Anda di halaman 1dari 9

PPKn

Judul
KONFLIK JAMBI
(bisa juga terjadi di kota kita)
Dosen : Ir. Sukarnen, MT
Mahasiswa : Moh. Yusuf Efendi
NPM : 04.2014.1.02723
A. PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara dengan penduduk terbesar dengan keanekaragamannya


mulai dari agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta kesenjangan sosial. Ini adalah
Karunia Tuhan yang tak terhingga kepada Negara Indonesia. Termasuk kekayaan alamnya
yang melimpah ruah. Penulis mengambil contoh yang pernah terjadi yaitu di Jambi dan kasus
inipun bisa saja terjadi di Kota kita. Sejak tahun 1999 Provinsi Jambi memiliki 9 kabupaten
dan 1 kota, dari sebelumnya 5 kabupaten dan 1 kota. Kemudian pada tahun 2010, Kabupaten
Kerinci dimekarkan menjadi kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, hingga saat ini
Provinsi Jambi memiliki 9 Kabupaten dan 2 Kota. Pemekaran Kabupaten ini selaras dengan
semangat penerapan UU Otonomi Daerah nomor 22 tahun 1999, yg di revisi kembali menjadi
UU No 32 tahun 2004, dimana daerah Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonomi memiliki
kewenangan untuk membangun dalam upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan
rakyat. Pelaksanaan otonomi daerah satu sisi membawa keuntungan bagi daerah Kabupaten,
karena semakin memperpendek rentang kendali (speed of control) pemerintah sebagai
pemegang otoritas, dan rakyat sebagai obyek pembangunan.
A. AKAR PERMASALAHAN
Namun tidak bisa di tutupi, keragaman agama, suku, budaya, kesenjangan sosial,
persoalan kepemilikan lahan dan terbatasnya akses ke sumber-sumber ekonomi memiliki
potensi terjadinya konflik. Hal ini terbukti dengan banyak kasus kekerasan dan konflik yang
terjadi di berbagai pelosok kabupaten di Provinsi Jambi. Kekerasan ini sangat variatif, baik
atas nama ketidak-adilan, atas nama adat, atas nama agama dan terutama atas nama
pembelaan atas hak tanah, dan ini merupakan realitas empiris dalam 2 dekade terakhir ini.
Provinsi Jambi yang di kenal sebagai kawasan yang menjunjung tinggi harmoni sosial dan
toleran tehadap perbedaan, seakan mulai menyemai bibit konflik, dan menandai mulai
memudarnya kohesi dan relasi sosial di tengah masyarakat. Ketika relasi sosial antar warga
merenggang, maka yang terjadi adalah konflik dan kekerasan dengan berbagai dalih dan
apologis. Selanjutnya sikap toleransi berganti dengan sikap intoleran terhadap pihak pihak yg
di anggap merugikan , merampas dan menodai agama dan budaya, ini bisa saja terjadi di
lingkungan kita sendiri. Pertanyaan yang harus kita jawab adalah, bagaimana cara menyikapi
agar benih konflik yang potensial di berbagai pelosok negeri ini tidak meledak dalam skala
yang besar.
A.2 ELEMEN-ELEMEN YANG TERLIBAT
Di sisi lain otonomi daerah juga membawa banyak problem yang sebagian besar
menimbulkan sengketa, baik antar warga, antar warga dengan pemerintah, dan antar
warga dengan para pemilik modal (investor) yang menanamkan modalnya diberbagai
sektor, terutama sengketa lahan perkebunan dan pertambangan. Masyarakat Provinsi Jambi
selama ini di kenal sebagai masyarakat yang sangat menjaga terwujudnya harmoni dalam
jalinan relasi sosial, di samping sangat toleran dalam melihat perbedaan suku, agama dan
budaya. Hal ini banyak tercermin dalam berbagai pepatah adat jambi, seperti yang dijelaskan
Kemas Arsyad Somad, dalam buku Mengenal Adat Jambi Dalam Perspektif Modern (2002 :
190), yang berbunyi dimano bumi di pijak, di situ langit di junjung, dimano temilang di cacak,
di situ tanaman tumbuh, di mano ranting patah, di situ tembikar tinggal. Pepatah ini
mengandung arti, bila warga yang heterogen mampu beradaptasi dengan adat istiadat yang
berlaku, maka ia menjadi bagian yang integral bagi warga setempat. Disampaikan pada
dialog intern umat beragama seProvinsi Jambi Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jambi,
Shang Ratu Hotel 30 Juni 2012.

