Anda di halaman 1dari 9

Hari Kartini Hari Perenungan

Written by Mr. Endi on April 22, 2009 2:38 am -

Bisa dibilang, Kartini (Raden Adjeng Kartini) adalah feminis pertama di Indonesia, dengan
pemikiran-pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Kalau dunia saja mengaguminya, sebagai
wanita Indonesia, rasanya rugi bila kita tidak pernah membaca surat-surat yang ditulis Kartini.

Masihkah Kenal Kartini?

Dalam sejarah, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) diperkenalkan sebagai pahlawan nasional yang
memperjuangkan kesetaraan bagi wanita bumiputera, melalui pemikirannya dalam kumpulan
surat berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Setelah lebih dari seratus tahun, berapa banyak
yang kita kenal tentang Kartini?Paling banter, sewaktu kecil, tiap 21 April, kita berpawai dalam
baju nasional, sambil menyanyikan lagi Ibu Kita Kartini.

Jauh sebelum seorang gadis Yahudi, Anne Frank, menuliskan catatan hariannya selama dalam
persembunyiannya di Belanda, saat Perang Dunia II (dibukukan dengan judul The Diary of Anne
Frank), sesungguhnya Kartini telah lebih dulu melakukan hal yang sama. Dia mengungkapkan
pemikirannya secara tertulis, dalam bentuk surat pribadi kepada Rosa Manuela Abendanon-
Mandiri.

Menulis, kegiatan intelektual itu saja sudah jauh melampau zamannya, apalagi bagi wanita Jawa
yang hidup akhir abad ke-19. Belum lagi bagi kita menyimak buah-buah pemikirannya, yang
sebagian ternyata masih aktua dengan persoalan wanita masa kini. Gaya penulisannya juga
sistematis dan mengalir-aslinya dalam bahasa Belanda, sehingga enak dibaca, layaknya karya
penulis profesional.

Memahami Kartini tentunya kita jangan membayangkan konteks zaman sekarang, dengan
berbagai gadget canggih, yang bisa menghubungkan kita dengan setiap sudut dunia. Saat Kartini
menulis surat-suratnya ia hanya seorang gadis Jawa berusia 21 tahun, yang hidup sekitar 130
tahun lalu, di sebuah kota kecil di pesisir Jawa, saat Belanda menguasai bangsa ini. Dengan
pemahaman akan zaman itu, kita pantas menyimpulkan bahwa Kartini adalah wanita jenius pada
zamannya.

Hendaknya kita juga tidak sinis, hanya karena pada akhirnya Kartini menyerah pada tuntutan
adat dan masyarakat patriarkat, yaitu menikah dengan pria yang telah beristri dan beranak.
Karena, walaupun ia sendiri tak berhasil menggapai cita-citanya, Kartini telah berhasil membuat
wanita Indonesia masa kini bias menanamkan cita-cita setinggi langit dan sekaligus meraihnya.

Dan, Kartini adalah milik kita, milik bangsa kita. Sebelum makin ditelan lupa, tak ada salahnya
kita merenungkan dan mengapresiasi kembali pemikiran-pemikiran Kartini yang terangkum
lewat surat-suratnya yang legendaris itu.

Tak Takut Mengkritik

Panggil Aku Kartini, itulah permintaan Raden Ajeng Kartini saat ia memulai korespodensinya
dengan Stella Hartshalt. Ia tak mau namanya ditambahi embel-embel Raden Ajeng. Mungkin,
itulah cara Kartini untuk menunjukkan bahwa ia ingin melepaskan beban

feodalisme yang dipikulnya, sekaligus ingin menunjukkan bahwa ia adalah wanita merdeka yang
bebas berpikir dan bertindak. Padahal, Raden Ajeng bukan gelar bangsawan Jawa biasa,
melainkan gelar bangsawan tinggi. DI Eropa sekalipun, hingga saat itu masih banyak wanita
berdarah bangsawan yang dengan bangga mencantumkan gelar Lady, Countess, dan sebagainya,
pada nama mereka. Namun, bagi Kartini, gelar kebangsawanan justru memberi beban tersendiri.
Setidaknya, ia hanya boleh menikah dengan pria yang sama-sama bangsawan tinggi. Dan, karena
jumlah mereka tidak banyak, besar kemungkinan dia harus menikah dengan pria yang sudah
beristri.

Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa Kartini terlalu memuja peradaban Barat. Mungkin
karena di beberapa bagian suratnya, ia suka mengkritik adat dan tradisi bangsanya sendiri yang
diaggapnya picik. Namun, sesungguhnya Kartini cukup objektif dalam menilai. Memang, ada
beberapa hal dalam kebudayaan Barat yang dikaguminya, namun tak sedikit pula yang tak
disukainya dan dikritiknya dengan lumayan pedas.

Orang Belanda sering menganggap orang Jawa adalah penipu ulung, sama sekali tak dapat
dipercaya, dan sekali-sekali tidak mengenal terima kasih. Sungguh, kami tidak berharap bahwa
dunia Eropah akan membuat kami lebih bahagia. Bahwa dengan kesungguhan hati kami mengira
Masyarakat Eropa adalah satu-satunya yang murni, yang unggul, dan tak terkalahkan,
masanya telah lama lampau. (27 Oktober 1902). Misalnya, ia berkali-kali menyaksikan adegan
yang meluhurkan budi, yang dilakukan orang Eropa. Salah satunya, seorang pria Eropa dengan
kasar memisahkan dua gadis Eropa yang sedang asyik bercakap-cakap, berpegangan tangan dan
saling bersandaran. Perempuan jahat! bentak pria Eropa tersebut. Padahal, Kartini mendengar
sendiri bahwa isi percakapan kedua wanita itu murni percakapan dua sahabat karib.

Setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini sering mendengar orang-orang Belanda
mengejek kaum pribumi yang senang mengisap candu. Namun, ketika sang suami hendak
menghentikan perdagangan candu, ia justru ditentang oelh seorang

anggota Dewan Hindia Belanda. Bupati terlalu terburu-buru. Jangan lupa, Gubernemen masih
sangat membutuhkan uangnya. Lihatlah! Jadi bukan bangsa Bumiputera, melainkan
Gubernemen sendiri yang tidak dapat melepaskan candu itu, Kartini mengkritik kemunafikan
tersebut. Dalam suratnya yang lain, Kartini melontarkan kemarahannya saat Gubernemen akan
menerapkan pajak kepada rakyat miskin. Pupuk kalelawar yang dimiliki orang kecil untuk
memberi pupuk ladangnya, akan dirampas pula.

Wanita (Pribumi) Harus Terdidik

Sebelumnya, tak ada yang pernah menanyakan kepadanya, Kalau besar, nanti, kau ingin jadi
apa? Waktu itu, Kartini duduk di tahun akhir sekolahnya di ELS. Jelas itu bukan pertanyaan
yang umum bagi anak perempuan Jawa dari generasinya. Karena itu, Kartini tersentak saat
Lesty- teman sekelasnya, anak Belanda mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan sekolah ke
Belanda, untuk kemudian menjadi guru. Kamu sendiri, kelak ingin jadi apa? (bagian ini ditulis
dengan gaya orang ketiga. Kartini menyebut dirinya gadis kecil Jawa itu).

