Anda di halaman 1dari 14

I.

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 13 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam

B. Anamnesis
1. Keluhan utama:
Gatal di kedua sela-sela jari tangan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Pukekesmas Cilongok II dengan keluhan gatal di
kedua sela-sela jari tangan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien menceritakan
awalnya muncul lenting-lenting seperti berisi cairan di sela-sela jari
kedua tangan, terasa gatal, terutama di malam hari Perasaan ingin
menggaruk menimbulkan lecet-lecet dibekas garukan. Semakin hari
lenting-lenting muncul semakin banyak, meluas hingga ke bagian
pergelangan tangan pasien, kaki dan paha belakang. Selain gatal, pasien
juga mengeluhkan adanya lecet hingga kulit terkelupas pada tempat
bekas garukan, serta mengeluarkan cairan berwarna kekuningan dan
sedikit darah, sehingga terasa perih. Pasien menyangkal adanya keluhan
demam, riwayat digigit serangga, ataupun riwayat alergi.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat mengalami penyakit serupa disangkal.
Riwayat alergi (makanan seperti udang ikan laut, telur, debu, maupun
obat-obatan) disangkal.
Riwayat demam sebelumnya disangkal.
Riwayat batuk pilek disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat menderita keluhan yang sama diakui (adik kandung )
Riwayat alergi (makanan seperti udang, ikan laut, telur, debu, maupun
obat-obatan) disangkal
Riwayat adanya keluarga yang mengalami demam disangkal.
5. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien tinggal di rumah dengan kedua orangtuanya orangtua pasien
merupakan seorang karyawan swasta dan ibu pasien adalah rumah
tangga. Keluarga pasien merupakan golongan kelurga menengah. Adik
kandung pasien pasien memiliki keluhan yang sama sekitar 3 bulan
terakhir.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis/ E4M6V5
Vital Sign
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit, lemah
RR : 20 x/menit
Suhu : 36.6 C
Antropometri
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 55 kg
Status Generalis :
Kepala : Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-/-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut kering, sianosis (-)
Tenggorokan : T1 T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, hepar/lien ttb
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
Status Dermatologis
Lokasi : Regio palmar, manus, interdigitalis manus, antebrachii.
Efloresensi : Terdapat papul, vesikel dan kanalikuli di atas kulit eritem,
disertai pustul, krusta, dan ekskoriasi

Gambar 1. Wujud kelainan kulit berupa papul, vesikel dan kanalikuli di atas kulit
eritem, disertai pustul, krusta, dan ekskoriasi

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan burrow ink test
E. Diagnosa Kerja
Scabies
Diagnosa banding
Creeping eruption
F. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Pengobatan harus dilakukan secara rutin, untuk penggunaan skabisid
topical dioleskan di seluruh kulit, kecuali wajah, sebaiknya dilakukan
pada malam hari sebelum tidur.
b. Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera bersihkan skabisid.
Tidak boleh mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan setelah
seminggu walaupun gatal masih dirasakan sampai 4 minggu kemudian.
c. Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan
oleh penderita harus diisolasi dan direndam dengan air panas terlebih
dahulu sebelum dicuci.
d. Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota keluarga
serumah.
e. Sprai penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga
hari sekali dan rutin menjemur handuk, sprei dan sofa.
f. Menghindari kontak langsung dengan penderita lain (ibu dan ayah
pasien) seperti berpelukan, berjabat tangan, dan tidur bersama.
g. Kontrol kembali setelah pengobatan
2. Medikamentosa
a. Sistemik
1) P.O Amoksisilin tab 3x500 mg (habiskan)
2) P.O Cetirizine 1x10 mg
b. Topikal
1) Permetrin cream1x diamkan selama 8-12 jam kemudian bilas
2) Asam salisilat cream 2% 2x1 hari oles
G. Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad fungtionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia Ad bonam
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan
sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei var. hominis dan produknya. Nama lain
skabies adalah the itch, kudis, budukan dan gatal agogo (Handoko, 2013).
Skabies merupakan infestasi ektoparasit yang disebabkan oleh tungau
Sarcoptes scabei var. hominis yang termasuk pada kelas Arachnida. Transmisi
skabies terjadi akibat transfer tungau betina fertil melalui kontak kulit secara
langsung yang bersifat prolong (sekitar 5 menit) dengan orang yang telah
terinfeksi skabies (CLAPH, 2009; Oakley, 2012).