B. KAJIAN TEORI
Emory S. Borgadus (1954 : 527) menjelaskan bahwa konflik adalah bentuk kompetisi
yg mana disana ada intensifikasi perhatian dan usaha, Konflik ini lebih menonjolkan bentuk
interaksi perselisihan dari kekuatan sosial.
Sedangkan menurut Phil S.Sutanto (1989 :122) konflik mempunyai hubungan dengan
proses integrasi. Hubungan ini disebabkan karena proses integrasi adalah proses
disorganisasi.
Soerjono Soekanto (1986) mendefenisikan konflik sebagai proses sosial di mana
orang perorang atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan
menantang pihak lain dengan ancaman atau kekerasan.
Sementara croser (1959: 49) membedakan konflik dalam dua hal, konflik yang realistik
dan tidak realistik. Konflik yang realistik berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan khusus
yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan
yang ditunjukkan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik yang tidak
realsitik adalah konflik yang berasal dari tujuan tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari
kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.

Dalam perspektif yang lebih luas, Horowitz ( 1985 143) ada tiga masalah pokok :
Pertama : Garis pembatas suku bangsa di masa lalu yang masih potensial bagi
munculnya konflik, misalnya agama, budaya, bahasa dan afiliasi politik.
Kedua : Bentuk-bentuk konflik baru karena beberapa faktor, misalnya antara
mayoritas dan minoritas, konflik karena kebutuhan akan penghargaan
(prestige), penghormatan (respecft), hak-hak sebagai warga negara (civil
right), kekuasaan politik (political power), dan terbatasnya akses ke sumber
sumber ekonomi ( acces to economic opportunity).
Ketiga : Faktor Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang
memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi,
adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam
lingkungan pertamanya.
Lewis A Coser sebagaimana yang dikutif Horowitz (1985 : 149), menganalisis bahwa
terjadinya suatu konflik bertitik tolak dari suatu anggapan bahwa apabila terjadi konflik sosial
berkaitan dengan masalah derajat kekakuan suatu lembaga dan system sosial. Apabila suatu
lembaga dan sistem sosial kaku, cenderung menghambat munculnya konflik, namun apabila
muncul konflik, maka akibat yang dimunculkannya cukup keras, malahan menimbulkan
radikalisme.
Apakah suatu konflik berakibat positif dan negatif, tergantung dari :
Pertama : Persoalan yang dipertentangkan itu sendiri
Kedua : Struktur sosial masyarakat yang mengalami konflik. Bila konflik tidak
berlawanan dengan pola hubungan yang telah ditentukan dalam suatu
struktur sosial biasanya berakhir dengan penyesuaian dengan pola-pola yang
berhubungan. Akan tetapi sebaliknya, bila konflik bertentangan dengan pola-
pola hubungan yang telah terbangun dalam struktur sosial yang baku serta
melewati batas batas toleransi biasanya muncul amuk massa dan rusuh.
Dari pembahasan dan analisis aspek teoritis konflik di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa :
Pertama : Konflik adalah bentuk kompetisi, interaksi perselisihan dari kekuatan
sosial.
Kedua : Konflik adalah proses integrasi sekaligus disorganisasi sosial.
Ketiga : Konflik adalah proses mencapai keuntungan dengan melemahkan
orang-orang yang ikut dalam persaingan.
Keempat : Konflik yang realistik dan tidak realstik.
Kelima : Konflik bersumber dari agama, budaya, etnik, bahasa dan afiliasi poltik,
mayoritas dan minoritas, konflik karena kebutuhan akan penghargaan,
hak-hak warga negara, kekuatan politik, karena terbatasnya ke sumber-
sumber ekonomi, yakni kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan terakhir
karena faktor primordialisme
B.1. ANALISIS PERMASALAHAN
Selanjutnya konflik terjadi dan tidak bisa di atasi karena ketidakmampuan dan
melemahnya fungsi-fungsi lembaga-lembaga dan sistem sosial yang ada di masyarakat
yang tidak mampu mewadahi dan mendamaikan berbagai perbedaan pandangan.
Sampai sekarang semua konflik dan sengketa di atas tidak satupun yang diselesaikan, hanya
jeda sesaat, ibarat api makan sekam, dan satu waktu akan meledak kembali. Selama ini pola
penyelesaian lebih kepada pendekatan legal formal dan keamanan tanpa menyentuh
akar masalahnya.
a) Konflik perebutan akses ke sumber-sumber ekonomi dan lapangan kerja