Harus jadi apakah gadis-gadis? Yah, jadi Raden Ayu, tentu saja! ujar kakak lelakinya.
(Catatan: Setelah menikah, gelar Raden Ajeng berubah menjadi Raden Ayu. Tentunya bila ia
menikah dengan pria yang juga bangsawan tinggi). Ia lantas memohon kepada ayahnya untuk
diizinkan bersama anak laki-laki bersekolah di Semarang.. tapi, perlahan-lahan tapi pasti, keluar
dari mulut sang Ayah, Tidak! Namun, penolakan itu justru makin membakar jiwa Kartini.
Bahkan, dengan berani ia pernah meminta bantuan kepada Nyonya Abendanon untuk
mencarikan beasiswasa dari pemerintahan agar ia bisa melanjutkan pelajaran ke sekolah guru di
Belanda. Ia bercita-cita mendirikan sekolah untuk anak perempuan, khususnya anak perempuna
bumiputra, yang selama itu tak pernah diizinkan mengenal kemajuan. Karena, menurutnya,
pendidikan bagi kaum wanita sangatlah penting. Ia yakin, wanita yang terdidik kelak juga akan
mendidik anak-anak (perempuan)-nya dengan lebih maju. Perempuan sebagai pendukung
Peradaban! Bukannya karena perempuan yang dipandang cocok untuk tugas itu tapi (karena
dari) perempuanlah dapat dipancarkan pengaruh besar, yang berakibat sangat jauh, baik yang
bermanfaat maupun yang merugikan. Dari perempuan, manusia menerima pendidikannya
yang pertama-tama, di pangkuannya anak belajar merasa, berpikir, berbicara Dan bagaimana
ibu-ibu bumiputera itu dapat mendidik anak-anak mereka kalau mereka sendiri tidak terdidik?
(31 Januari 1901).

Kartini berpendapat, untuk menjadi pengajar, ia terlebih dahulu harus melanjutkan pendidikan ke
sekolah guru di Semarang. Untuk itu, ia rela tinggal di biara atau mondok di rumah keluarga
Belanda. Roekmini dan Kardinah pun jadi ikut terbakar semangatnya, dengan mengatakan ingin
bersekolah bidan ke semarang (meskipun akhirnya Kardinah menyerah dan bersedia dinikahkan
dengan Bupati Tegal yang sudah punya istri. Kardinah menikah lebih dulu, melangkahi kedua
kakak perempuannya).

Pada dasarnya, ayahnya menyetujui keinginan ketiga gadisnya itu, namun keluarga besarnya
menolak keras. Alasannya kalau gadis-gadis itu dibiarkan terlalu bebas, tak ada pria bangsawan
yang mau mengambil mereka sebagai istri. Berbagi cara dilakukan keluarganya untuk mencegah
Kartini sekolah ke Semarang. Termasuk dengan cara halus, yaitu dengan mencuri kebaya
bekas pakai milik Kartini yang belum dicuci untuk dibawa ke dukun. Namun, Kartini malah
menganggap hal itu sebagai lelucon yang lucu sekaligus menyebalkan.

Oleh ibu tirinya, Kartini bahkan dianggap gadis aneh, sekaligus kambing hitam dalam keluarga.
Tapi, kemudian sang ibu tiri tak bisa berbuat banyak, karena ternyata Roekmini (anak
kandungnya) juga tak kalah gila. Dan sekarang, Ibunda tak dapat menyerang saya (lagi)
mengenai kecendrungan liberal saya. Roekmini sama gilanya dengan saya, tulis Kartini.
Karena terus ditentang, Kartini makin nekat. Kepada Nyonya Abendanon, ia minta tolong agar
dicari beasiswa dari pemerintah Belanda untuk bersekolah ke negeri Belanda. Bukan hanya itu,
ia juga mengirim surat ke sejumlah pejabat Belanda untuk maksud yang sama.

