Anda di halaman 1dari 15

FARINGITIS

Penyakit infeksi merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas dan morbiditas

di dunia. Angka mortalitas yang terjadi pada negara berkembang mencapai 39,5 juta dan lebih

dari 25% disebabkan oleh penyakit infeksi (Dwiprahasto, 2005). Secara umum, penyakit infeksi

disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan parasit (Jawetz et al., 2005).

Angka kejadian penyakit infeksi saluran nafas di Indonesia mencapai 25 %. Infeksi

saluran nafas ini mendominasi infeksi lainnya seperti infeksi saluran cerna, infeksi saluran

kemih, kulit bahkan infeksi sistemik (Kemenkes RI, 2013). Faringitis merupakan salah satu

infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi (Depkes RI, 2005). Kasus faringitis

disebabkan oleh infeksi langsung pada faring akibat virus atau bakteri (Vincent et al., 2004).

Agen penyebab dari infeksi bakteri ini diantaranya Streptococcus pyogenes yang merupakan

Streptocci grup A hemolitik (Wessels, 2011). Selain itu, beberapa kuman yang juga pernah

diisolasi dari hasil usap tenggorokan pada pasien faringitis diantaranya adalah bakteri

Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginusa, Escherichia coli,

Acinetobacter baumanniii (Isnawati et al., 2002).

Salah satu penatalaksanaan penderita infeksi karena bakteri adalah pengobatan dengan

antibiotik (Mardiastuti, 2007). Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak

digunakan. Penggunaan antibiotik secara rasional penting dilakukan karena mengakibatkan

munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotika (Sutrisna, 2012). Masa kejayaan antibiotika

kini mulai hilang setelah dilaporkan bahwa antibiotik tidak mampu mengatasi beberapa bakteri

patogen, karena bakteri mulai resisten terhadap antibiotik (Kuswandi, 2011). Resistensi bakteri

terhadap antibiotika dapat disebabkan karena secara alamiah bakteri menjadi resisten terhadap
antibiotik, penghentian antibiotik sebelum penyakit sembuh, dan pemberian antibiotik tidak tepat

dosis (Jawetz et al., 2005).

Uji laboratorium dilakukan untuk memastikan bakteri penyebab infeksi faringitis. Mesin

Vitek merupakan alat yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis bakteri dan menguji

kepekaannya terhadap antibiotik dengan waktu yang relatif cepat (Dubois, 2012). Interpretasi

hasil data beberapa uji biokimia juga dihasilkan dengan menggunakan alat vitek. Vitex 2

compact digunakan untuk mengetahui peta kuman dan resistensinya terhadap antibiotik dari

berbagai spesimen (Chudlori, 2013). Berdasarkan pedoman penggunaan antibiotic, organisme

penyebab faringitis yaitu bakteri Streptococcus grup A. Rekomendasi terapi antibiotik yaitu

penicillin oral, clindamycin, makrolida, dan aminopenicillin yang dikombinasi inhibitor -

laktamase, sedangkan alternatif terapi yang digunakan yaitu antibiotika Cefalosporin oral,

cefotaxime, dan ciprofloxacin . Penggunaan antibiotik ini perlu suatu program untuk pengawasan

terhadap bakteri yang resisten, mengontrol infeksi, mengawasi penggunaan antibiotik di rumah

sakit, membuat suatu pedoman yang baru secara berkesinambungan untuk pemakaian antibiotik

dan profilaksis, serta memonitor penggunaan antibiotik di rumah sakit sehingga dapat

meningkatkan penggunaan antibiotik yang rasional. Rumah sakit juga memonitor pola resistensi

dengan mencatat data laboratorium uji resistensi sehingga dapat digunakan untuk mengetahui

antibiotik yang masih poten, tepat, aman dan efektif serta menghasilkan luaran klinik yang baik

(Refdanita et al., 2004). Oleh karena itu, maka perlu melakukan suatu usaha untuk mencegah

atau mengatasi munculnya resistensi bakteri dengan cara memonitor pemakaian antibiotik

sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui peta kuman dan resistensinya terhadap

antibiotika pada pasien

I. Faringitis
Faringitis merupakan salah satu ISPA (infeksi saluran nafas akut) bagian atas (Isnawati,

2001). Faringitis adalah peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di

sekitarnya (Naning, 2008).

