tingginya TD, tapi dari
kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dianggap sebagai
suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf
sentral, miokardinal, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi perlu dibedakan
karena cara penanggulangan keduanya berbeda.

3
B. KLASIFIKASI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi
yang paing sering dipakai adalah:

1. Hipertensi emergensi (darurat)


Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara
mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi
sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi
intravena.(1,5,6)

2. Hipertensi urgensi (mendesak)


Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai
kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24
jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.(1,5,6)

Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain:
1. Hipertensi refrakter

Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah >200/110 mmHg, walaupun
telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.(5)

2. Hipertensi akselerasi

Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila
tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.(5)

3. Hipertensi maligna

Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan
kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang
cepat dari vaskular, gagal ginjal akut,ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan
pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial
ataupun sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah
normal.(5)

4
4. Hipertensi ensefalopati

Kenaikan tekanan darah dengan tibatiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat,
penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut
diturunkan.(5).

Daftar I : Hipertensi emergensi ( darurat )


TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.

a. Pendarahan intra pranial, ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.

b. Hipertensi ensefalopati.

c. Aorta diseksi akut.

d. Oedema paru akut.

e. Eklampsi.

f. Feokhromositoma.

g. Funduskopi KW III atau IV.

h. Insufisiensi ginjal akut.

i. Infark miokard akut, angina unstable.

j. Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :

> Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.

> Cedera kepala.

> Luka bakar.

> Interaksi obat.

Daftar II : Hipertensi urgensi ( mendesak )

a. Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal

atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada daftar I.

5
b. KW I atau II pada funduskopi.

c. Hipertensi post operasi.

d. Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya dari tingkatan
TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan
usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi
dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi
hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD
Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita
hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati
demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110
mmHg. [2,3,6]

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7.

Klasifikasi tekanan darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal 120 80

Pre-hipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 90-99

Hipertensi stage 2 160 100

C. ETIOLOGI
Pada umumnya krisis hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Krisis
hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan kardiak output atau peningkatan tekanan
perifer. Namun ada beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya krisis hipertensi yaitu:

1. Genetik : respon nerologi terhadap stress atau kelainan ekskresi.

2. Obesitas : terkait dengan tingkat insulin yang tinggi yang mengakibatkan tekanan dsrsh
meningkat.

3. Stress lingkungan

6
4. Hilangnya eksistensi jaringan dan atreisklerosis pada orang tua serts pelebaran pembuluh
darah.

Tabel 2. Causes of Hypertensive Emergency (6)

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme patofisiologi hipertensi yaitu Peningkatan tekanan darah yang dipengaruhi
oleh curah jantung dan tahanan perifer . Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan
satu penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dinamis antara faktor genetik,
lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah
jantung dan atau tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium,
turunnya filtrasi ginjal, meningkatnya rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin

7
angiotensin aldosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfungsi endotel
merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme hipertensi.

Mekanisme patogenesis hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh sistem renin


angiotensin aldosteron, dimana hampir semua golongan obat anti hipertensi bekerja dengan
mempengaruhi sistem tersebut. Renin angiotensin aldosteron adalah sistem endogen komplek
yang berkaitan dengan pengaturan tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem renin
angiotensin aldosteron diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin angiotensin aldosteron
mengatur keseimbangan cairan, natrium dan kalium. Sistem ini secara signifikan berpengaruh
pada aliran pembuluh darah dan aktivasi sistem saraf simpatik serta homeostatik regulasi
tekanan darah . Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau kontriksi
dalam merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk mempertahankan aliran (mekanisme
autoregulasi) yang tetap terhadap vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi. Pada
krisis hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds (terutama
jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat perubahan ini akan
terjad efek local dengan berpengaruhnya prostaglandin, radikal bebas dan lain-lain yang
mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi
miointimal, dan efek siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin,
vesopresin, antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target. Jantung,
SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang dapat melindungi organ
tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan darah mendadak turun atau naik. Misalkan
individu normotensi, mempunyai autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada
tekanan arteri rata-rata.

8
Gambar1. Patofisiologi hipertensi emergensi (6)

9
MEKANISME AUTOREGULASI

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan


pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan
berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun
maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada
individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP)
60-70 mmHg.(8). Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun.

Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik
seperti mual,menguap, pingsan dan sinkop.(5). Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke
kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang
lebih tinggi.

Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole) .Pada individu
hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri rata-rata (110-
180mmHg).Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada tekanan darah yang mendadak naik
(krisis hipertensi), akibatnya pada SSP akan terjadi edema dan ensefalopati, demikian juga
halnya dengan jantung, ginjal dan mata.[3]

Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran MAP pada penderita hipertensi dengan
yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai
diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol
cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal.(5)

Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak
20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi.
Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah
jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25%
dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan
darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.(5).

10
Gambar2. Kurva autoregulasi tekanan darah (7,9)

E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada.
Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi
krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat
kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal. Pada
pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan
dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular
bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri
akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa
saja terjadi.(7).

11
Gambar 3 Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari optik disc dengan margin kabur.(10)

Tabel 4. Hipertensi urgensi (mendesak).(5).