Akhirnya, keinginan Kartini untuk bersekolah ke Belanda meledak menjadi polemik yang
bersifat politis. Sejumlah gerakan feminis di negeri Belanda ramai-ramai menuntut pemerintah
Hindi Belanda agar Kartini dan Roekmini secepatnya diizinkan dan diberi beasiswa ke Belanda.
Di sisi lain, pemerintah bersikap maju-mundur. Artikel tentang Kartini pernah dimuat oleh Nellie
Van KOl, seorang penulis Belanda yang tinggal di Betawi, di De Echo, sebuah surat kabar yang
terbit di Hindia Belada. Tulisan itu kemudian banyak dikutip di mana-mana, termasuk di media-
media Belanda. Kartini bukannya tak menyadari bahwa dirinya dijadikan bahan politisasi
berbagai pihak. Namun, tampaknya ia sudah kepalang basah. Ini iklan yang sangat bagus bagi
majalah mereka, tulis Kartini dengan pahit.

Majalah De Hollandase Lelie (sebuah majalah wanita yang terbit di Belanda) menyediakan
ruangannya untuk saya dan direktrisnya berulang kali minta supaya boleh memuatkan surat-surat
saya. Untuk apa? Untuk iklan! Surat-surat seorang gadis dari Timur, seorang gadis Jawa sejati,
buah pikiran orang yang setengah biadab, dan ditulis dalam bahasa Eropah oleh dia (Kartini)
sendiri, aduhai, alangkah menariknya! Dan kalau kelak cita-cita kami kandas dan kami hancur,
hal itu tak kalah menariknya. (27 Oktober 1902)

Salah satu yang menentang keinginan Kartini adalah mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Jenderal Van Der Wijk. Alasanya karena.. Nona-nona tidak boleh bergantung pada amal yang
tidak sesuai dengan kedudukan nona-nona sebagai puteri Bupati.

Namun, Kartini tidak peduli. Kebanyakan orang tak berani mengambil resiko sedikit pun,
tulisnya. Bahkan, lanjutnya, kalau perlu ia akan menulis surat kepada Gubernur Jenderal,
Menteri, atau bahkan langsung kepada Sri Ratu (Belanda)! Tak sedikit pejabat Hindia Belanda
yang mengejeknya. Salah satunya Residen
Semarang (orang Belanda) yang bahkan terang-terangan menyebutnya gila. Hati-hati, jangang
sampai orang lain mendengar. (Kalau sampai mereka mendengar) nanti tidak ada yang mau
meminang kamu. Kan sayang kalau kalian berdua (Kartini dan Roekmini) tidak kawin, kalian
cantik sekali.

Katakan Tidak Untuk Poligami

Untuk bisa menjabat sebagai bupati, sesuai undang-undang yang ditetapkan pemerintah Hindia
Belada, Sosroningrat yang saat itu sudah memiliki 2 anak dari Ngasirah diwajibkan memiliki
istri yang berasal dari golongan tinggi. Karena itu, Sosroningrat lantas menikah (lagi) dengan
R.A. Moerjam, seorang putri bangsawan tinggi dari Madura. Dalam surat-suratnya, Kartini
menyebut ibu kandungnya Ibu, sedangkan ibu tirinya Ibunda. Ironisnya, justru Moerjam-lah
yang kemudian menjadi pendamping utama Sosroningrat dalam acara-acara formal, termasuk
bertindak sebagai ibu bagi anak-anak Ngasirah di hadapan publik. Sementara, posisi Ngasirah
tak lebih dari seorang pesuruh, yang wajib merawat anak-anak dari madunya.

Kartini dari saudara-saudara sekandungnya bahkan tak diizinkan menjalin hubungan mesra
layaknya ibu-anak dengan Ngasirah. Karena, Kartini dan saudara-saudaranya dianggap
berderajat lebih tinggi daripada Ngasirah, ibu kandung mereka sendiri. Kalau mereka sedang
berkumpul dirumah, sementara Ibunda duduk di sofa, ibu hanya boleh duduk dibawah (lantai).