A. Epidemiologi Departemen kesehatan di Universitas Louisiana State New Orleans,

mendapati 92 orang yang menderita eksudatif faringitis akut (Marvez, 1998). Di Turki,

dijumpai 103 pasien yang menderita faringitis akut berumur antara 18 hingga 65 tahun

(Tasar, 2008). Di Amerika Serikat, pada tahun 2007 terdapat lebih dari 15 juta angka

kejadian karena faringitis per tahun (Wessels, 2011).

B. Etiologi Menurut Mokkapati & Yalamanchili (2010), terdapat beberapa penyebab infeksi

bakteri yang ditemukan pada usapan tenggorok pada pasien faringitis dan infeksi faringitis

juga dapat disebabkan oleh virus (Anjos et al., 2014). Virus pada umumnya menjadi

penyebab pada kasus faringitis sebesar 75% (Anjos et al., 2014).

Tabel 1. Penyebab infeksi faringi

penyebab
contoh
rhinovirus, influenza virus, herpes simplex virus, Epstein-
virus Barr virus, human immunodeficiency virus,
adenovirus,coronavirus (Anjos et al., 2014
Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,
Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa,
Bakteri Escherichia coli, Streptococcus equisiilis, Enterobacter
cloacae
(Mokkapati & Yalamanchili, 2010)

C. Patofisiologi Menurut Stoll (2001), infeksi faringitis diklasifikasikan secara klinis dan

patofisiologis menjadi dua, yaitu dapat dilihat pada tabel 2 berikut


jenis Gejala dan tanda patofisiologi

Faringitis akut Mukosa dan tonsil merah, Terjadi infiltrasi pada


malaise, nyeri tenggorok, lapisan epitel,yang
demam dan batuk apabila epitel terkikis
maka jaringan limfoid
superficial mengadakan
reaksi, terdapat
pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit
polimorfnuklea
Faringitis kronis Gatal, kering, berlendir
yang sukar dikeluarkan
dari tenggorokan, disertai
batuk
Faringitis hipertropi Pembengkakan folikel
limfe pada dinding faring
Faringitis atropi Tenggorokan terasa Terjadi perubahan
kering dan tebal, mulut mukosa dinding posterior
berbau faring (granuler), tampak
mukosa menebal serta
hipertrofi kelenjar limfe
dibawahnya dan
dibelakang faring
posterior
Faringitis granular Pembengkakan folikel
limfe pada dinding faring
kronik

Faringitis Akut

a. Faringitis viral

Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus

(EBV), Virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lain-lain.

Gejala dan tanda biasanya terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri

tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil


hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus dan Cytomegalovirus tidak

menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular

di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Pada adenovirus

juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar

virus menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring

yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh

terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang

disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri 13

menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,

terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah

b. Faringitis bakterial

Infeksi Streptococcus hemolyticus group A merupakan penyebab

faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan

tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah,

kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai

batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil

hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian

timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher

anterior membesar, kenyal dan nyeri apabila ada penekanan. Faringitis

akibat infeksi bakteri Streptococcus hemolyticus group A dapat

diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :

Demam

Anterior Cervical lymphadenopathy


Eksudat tonsil

Tidak adanya batuk

Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 01 maka

pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus

hemolyticus group A, bila skor 13 maka pasien memiliki kemungkian

40% terinfeksi Streptococcus hemolyticus group A dan bila skor empat

pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus hemolyticus

group A (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

c. Faringitis fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala

dan tanda biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring

lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar sabouroud

dextrosa.

d. Faringitis gonorea

Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.