Hipertensi berat dengan tekanan darah >180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa
kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai tanda dari tabel 3.
1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tak diobati

12
PENDEKATAN DIAGNOSIS

Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat


dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang
rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan
phencyclidine. Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal
penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti sakit
kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang. Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT-
scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri dada atau
perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi ventrikel kiri
pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik
pada pasien hipertensi:

Gambar 4.Alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi(1,6).

13
F. Diagnosis

Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung
kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang
menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu
krisis hipertensi.

Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan :

a. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.

b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

c. Usia : sering pada usia 40 60 tahun.

d. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas ).

e. Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).

f. Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).

g. Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.

h. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

Pemeriksaan fisik :

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari kerusakan
organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, gagal jantung kongestif). Perlu dibedakan
komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan
oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.

Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

1. Pemeriksaan yang segera seperti :

a. darah : rutin, BUN, creatinine, elektrolit.

b. urine : Urinalisa dan kultur urine.

14
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.

d. Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana).

2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama)

a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus tertentu ), biopsi renal (
kasus tertentu

b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.

c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,


metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

G. Diferensial Diagnosis

Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti :

a. Hipertensi berat

b. Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.

c. Ansietas dengan hipertensi labil.

d. Oedema paru dengan payah jantung kiri.

H. PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi

A. Penatalaksanaan Umum

Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah
dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.(1,6). Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi

15
parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan
mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.

B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi

Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan


onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian
tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu
batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan
stenosis pada arteri renal bilateral).(6).

Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada
pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan
hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine
memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan
darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit
kepala.

Labetalol adalah gabungan antara 1 dan -adrenergic blocking dan memiliki waktu
kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar
sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap
grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan
menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum
labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam
kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.

Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (2-adrenergicreceptor


agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis
awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya
tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering
terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.

Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara
10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi

16
karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan
sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi

A. Penatalaksanaan Umum

Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan organ
target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan

cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol
dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas,
tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3
jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan
jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.

B. Penatalaksanaan khusus untuk

hipertensi emergensi

Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi emergensi


seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intrakranial dan stroke iskemik akut.
American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg
pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130
mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2
jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara
terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.

Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi
yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri
koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan -blocker (labetalol dan
esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-
obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan
darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20
menit.

17
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari
hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau
tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.

Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-obatan


seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan
zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan
over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau
klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat
seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium
nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan
-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah dengan memberikan
kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang
telah dijelaskan di atas.

Penatalaksanaan dan Pengobatan

Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya dirawat
di ruang perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi:

1. Penurunan tekanan darah

Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat mungkin tapi seaman
mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena akan
menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah yang
diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan
Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 2025% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun
oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 1530 menit dan bisa lebih
rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati,
penurunan TD 25% dalam 23 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun

18
pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 12 jam) dan harus dijaga
agar TD tidak lebih rendah dari 170 180/100 mmHg.

2. Pengobatan target organ

Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi target organ, pada
umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan
target organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal jantung kiri akut
diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretic, pemakaian obat-obat yang
menurunkan preload dan afterload. Pada krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut,
diperlukan pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang kadang-kadang memerlukan
hemodialisis.

3. Pengelolaan khusus

Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama yang


berhubungan dengan etiloginya, misalnya eklampsia gravidarum.

Penanggulangan Hipertensi Emergensi :

Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :

a. Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada
indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.

b. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik.

i. tentukan penyebab krisis hipertensi

ii. singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT

iii. tentukan adanya kerusakan organ sasaran

c. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya,


cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia
pasien.

1. Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang
dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam
pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic

19
aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.

2. Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan


dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal
ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu,
misal : dissecting anneurysma aorta.

3. TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.

Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi

Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari
apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai
dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU )
dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).

1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direk kuat baik arterial maupun venous.
Secara IV mempunyai onset of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg / menit.
Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.

2. Nitroglycerin : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis
tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of action
3 5 menit. Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus IV. Efek samping : sakit kepala,
mual, muntah, hipotensi.

3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara IV


bolus. Onset of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action
4 12 jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5
menit sampai TD yang diinginkan.Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah,
distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.

4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam, IV
:10 20 menit duration of action : 6 12 jam.Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10 40 mg
i.m. Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.

20
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.

5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 60


menit. Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.

6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama


untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.Dosis 5 20 mg secar i.v
bolus atau i.m. Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit.

7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem


simpatis dan parasimpatis.Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v.Onset of action : 1
5 menit. Duration of action : 10 menit. Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine,
respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering.

8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 80 mg secara
i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10
menitEfek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi,
dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10
jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.

9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis. Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60 menit,
duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + ) demam,
gangguan gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa
takterduga dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.

10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan
dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi
dosis.Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa
jam. Efek samping rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang
cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara perlahan

21
maupun cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD
berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.

Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten


intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai,
injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang
long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.

*Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi

Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang sebaiknya
dihindari adalah sbb :

1. Hipertensi encephalopati:

Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.

Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.

2. Cerebral infark :

Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,

Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.

3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :

Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol

Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.

4. Miokard iskemi, miokrad infark :

Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loop diuretuk.

Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.