Sejak otonomi daerah berpusat di kabupaten, maka banyak perusahaan raksasa masuk ke
Provinsi Jambi, baik yang bergerak di bidang perkebunan, pertambangan , perhotelan dan
retail.
- Yang menjadi isu hangat adalah masalah rekruitmen tenaga kerja. Satu sisi pertumbuhan
angkatan kerja yang begitu tinggi di setiap kabupaten, tidak diimbangi dengan tersediannya
lapangan kerja. Belum lagi masalah skill para pencari kerja yang tidak memadai untuk kerja di
sektor yang membutuhkan keahlian. Akibatnya banyak angkatan kerja di kabupaten yang
tidak terserap diberbagai perusahaan-perusahaan yang ada. Akibatnya timbul konflik dan
amuk massa antara pencari kerja dengan pihak-pihak perusahaan. Seperti
konflik antara warga kelurahan Sarolangun Kembang dengan perusahaan minyak
BWP dan MERUAP di Sarolagun, dan berbagai konflik lainnya di berbagai kabupaten di
propensi Jambi.
- Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat dalam menindak para penambang emas
tradisional di kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Bungo. Terakhir amuk massa di
tanah tumbuh kabupaten Bungo yang membakar rumah aparat kepolisian sebagai tindakan
protes atas kasus tambang emas tradisional. Dan menjadi rahasia umum setiap Penerimaan
CPNS di setiap daerah, pasti diikuti oleh tindakan perusakan bangunan pemerintah, karena
banyak para pelamar PNS yang gagal ikut lulus tes seleksi. Banyak lagi konflik dan amuk
massa yang tidak terekspose melalui pemberitaan media massa, yang terjadi diberbagai
pelosok negeri Jambi.
Ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, sila ke-2 ( Kemanusiaan yang adil
dan beradab, butir 1-7 )
b) Potensi konflik intern dan antar pemeluk Agama.
(1) . Konflik Intern pemeluk Agama.
Harus di sadari, bahwa kemajuan teknologi informasi dan kemudahan arus transfortasi telah
mempercepat masuknya berbagai faham keagamaan, baik yang bercorak moderat , radikal
maupun fundamental. Perbedaaan faham keagamaan yang menajam diberbagai daerah
seperti di jawa barat, jawa tengah dan Jawa Timur telah menimbulkan konflik, kekerasan dan
pertumpahan darah. Di Provinsi Jambi sendiri, sampai sekarang belum terdeteksi adanya
konflik dan kekerasan atas nama pembelaan faham keagamaan yang berkembang di
masyarakat. Namun bila dilihat gejala-gejala makin berkembangnya faham keagamaan yang
berbeda dengan faham keagamaan yang di anut mayoritas kaum muslim Jambi, sewaktu-
waktu akan muncul pertentangan dan konflik terbuka, sebagai mekanisme mempertahankan
keyakinan masing-masing.
(2) . Konflik antar Pemeluk Agama.
Kita tidak bisa menutupi, bahwa di Provinsi Jambi pernah terjadi, sedang terjadi dan potensial
akan terjadi konflik pemeluk Keristen dengan warga Muslim, yang di latar belakangi masalah
pendirian tempat ibadah. Pertumbuhan penduduk penganut kristiani yang terus berkembang,
dan banyaknya aliran dalam iman keristen, tentu menuntut tersedianya gereja-gereja Baru.
Perbedaan pandangan dalam persoalan pendirian tempat ibadah inilah yang memicu lahirnya
penolakan dan konflik. Hal ini pernah terjadi penolaan pendirian gereja di arolangun pada
tahun 1981, dan terakhir kasus penolakan berdirinya Gereja HKBP di kelurahan Penyegat
Rendah kecamatan Telanai Pura Jambi. Belum lagi potensi konflik yang tersebar di berbagai
daerah , terutama di kawasan transmigrasi, yang berkaitan dengan pendirian tempat ibadah.
Untuk sementara semua potensi itu dapat diredam dengan berbagai pendekatan, namun
semua itu tidak menyelesaikan akar masalah, dan di khawatirkan bila tidak ada titik temu
antara kedua belah pihak, dikhawatirkan akan muncul konflik dan kekerasan antar pemeluk
agama.
(3) Potensi Konflik Antar Etnik
Dari sejarah masa lalu, sampai sekarang, hamper dipastikan belum pernah terjadi konflik
antar etnik/ suku bangsa yag terjadi di Jambi, seperti yang pernah terjadi di sampit,
Kalimantan Barat. Hal ini disebabkan karena masih terjaganya harmoni antara pribumi Jambi
dengan kaum pendatang. Namun kita tidak boleh lengah dan menutup mata, gejala dan
potensi kearah itu sudah mulai ada. Pemicu utama adalah kesenjangan ekonomi antara
Pribumi dengan warga pendatang dikawasan Transmigrasi. Hal ini semakin potensial
karena persaingan politik dalam setiap even politik, isu putra daerah terus mengemuka untuk
mencari simpati pemilih.
Ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, sila pertama dan ke-3
