Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasar adalah salah satu bentuk dari sistem, prosedur, atau hubungan sosial dan juga
infrastruktur di mana terdapat usaha menjual suatu barang, jasa dan tenaga kerja untuk
orang-orang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat
pembayaran yang sah seperti uang. Kegiatan ini merupakan bagian dari perekonomian.
Dalam konsep pasar terdapat setiap struktur yang memungkinkan pembeli dan penjual
untuk menukar jenis barang, jasa dan informasi. Pertukaran barang atau jasa untuk uang
disebut dengan transaksi. Pasar merupakan tempat yang memfasilitasi perdagangan dan
memungkinkan distribusi dan alokasi sumber daya dalam masyarakat. Pasar adalah suatu
tempat fisik dimana pembeli dan penjual berkumpul untuk mempertukarkan barang dan
jasa (Sumber : Kotler:2002,55).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pasar
Desa, pada ayat 7 menjelaskan Pasar adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk
melaksanakan transaksi. Dan pada ayat 10 menguraikan juga tentang Pasar Tradisional
adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, swasta, koperasi atau swadaya
masyarakat setempat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda, atau nama lain
sejenisnya, yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil menengah, dengan skala usaha
kecil dan model kecil, dengan proses jual beli melalui tawar menawar, sarana interaksi
sosial budaya masyarakat, dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Terdapat dua klasifikasi pasar yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pasar
tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan
adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-
menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka
yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan
sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging,
kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain, (Gallion:1986). Pasar tradisional di
seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan dari pasar modern. Pasar
modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan

1
pembeli tidak bertransakasi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang
tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan
secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual,
selain bahan makanan makanan seperti; buah, sayuran, daging; sebagian besar barang
lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern
adalah hypermart, pasar swalayan (supermarket), dan minimarket. (Sumber : Hutabarat,
2009:34)

Pasar tradisional disuatu daerah merupakan salah satu pusat perdagangan bagi
masyarakat. Bagi bangsa Indonesia, pasar tradisional tidak saja merupakan penyangga
ekonomi namun juga merupakan aset budaya yang harus dilestarikan. Pasar tradisional
secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang
berpenghasilan rendah, sehingga tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil
pembangunan. Namun dikalangan masyarakat banyak bermunculan citra negatif pada
pasar tradisional saat ini, dimana salah satunya adalah lemahnya pengelolaan pasar. Hal
ini dapat dijumpai hampir di semua daerah terutama pada pasar-pasar tradisional yang
dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Keberadaan pasar tradisional dalam beberapa
tahun terakhir mulai menghadapi ancaman dalam waktu tidak lama lagi karena tidak
mampu bersaing menghadapi semakin banyaknya pusat perbelanjaan atau pasar modern
yang merambah hingga ke pelosok permukiman penduduk. Masyarakat pun tampaknya
lebih memilih berbelanja di pasar-pasar modern dengan berbagai pertimbangan, seperti
kenyamanan, kebersihan, kualitas barang, sampai alasan demi gengsi. Akan tetapi,
keberadaan pasar tradisional tidak mungkin ditiadakan karena sebagian besar masyarakat
masih berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah, sehingga tidak memiliki daya
beli yang cukup besar untuk terus-menerus berbelanja di pasar-pasar modern. Hilangnya
pasar-pasar tradisional akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu daerah, seperti
bertambahnya pengangguran, menurunnya daya beli akibat tingkat pendapatan per kapita
yang semakin kecil, melemahnya sektor-sektor perdagangan informal, terhambatnya arus
ditribusi kebutuhan pokok, dll yang pada akhirnya bermuara pada marginalisasi ekonomi
pasar tradisional. Menghadapi kondisi persaingan yang tidak seimbang antara pasar
tradisional dan pasar modern, Pemerintah Daerah sebenarnya telah berupaya memperbaiki
penampilan pasar tradisional yang selama ini dicitrakan becek, kumuh, semrawut, dan
tidak ada kepastian harga.

2
Namun selain memperbaiki infrastruktur, dibutuhkan juga untuk mengembangkan
kelembagaan dan SDM, seperti fungsi pasar yang menonjol seharusnya untuk
memfasilitasi masyarakat agar kehidupannya menjadi lebih sejahtera melalui ketersediaan
barang kebutuhan masyarakat konsumen dengan harga layak relatif tidak berfluktuasi,
serta menyediakan kesempatan berusaha bagi masyarakat pedagang tradisional agar
mereka dapat memperoleh pendapatan yang layak. Jadi fungsi utamanya bukan sebagai
penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dikenakan kepada
para pedagang. Dengan kata lain pasar lebih bersifat "cost centre" daripada berfungsi
sebagai "financial resources".

Selanjutnya komitmen tentang pembinaan pasar tradisonal yang tertuang dalam


Pemerintah daerah kota Kayuagung dalam peraturan daerah Kabupaten Ogan Komering
Ilir Nomor 9 Tahun 2007 tentang perubahan atas peraturan daerah kabupaten Ogan
Komering Ilir Nomor 29 Tahun 2002 tentang pengelolaan pasar dan penetapan retribusi
fasilitas pasar pada shopping centre Kayuagung dan sekitarnya. sehingga Penyelenggaraan
pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan rencana pembangunan dapat tercapai,
maka diperlukan efisiensi dalam pengelolaan pasar tersebut.

Perumusan Perda tersebut juga dimaksudkan untuk dapat mengatasi permasalahan


yang sering kali muncul diberbagai pasar tradisional, sebagaimana pandangan yang
melekat pada pasar tradisional yang umumnya dilatar belakangi oleh perilaku dari
pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar, stigma buruk masyarakat
pada pasar tradisional sering kali mengakibatkan sebagian dari para pengunjung mencari
alternatif tempat belanja lain, antara lain mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki
lima dan pedagang keliling yang relatif mudah dijangkau. Bahkan kebanyakan para
pembeli yang tergolong disegmen pendapatan menengah cenderung beralih kepasar
modern seperti pasar swalayan yang biasanya lebih mementingkan kebersihan dan
kenyaman sebagai dasar pertimbangan. Sering kali menimbulkan kesan bahwa perilaku
pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan pasar
tradisional memiliki pandangan buruk. Namun, sebaliknya dilapangan dijumpai peran
pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam mengupayakan
perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat terbatas. Dimulai dari
keterbatasan jumlah tenaga dan kemampuan individu tenaga pengelola serta keterbatasan
kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan

3
pembinaan pedagang. Karena hal itulah seharusnya para pelaku kebijakan dapat
mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat dengan semaksimal mungkin, sesuai
dengan tujuan awal yaitu untuk terciptanya tata kelola pasar yang terpadu. Sehingga citra
buruk dari pasar tradisional akan perlahan-lahan tersingkirkan. hal itu harus mulai
dilakukan dengan pembangunan dari segi infrastruktur dan sarana yang menunjang
aktivitas dari pasar tersebut. Dan selanjutnya perbaikan dari segi pemberdayaan pedagang
dengan cara pembinaan pedagang itu sendiri.

