Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PRAKTIK KEPERAWATAN

MANAJEMEN RISIKO BENCANA PARIWISATA


DI UPT. PUSDALOPS PB BPBD PROVINSI BALI
4 SEPTEMBER 2017 30 SEPTEMBER 2017

OLEH :

NI PUTU AYU SAVITRI

P07120214033

DIV KEPERAWATAN SEMESTER VII

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Letak Indonesia jika ditinjau dari segi geologi, sebagian wilayah Indonesia
merupakan daerah rawan bencana karena wilayah ini adalah tempat pertemuan antara
dua rangkaian jalur pegunungan muda dunia yaitu sirkum Pasifik dan sirkum
Mediteran. Sedangkan dilihat dari segi geografis, Indonesia berada pada posisi silang
antara benua Asia dan Australia serta antara samudera Hindia dan samudera Pasifik
yang membujur pada daerah tropis. Kondisi alam seperti inilah yang menyebabkan
wilayah Indonesia rawan terhadap berbagai jenis bencana alam (BNPB, 2010).
Bali terletak sangat dekat dengan zona tumbukan (subduction zone) antara
Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Zona tumbukan ini merupakan kawasan
yang menjadi sumber utama untuk tsunami lokal yang bisa berdampak di pulau Bali.
Diperkirakan gelombang tsunami hanya membutuhkan waktu antara 20-30 menit untuk
mencapai pantai. Oleh karena itu waktu untuk memberikan peringatan sangatlah
singkat.
Pariwisata adalah sebuah industri yang sangat bergantung pada keunikan alam
dan budaya. Daya tarik utama sebuah destinasi wisata adalah bentangan alam dan
kekayaan budaya suatu daerah yang berbeda dari daerah lainnya. Sehingga jika terjadi
kerusakan ataupun degradasi pada sebuah destinasi, baik akibat krisis maupun bencana,
maka akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan industrinya. Dapat dikatakan
pula bahwa industri pariwisata sangat rentan terhadap bencana dan krisis.
Dewasa ini pariwisata menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
karena berkaitan erat dengan kegiatan social dan ekonomi yang dapat dinikmati serta
menjadi salah satu cara manusia melakukan sosialisasi. Pariwisata identik dengan
kegiatan memberikan kesenangan dan kenikmatan, karena kegiatannya bertujuan
memberikan beragam aktifitas secara santai dan menyenangkan tanpa harus menguras
tenaga. Keindahan alam yang berlimpah, tak dapat dipungkiri menjadikan Indonesia
memiliki banyak daerah tujuan wisata yang layak dibanggakan. Laut, pantai, gunung,
sungai, lembah, dataran tinggi, hutan, dan sawah berderet dari Sabang sampai Merauke
saling berebut menampakan kemolekannya.
Pariwisata merupakan industry yang rentan terhadap berbagai peristiwa bencana.
Ia bisa menjadi yang terdampak dari kemunculan bencana atau memicu kemunculan
bencana itu sendiri.
Dibalik semua pesona alam yang dimiliki, Indonesia adalah kawasan rawan
bencana. Lalu bagaimana keterkaitannya dengan pariwisata? Walaupun pariwisata
identik dengan kesenangan, namun kegiatan ini juga memiliki risiko. Berbagai obyek
wisata yang disediakan oleh pengelola tempat wisata tidak memberikan jaminan
keamanan dan keselamatan pengunjung sepenuhnya.
Kondisi alam Provinsi Bali sangat rentan terhadap bencana alam. Berbagai
bencana pernah terjadi di Bali seperti gempa bumi, letusan gunung api, banjir, longsor,
kekeringan dan angin kencang. Provinsi Bali memiliki dua gunung api aktif, yaitu
Gunung Agung dan Gunung Batur, serta tidak menutup kemungkinan Gunung
Batukaru. Di kawasan Gunung Agung, daerah yang kemungkinan akan terlanda awan
panas, aliran lava dan aliran lahar 23.037,58 ha. Daerah yang rawan terkena aliran
lahar/banjir dan kemungkinan dapat terlanda awan panas dan longsoran atau runtuhan.
Bali terletak sangat dekat dengan zona tumbukan (subduction zone) antara
Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Zona tumbukan ini merupakan
kawasan yang menjadi sumber utama untuk tsunami lokal yang bisa berdampak di
pulau Bali. Diperkirakan gelombang tsunami hanya membutuhkan waktu antara 20-30
menit untuk mencapai pantai. Oleh karena itu waktu untuk memberikan peringatan
sangatlah singkat.
Selain zona subduksi Selat Sunda Trench dan patahan belakang (back arc fault),
ada 2 sumber tsunami lainnya yang sudah terindentifikasi: longsor bawah laut dan
aktivitas vulkanik. Longsor bawah laut dapat dikaitkan dengan gempa bumi. Longsor
tersebut terjadi selama gempa bumi, yang dapat meningkatkan energi tsunami, sehingga
melipatgandakan efek pengangkatan akibat gerakan tektonik pada zona subduksi
(disebabkan oleh gempa bumi tersebut).
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia,
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut mengacu pada semua
bencana, baik bencana alam, non-alam, maupun bencana sosial. Sementara Faulkner
(2001) menjelaskan secara lebih spesifik bahwa bencana merupakan suatu peristiwa
atau kejadian akibat dari fenomena alam yang membutuhkan sistem informasi
gabungan pendeteksi cuaca dan tindakan manusia secara lebih luas. Faulkner
membedakan antara bencana alam dan bencana non-alam. Bencana menurut Faulkner
adalah bencana alam, sementara bencana non-alam dan sosial disebut sebagai krisis.
Dari pengertian tersebut, Faulkner menegaskan bahwa apa pun bentuk sebuah bencana
sebenarnya bisa diprediksi ataupun dicegah. Keterlibatan manusia secara aktif dan
sistem informasi pendeteksi cuaca yang lebih luas bisa membantu penanganan sebelum
dan setelah bencana.
Berbicara tentang pariwisata dan bencana, berarti mengupas keduanya dari dua
sisi yang berbeda. Bencana bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap
pariwisata. Pengaruh negatif muncul karena adanya kerusakan dan penurunan jumlah
pengunjung, sementara pengaruh positif justru timbul saat bencana itu sendiri dijadikan
sebagai komoditi pariwisata. Ada beberapa fakta di lapangan yang menunjukan hal unik
terkait pariwisata dan bencana. Secara konseptual bencana akan mempengaruhi
permintaan industri pariwisata. Pada beberapa kejadian, justru menunjukan sebaliknya.
Mungkin belum hilang dari ingatan kita bagaimana erupsi yang terjadi di Gunung
Bromo telah menarik banyak wisatawan untuk melihatnya atau bagaimana wisatawan
malah berbondong-bondong untuk melihat keadaan Kali Urang paska-erupsi Gunung
Merapi.
Kecelakaan yang terjadi di tempat wisata menimbulkan kerugian bersifat materi
dan immaterial kepada pengelola dan pengunjung yang merupakan korban. Pengelola
mengalami dua kerugian sekaligus yaitu mengganti kerugian kepada korban dengan
sejumlah uang yang sudah ditentukan dan kerugian bersifat immaterial yaitu reputasi
(kerugian immateriil bersifat jangka panjang yaitu kelangsungan tempat wisata untuk
kembali memulihkan image positif sehingga pengunjung akan melupakan kejadian
tersebut. Perbedaan karakter wisata akan membedakan potensi risiko antara satu tempat
dengan tempat lain sehingga menuntut pengelola wisata dapat melakukan estimasi
risiko secara mendalam. Estimasi ini akan menghitung derajat resiko yang terbagai
dalam tiga level yaitu tinggi, menengah dan rendah. (Siahaan, 2007). Level ini dapat
juga digunakan untuk menilai derajat resiko tempat wisata menggunakan pendekatan
manajemen resiko.
Manajemen resiko adalah salah satu cara meminimumkan kerugian yang
muncul di tempat wisata. Manajemen resiko menjadi alat untuk meminimalisir kerugian
bagi semua pihak yang terkait khususnya pengelola sehingga memberikan dukungan
pada organisasi dan pengendalian resiko internal maupun eksternal yang lebih efektif.
Saat ini pengelola wisata sudah menggunakan pendekatan manajemen resiko dalam
menyelenggarakan kegiatan wisata meski skala penggunaannya masih jauh
dibandingkan dengan industry keuangan seperti perbankan dan asuransi.
Untuk itu para pakar termasuk Prideaux (2003) sepakat kalau industri pariwisata
memerlukan penanganan khusus dalam perencanaan dan pemulihan paska-bencana.
Kedua akibat bencana tersebut, baik negatif maupun positif, tetap membutuhkan
penanganan sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Faulkner dan Vikulov
(2001) memberikan beberapa alasan mengapa industri pariwisata memerlukan
penanganan khusus terkait dengan bencana alam.
Berdasarkan latar belakang di atas, Prodi D-IV Keperawatan Reguler Politeknik
Kesehatan Denpasar menerapkan metode pembelajaran praktik Manajemen Risiko
Bencana Pariwisata dimana teori dari mata kuliah ini telah didapatkan di semester VI.
Hasil dari proses pembelajaran praktik manejemen risiko bencana pariwisata ini dimuat
dalam laporan kegiatan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang di atas adalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana menetapkan konteks risiko bencana pariwisata ?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi risiko bencana pariwisata ?
3. Bagaimana cara menganalisis risiko bencana pariwisata ?
4. Bagaimana cara mengevaluasi risiko bencana pariwisata ?
5. Bagaimana cara menanganani risiko bencana pariwisata ?

C. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ini dapat dibagi menjadi dua yaitu,
1. Tujuan Umum
Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran praktik dan orientasi di tempat praktik,
mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengimplementasikan proses
manajemen risiko bencana pariwisata
2. Tujuan Khusus
Capaian pembelajaran praktikum yang diharapkan adalah mahasiswa :
a. Mampu menetapkan konteks risiko bencana pariwisata
b. Mampu mengidentifikasi risiko bencana pariwisata
c. Mampu menganalisis risiko bencana pariwisata
d. Mampu mengevaluasi risiko bencana pariwisata
e. Mampu menangani risiko bencana pariwisata

D. Bobot Praktikum
Bobot Praktik Manajemen Risiko Bencana Pariwisata ini adalah 4 SKS. Waktu yang
dibutuhkan selama : 4 x 14 minggu x 170 menit = 9.520 menit setara dengan 4 minggu
praktik.

E. Kegiatan Praktik
Adapun kegiatan praktik manajemen risiko bencana pariwisata ini adalah :
1. Menetapkan konteks risiko bencana pariwisata
2. Mengidentifikasi risiko bencana pariwisata
3. Menganalisis risiko bencana pariwisata
4. Mengevaluasi risiko bencana pariwisata
5. Menangani risiko bencana pariwisata
6. Mengikuti Pre dan Post conference
7. Mendokumentasikan kegiatan/membuat laporan
8. Melaksanakan seminar

Anda mungkin juga menyukai