Dari berbagai potensi konflik di atas bila tidak di antipasti dan di kelola dengan
terencana, serta tanpa upaya penyelesaian yang memenang hati semua pihak, akan menjadi
bara api, dan satu akan membakar emosi warga yang secara emosional terlibat di dalam
berbgai potensi konflik tersebut. Kita harus belajar dengan berbagai kejadian konflik dan
amuk massa di berbagai daerah, yang memiliki daya ledak besar, sehingga mempengaruhi
sendi sendi kehidupan bernegara dan berbangsa.
Dari Berbagai kejadian konflik dan amuk massa yang terjadi diberbagai pelosok negeri
Jambi, tercermin kegagalan berbagai lembaga sosial mewadahi dan mencari jalan keluar
serta titik damai antara warga yang terlibat di dalam konflik tersebut. Padahal disetiap
segmen masyarakat dan pemeluk agama, kita memiliki berbagai lembaga sosial yang
berfungsi sebagai perekat kohesi dan relasi sosial antar warga masyarakat, disamping
tersedianya lembaga-lembaga pemerintah yang bertugas melayani warga Negara,
termasuk memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai konflik dan sengketa
yang terjadi.
Persoalan di atas, menimbulkan pertanyaan, kenapa lembaga-lembaga sosial,
organisasi sosial keagamaan dan pemerintah mengalami kemandulan dan
disfungsional dalam upaya-upaya penyelesaian berbagai konflik dan amuk massa di
atas.
Hal ini menandai, bahwa arus perubahan sosial yang begitu cepat terjadi sebagai
dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi , tidak di imbangi oleh perubahan cara,
strategi dan upaya kreatif dari berbagai lembaga lembaga sosial dan organisasi sosial
keagamaan dalam penyelesaian berbagai konflik yang terjadi. Kemandulan dan memudarnya
fungsi organisasi sosial dan organisasi keagamaan ini membuat berbagai organisasi ini
mengalami degradasi kewibawaan dan kehilangan panutan di tengah masyarakat.
Khamami Zada (2008 : 3 ) menjelaskan , Dalam konteks hubungan antar agama di
negeri ini, sikap toleran yang dimiliki rakyat Indonesia sekarang ini sudah berganti menjadi
sikap intoleran, malahan cenderung berganti dengan tindak kekerasan. Hal ini bisa dilihat dari
tiga hal :
Pertama : Hilangnya sikap toleran dikalangan sesama pemeluk agama.
Misalnya: Di kalangan sesama umat Islam tidak terjadi hubungan yang
dialogis dan harmonis, justru yang terlihat adalah adanya kecenderungan
untuk memaksanakan kebenaran agama yang diyakini dengan cara-cara
kekerasan.
Kedua : Hilangnya toleransi dikalangan antar umat beragama, seperti kasus
Ambon dan Poso.
Ketiga : Hilangnya toleransi antara pemeluk agama terhadap kelompok adat
dan kebudayaan masyarakat asli, terutama masyarakat adat yang
terpinggirkan.
Dalam perspektif Air Langga Pribadi (2002 : 43), bahwa wajah agama pada akhirnya
bergerak menurun tajam, dari perekat bangsa kearah pemecah bangsa. Agama yang
pada awal kemerdekaan menjadi sentrum (lem) berubah menjadi desentrum (pisau). Agama
sebagai doktrin yang mendamaikan berubah menjadi ajaran kekerasan.
Begitu juga pemberlakukan UU otonomi daerah sejak 1 januari 2001, alih alih
menyelesaiakan konflik, justru kebanyakan pemerintahan kabupaten melahirkan konflik
baru, terutama perebutan kapling wilayah antara satu kabupaten dengan kabupaten
lainnya, konflik antara warga dengan pemerintah kabupaten yang cederung melindungi
kaum pemodal yang justru menindas masyarakat.
Di samping itu juga, pemberlakuan UU otonomi daerah, justru memberangus
kewibawaan lembaga adat, di mana pada era sebelumnya lembaga adat yang memiliki
kewibawaan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi ditengah masyarakat, sejak struktur
kepengurusannya lebih banyak diisi oleh kalangan birokrat, lembaga adat hanya terjebak
pada ritus dan seremoni, tanpa mampu menjadi lembaga yang mewadahi berbagai
kepentingan dan penyelesaian masalah yang terjadi ditengah masyarakat.
Menurunnya derajat kewibawaan dan ketidak mampuan lembaga-lembaga sosial,
organisasi keagamaan serta kemandulan pemerintah daerah dalam menyelesaikan berbagai
sengketa, menjadi tantangan, bagaimana upaya dan harus ada gagasan baru berkaitan
dengan penyelesaian berbagai konflik yang terjadi ditengah masyarakat.
Gagasan dan pendekatan yang lebih kreatif ini dibutuhkan, agar terwujud Peace Building
(bangunan perdamaian) ditengah masyarakat, sehingga kehidupan warga yang aman,
nyaman damai kembali terwujud.