Peraturan tersebut dibuat agar lebih jelas operasionalisasinya pada bentuk Organisasi
yang membidangi pasar tradisional yang seringkali di beberapa daerah diwujudkan dengan
membentuk Dinas Pasar atau Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) atau Bidang Pasar di bawah
Dinas Perindustrian. Apabila di dalam detail struktur organisasi dinas pembina pasar
tradisional hanya terdapat Bidang atau Seksi yang menangani retribusi, keamanan dan
ketertiban pasar, maka hampir dapat dipastikan bahwa penanganan aspek pembinaan
pengelolaan pasar tidak akan tersentuh, terlebih lagi pembinaan terhadap pedagang pasar
sama sekali akan luput dari perhatian. Hal ini lah yang sering banyak dijumpai di
kabupaten/kota yang secara hierarki bermuara pada tampilan pasar tradisional di
wilayahnya yang kebanyakan kotor dan kumuh.

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam merevitalisasi pasar tradisional masih lebih


menekankan pada perbaikan (renovasi) fisik bangunan pasar. Masih sangat jarang yang
disertai dengan pembangunan kelembagaan (institutional building) seperti
mengembangkan organisasi (organizational development) pengelola dan pembina pasar
tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar beserta sumber
daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar. Berdasarkan pengalaman empiris
di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan renovasi atau pembangunan kembali
bangunan pasar selama kurun waktu 3-5 tahun kemudian, bangunan pasar yang telah
direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan pasarnya tampak kembali semrawut
serta kondisi pasar kembali kumuh dan kotor sama keadaannya seperti sebelum dilakukan
renovasi atau pembangunan kembali pasar. Hal ini terjadi karena kebijakan revitalisasi
pasar tradisional masih hanya sebatas menyentuh bangunan fisik pasar semata yang
seringkali kurang diikuti dengan aktivitas perawatan atau pemeliharaan bangunan fisik
pasar. Kebijakan Pemerintah dalam upaya pemberdayaan pasar tradisionalagar dapat
tumbuh dan berkembang serasi, saling membutuhkan/memerlukan,saling memperkuat dan

4
simbiosis mutualistis; memberikan pedoman bagipenyelenggara pasar tradisional, pusat
perbelanjaan, dan toko modern;memberikan norma-norma keadilan, saling
menguntungkan dan tanpatekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko
modern, sertabagaimana pengembangan kemitraan dengan UK (Usaha Kecil),
sehinggatercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, dan
konsumen (Sumber : Harvey David. 2009: 140).
Pembinaan pasar tradisional memerlukan upaya terintegrasi, mulai di tingkat
kebijakan hingga di tingkat operasional. Setiap tingkat memerlukan bentuk-bentuk
pembinaan yang saling terkait satu bidang dengan bidang lain. Sebagai contoh, pembinaan
pasar tradsional beserta pedagang pasar dan PKL di tingkat operasional merupakan
kelanjutan dari kebijakan Pemerintah Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah
beserta peraturan pelaksanaannya. Pembinaan di tingkat operasional diwujudkan dalam
bentuk pembinaan manajemen pasar tradisional dan pedagang pasar serta pembinaan PKL
dan lingkungannya, ketertiban perparkiran, penataan jalur angkutan kota, penataan tempat
pejalan kaki (pedesterian), dan kawasan wisata kuliner. Dalam penanganan masalah yang
bersifat parsial, hasil yang kurang maksimal karena kurang dapat menyentuh akar
permasalahan yang sebenarnya.
Masalah lain yang juga penting dan di banyak kabupaten/kota seperti halnya di pasar
kota kayuagung tidak banyak diperhatikan adalah pembinaan terhadap pedagang pasar,
seperti yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan pasar bersih dan nyaman. Para
pedagang harus memahami tentang prinsip persediaan barang dagangan yang dapat
memenuhi kebutuhan pembeli/pelanggan dan ekonomis (efektif dan efisien), sehingga
mereka tidak asal menimbun barang dagangan di lapak atau kiosnya yang menjadikan
pasar menjadi gudang yang pada akhirnya los-los pasar tampak kumuh. Selain itu, para
pedagang juga harus diberikan pemahaman tentang manajemen keuangan sederhana. Ini
dimulai dari pemahaman tentang pemisahan keuangan pribadi dan keuangan usaha, agar
mereka dapat menghitung pendapatan dan keuntungan secara benar .
Untuk hal tersebutlah, maka perlu dilakukannya pengelolaan yang baik terhadap pasar
tradisional, sehingga pasar tradisional juga dapat memberikan kenyamanan bagi para
pembeli maupun pedagangnya. Memperhatikan uraian tersebut diatas penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui terhadap Evaluasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam
Melakukan Pengelolaan Pasar pada Shopping Centre Kota Kayuagung. Untuk dapat
mengoptimalkan kinerja dari dinas terkait dalam mengatur tata kelola pasar dan
menciptakan kemandirian di kota Kayuagung itu sendiri.

5
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah terkait
Evaluasi Terhadap Pemerintah Daerah Dalam Melakukan Pengelolaan Pasar adalah
sebagai berikut :

1. Bagaimana evaluasi terhadap pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan pasar


pada shopping centre kota Kayuagung ?
2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan pengelolaan pasar
tradisional ?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan memberikan
jawaban terhadap permasalahan yang telah rumuskan :

a. Untuk menjelaskan secara aktual dan faktual mengenai kinerja dari kebijakan
pemerintah dalam pengelolaan dan penataan pasar, pada shopping centre Kayuagung
b. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kebijakan
pemerintah pengelolaan dan penataan pasar, pada shopping centre Kayuagung

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

1) Mengidentifikasi bagaimana evaluasi kinerja yang dilakukan oleh pemerintah


daerah, khususnya yang berhubungan dengan Perda No. 9 Tahun 2007 Tentang
pengelolaan pasar dan penetapan retribusi fasilitas pasar pada shopping centre
Kayuagung dan sekitarnya.
2) Memperkaya khasanah kajian ilmu politik untuk perkembangan keilmuan
khususnya dalam penerapan kebijakan publik.

6
a. Manfaat Praktis
1) Sebagai bahan belajar bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, agar
lebih mengetahui bagaimana prosedur dan tatacara mendirikan usaha
perdagangan.
2) Sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi pemerintah kota Kayuagung dalam
setiap pelaksanaan kebijakan, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan
pasar.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori


2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
2.1.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang
pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Carl J Federick
sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008: 7) mendefinisikan kebijakan sebagai
serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan
(kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan
kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga
menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan
tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena
bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan
daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.
James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17)
mengungkapkan bahwa kebijakan adalah

a purposivecourse of action followed by an actor or set of actors in dealing with


aproblem or matter of concern

(Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan


dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu).

Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi


Winarno (2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa
yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau
dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara
kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan

8
diantara berbagai alternatif yang ada. Richard Rose sebagaimana dikutip Budi
Winarno (2007: 17) juga menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami
sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai
keputusan yang berdiri sendiri.Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat
menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan adalah
keliru, karena pada dasarnya kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan
dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan
pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak
dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya
terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif
yang ada guna mencapai maksud dan tujuan tertentu.

Ruang lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup
berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan
sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkirnya kebijakan publik dapat bersifat
nasional, regional maupun lokal seperti undang - undang, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi,
keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota,dan keputusan
bupati/walikota.

Pressman dan Widavsky sebagaimana dikutip Budi Winarno (2002: 17)


mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung kondisi-
kondisi awal dan akibat-akibat yang bias diramalkan. Kebijakan publik itu harus
dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta.
Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah. Robert
Eyestone sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008 : 6) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya.

Banyak pihak beranggapan bahwa definisi tersebut masih terlalu luas


untuk dipahami, karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat
mencakup banyak hal. Menurut Nugroho, ada dua karakteristik dari kebijakan
publik, yaitu:1) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk
dipahami, karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai

9
tujuan nasional; 2) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah diukur,
karena ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah
ditempuh. Thomas R Dye sebagaimana dikutip Islamy (2009: 19) mendefinisikan
kebijakan publik sebagai is whatever government choose to do or not to do (
apapaun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan).
Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan
tindakan dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat
publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu
juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh (dampak yang
sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu. Terdapat beberapa
ahli yang mendefiniskan kebijakan public sebagai tindakan yang diambil oleh
pemerintah dalam merespon suatu krisis atau masalah publik.

David Easton sebagaimana dikutip Leo Agustino (2009: 19) memberikan


definisi kebijakan publik sebagai the autorative allocationof values for the
whole society. Definisi ini menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam
sistem politik (pemerintah) yang secara syah dapat berbuat sesuatu pada
masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini
disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam authorities in a political
system yaitu para penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan
sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggungjawab dalam suatu maslaha
tertentu dimana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di
kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat
selama waktu tertentu.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa


kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna
memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan
untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan - ketentuan atau
peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat
yang mengikat dan memaksa.

10
2.1.1.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati
agar suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan
yang dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa
tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya
melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan.
Tahap-tahap dalam kebijakan tersebut yaitu:
a) Penyusunan agenda
Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan
perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-
masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas.
Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan
sebanyak mungkin untuk diseleksi. Pada tahap ini beberapa masalah
dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang
ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah yang mungkin ditunda
pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-
masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda
memiliki argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam
tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah
mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah
kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan
yang tepat.
b) Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari
berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang
merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan
c) Adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan
diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan
sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Tahap ini sering disebut juga
dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan
yang telah mendapatkan legitimasi. Masalah yang telah dijadikan

11
sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa
kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan.
d) Implementasi kebijakan
Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut
kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali
menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan
secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan
berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.
Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak
serta merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan
keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang
dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin.
e) Evaluasi kebijakan
Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk
dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang
menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang
diinginkan. Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi
dari kebijakan. Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan
perubahan terhadap kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti
semula, diubah atau dihilangkan sama sekali.

2.1.1.3 Kerangka Kerja Kebijakan Publik


Menurut Suharno (2010: 31) kerangka kebijakan publik akan ditentukan
oleh beberapa variabel dibawah ini, yaitu:
a. Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang
akanm dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka
semakin sulit mencapai kinerja kebijakan.Sebaliknya, apabila tujuan
kebijakan semakin sederhana, maka untuk mencapainya juga semakin
mudah.
b. Prefensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan. Suatu kebijakan
yang mengandung berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk
dicapai dibanding dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar satu
nilai.

12
c. Sumber daya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan
ditentukan oleh sumber daya finansial, material, dan infrastruktur
lainnya.
d. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.Kualitas
dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas actor kebijakan yang
terlibat dalam proses penetapan kebijakan. Kualitas tersebut ditentukan
oleh tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja
dan integritas moralnya.
e. Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks
sosial, ekonomi, maupun politik tempat kebijakan tersebut dilaksanakan.
Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
f. Strategi yang digunakan untuk menjalankan suatu kebijakan akan
mempengaruhi kinerja suatu kebijakan. Stretegi yang digunakan dapat
bersifat top/down approach atau bottom approach, otoriter atau
demokratis (Suharno: 2010: 31).

2.1.2 Evaluasi Kebijakan


2.1.2.1 Pengertian Evaluasi
Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing
menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan
program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran
(appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment), kata-kata yang
menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya.
(Dunn, 1998:608).
Definisi yang pertama dikembangkan oleh Ralp Tyler (1950) dalam
Suharsimi (2003:3), yang menyatakan bahwa Evaluasi merupakan sebuah proses
pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian
mana tujuan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan apa
sebabnya. Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh dua orang ahli lain, yakni
Cronbach dan Stufflebeam dalam Suharsimi (2003:3), tambahan definisi tersebut
adalah Proses evaluasibukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai,
tetapi digunakan untuk membuat keputusan. Menurut Morrison dalam Rusman
(2009:94), dan Arikunto (2004:1) Evalusi adalah kegiatan untuk mengumpulkan

13
informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut
digunakan untuk menentukan alternative yang tepat dalam mengambil
keputusan. Menurut Worthen dan Sanders (1979:1) Evaluasi adalah mencari
sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang berharga tersebut dapat berupa
informasi tentang sesuatu program, produksi serta alternatif prosedur tertentu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
evaluasi lebih bersifat komprehensif yang di dalamnya meliputi pengukuran. Di
samping itu, evaluasi pada hakekatnya merupakan suatu proses membuat
keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan evaluasi (value judgement) tidak
hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), dapat pula
didasarkan kepada hasil pengamatan (qualitative description). Baik yang
didasarkan kepada hasil pengukuran (measurement) maupun bukan pengukuran
(non-measurement) pada akhirnya menghasilkan keputusan nilai tentang suatu
program yang di evaluasi. Rusman (2009:94).