Itu sebabnya, Kartini kasihan melihat penderitaan ibunya, yang tetap harus hidup serumah
dengan madunya dan memendam ketidakbahagiaannya sendiri. Saya menyaksikan sendiri
penderitaan itu dan menderita sendiri karena penderitaan ibu saya. Dan.. karena saya anaknya,
tulis Kartini. Bahwa apa yang ditugaskan kepada beliau (Ibunda) luar biasa: (harus)
membesarkan anak-anak tiri dan anak-anak kandung beliau sendiri, sementara beliau harus
mengizinkan ibu saya selalu ada di sampingnya. Meskipun bagi ibunda, Ibu tidak lebih dari
seorang pesuruh. Kasihan Ibu, kasihan ibunda..Dulu dan sekarang mereka (perempuan pribumi)
tidak tahu apa-apa. (21 Desember 1900).

Bukan hanya poligami, Kartini juga prihatin melihat wanita-wanita bumiputra yang sudah
dikawinkan dalam usia sangat muda. Termasuk dikalangan priayi dan bangsawan. Dalam salah
satu suratnya, Kartini mengungkapkan rasa prihatinnya melihat salah seorang putri bupati teman
ayahnya, sudah harus menikah diusia 11 tahun, dan menjadi ibu di usia 12 tahun. Tak heran bila
bayinya meninggal. Kawin semua itu (karena) banyak yang jatuh cinta, (sepertinya) patut orang
berbangga! tulis Kartini, dengan nada pahit. Ia sendiri, sampai berusia 24 tahun, belum mau
menikah. Bahkan, dalam beberapa suratnya ia menyatakan tidak ingin menikah seumur hidup,
karena tak ingin kebebasannya terbelenggu!

Perbedaan Itu Indah

Jauh sebelum orang-orang zaman sekarang menggaungkan tentang hidup damai di tengah
perbedaan, Kartini sudah mencetuskannya dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abandanon.

Kami sering sekali bersahabat dengan berbagai bangsa. Hanya dengan (orang) cina kami tidak
boleh berhubungan. Itu kehendak Ayah, dan saya sedih sekali (karenanya). Sebab juga bangsa itu
ingin saya kenal dengan pandangan murni. Apa yang kami ketahui tentang orang-orang (Cina)
yang sering dipandang buruk itu? Kami tidak dapat dan tidak mau menerima bahwa tidak ada
sesuatu yang

bagus, luhur dan mulia ditemukan di antara bangsa itu. Tidak, kami tidak setuju dengan
penghinaan umum terhadap kaum Cina. (14 Desember 1902).

Sebagi muslim, ia sangat menghargai agama-agama lain. Namun, kadangkala kekagumannya


terhadap orang-orang dari agama tertentu, ditafsirkan degan cara berbeda, Misalnya, ketika ia
mengungkapkan bahwa ia sangat mengagumi para misionaris (khususnya para biarawati
Katolik), ia dianggap ingin masuk Kristen. Padahal, ia mengagumi karena mereka memiliki jiwa
luhur yang rela meninggalkan kenikmatan duniawi untuk mencurahkan hidup mereka kepada
perbuatan amal di negeri asing. Dalam satu suratnya, Kartini bercerita, ketika ia mengungkapkan
keinginannya untuk mencoba kehidupan para misionaris itu selama beberapa waktu, sejumlah
kenalan Belanda-nya berkomentar. Oh, kamu pasti (ingin) jadi Kristen. Untuk kami, ini akan
menjadi baik.

Celaka kamu kalau kamu menjadi fanatik Islam dan kamu mulai mengkhotbahkan perang
agama

(Hal-hal) seperti inilah yang membuat kami demikian lama membelakangi agamakarena kami
banyak sekali melihat peristiwa yang menunjukkan ketiadaan kasih sayang yang dilakukan
orang-orang dengan kedok agama. Lambat laun, barulah kami tahu, bukan agama yang tiada
kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula
bagus dan suci itu. Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci adalah kasih
sayang. Dan, untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruslah seseorang menjadi kristen?
Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan kafir pun dapat juga hidup dengan kasih sayang
yang murni. (14 Desember 1902)