B. Epidemiologi
Skabies ditemukan hampir di semua negara dengan prevalensi
bervariasi. Prevalensi skabies di negara berkembang sekitar 6-27% populasi
umum dan cenderung tinggi pada anak-anak dan remaja. Skabies merupakan
penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua
ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies banyak dijumpai dengan
insidensi sama pada pria dan wanita. Insiden skabies di negara berkembang
menunjukkan siklus fluktuasi yang belum dapat dijelaskan (Harahap, 2000).
Menurut Departemen Kesehatan RI, prevalensi skabies pada tahun 1986
adalah 4,6-12,9% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit
tersering. Pada bagian kulit dan kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988,
dijumpai 734 kasus skabies (5,77%) dari seluruh kasus baru. Prevalensi skabies
sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat kepadatanpenduduk yang tinggi
dan kebersihan yang kurang memadai (Depkes RI, 2000).
Saat ini, transmisi skabies dapat terjadi pada semua tingkat sosioekonomi
dan bukan merupakan akibat dari higien yang buruk. Hal ini lebih berkaitan
dengan kesejahteraan dan kepadatan penduduk. Pada anak, transmisi skabies
umum terjadi di tempat penitipan anak dan sekolah, sementara pada orangtua
umum terjadi di panti jompo (Oakley, 2012).
C. Cara Penularan
Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun
kontak tidak langsung. Paling sering adalah kontak langsung yang saling
bersentuhan (skin-to-skin). Penularan secara tidak langsung dapat melalui
penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur (baik di
lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama
dan pemondokan). Bahkan dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual
antar penderita dengan orang sakit, namun skabies bukan manifestasi utama
dari penyakit menular seksual (Hicks dan Elston, 2009). Skabies berhubungan
erat dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, serta terdapat berbagai
faktor predisposisi seperti kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat kesadaran
masyarakat akan kesehatan masih rendah, kurangnya pemantauan kesehatan
oleh pemerintah dan masalah penyediaan air bersih (Benneth, 2007).

D. Patogenesis
Penyebab utama gejala-gejala pada skabies ialah Sarcoptes scabiei
betina. Setelah perkawinan atau kopulasi yang terjadi diatas kulit, biasanya
tungau jantan akan mati, namun kadang-kadang masih dapat hidup beberapa
hari dalam terowongan yang digali oleh betina. tungau jantan akan mati,
kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang
digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi, menggali
terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari
dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah
40 atau 50 butir. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup selama satu
bulan. Telur akan menetas dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang
mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan pendek
yang digalinya (moulting pouches) dan ada yang keluar dari permukaan kulit.
Setelah 2-3 hari, larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan
dan betina dengan 4 pasang kaki.
Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8-12 hari tetapi ada juga yang menyebutkan selama
8-17 hari. Studi lain menunjukkan bahwa lamanya siklus hidup dari telur
sampai dewasa untuk tungau jantan berkisar 10 hari dan untuk tungau betina
bisa sampai 30 hari. Tungau skabies ini umumnya hidup pada suhu yang
lembab dan pada suhu kamar (21C dengan kelembapan relatif 40-80%)
tungau masih dapat hidup di luar tubuh hospes selama 24-36 jam (Hicks dan
Elston, 2009).

