A. Latar belakang
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering
dijumpai di instalasi gawat darurat.(1). Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan
darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari
peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan
hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang
mengancam jiwa.(2).
B. Epidemiologi
Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan
10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu
kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan
jiwa penderita. Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di
negara maju berkisar 2 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 60 tahun dengan
pengobatan yang tidak teratur selama 2 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam
10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya
lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada
laporan tentang angka kejadian ini. [1,2,3]
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis.
Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada
penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini
dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut
menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target. Sebagian besar pasien dengan stroke
perdarahan mengalami hipertensi krisis. Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke
dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam
pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih
agresif.(1).
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi,epidemiologi, etiologi dari krisis hipertensi
2. Untuk mengetahui patofisiologi dan klasifikasi dari krisis hipertensi
3. Untuk mengetahui tatalaksana diagnosis dan terapi serta prognosis krisis hipertensi
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis di mana tekanan darah menjadi sangat
tinggi dengan kemungkinan adanya kerusakan organ seperti otak (stroke), ginjal, dan jantung.
Krisis hipertensi sangat sering terjadi pada pasien hipertensi lama yang tidak rutin atau lalai
meminum obat antihipertensinya.Krisis hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan
penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya.
Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah.
(Cermin dunia kedokteran no.67,th 1991)
Krisis hipertensi didefinisikan sebagai kondisi peningkatan tekanan darah yang disertai
kerusakan atau yang mengancam kerusakan terget organ dan memerlukan penanganan segera
untuk mencegah kerusakan atau keparahan target organ. The Fifth Report of the Joint National
Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7, 2004)
membagi krisis hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : Hipertensi emergensi (darurat) dan
Hipertensi urgensi (mendesak). Kedua hipertensi ini ditandai nilai tekanan darah yang tinggi,
yaitu 180 mmHg/120 mmHg dan ada atau tidaknya kerusakan target organ pada hipertensi.
Membedakan kedua golongan krisis hipertensi bukanlah dari tingginya TD, tapi dari
kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dianggap sebagai
suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf
sentral, miokardinal, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi perlu dibedakan
karena cara penanggulangan keduanya berbeda.
3
B. KLASIFIKASI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi
yang paing sering dipakai adalah:
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain:
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah >200/110 mmHg, walaupun
telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.(5)
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila
tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.(5)
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan
kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang
cepat dari vaskular, gagal ginjal akut,ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan
pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial
ataupun sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah
normal.(5)
4
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tibatiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat,
penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut
diturunkan.(5).
b. Hipertensi ensefalopati.
e. Eklampsi.
f. Feokhromositoma.
a. Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada daftar I.
5
b. KW I atau II pada funduskopi.
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya dari tingkatan
TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan
usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi
dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi
hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD
Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita
hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati
demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110
mmHg. [2,3,6]
Normal 120 80
C. ETIOLOGI
Pada umumnya krisis hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Krisis
hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan kardiak output atau peningkatan tekanan
perifer. Namun ada beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya krisis hipertensi yaitu:
2. Obesitas : terkait dengan tingkat insulin yang tinggi yang mengakibatkan tekanan dsrsh
meningkat.
3. Stress lingkungan
6
4. Hilangnya eksistensi jaringan dan atreisklerosis pada orang tua serts pelebaran pembuluh
darah.
D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme patofisiologi hipertensi yaitu Peningkatan tekanan darah yang dipengaruhi
oleh curah jantung dan tahanan perifer . Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan
satu penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dinamis antara faktor genetik,
lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah
jantung dan atau tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium,
turunnya filtrasi ginjal, meningkatnya rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin
7
angiotensin aldosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfungsi endotel
merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme hipertensi.
8
Gambar1. Patofisiologi hipertensi emergensi (6)
9
MEKANISME AUTOREGULASI
Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik
seperti mual,menguap, pingsan dan sinkop.(5). Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke
kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang
lebih tinggi.
Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole) .Pada individu
hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri rata-rata (110-
180mmHg).Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada tekanan darah yang mendadak naik
(krisis hipertensi), akibatnya pada SSP akan terjadi edema dan ensefalopati, demikian juga
halnya dengan jantung, ginjal dan mata.[3]
Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran MAP pada penderita hipertensi dengan
yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai
diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol
cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal.(5)
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak
20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi.
Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah
jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25%
dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan
darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.(5).
10
Gambar2. Kurva autoregulasi tekanan darah (7,9)
E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada.
Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi
krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat
kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal. Pada
pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan
dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular
bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri
akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa
saja terjadi.(7).
11
Gambar 3 Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari optik disc dengan margin kabur.(10)
Hipertensi berat dengan tekanan darah >180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa
kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai tanda dari tabel 3.
1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tak diobati
12
PENDEKATAN DIAGNOSIS
13
F. Diagnosis
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung
kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang
menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu
krisis hipertensi.
Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan :
f. Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).
Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari kerusakan
organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, gagal jantung kongestif). Perlu dibedakan
komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan
oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.