2.1.2.2 Evaluasi Kebijakan


Evaluasi kebijakan digunakan untuk mengukur keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Menurut Muhadjir dalam Widodo
mengemukakan Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk
menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil, yaitu
denganmembandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target
kebijakan publik yang ditentukan.
Dalam bahasa yang lebih singkat Jones dalam Winarno mengartikan
evaluasi adalah Kegiatan yang bertujuan untuk menilai manfaat suatu
kebijakan. Serta secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai
Kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut
substansi, implementasi, dan dampak.40 Hal ini berarti bahwa proses evaluasi
tidah hanya dapat dilakukan pada tahapan akhir saja, melainkan keseluruhan dari
proses kebijakan dapat dievaluasi.
Menurut Riant Nugroho (463:2011) evaluasi kebijakan publik memiliki
empat fungsi, yaitu eksplanasi, kepatuhan, audit dan akunting. Melalui evaluasi
dapat dipotret realitas pelaksanaan program da generalisasi tentang pola-pola
hubungan antar berbagai dimensi realitas tentang yang diamatinya. Dari evaluasi,

14
evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan-eksplanasi.

2.1.2.3 Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan


Sebagai salah satu tahapan dalam proses kebijakan, evaluasi memiliki
fungsi dan tujuan. Menurut Wibawa dalam Nugroho, evaluasi kebijakan publik
memilik empat fungsi, yaitu:
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program
dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hungungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator
dapat mengidentifikasi masalah ,kondisi, dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya,
sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar
sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran
atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi
dari kebijakan tersebut.41

Beberapa ahli juga mengemukakan tentang tujuan-tujuan dari evaluasi,


Subarsono merinci beberapa tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut :
a) Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka
dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
b) Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat
diketahui derajad diketahui berapa biaya dan manfaat suatu kebijakan.
c) Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan
evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau
output dari suatu kebijakan.
d) Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi
ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak
positif maupun negatif.

15
e) Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan
untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin
terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan
pencapaian target.
f) Sebagai bahan masukan (input) unutk kebijakan yang akan datang.
Tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses
kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.42

Oleh karena itu evaluasi kebijakan, pada prinsipinya digunakan untuk


mengevaluasi empat asek dalam proses kebijakan publik, yaitu proses pembuatan
kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan dan efektifitas dampak
kebijakan

2.1.2.4 Model Evaluasi Kebijakan


Mengikuti William N. Dunn (1999:608-610), istilah evaluasi dapat
disamakan dengan penaksiran (apparaisal), pemberian angka (rating), dan
penilaian (assessment). Model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi
menurut William N. Dunn. Dimana evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan
pelaksanaannya menggunakan pengembangan beberapa indikator untuk
menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi
evaluator. Kriteria-kriteria yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan
berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho menjelaskan
bahwasannya evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya
mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dapat dicapai melalui tindakan publik. William N. Dunn mengemukakan
beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi
kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan terdiri atas :
a) Efektifitas (effectiveness). Berkenaan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan. Efektifitas, yang secara dekat berhubungan
dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan
atau nilai moneternya.
b) Efisiensi (efficiency). Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan
untuk menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi yang

16
merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi adalah merupakan
hubungan antara efektifitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur
dari ongkos moneter.
c) Kecukupan (adequacy). Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan menumbuhkan
adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya
hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
d) Perataan (equity). Erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial
dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-
kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi
pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya (misalnya, unit
pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha (misalnya biaya moneter)
secara adil didistribusikan. Kebijakan yang dirancang untuk
mendistribusikan pendapatan, kesempatan pendidikan, atau pelayanan
pendidikan kadang-kadang didistribusikan atas dasar kriteria kesamaan.
Kriteria kesamaan erat berhubungan dengan konsepsi yang saling
bersaing, yaitu keadilan atau kewajaran dan terhadap konflik etis sekitar
dasar yang memadai untuk mendistribusikan risoris masyarakat.
e) Responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-
kelompok masyarakat tertentu. kriteria responsivitas adalah penting
karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya
efektifitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan masih gagal jika belum
menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya
diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
f) Ketepatan (appropriateness). Kriterian ketepatan secara dekat
berhubungan dengan rasionalitas, substantif, karena pertanyaan tentang
ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu
tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk
pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi
yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.

Sejalan dengan kriteria rekomendasi kebijakan tersebut, Dunn


mengemukakan kriteria evaluasi kebijakan antara lain :

17
Tabel 2.1 Kriteria Evaluasi Kebijakan

Tipe Kriteria Pertanyaan


Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Efisiensi Seberapa banyak usaha yang diperluka untuk
mencapai hasil yang diinginkan?
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang
diinginkan memecahkan masalah?
Perataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan
dengan merata kepada kelompok-kelompok
yang berbeda?
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan
kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-
kelompok tertentu?
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan
benar-benar berguna atau bernilai?
Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua,
Yogyakarta; Gadjah Mada University Press Hal. 610

2.1.3 Kebijakan Pengelolaan Pasar


2.1.3.1 Definisi Pasar
Pasar merupakan suatu lapangan atau pelataran yang sebagian beratap
atau sebagian terbuka,seluruhnya terbuka atau tertutup yang sesuai berdasarkan
peraturan dan ketentuan pemerintah setempat. Menurut Umar (2005), pasar
merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, atau saling bertemunya
antara kekuatan permintaan dan penawaran untuk membentuk suatu harga. Secara
fisik pasar merupakan pemusatan beberapa pedagang tetap yang selanjutnya para
pedagang tersebut menempati bangunan-bangunan. Sedangkan secara fungsional,
pasar adalah suatu tempat dimana terjadi proses tukar menukar dan proses itu
berlangsung bila sejumlah penjual dan pembeli bertemu satu sama lainnya yang
kemudian sepakat untuk memindah tangankan barang-barang yang
diperjualbelikan kepada pembeli yang dinyatakan dengan bentuk transaksi.
Secara ekonomi, pasar merupakan sebagai pusat sosial ekonomi suatu
lingkungan, dimana penduduk dapat memenuhi kebutuhannya terutama
kebutuhan barang-barang pokok sehari-hari atau kebutuhan jasa-jasa dalam
bentuk eceran, sedangkan pengertian dari sudut pelayanannya pasar merupakan
sarana umum yang ditempatkan oleh pemerintah sebagai tempat transaksi jual
beli umum dimana pedagang secara teratur dan langsung memperdagangkan

18
barang dan jasa dengan mengutamakan adanya barang-barang kebutuhan sehari-
hari.
Pasar merupakan sebuah perwujudan kegiatan ekonomi yang telah
melembaga serta tempat bertemunya antara produsen (pedagang) dan konsumen.
(pembeli) untuk melaksanakan transaksi dimana proses jual beli terbentuk yang
menurut kelas mutu pelayanan menjadi pasar tradisional dan pasar modern, dan
menurut pendistribusiannya dapat digolongkan menjadi pasar eceran dan pasar
perkulakan/ grosir (Yogi, 2000). Jika dilihat dari jenis usahanya, maka pasar di
Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis usaha, yaitu minimarket, supermarket,
hypermarket, toko dengan sistem pembayaran cash and carry, toko kecil dengan
layanan penuh dan pasar tradisional.