Menyerah Bukan Berarti Kalah

Memasuki usia 24 tahun, Kartini menyadari bahwa usahanya untuk bersekolah lagi, baik di
Semarang maupun di Belanda, tak akan pernah terlaksana. Padahal, ia sudah mengikuti kursus
privat bahasa inggris dan bahasa Prancis. Desakan dan tantangan keluarga yang kuat agar ia
segera menikah, membuat mentalnya kelelahan. Ia sedang menunggu jawaban dari pemerintah
Belanda mengenai izin beasiswanya ke Belanda, ketika ayahnya menerima pinangan Bupati
Rembang, R.M.A.A. Djojo Adiningrat.

Sehubungan dengan pernikahan itu, kepada Nyonya Abendanon, Sosroningrat, ayah-anda


Kartini, menulis surat berikut:

Saya tidak berkeberatan sama sekali bahwa dua perempuan kami melanjutkan pelajaran agar
kelak membuka sekolah bagi anak-anak perempuan bumiputera. Tetapi, apabila mereka mungkin
bertemu dengan seorang yang patut bagi mereka, saya (lebih) suka melihat mereka kawin. (14
September 1903). Ironisnya, sang bupati sudah punya tujuh anak, dan masih memiliki dua istri.
Istri pertamanya, seorang Raden Ayu, telah meninggal dunia, sementara dua istrinya bukan dari
kalangan bangsawan. Karena itu, ia ingin menikahi Kartini, untuk menggantikan posisi istri
pertamanya. Keputusan sang ayah membuat Kartini menyerah, meski dengan hati hancur.

Saya (kini) adalah tunangan Bupati Rembang, seorang duda dengan 7 anak dan dua istri
(selir) Mahkota saya sudah lenyap dari dahi saya. Sekarang saya tidak lebih sedikit pun dari
sisanya. Saya seperti ribuan (perempuan) lainnya yang hendak saya tolong, tetapi yang (ternyata)
jumlahnya hanya saya tambah saja Aduhai Tuhan saya, belas kasihanilah saya. Berilah saya
kekuatan untuk menanggung penderitaan saya. (10 Juli & 14 Juli 1903). Namun, di tengah
keputusasaanya, Kartini tak mau menyerah begitu saja. Ber-

untung sang Bupati Rembang termasuk pria pribumi yang berpikiran maju, cerdas, dan idealis,
karena pernah bersekolah di Leiden. Kartini mengajukan syarat agar ia tetap bisa mewujudkan
cita-citanya, yaitu mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan pribumi di Rembang.
Bahkan, ia meminta agar anak-anak tirinya yang perempuan menjadi murid-murid pertamanya.
Sang bupati menyetujuinya.

Kartini menikah dengan R.A.A.A Djojo Adiningrat pada 8 November 1903, dan otomatis
namanya menjadi Raden Ayu Djojo Adiningrat. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon,
Roekmini menceritakan bahwa dalam upacara perkawinan adat jawa yang dijalani kakaknya,
Kartini menolak mencium kaki suaminya, seperti yang selalu dilakukan pengantin wanita.
Kartini tak mau membungkukkan badan untuk menyembah sang suami saat upacara panggih
(kedua pengantin dipertemukan). Sang suami sempat terperanjat, namun dengan bijaksana ia
menjulurkan kedua tangannya untuk meraih tangan Kartini, kemudian keduanya berjalan
berdampingan. Sikap suaminya yang progresif dan berjiwa besar itulah yang pelan-pelan
membuat Kartini mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Bahkan, ia akhirnya bisa
menghormati sang suami. Dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon setelah ia menikah,
Kartini berjanji tidak akan membiarkan nasibnya dan nasib adik-adik perempuannya dulu
terulang pada anak-anak suaminya.