Pemeriksaan penunjang :
14
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana).
2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama)
a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus tertentu ), biopsi renal (
kasus tertentu
G. Diferensial Diagnosis
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti :
a. Hipertensi berat
H. PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah
dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.(1,6). Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi
15
parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan
mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada
pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan
hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine
memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan
darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit
kepala.
Labetalol adalah gabungan antara 1 dan -adrenergic blocking dan memiliki waktu
kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar
sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap
grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan
menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum
labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam
kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara
10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi
16
karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan
sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.
2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan organ
target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan
cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol
dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas,
tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3
jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan
jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.
hipertensi emergensi
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi
yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri
koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan -blocker (labetalol dan
esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-
obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan
darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20
menit.
17
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari
hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau
tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.
Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya dirawat
di ruang perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi:
Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat mungkin tapi seaman
mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena akan
menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah yang
diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan
Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 2025% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun
oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 1530 menit dan bisa lebih
rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati,
penurunan TD 25% dalam 23 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun
18
pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 12 jam) dan harus dijaga
agar TD tidak lebih rendah dari 170 180/100 mmHg.
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi target organ, pada
umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan
target organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal jantung kiri akut
diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretic, pemakaian obat-obat yang
menurunkan preload dan afterload. Pada krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut,
diperlukan pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang kadang-kadang memerlukan
hemodialisis.
3. Pengelolaan khusus
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
a. Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada
indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
1. Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang
dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam
pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic
19
aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
3. TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari
apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai
dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU )
dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direk kuat baik arterial maupun venous.
Secara IV mempunyai onset of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg / menit.
Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerin : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis
tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of action
3 5 menit. Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus IV. Efek samping : sakit kepala,
mual, muntah, hipotensi.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam, IV
:10 20 menit duration of action : 6 12 jam.Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10 40 mg
i.m. Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.
20
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 80 mg secara
i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10
menitEfek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi,
dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10
jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis. Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60 menit,
duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + ) demam,
gangguan gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa
takterduga dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan
dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi
dosis.Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa
jam. Efek samping rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang
cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara perlahan
21
maupun cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD
berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang sebaiknya
dihindari adalah sbb :
1. Hipertensi encephalopati:
2. Cerebral infark :
22
6. Aorta disseksi :
7. Eklampsi :
9. KW III-IV :
Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat,
penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan
secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan
tampaknya memberikan harapan yang baik.
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat
oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
23
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captoprial
pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.
Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam menurunkan TD.
Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada pasien.
TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-tanda efek
samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD diastolik <10mmHg
setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP
<150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai
secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit
pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau MAP
masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya
penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30
menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya
cukup memuaskan.
Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 5 10 menit),
oral (onset 15-20 menit), duration 5 15 menit secara sublingual/ buccal).
Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 60 menit Duration of Action 8-12 jam.
Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg.
Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart
block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
24
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal
arteri sinosis.
Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.
Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala.
Dikenal adanya first dose efek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi
akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan
bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive
terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion
maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi
paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila TD penderita yang obati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.
I. PROGNOSIS
25
Tabel 5.Obat-obatan spesifik untuk komplikasi hipertensi emergensi.
26
Tabel 6. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi
27
KESIMPULAN
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular yang sering
dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi emergensi (darurat),yaitu peningkatan tekanan
darah sistolik > 180 mmHg atau diastoik > 120 mmHgsecara mendadak disertai kerusakan
organ target sedangkan hipertensi urgensi(mendesak), yaitu peningkatan tekanan darah seperti
pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target.
Faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis
fibrinoid arteriol kemudian berdampak pada kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan
kerusakan fungsi autoregulasi.
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal( Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap
individu tergantung pada kerusakan organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan
obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikontrol dengan pemantauan yang tepat. Tingkat
ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan Mean Arterial Pressure
(MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 3 jam berikutnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
2. Saguner AM, Dr S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors Promoting
Hypertensive Crises: Evidence From a LongitudinalStudy. Am J Hypertens [database
of Nature Publishing Group] 2010.[cited February 2013, 21]. 23:775-780. Available
from:http://ajh.oxfordjournals. org/content /23/7/775. full.pdf .
4. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's Principles
of Internal Medicine. Seventeenth Edition. [text books of internal medicine] 2008.
United States of America: TheMcGraw-Hill Companies.
29
7. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensivecrises. Critical
Care Journals [data base on the internet] 2003. [cited onFebruary 21, 2003]. Available
from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC270718/pdf/cc2351.pdf .
8. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, etal. Impaired
Cerebral Autoregulation in Pasient with MalignantHypertension. Journal of the
American Heart Association [database on theinternet] 2004. [cited February 24, 2013].
110:2241-2245. Available
from:http://circ.ahajournals.org/content/110/15/2241.full.pdf .
11. Bisognano JD. Malignant Hypertension. Medscape Article [data base onthe internet]
2013. [cited February 22, 2013]. pp. 43 50. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/241640-overview#showall.
30