2.1.3.2 Pasar Tradisional


Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh
pemerintah, swasta, koperasi, atau swadaya masyarakat dengan tempat usaha
berupa toko, kios atau los dan tenda, yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang
kecil dan menengah dan koperasi, dengan usaha skala kecil dan modal kecil
dengan proses jual beli melalui tawar menawar.
Menurut Yamato (2011) dalam blognya, kelebihan dan kelemahan pasar
tradisional adalah sebagai berikut:
a) Pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing
alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern.
Biasanya lokasi dari pasar tradisional ini strategis, area penjualan yang
luas, keragaman barang yang lengkap, memiliki harga yang rendah, serta
sistem tawar menawar yang menunjukkan sikap keakraban antara
penjual dan pembeli merupakan keunggulan tersendiri yang dimiliki
pasar tradisional. Sisi kekeluargaan inilah yang menjadi salah satu
pemandangan yang indah kala berada di pasar
b) Pasar tradisional memiliki kelemahan yang sangat urgen ialah pada
kumuh dan kotornya lokasi pasar. Bukan hanya itu saja, banyaknya
produk yang mayoritas diperjualbelikan oleh oknum pedagang yang
tidak bertanggung jawab dengan menggunakan bahan kimia yang tak
seharusnya dipakai, dan praktek seperti itu marak sekali terjadi di pasar
tradisional. Bukan hanya itu saja, kurang menariknya kemasan produk di

19
pasar tradisional juga yang membuat kurang dilirik konsumen, bahkan
makin hari bukannya semakin bagus akan tetapi malah semakin
memburuk kondisinya. Dan jelas hal seperti itu cukup membahayakan
keberadaan pasar tradisional.

2.1.3.3 Permasalahan Utama Pasar


Pasar sebagai suatu infrastruktur publik yang disediakan oleh pemerintah
tentunya memiliki berbagai permasalahan yang perlu diselesaikan oleh pengelola.
Beberapa permasalahan utama pasar yang berasal dari Zumrotin, 2002:
a) Pengelolaan : Ketidakmampuan dalam mengelola pasar tradisional untuk
menciptakan pasar yang bersih, aman, nyaman, serta tidak adanya upaya
untuk melakukan pembinaan kepada para pedagang untuk berpraktek
dagang yang sehat dan jujur akan menyebabkan konsumen enggan
berbelanja dipasar tradisional. Selain itu pasar yang becek, berbau tidak
sedap, tidak aman/ rawan keamanan, dan praktek dagang yang tidak
sehat akan menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan konsumen
sehingga mereka lebih baik meninggalkan pasar tradisional karena
memiliki resiko tinggi
b) Tata Ruang dan Lokasi : Masalah timbul dari operasional tata ruang,
lokasi dan masih tersdianya tempat usaha yang tidak produktif.
c) Pola Pembangunan dan Pendanaan : Selama ini pemerintah melakukan
sistem pengadaan atau penyediaan pasar khususnya pasar tradisional
sebagai salah satu infrastruktur, yaitu dengan melakukan pembangunan
fisik pasar yang belum ada wujudnya, dimulai dengan penyediaan lahan
sampai berdirinya bangunan pasar yang dioperasikan (Thamrin, 2000:
134). Keterbatasan dan tantangan yang dihadapi oleh Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) sebagai pengelola pasar tradisional (Undang-undang
No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) saat ini adalah adanya
kebijakan regulasi di bidang dunia usaha nasional yang mulai
menitikberatkan pada usaha perekonomian rakyat.Situasi pasar yang
lebih bebas dengan tingkat kepuasan konsumen terhadap kualitas dan
kuantitas menghasilkan produk yang lebih tinggi. Kurang dan
terbatasnya modal yang diperlukan oleh perusahaan untuk operasional
dan pemeliharaan perusahaan, dan rendahnya hasil usaha,

20
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan pengembangan investasi,
kurangnya profesionalisme, transparansi, dan pengawasan dalam
manajemen pengelolaan perusahaan serta banyaknya BUMD yang
mengalami kesulitan keuangan (Subowo, 2002).

Pengembangan penyediaan prasarana yang efisien melalui keterlibatan


pihak swasta tidak lain karena untuk memenuhi keinginan masyarakat, artinya
tidak saja efisien dan ekonomis tetapi juga harus memiliki dimensi sosial.
Keterlibatan swasta dalam sektor prasarana dikarenakan hal-hal sebagai berikut
(Darrin dan Mervin, 2001: 56)

a) Keterbatasan pemerintah dalam membiayai pembangunan infrastruktur,


di satu sisi disebabkan oleh keterbatasan teknologi, daya dan dana.
Sedangkan di pihak lain kebutuhan akan infrastruktur semakin
mendesak.
b) Partisipasi pembangunan berdasarkan keinginan masyarakat
(Community Driven Development) melalui pembagian resiko yang
sebelumnya menjaditanggungjawab pemerintah, didistribusikan kepada
pihak swasta.
c) Motivasi profit dari pihak swasta akan mendorong organisasi yang
dikelola menjadi lebih efisien, transparan dan kompetitif.
d) Capacity Building
e) Kebijakan pemerintah, diantaranya adalah terdapatnya peraturan
perundangundangan yang mengatur mengenai perusahaan daerah yang
masih berlaku hingga saat ini adalah undang-undang No 5 tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dalam rangka melakukan usaha


Perusahaan Daerah mengenai Bisnis Birokrasi yaitu kebijakan pengembangan
sangat ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai pihak yang mewakili daerah
sebagai pemilik Perusahan Daerah.Pada masa itu direksi dan mayoritas pegawai
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari birokrasi pemerintahan
daerah.Sehingga dalam prakteknya pengelolaan mirip dengan pengelolaan
lembaga birokrasi.Akibatnya dalam banyak kasus, manajemen kurang memiliki
independensi dan fleksibilitas inovasi usaha guna mencapai tujuan organisasinya

21
(Subowo, 2002). Pengaturan misi Perusahaan Daerah secara luas yaitu memberi
jasa, menyelenggarakan kepentingan umum, dan memupuk pendapatan tanpa
melihat apakah usaha Perusahaan Daerah tersebut sesungguhnya merupakan
bidang komersial atau bukan. Keberadaan Perusahaan Daerah berorientasi ganda
yaitu public sevice oriented dalam rangka menyelenggarakan kemanfaatan umum
dan profit oriented dalam rangka memupuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan
tetapi jika dilihat secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip koperasi,
publicmission dan profit hal tersebut merupakan dua sisi yang sangat sulit untuk
disatukan.Menurut Davey adalah Bagaimana Perusahaan daerah
memaksimumkan keuntungan tanpa mengorbankan layanan terhadap masyarakat,
terutama kelas bawah dan menengah (Davey, 1983).