Kemerdekaan perempuan (bumiputera) akan merupakan buah (dari) penderitaan dan kesedihan
kami. Anak-anak perempuan Bupati Rembang barangkali akan menjadi perempuan-perempuan
merdeka, karena mereka memiliki ibu (tiri) dan pendidik seorang perempuan yang berpikir luas.
(1 Agustus 1903). Saat Kartini tengah menanti kelahiran anak pertamanya, ia menulis bahwa ia
sudah menyiapkan sudut untuk si bayi, tempatnya tidur saat ia mengajar. Sekaran ada sesuatu
ala Hilda Van Suylenburg (seorang tokoh feminis di Belanda): seorang ibu yang pergi bekerja
dengan bayi yang masih menyusu. (6 Agustus 1904)

Surat pertama Kartini kepada Rosa Abendanon bertanggal 13 Agustus 1900, tak lama setelah
pertemuan pertamanya dengan suami isteri Abendanon. Surat terakhir tertanggal 7 September
1904. Sepuluh hari kemudian, Kartini meninggal dunia di usia 25 tahun, akibat kejang perut
(yang saat itu belum diketahui penyebabnya), empat hari sesudah melahirkan anak pertamanya.
Bayi lelakinya selamat dan kemudian diberi nama Raden Mas Singgih (Soesalit).

Kartini Yang Memberontak


Lahir 21 April 1879 di Jepara, Kartini adalah anak keempat dari R.M.A.A. Sosroningrat, seorang
wedana di Mayong sebuah kawedanan tak jauh dari Jepara yang kemudian diangkat menjadi
Bupati Jepara dengan istri pertamanya, Mas Ayu Ningsirah. Dari istri kedua ayahnya R.A.
Moerjam, Kartini memiliki seorang kakak dan dua orang adik. Jadi, total ia punya 10 saudara
kandung dan tiri. Kartini, Surat-Surat Kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandiri dan Suaminya,
dianggap yang paling lengkap memuat surat-surat Kartini. Buku ini merupakan proyek kerja
sama antara Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, Leiden, Belanda,
dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, terbitan Djambatan, 1987. Mengutip Sulastin
Sutrisno, guru besar sejarah dari Universitas Gadjah Mada (yang menjadi penerjemah dan
penulis kata pengantar buku itu), kekecewaan dan kepedulian Kartini terhadap nasib wanita
(bumiputera) bermula dari kondisi keluarganya sendiri. Betapa ia menyaksikan sendiri dan ikut
merasakan pederitaan yang harus ditanggung ibu kandung dan ibu tirinya akibat poligami yang
dilakukan ayahnya.

Sebagai puteri bupati, Kartini berhak bersekolah di ELS (Europesche Lagere School, setingkat
SD) yang dikhususkan untuk anak-anak Belanda serta anak-anak pejabat tinggi pribumi di
Jepara. Tak heran bila ia fasih berbahasa Belanda, akrab bergaul dengan anak-anak Belada, dan
tahu tata krama Barat. Seperti beberapa teman Belanda-nya di ELS, Kartini juga memendam
cita-cita menjadi guru, karena ingin memajukan kaum wanita pribumi. Bahkan, ia bertekad
melanjutkan sekolah ke Belanda. Sayang, mengikuti tradisi zaman itu, di saat usianya 12 tahun,
setamat ELS, ia harus meninggalkan sekolah selamanya. Ia mulai dipingit di rumah, sambil
menunggu datangnya pinangan dari pria yang biasanya tak pernah dikenal sebelumnya.