Gambar 2.2. Siklus hidup Sarcoptes scabei

Sarcoptes scabiei varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-


bagian tubuh mana yang akan diserang, yaitu bagian-bagian yang kulitnya
tipis dan lembab, seperti di lipatan-lipatan kulit pada orang dewasa, sekitar
payudara, area sekitar pusar, dan penis. Pada bayi karena seluruh kulitnya
tipis, pada telapak tangan, kaki, wajah dan kulit kepala. Tungau biasanya
memakan jaringan dan kelenjar limfe yang disekresi dibawah kulit. Selama
makan, mereka menggali terowongan pada stratum korneum dengan arah
horizontal. Beberapa studi menunjukkan tungau skabies khususnya yang
betina dewasa secara selektif menarik beberapa lipid yang terdapat pada kulit
manusia, di antaranya asam lemak jenuh odd-chain-length (misalnya
pentanoic dan lauric) dan asam lemak tak jenuh (misalnya oleic dan linoleic)
serta kolesterol dan tipalmitin. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa
lipid yang terdapat pada kulit manusia dan beberapa mamalia dapat
mempengaruhi baik insiden infeksi maupun distribusi terowongan tungau di
tubuh (Murtiastutik, 2005). Tungau dewasa meletakkan telur maupun kotoran
pada terowongan, enzim pencernaan pada kotoran adalah antigen yang
penting untuk menimbulkan respons imun terhadap tungau skabies (Hicks et
al., 2009).
Reaksi alergi terhadap tungau dan produknya menunjukkan peran yang
penting dalam perkembangan lesi dan timbulnya gatal. Masuknya S. scabiei
ke dalam epidermis tidak segera memberikan gejala pruritus. Rasa gatal
timbul 1 bulan setelah infestasi primer serta adanya infestasi kedua sebagai
manifestasi respon imun terhadap tungau maupun sekret yang dihasilkan
terowongan di bawah kulit. Sarcoptes scabiei melepaskan substansi sebagai
respon hubungan antara tungau dengan keratinosit dan sel-sel Langerhans
ketika melakukan penetrasi ke dalam kulit (Hicks dan Elston, 2009).
Infeksi tungau S. scabei juga melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe IV
dan tipe I. Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau dengan Imunoglobulin
E pada sel mast di epidermis menyebabkan degranulasi sel-sel mast, sehingga
terjadi peningkatan antibodi IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV
akan memperlihatkan gejala sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan
akan memproduksi papul-papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari
perubahan histologik dan jumlah sel limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus.
Kelainan kulit yang menyerupai dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas
dibandingkan lokasi tungau dengan efloresensi dapat berupa papul, nodul,
vesikel, urtika, dan lainnya. Di samping lesi yang disebabkan oleh S. scabiei
secara langsung, dapat pula terjadi lesi-lesi akibat garukan penderita sendiri.
Akibat garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi,
krusta hingga terjadinya infeksi sekunder (Hicks dan Elston, 2009).
E. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Berdasarkan anamnesis, diagnosis skabies dapat ditetapkan dengan
terpenuhinya 2 dari 4 tanda kardinal sebagai berikut (Handoko, 2013):
1. Pruritus nocturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu pada suhu lembab dan panas.
2. Penyakit menyerang manusia secara kelompok, misalnya pada sebuah
keluarga atau pada perkampungan dengan padat penduduk. Dapat terjadi
gejala hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarga terkena. Walaupun
mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini
bersifat sebagai pembawa.
2. Ditemukannya terowongan (kanalikulus) pada tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabuan, berberntuk garis lurus atau berbelok, rata-rata
sepanjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel. Jika
timbul infeksi sekunder, ruam kulit menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi,
dan lain-lain).
3. Menemukan tungau dari terowongan pada pemeriksaan mikroskopis.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan lesi kulit berupa terowongan
(kanalikuli) berwarna putih atau abu-abu dengan panjang rata-rata 1 cm. Ujung
terowongan terdapat papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, maka
akan terbentuk pustul, ekskoriasi, dsb. Pada anak-anak, lesi lebih sering berupa
vesikel disertai infeksi sekunder akibat garukan sehingga lesi menjadi
bernanah.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan tungau dari lesi. Beberapa
cara dapat dilakukan untuk menemukan tungau sebagai berikut :
1. Papul atau vesikel di ujung terowongan dicongkel dengan jarum dan
hasilnya diletakkan di atas kaca objek lalu ditutup dengan kaca penutup dan
dilihat di bawah mikroskop.
2. Dengan cara menyikat lesi dan ditampung di atas kertas putih untuk
kemudian dilihat di bawah kaca pembesar.
3. Membuat biopsi irisan dengan menjepit lesi menggunakan 2 jari lalu dibuat
irisan tipis dengan pisau dan diperiksa di bawah mikroskop.
Membuat biopsi eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan HE.