2.1.3.4 Manajemen Pasar (Pengelolaan Pasar)


Manajemen berasal dari kata to manage yang mempunyai arti mengatur.
Pada hakikatnya manajemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan
yang diinginkan. Untuk dapat mengatur kegitan yang berlangsung maka harus
terdapat unsur-unsur manajemen yang menunjang proses kegiatan tersebut yaitu :
manusia, uang, metode, material, mesin dan pasar. Keenam unsur tersebut perlu
diatur agar lebih berdaya guna, berhasil guna, terintegrasi dan terkoordinasi
dalam mencapai tujuan yang dinginkan (Hasibuan, 1996). Adapun pengertian
umum manajemen adalah pendayagunaan sumberdaya manusia dengan cara yang
paling baik agar dapat mencapai rencana-rencana dan sasaran perusahaan
(Madura, 2001). Manajemen pasar merupakan proses pengaturan kegiatan
perdagangan yang berlangsung dipasar dengan sumber daya meliputi pedagang,
tempat usaha dan pengorganisasiannya. Serangkaian aktivitas yang dilakukan
dalam fungsifungsi manajemen pasar merupakan sebuah proses manajemen.
Untuk melaksanakan manajemen tersebut maka diperlukan adanya manajer yang
dalam pelaksanaan tugas kegiatan serta kepemimpinannya harus melakukan
tahap-tahap seperti dibawah ini :
1. Perencanaan adalah suatu proses penentuan tujuan dan pedoman
pelaksanaan dengan memilih alternatif yang terbaik dan beberapa
perencanaan yang ada.
2. Pengorganisasian adalah suatu proses penentuan, pengelompokan, dan
pengaturan bermacam macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai

22
tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitasnya masing-
masing, menyediakan alat-alat yang diperlukan, dan menetapkan
wewenang secara relatif untuk kemudian didelegasikan kepada setiap
individu yang melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.
3. Pengarahan, adalah mengarahkan semua bawahan agar mau bekerjasama
secara aktif untuk mencapai tujuan. Tujuan dan pengarahan untuk
membuat semua anggota kelompok mau bekerjasama dan bekerja secara
ikhlas untuk mencapai tujuan dengan perencanaan dan usaha-usaha
pengorganisasian.
4. Pengendalian, adalah proses pengaturan berbagai faktor dalam suatu
perusahaan, agar sesuai dengan ketetapan-ketetapan dalam rencana.
Tujuan untuk mengukur dan memperbaiki kinerja bawahan, apakah
sudah sesuai dengan rencana sebelumnya atau tidak.

Pengelolaan pasar salah satunya melalui Kegiatan perdagangan di pasar


merupakan suatu kegiatan ekonomi pasar, seperti yang digambarkan oleh Geertz
(1969), yaitu suatu perekonomian dimana arus total perdagangan terpecah-pecah
menjadi transaksi-transaksi orang ke orang yang masing-masing tidak ada
hubunganya yang mana jumlahnya sangat besar, sangat berbeda dengan ekonomi
barat yang berpusatkan firma, dimana perdagangan dan industri dilakukan melalui
serangkaian pranata sosial yang tidak bersifat pribadi, yang mengorganisasikan
berbagai pekerjaan yang bertalian dengan tujuan-tujuan produksi dan distribusi
tertentu, maka ekonomi jenis ini adalah berdasarkan pada kegiatan yang
independen dan pedagang terpacu untuk bersaing secara sehat antara satu dengan
lainnya (Nas, 1986).
Pedagang yang menempati kios dianggap telah masuk kedalam sector
formal karena telah menjadi pedagang yang tetap di pasar. Pedagang tetap ini
merupakan kelompok pedagang yang telah mapan di kota, yang berusaha
mengorganisasikan kegiatan mereka dengan lebih sistematis dengan modal usaha
yang besar seperti yang dahulu pernah dilakukan oleh orang tua mereka.
Sedangkan pedagang yang tidak menempati kios menjadi sektor informal atau
yang lebih dikenal dengan pedagang kaki lima (PKL) atau pedagang pengecer,
hanya menggunakan jalan masuk dan wilayah sekitar pasar sebagai tempat
menggelar dagangannya. Jenis kegiatan usahanya cenderung berkelompok sesuai

23
dengan ciri-ciri khas daerah atau suku bangsa mereka. Barang dagangan mereka
peroleh dari juragan atau tokoh yang menjadi patron bagi pedagang kaki lima
sekaligus menyewakan peralatan jualan yang berupa gerobak ataupun meja
gelaran. Mengingat Pasar Tradisional memiliki peranan yang sangat strategis,
selain akan menciptakan lapangan kerja juga akan menumbuhkan dunia usaha dan
kewiraswastaan baru dalam jumlah banyak sehingga kelompok ini mempunyai
keterkaitan dengan sektor industri dan jasa lainnya. Dalam kegiatan inilah
membangun pasar tradisional menjadi perlu dilakukan.
Pembinaan dan penataan melalui uluran tangan pemerintah secara terus
menerus perlu dilakukan.Dengan demikian, diharapkan karena peranannya maka
pasar tradisional dapat menumbuhkan tata perdagangan yang lebih mantap, lancar,
efektif, efisien dan berkelanjutan dalam satu mata rantai perdagangan nasional
yang kokoh (Yogi, 2000).

2.1.3.5 Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pasar


Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melihat definisi pemerintahan
daerah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka yang dimaksud
pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah otonom oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dan unsur
penyelenggara pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan
perangkat daerah.
Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang besar untuk
merencanakan, merumuskan, melaksanakan, serta mengevaluasi kebijakan dan
program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat
(Agustino, 2008: 1). Sekarang Pemerintah daerah tidak lagi sekedar sebagai
pelaksana operasional kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan dan ditentukan
oleh pusat, tetapi lebih dari itu diharapkan dapat menjadi agen penggerak
pembangunan di tingkat daerah atau lokal.

24
Dalam upaya melakukan pengelolaan terhadap pasar tradisional ada ada
di kota kayuagung maka ditetapkalah sebuah peraturan yang dituangkan kedalam
peraturan daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 9 Tahun 2007 tentang
perubahan atas peraturan daerah kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 29 Tahun
2002 tentang pengelolaan pasar dan penetapan retribusi fasilitas pasar pada
shopping centre Kayuagung dan sekitarnya. Sehingga dapat terciptanya efisiensi
dan efektivitas terhadap pengelolaan pasar tersebut.
Sejalan dengan telah dilakukannya pelaksanaan terhadap peraturan
daerah tersebut, maka perlulah dilakukan penilaian terhadap kinerja pelaksanaan
Perda tersebut atau evaluasi terhadap pengelolaan Pasar di Kota Kayuagung.