Pada saat dipingit itulah Kartini banyak membaca buku dan majalah, khususnya yang berbahasa
Belanda, yang disediakan oleh sang ayah. Sebetulnya, ayahandanya yang sangat dicintai Kartini
termasuk pria pribumi yang progresif dan berpikiran maju. Ia tak keberatan melayani sikap kritis
Kartini. Menurut Kartini, kalau saja sang ayah punya keberanian untuk mendobrak tradisi,
mungkin saja ia diizinkan ke Belanda untuk melanjutkan sekolah. Pada masa pingitan ini pula
Kartini memulai korenspodensi dengan beberapa wanita Belanda, baik yang ada di Hindia
Belanda (Indonesia) maupun di negeri Belanda. Salah satu sahabat penanya bernama Stella
Hartshalt, seorang anggota militan gerakan feminis di Belanda, yang dikenalnya lewat program
sahabat pena di De Hollandse Lelie, sebuah majalah wanita yang waktu itu sangat terkenal di
Belanda. Kemungkinan berkenalan dengan ide-ide tentang feminisme. Namun, tampaknya hati
Kartini merasa paling dekat dengan Rosa Abendanon. Rosa adalah istri J.H. Abendanon, pejabat
Belanda yang dikirim ke Hindia Belanda untuk melaksanakan kebijakan politik etis, dan
kemudian diangkat menjadi Direktur Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hidia Belanda. Keluarga
Abendanon tinggal di Betawi, tepatnya di daerah Kebon Sirih.

Saat berkunjung ke Jepara, suami-istri Abendanon mampir ke rumah keluarga Sosroningrat dan
bertemu dengan Kartini dan adik-adiknya. Rupanya, pertemuan ini meninggalkan kesan yang
sangat mendalam bagi Kartini dan kedua adik perempuannya, Roekmini (adik tiri) dan Kardinah
(adik kandung). Dari kalimat-kalimat di suratnya, terasa betapa Rosa Abendanon telah memberi
pengaruh besar terhadap pemikiran Kartini. Kepada Nyonya Abendanon-lah Kartini dan sesekali
juga adik-adiknya menumpahkan semua pemikiran, cita-cita, juga isi hatinya (termasuk
penderitaannya) lewat beratus lembar surat yang ditulis dengan tangannya sendiri. Saking
sayangnya, Kartini kerap menyapa Rosa dengan sebutan Ibuku Tercinta atau Kekasihku
Tersayang.

Setidaknya, ada sekitar 150 surat yang pernah dikirim Kartini dan kedua adiknya kepada Rosa
Abendanon. Dari jumlah itu, Kartini menulis sekitar 95 surat. Isinya ada yang pendek, ada yang
berpuluh lembar sekali kirim. Tata bahasa Belanda-nya yang bagus, membuat beberapa pihak
sempat meragukan bahwa surat-surat itu bukan ditulis oleh Kartini sendiri. Namun, seiring
perjalanan waktu dan berbagai investigasi, terbukti bahwa surat-surat tersebut memang asli
ditulis oleh Kartini. Seperti juga The Diary of Anne Frank, surat-surat Kartini ditulis layaknya
kepada seorang sahabat, yang sangat dihormatinya. Isinya lebih tepat disebut curahan hati,
terkadang riang, di saat lain sangat emosional. Kadang-kadang ia menceritakan kejadian sehari-
hari, tetapi tak jarang meletup buah pikiran dan cita-citanya yang terhitung sangat progresif
untuk zamannya.

Tak jarang, ia mendiskusikan buku-buku yang telah dibacanya, atau berita-berita yang baru
didapatnya dari koran. Ayahnya memang berlangganan koran, yang dikirim setiap hari ke
rumahnya. Dari situ diketahui bahwa di dalam gua pingitannya, Kartini membaca banyak sekali
buku yang menarik. Surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan oleh
J.H.Abendanon, suami Rosa, dalam bahasa Belanda. Cetakan pertama diterbitkan s-
Gravenhage, Van Dorp (1911, semarang-Surabaya) dengan judul Door Duisternis Tot Licht
(Habis Gelap Terbitlah Terang).

Namun, karena hanya isinya sangat penting dan fenomenal, khususnya bagi perjuangan wanita
bumiputera di Hindia Belanda, surat-surat itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, bahasa daerah (Sunda, Jawa), serta sejumlah bahasa asing. Kumpulan surat-surat
Kartini, antara lain diterjemahkan ke bahasa:

Anda mungkin juga menyukai