C. JALAN MENUJU DAMAI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK (SOLUSI)


Berbagai konflik sosial yang meledak dan sudah terjadi, serta potensi konflik yang diduga
akan terjadi yang dilatar belakangi berbagai pemicu, sebagaimana yang sudah di jelaskan di
atas, menggambarkan bahwa kita belum siap hidup dalam dunia yang sangat kompetitif,
penuh dinamika dan perbedaaan (pluralisme). Dunia investasi, kompetisi dan perbedaan
di anggap sebagai ancaman yang harus di waspadai, sehingga membuat kita hidup dalam
pengelompokan dan sekat sekat yang sempit, dan menganggap pihak lain selalu salah dan
sesat. Bila satu kelompok warga berusaha mengartikulasikan dan memperjuangkan hak
miliknya, di anggap sebagai ancaman yang akan mengoyak kapling ekonomi, sosial dan
kapling politik. Potensi konflik akan mudah meledak bila menemukan momentum, terlebih bila
di provokasi kekuatan dari luar.
Pertanyaan yang harus kita diskusikan;
- Apa yang harus kita lakukan untuk meminimalisir terjadinya konflik dan amuk massa
di negeri Jambi ini.
- Bagaimana kita membangun jalan menuju Peace Building (bangunan perdamaian)
sehingga terwujud negeri yang aman, nyaman dan damai yang bukan hanya dalam
slogan, akan tetapi dinikmati di alam nyata.
Beberapa jalan menuju perdamaian tersebut adalah :
Pertama : mengefektifkan kembali institusi pemerintah dan ke arifan lokal seperti
lembaga adat di kampung. Selama ini institusi lokal seperti lembaga adat di
berangus dan di ambil alih oleh birokrat dan dikembalikan kehabitatnya,
disamping itu juga,lembaga adat hanya digunakan dalam ritual dan
seremoni pemberian gelar adat, namun tidak dilibatkan dalam upaya
penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah warga. Untuk itu kedepan
lembaga adat harus di fungsikan dan dilibat dalam upaya
penyelesaiaan konflik dan sengketa antara pihak-pihak terkait,
sehingga lembaga adat benar benar menjalankan fungdinya menjadi
payung kehidupan warga ditingkat kampung.
Kedua : Mengefektifkan kembali kerlibatan tokoh-tokoh kampung yang memiliki
pengaruh dan menjadi panutan warga. Selama ini upaya penyelesaian
konflik hanya bersifat formal, antara pihak pihak yang saling bertikai
dengan mediasi pemerintah yang di ragukan warga tentang sikap
netralnya, padahal masih banyak tokoh informal yang memiliki
pengaruh dan di dengar fatwanya oleh warga.
Ketiga : Perlunya ketegasan dalam penekan hukum secara adil dan tidak
diskriminatif oleh pihak aparat keamanan. Selama ini, warga selalu
curiga, keterlibatan aparat cenderung membela pihak yang memiliki
modal, yang kita kenal penyelesaian belah bambu, satu diinjak yang
lain di angkat. Sikap yang tidak netral dan cenderung diskrimintif justru
menjadi pemicu terjadinya konflik dan mendorong warga main hakim
sendiri.
Keempat : Kenetralan aparatur pemerintah penting di wujudkan. Sebagaimana
aparat kepolisian, kehadiran pemerintah sebagai mediasi sengketa,
juga dicurigai warga punya sikap membela salah satu pihak. Akibatnya,
banyak konflik tidak pernah bias diselesaikan dan menjadi endemik,
dan sewaktu waktu akan meledak kembali.