2.2 Kerangka Pemikiran


Evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan pasar tradisional melalui Perda Kota
Kayuagung tahun 2007 menjelaskan berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam
kerangka untuk meningkatkan kualitas pengelolaan pasar tradisional. Di samping itu
tujuan dari evaluasi terhadap kebijakan ini adalah untuk dapat menjelaskan tentang
faktor yang menjadi kendala dalam mengelola pasar yang baik, serta mengetahui apakah
Perda tersebut telah berjalan secara optimal atau belum.

Dalam melakukan evaluasi dapat dilihat melalui model evaluasi yang digunakan,
yaitu model evaluasi menurut William N. Dunn yang memiliki beberapa indikator
penilaian. Untuk mempermudah pemahaman tentang konsep penelitian ini, maka dapat
dilihat pada bagan di bawah ini :

25
Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 9 Tahun
2007 Tentang Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Ogan Komering Ilir Nomor 29 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan
Pasar Dan Penetapan Retribusi Fasilitas Pasar Pada Shopping Centre
Kayuagung Dan Sekitarnya

Evaluasi Kebijakan Publik Menurut William N. Dunn (2012: 729)

6. Efektivitas

4. Efisiensi
F
E
E
D
5. Kecukupan
B
A
C
K 3. Pemerataan

2. Responsibilitas

1. Ketepatan

Hasil Penelitian

Mengevaluasi Terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam


Melakukan Pengelolaan Pasar Tradisional Berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 9
Tahun 2007

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

26
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Aspek Penelitian


Pengelolaan adalah pemanfaatan sumber daya manusia ataupun sumber daya
lainnya, yang dapat terwujud dalam kegitan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan
dan pengawasan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (George R. Terry, 2000:13)
a) Perencanaaan adalah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk
dilaksanakan pada suatau periode tertentu dalam rangka tujuan yang ditetapkan.
b) Pengorganisasian adalah proses membagi kerja kedalam tugas-tugas ynag lebih
kecil, membebankan tugas-tugas itu kepada orang yang sesuai dengan
kemampuanya, dan mengalokasikan sumber daya, serta msngkoordinasikannya
dalam rangka efektivitas pencapaian tujuan organisasi.
c) Pengarahan adalah suatu fungsi kepemimpinan manajer untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi kerja secara maksimal serta menciptakan lingkungan kerja
yang sehat, dinamis, dan lain sebagainya
d) Pengawasan adalah proses pengamatan, penentuan standar yang akan dicapai,
menilai pelaksanaan, dan jika perlu mengambil tindakan korektif sehingga
pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya.

3.2 Fokus Penelitian


Menurut Maleong (1989), Penetapan fokus dimaksudkan untuk membatasi obyek
yang diteliti sehingga fokus benar-benar dapat diamati dan dianalisa secara cermat.
Sebagaimana yang digambarkan dalam perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
fokus penelitian ini adalah.
1. Evaluasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Melakukan Pengelolaan Pasar Pada
Shopping Centre Kota Kayuagung.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan mendukung dalam proses pelaksanaan
untuk mengetahui bagaimana Evaluasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam
Melakukan Pengelolaan Pasar dalam Studi Di Shopping Centre Kota Kayuagung.

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskripsi kualitatif karena


untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dan komprehensif serta mendalam

27
mengenai sistem dan mekanisme yang digunakan dalam evaluasi Kebijakan Pemerintah
Daerah Dalam Melakukan Pengelolaan dan Penataan Pasar Dalam Studi Di Shopping
Centre Kota Kayuagung. Menurut Miles dan Huberman bahwa data kualitatif adalah
merupakan sumber dari data deskriptif yang luas dan mempunyai landasan yang kokoh.
Memuat penyelarasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkungansetempat,
dapat menjelaskan dan memahami alur pristiwa secara kronologis,dapat menilai sebab
akibat, memperoleh penjelasan yang banyak danbermanfaat, lebih condong dapat
membimbing kita untuk memperolehpenemuan-penemuan yang tidak didugah
sebelumnya dan membentuk teori yang baru.

3.3 Lokasi Penelitian


Peneliti memilih secara sengaja lokasi penelitian di Kabupaten Ogan Komering Iling,
dengan pertimbangan bahwa :
1. Berdasarkan fenomena yang ada bahwasanya evaluasi kebijakan pemerintah
daerah dalam melakukan pengelolaan yang pertanggungjawaban kegiatannya
kurang sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
2. Badan Pengelolaan Pasar dan Kebersihan Kota Kayuagung dalam kinerja dan
pelaksanaannya kurang optimal pada saat melakukan kegiatan implementasi
kebijakan pemerintah dalam melakukan pengelolaan pasar tradisional di tempat
yang diteliti yaitu kota Kayuagung Kecamatan Ogan Komering Ilir.
3. Kota Kayuagung Kecamatan Ogan Komering Ilir merupakan wilayah tempat
penelitian yang cukup mudah dijangkau dari segi waktu maupun biayah oleh pihak
peneliti sehingga memudahkan mendapatkan data berkaitan dengan evaluasi
kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan pasar tradisional.

3.4 Informan
Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar - benar tahu dan
menguasai masalah, serta terlibat langsung dengan masalah penelitian. Dengan
mengunakan metode penelitian kualitatif, maka peneliti sangat erat kaitannya dengan
faktor - faktor kontekstual, jadi dalam hal ini sampling dijaring sebanyak mungkin
informasi dari berbagai sumber. Maksud kedua dari informan adalah untuk mengali
informasi yang menjadi dasar dan rancangan teori yang dibangun. Informan merupakan
seseorang yang dapat memberikan sumber informasi berhubungan dengan pengelolaan
pasar tradisional, serta seseorang yang terkait dalam proses pelaksanaan kebijakan dari

28
pemerintah daerah kota Kayuagung sehingga dapat dilihat apakah kinerja dari
pelaksanaan kebijakan tersebut telah optimal atau belum, sehingga dapat dijelaskan
bagaimana evaluasi terhadap kebijakan pemerintah dalam melakukan pengelolaan pasar
di shopping centre kota Kayuagung.