1. Penatalaksanaan
1. Konseling dan edukasi
Edukasi yang dapat diberikan bertujuan untuk memberi pemahaman
bersama agar upaya eradikasi skabies dapat tercapai. Salah satu bentuk
edukasi yang diberikan adalah mengenai perbaikan higien diri dan
lingkungan seperti (Handoko, 2013):
a. Tidak menggunakan peralatan pribadi secara bersma-sama dan alas tidur
diganti bila ternyata pernah digunakan oleh penderita skabies.
b. Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies.
c. Membersihkan semua benda yang berpotensi menjadi tempat penyebaran
penyakit.
Edukasi lain adalah mengenai pengobatan skabies yang memiliki
prinsip mengobati seluruh anggota keluarga, termasuk penderita yang
hiposensitisasi serta penggunaan masing-masing obat (Handoko, 2013).
2. Obat topikal
Obat topikal yang umum diberikan kepada pasien skabies antara lain
(Handoko, 2013):
a. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk
salep atau krim. Preparat ini tidak efektif terhadap stadium telur, maka
penggunaannya tidak boleh kurang dari 3 hari. Kekurangan lain adalah
berbau dan mengotori pakaian dan kadang menimbulkan iritasi. Sediaan
ini dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
b. Emulsi benzil-benzoas 20-25% efektif terhadap semua stadium,
diberikan setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering
menyebabkan iritasi, dan kadang makin gatal setelah dipakai.
c. Gama benzena heksa klorida (gameksan) 1% dalam bentuk krim atau
losion, efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang
menimbulkan iritasi. Obat ini tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan anak
di bawah 6 tahun karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberian
cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala pemberian diulang seminggu
kemudian.
d. Krotamiton 10% dalam krim atau losion, mempunyai dua efek sebagai
antiskabies dan antipruritus. Obat ini tidak boleh terkenan mata, mulut,
dan urethra.
e. Permethrin 5% dalam sediaan krim, kurang toksik dibandingkan
gameksan, efektivitas sama dengan gameksan, aplikasi hanya satu kali
dan dihapus dalam waktu 10 jam. Bila belum sembuh dapat diulang
setelah seminggu. Tidak dianjurkan untuk bayi di bawah 2 bulan.

2. Prognosis
Prognosis skabies baik apabila memperhatikan pemilihan dan cara
pemakaian obat, syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor predisposisi
(higiene). Penyakit skabies dapat diberantas dengan melakukan
penatalaksanaan terhadap lingkungan (Handoko, 2013).
III. PEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis
Berdasarkan tinjauan pustaka pasien An. R telah memenuhi kriteria
diagnosis untuk skabies. Hal ini dibuktikan dengan hasil anamnesis yang
memenuhi 2 dari 4 tanda kardinal skabies, yaitu gatal di malam hari dan
terdapat keluhan serupa pada adiknya. Keluhan tersebut dirasakan sejak 2
minggu yang lalu. Keluhan dirasakan memberat di malam hari, sehingga
menimbulkan rasa ingin menggaruk agar gatal yang dirasakan berkurang.
Keluhan diawali dengan munculnya lenting sela-sela jari tangan, kemudian
meluas hingga lengan atas, pergelangan tangan, serta telapak tangan. Keluhan
demam, batuk, pilek sebelumnya disangkal, serta menyangkal adanya riwayat
gigitan serangga atau alergi. Keluhan yang dirasakan pasien sesuai dengan
gejala pada skabies yaitu gatal memberat di malam hari dan tidak diakibatkan
oleh kontak dengan suatu iritan.
Efloresensi dari kelainan kulit yang timbul juga sesuai dengan
diagnosis skabies yaitu muncul berupa papul, vesikel dan kanalikuli di atas
kulit eritem, disertai pustul, krusta, dan ekskoriasi.

B. Penatalaksanaan
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan
memberikan obat secara topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan
adalah scabimite cream 5% untuk mengobati penyebab dan fuson cream untuk
infeksi. Obat sistemik yang diberikan berupa amoksisilin yang merupakan
golongan penisilin sebagai antibiotik untuk mengobati infeksi sekunder yang
terjadi pada kulit dan struktur sekitar kulit. Cetirizine tablet diberikan sebagai
antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Pengobatan yang diberikan sudah
cukup tepat untuk mengobati skabies dengan impetigenisata pada pasien Nn. S
IV. KESIMPULAN

1. Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan


sensitisasi terhadap terhadap Sarcoptes scabei var. hominis dan
produknya. Nama lain skabies adalah the itch, kudis, budukan dan gatal
agogo.
2. Penularan skabies pada manusia dapat melalui kontak langsung (kulit
dengan kulit) maupun kontak tak langsung dengan penderita.
3. Edukasi keluarga ntuk segera memeriksakan diri jika ada yang mengalami
keluhan serupa.
4. Tempat predileksi skabies terutama terjadi pada lapisan kulit yang tipis
seperti sela-sela jari kaki dan tangan, pergelangan tangan, telapak kaki dan
tangan, ketiak, selangkangan dan daerah genital.
5. Diagnosis skabies ditegakkan jika menemukan dua dari empat tanda
kardinal. Tanda cardinal scabies, yaitu Pruritus nokturna, menyerang
manusia secara berkelompok, terowongan (kanalikulus), ditemukan
tungau.
6. Diagnosis banding untuk skabies dengan impetigenisata yang biasanya
mendekati adalah creping eruption, prurigo hebra, pediculosis corporis,
dan pioderma.
7. Terapi pada pasien skabies dapat diberikan obat topikal, yaitu Belerang
endap (sulfur presipitatum), Emulsi benzyl-benzoas (20-25%), Gama
Benzena Heksa Klorida, Krotamiton 10% dan Permetrin 5% dalam
sediaan krim. Jika terdapat infeski sekunder biasa diberikan antibiotik
spektrum luas seperti golongan penisilin dan antihistamin untuk
mengurangi rasa gatal.
8. Prognosis skabies baik apabila memperhatikan pemilihan dan cara
pemakaian obat, syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor
predisposisi (higiene).
DAFTAR PUSTAKA

Burns DA. 2004. Disease Caused By Arthropods And Other Noxious Animals, In:
Rooks Textbook Of Dermatology. Vol 2. USA; Blackwell Publishing 37-47

Country of Los Angeles Public Health. 2009. Scabies Prevention and Control
Guidelines Acute and Sub-Acute Care Facilities. Los Angeles: Los Angeles
Country Department of Public Health Acute Communicable Disease
Control Program.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Buku Pedoman


Penatalaksanaan Program. Jakarta: Depkes RI.

Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta :
FKUI;.119-22

Fauziah., Tony., Yuli, S. 2013. AngkaKejadian Dan KarakteristikPasienSkabies di


RumahSakit Al-Islam Bandung. Bandung : FK UNISBA

Itzhak Brook. 1995. Microbiology Of Secondary Bacterial Infection In Scabies


Lesions. J Clin Microbiol. August:33/2139-2140

Oakley, Amanda. 2012. Scabies: Diagnosis and Management. Hamilton: BPJ.


Orkin Miltoin, Howard L. Maibach. 2008. Scabies And Pedicuosis. Fitzpatricks
Dermatology In General Medicine, 7th. USA:Mcgrawhill .2029-31

Siregar, R.S. 2004. Penyakit Kulit Karena Parasit Dan Insecta. Dalam : Atlas
Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC

Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 1. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin. 5-10

Stone, S.P, Scabies And Pedikulosis, In : Freedberg, Et Al. Fitzpatricks


Dermatology In General Medicine 6th Edition. Volume 1. Mcgraw-Hil

Walton SF, Currie BJ. 2007. Problems In Diagnosing Scabies, A Global Disease
In Human And Animal Ppulations. Clin Microbiol Rev. 268-79

Anda mungkin juga menyukai

  • Ospek Rama
    Ospek Rama
    Dokumen3 halaman
    Ospek Rama
    Raka Notgoing Anywherebut Alwayseverywhere
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Ca Ovarium
    Laporan Kasus Ca Ovarium
    Dokumen15 halaman
    Laporan Kasus Ca Ovarium
    Raka Notgoing Anywherebut Alwayseverywhere
    Belum ada peringkat
  • Mini Cex Jiwa-Yuda
    Mini Cex Jiwa-Yuda
    Dokumen5 halaman
    Mini Cex Jiwa-Yuda
    Raka Notgoing Anywherebut Alwayseverywhere
    Belum ada peringkat
  • Raka Kurnia Puspita
    Raka Kurnia Puspita
    Dokumen13 halaman
    Raka Kurnia Puspita
    Raka Notgoing Anywherebut Alwayseverywhere
    Belum ada peringkat