Kelima : Pemberitaan media massa yang berimbang, tidak memprovokasi salah


satu pihak sehingga menyulut api kemarahan. Media massa harus
terlibat mengkampanyekan perdamaian di tengah warga.

Keragaman kehidupan suku bangsa, dan banyaknya masalah masalah sengketa yang
terjadi, serta semakin menipisnya sikap toleransi di tengah warga, mengharuskan kita untuk
kembali menanamkan mindset yang mengedepankan sikap
toleran dan menghargai perbedaan. Untuk itu sebagaimana pendidikan anti korupsi
yang sudah masuk kedalam kurikulum pendidikan, ada baiknya pendidikan tentang resolusi
konflik dan perdamain juga menjadi mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di berbagai
lembaga pendidikan dan perguruan Tinggi.

Sudah seharusnya di setiap institusi pemerintahan termasuk Kementrian Kantor


Agama meiliki pusat studi resolusi konflik dan perdamaian, yang bertugas mengkaji berbagai
konflik secara lebih mendalam, obyektif dan valid, sehingga rekomendasi yang di berikan
benar benar member jalan benar menuju jalan perdamaian.

D. P E N U T U P
Demikianlah pembahasan artikel ini, harapan kami, ini dapat menuangkan gagasan
baru tentang berbagai jalan terbaik menuju terwujudnya kehidupan masyarakat yang
majemuk dengan segudang perbedaan, sehingga akan terwujud negera yang aman, nyaman
dan damai. Bila artikel ini terkesan terbuka membicarakan masalah-masalah yang sensitif, itu
di sengaja, sebab kita tidak akan pernah bisa mencari jalan keluar dari sebuah kamelut yang
hanya dipendam dan menunggu sang waktu lewat, bila kita tidak jujur membuka fakta-fakta
yang melingkari munculnya konflik dan sengketa maka hal ini akan mengakibatkan bumi kita
mati muda.

Penulis oleh:
Drs. ASAD ISMA, M.Pd
Dosen Fakultas Ushuluddin Dan Wakil Koordinator KOPERTAIS Wilayah 13 Jambi.

DAFTAR PUSTAKA
Asad Isma, Kekuasaan, Konflik Dan Ketertiban Sosial, Analisis Kasus Kerusuhan Sosial Di
Indonesia,
Jurnal Ilmiah Media Akademika, IAIN STS Jambi, 1999
Asad Isma, Konflik Dan Amuk Massa, potensi Dan Pemicunya, Harian Independen, 2001.
Emory. S Bogardus, Sociology, Macmillan Company, 1959, Fourt Edition.
Ralf Dahrendorf, Essay In The Theory Of Society, RoutLedge And Kedan Paul, London, 1988.
Ralf Dahrendorf, Clas And Class Conflik In Industrial Spciety, Routledge and Kendal
Paul,London, 1969.
David Berry, Pokok Pokok Pikiran Dalam Sociology, Di sunting Oleh Paulus Wirotomo,
Rajawali,JakartA, 1983.
Khamami Zada Dkk, Pra Karsa Perdamaian, Pengalaman Dari Berbagai Konflik Sosial, PP
LAKPESDAM NU, 2008.
Tony Bilton, Dkk, Introductory, Sosiology, Second ZEdition, The Macmillan Press LTD,
London,1994.
Phil Astri S, Sutanto, Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial, Bina Cipta, Bandung, 1979.
Soerjono Soekanto, Sosiology Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1986,
Margaret M Paloma, Sosiologi Kontemporer, Rajawali , Jakarta, 1984.
Tashwirul Afkar, Inisiatif Perdamaian, Meredam Konflik Agama Dan Budaya, Edisi No 22
LAKPESDAM NU, 2007

Anda mungkin juga menyukai