3.5 Teknik Penentuan Informan


Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah berdasarkan
pada asas subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data, dan bersedia
memberikan imformasi lengkap dan akurat. Informan yang bertindak sebagai sumber
data dan informasi harus memenuhi syarat, yang akan menjadi informan narasumber
(key informan) dalam penelitian ini adalah pejabat pemerintah terkait pengelolaan pasar,
pejabat/aparat yang terkait dengan perindutrian dan perdagangan serta dinas terkait yang
ada di kota Kayuagung.
Penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah informan, tetapi bisa tergantung dari
tepat tidaknya pemilihan informan, dan komplesitas dari keragaman fenomena sosial
yang diteliti. Dengan demikian, informan ditentukan dengan teknik snowball sampling,
yakni proses penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa menentukan
jumlahnya secara pasti dengan menggali informasi terkait topik penelitian yang
diperlukan. Pencarian informan akan dihentikan setelah informasi penelitian dianggap
sudah memadai. Adapun kriteria - kriteria penentuan Informan Kunci (key informan)
yang tepat, dalam pemberian informasi dan data yang tepat dan akurat mengenai
kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan pasar tradisional pada
shopping centre kota Kayuagung, adalah sebagai berikut:
1. Kepala Bidang Dinas Perdagangan Dan Pengelolaan Pasar Kota Kayuagung
2. Kepala Bidang Dinas Perhubungan Kota Kayuagung
3. Para Pedagang Pasar Tradisional Kota Kayuagung
4. Masyarakat Di Lingkungan Pasar Kota Kayuagung Tersebut.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Data merupakan bagian penting dalam penelitian, karena hasil penelitian kemudian
dianalisa dengan kajian-kajian yang berhubungan dengan penelitian. Dalam penelitian
kualitatif, pengumpulan data diperlukan untuk memudahkan teknik prosedur
pengumpulan data dilapangan. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah:

29
1. Observasi
Observasi (Djaman Satori, 2011:128) diartikan sebagai kegiatan pengumpulan
data yang diperlukan untuk menghimpun data penelitian melalui pengumpulan dan
pengindraan. Observasi yang dilakukan peneliti adalah memperhatikan hubungan
baik antara peneliti dengan informan, agar informan dapat menerima peneliti tanpa
harus di curigai, karena hai itu menjadi hambatan utama terhadap keberhasilan
Observasi, maka kesadaran diri (self awareness) peneliti digunakan dalam
mengendalikan semua keterbatasan ini. Dalam observasi disini data yang di
gunakan adalah data primer yakni melalui kata-kata dan tindakan yang telah
diamati.
2. Wawancara
Dalam penelitian kualitatif kata-kata dan tindakan yang utama untuk itu
wawancara sangat penting dalam penelitian ini. Metode mengajukan pertanyaan
secara langsung dengan informan yang memberi penjelasan pendapat,sikap dan
keyakinantentang hal-hal yang relevan dalam penelitian. Wawancara (Sugiono,
2010:72) adalah percakapan dengan maksut tertentu, dan dilakukan oleh dua pihak
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancra (informan) memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam
wawancara peran informan tetap menjadi sentral walaupun keadaan informan
berganti-ganti. Tugas peneliti (pewawancara) adalah tetap menjaga agar peran
informan dapat berfungsi sebagaimana peranya dalam proses sosial yang
sebenarnya. Pengajuaan pertanyaan kepada informan berdasarkan indikator
variabel penelitian yang telah ditentukan dan pola wawancara dilakukan secara
terstruktur.
3. Dokumentasi
Model ini dilakukan dengan cara mengamati, mencatat atau mencopi dokumen-
dokumen, bahan panduan / arsip-arsip maupun data lain yang terkait dengan yang
diteliti. Cara ini digunakan dengan maksud untuk memperoleh data sekunder yang
berhubungan dengan fokus penelitian dan untuk menambah kelengkapan dalam
menganalisis data peneliti. Dokumen merupakan data sekunder yang berdasarkan
data yang terkumpul meliputi: dokumen perda atau peraturan daerah di kota
Kayuagung dalam pengelolaan dan penataan pasar tradisonal.

30
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengelola data penelitian yang
telah dikumpulkan melalui pengamatan lansung, wawancara mendalam, dokumen-
dokumen pendukung, kemudian diolah sesuai dengan permasalahan yang diangkat,
dalam beberapa tahapan tahapan sebagai berikut :

1. Mengorganisasikan Data
Data yang dikumpulkan dari subjek melalui hasil wawancara mendalam (depth
inteviwer) dilapangan, dibuatkan transkripinterview dengan mengubah hasil
wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim, untuk
dianalisis selanjutnya.
2. Klasifikasi Dan Kategori Data
Hasil transkrip data interview diberi kode, dikelompokan berdasarkan kategori
tema dan pola jawabankemudian disusun dalam kerangka analisis yang dibuatkan
atau disiapkan.
3. Menguji Asumsi
Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut
terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini, sehingga dapat
dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai.
Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesis tertentu, namun dari landasan
teori dapat dibuat asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep yang ada.

3.7 Teknik Analisis


Analisa adalah penyerdahanaan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. (Gibson, 1989:167) Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan
mulai sejak awal sampai sepanjang proses penelitian berlangsung, hal ini dimaksudkan
muncul implikasi teoritik berupa proposisi-proposisi sebagai hasil analisis interaktif yang
dikemukakan oleh miles dan huberman. (Miles dan Hubeman, 1992:248) model ini
menganjurkan agar penelitian dalam melakukan kegiatan pengumpulan data, baik selama
proses pengumpulan databerlangsung, maupun saat pengumpulan data selesai,tetap
mempertimbangkan tiga komponen analisais yaitu:
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian dalam
penyederhanaan, pengabstrakan dan trasformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertululis di lapangan. Reduksi data atau proses trasformasi ini

31
berlanjut terus menerus sesudah penelitian sampai laporan akhir lengkap tersusun.
Oleh sebab itu reduksi data merupakan suatu bentuk data analisis yang menajam,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisir
data sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diferifikasih.
Dengan reduksi data maka penelitian kualitatif dapat disederhanakan
ditransformasi dalam beragam cara.
2. Penyajian Data
Penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan dengan
menyerdahanakan informasi kedalam suatu kesatuan bentuk konfigurasi yang
mudah dipahami, sehingga peneliti tidak terjebak dan tidak tergelincirkedalam
pengambilan keputusan yang ceroboh dan gegabah. Pada penelitian ini penyajian
data diwujudkan dalam bentuk tabel atau grafik, dengan demikian dapat
memperoleh gambaran yang jelas tentang bagaimana prosedur penataan izin usaha
pasar moderen dan tradisional.
3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Penarikan kesimpulan merupakan konfigurasi utuh selama penelitian berlangsung
sedangkan verifikasih merupakan kegiatan pemikiran kembali yang melintas dalam
pemikiran peneliti selama pencatatan berlangsung atau peninjauan kembali catatan
yang diperoleh selama dilapangan. Peneliti berusaha untuk menganalisis dan
mencari makna dari yang telah dikumpulkan melalui pencarian pola, tema
hubungan persamaan, hal-hal sering timbul dan lain sebagainya, yang dituangkan
dalam kesimpulan yang bersifat tentatif.
Gambar 3.1
Model Analisis Interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberma

Pengumpulan data Penyajian Data

Reduksi data Penarikan Simpulan dan


Verivikasi

Sumber:Miles Dan Huberman, Metode penelitian kualitatif

32
DAFTAR PUSTAKA

Afifuddin, dkk. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia

Indiahono, Dwiyanto.2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys. Jogyakarta:


Gava Media

Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2007

Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 9 Tahun 2007

33

Anda mungkin juga menyukai