5. Oedem paru akut :

Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.

Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol.

22
6. Aorta disseksi :

Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist, labetalol.

Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil

7. Eklampsi :

Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium nitroprusside. Hindarkan:


Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist

8. Renal insufisiensi akut :

Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist

Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan

9. KW III-IV :

Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca antagonist.

Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.

10. Mikroaangiopati hemolitik anemia :

Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.

Hindarkan : B-antagonist.

Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat,
penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.

Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan
secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan
tampaknya memberikan harapan yang baik.

Obat oral untuk hipertensi emergensi :

Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat
oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.

23
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captoprial
pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.
Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam menurunkan TD.

Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada pasien.
TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-tanda efek
samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD diastolik <10mmHg
setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP
<150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai
secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit
pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau MAP
masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran.

Penanggulangan hipertensi urgensi :

Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya
penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30
menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya
cukup memuaskan.

Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l :

Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 5 10 menit),
oral (onset 15-20 menit), duration 5 15 menit secara sublingual/ buccal).

Efek samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.

Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 60 menit Duration of Action 8-12 jam.
Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg.

Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart
block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.

Captopril : pemberian secara oral/sublingual.

Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan.

24
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal
arteri sinosis.

Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.

Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala.

Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP


sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama
digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine. Perlu
diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan
TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali
terjadi).

Dikenal adanya first dose efek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi
akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan
bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.

Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive
terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion
maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi
paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila TD penderita yang obati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.

I. PROGNOSIS

Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita


hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia (19%), gagal jantung
kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%), gagal jantung kongestif disertai
uremia (48%), infrak Miokard (1%), diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik
berkat ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan penderita gagal ginjal
dengan analisis dan transplantasi ginjal.

25
Tabel 5.Obat-obatan spesifik untuk komplikasi hipertensi emergensi.

26
Tabel 6. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi

27
KESIMPULAN

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular yang sering
dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi emergensi (darurat),yaitu peningkatan tekanan
darah sistolik > 180 mmHg atau diastoik > 120 mmHgsecara mendadak disertai kerusakan
organ target sedangkan hipertensi urgensi(mendesak), yaitu peningkatan tekanan darah seperti
pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target.

Faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis
fibrinoid arteriol kemudian berdampak pada kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan
kerusakan fungsi autoregulasi.

Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal( Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap
individu tergantung pada kerusakan organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan
obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikontrol dengan pemantauan yang tepat. Tingkat
ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan Mean Arterial Pressure
(MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 3 jam berikutnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan HipertensiUrgensi. BIK


Biomed. [database on the internet] 2007. [cited February2013, 21]. Vol.3, No.4 :163-8.
Available from:http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3408163168.pdf .

2. Saguner AM, Dr S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors Promoting
Hypertensive Crises: Evidence From a LongitudinalStudy. Am J Hypertens [database
of Nature Publishing Group] 2010.[cited February 2013, 21]. 23:775-780. Available
from:http://ajh.oxfordjournals. org/content /23/7/775. full.pdf .

3. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. [database on the internet]2012. [cited


February 2013, 21]. Vol.3, No.4 :163-8. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/241381overview?pa=g9YPJFBPkOn%2
FxeT6PfGOhnN48mGJ4tbjfnC6TtgPW0i5S6p0rRh8mklVRUL%2B1hDX56MI7dG
TgNawPfsOtJla9Q%3D%3D#showall.

4. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's Principles
of Internal Medicine. Seventeenth Edition. [text books of internal medicine] 2008.
United States of America: TheMcGraw-Hill Companies.

5. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU DigitalLibrary


[database on the internet] 2004. [cited February 2013, 21].Available
from:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1999/1/fisiologi-abdul % 20
majid.pdf .

6. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. HospitalPhysician


Article [article on the internet] 2007. [cited February 22, 2013]. pp. 43 50. Available
from:http://www.turnerwhite.com/memberfile. php?PubCode=hp_mar07_hypertensiv
e.pdf

29
7. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensivecrises. Critical
Care Journals [data base on the internet] 2003. [cited onFebruary 21, 2003]. Available
from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC270718/pdf/cc2351.pdf .

8. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, etal. Impaired
Cerebral Autoregulation in Pasient with MalignantHypertension. Journal of the
American Heart Association [database on theinternet] 2004. [cited February 24, 2013].
110:2241-2245. Available
from:http://circ.ahajournals.org/content/110/15/2241.full.pdf .

9. Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can FamPhysician [article


on the internet] 2011. [cited February 2013, 22].57:1137-41. Available
from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3192077/pdf/0571137.pdf .

10. Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. MedscapeArticle [data


base on the internet] 2011. [cited on February 22, 2003].Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1952052overview? pa=3QEKRWRb083
C64sgKB3xlATWV3tEcYgMKwy9Z49iwNgDq%2FiI01G9ar41BQtDWBtiLCEJNC
rbkqLWYvqLrhntWA%3D%3D#showall.

11. Bisognano JD. Malignant Hypertension. Medscape Article [data base onthe internet]
2013. [cited February 22, 2013]. pp. 43 50. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/241640-overview#showall.

30

Anda mungkin juga menyukai