Faringitis Kronik

a. Faringitis kronik hiperplastik

Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa

dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring

dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior

tidak rata, bergranular. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluh 15


mula-mula tenggorok kering dan gatal dan akhirnya batuk yang

bereak.

b. Faringitis kronik atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis

atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta

kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada

faring. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluhkan tenggorokan kering

dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring

ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

Faringitis Spesifik

a. Faringitis tuberkulosis

Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi

kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer.

Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung

kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu

penyebaran melalui darah pada tuberkulosis miliaris. Bila infeksi timbul

secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering

ditemukan pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding

lateral hipofaring, palatum mole dan 16 palatum durum. Kelenjar regional

leher membengkak, saat ini penyebaraan secara limfogen. Gejala dan tanda

biasanya pasien dalam keadaan umum yang buruk karena anoreksi dan
odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di

telinga atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.

b. Faringitis luetika

Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan infeksi di

daerah faring, seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik

tergantung stadium penyakitnya. Kelainan stadium primer terdapat pada

lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak

keputihan. Apabila infeksi terus berlangsung akan timbul ulkus pada

daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri dan didapatkan

pula pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan. Kelainan

stadium sekunder jarang ditemukan, namun dapat terjadi eritema pada

dinding faring yang menjalar ke arah laring. Kelainan stadium tersier

terdapat pada tonsil dan palatum, jarang ditemukan pada dinding posterior

faring. Pada stadium tersier biasanya terdapat guma, guma pada dinding

posterior faring dapat meluas ke vertebra servikal dan apabila pecah akan

menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di palatum 17 mole, apabila

sembuh akan membentuk jaringan parut yang dapat menimbulkan

gangguan fungsi palatum secara permanen. Diagnosis dilakukan dengan

pemeriksaan serologik, terapi penisilin dengan dosis tinggi merupakan

pilihan utama untuk menyembuhkan nya (Rusmarjonno dan hermani,

2007).

FAKTOR RISIKO

Riwayat demam rematik


HIV positif, pasien dengan kemoterapi, immunosuppressed

Diabetes Mellitus

Kehamilan

Pasien yang sudah memulai antibiotik sebelum didiagnosis

Nyeri tenggorokan untuk selama lebih dari 5 hari

II. Sekret Tenggorok

Spesimen sekret tenggorok diambil oleh dokter atau personel yang terlatih.

Pasien harus duduk menghadap sumber cahaya yang kemudian lidah ditekan dengan spatula,

sebuah lidi kapas steril diusapkan dengan kuat pada tiap tonsil, melalui dinding belakang

faring dan semua tempat yang meradang. Jika spesimen tidak dapat diproses dalam 4 jam,

usapan harus dimasukkan dalam media transpor (misalnya, Amies atau Stuart) (Vandepitte,

2010). Pemeriksaan tenggorokan dengan cara asupan tenggorok dilakukan untuk

menentukan terapi antibiotik yang tepat. Pemeriksaan kultur ini memiliki sensitivitas 90-

95% untuk mendiagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis

(Anjos et al., 2014)

III. Antibiotika

Antibiotika adalah agen yang digunakan untuk mencegah dan mengobati suatu

infeksi karena bakteri (Mitrea, 2008). Menurut Neal (2006), antibiotik mempunyai toksisitas

selektif sebagai bakteriostatik (menghambat pertumbuhan 5 bakteri) dan bakterisid

(membunuh bakteri) sehingga bakteri terhadap antibiotik dapat menjadi sensitif dan resisten.

Bakteri resisten jika organisme terus tumbuh meskipun telah diberikan antibiotik, dan
bakteri sensitif terhadap antibiotik apabila organisme tersebut dapat dihambat atau

dimusnahkan (Jawetz et al., 2005).

Tabel 3. Antibiotika untuk pasien faringitis

berdasarkan Organisme penyebab antibiotika

Pedoman streptococcus Rekomendasi terapi : Alternatif terapi :


penggunaan grouop A penicillin oral Cefalosporin oral,
antibiotik (amoxycillin, cefotaxime, dan
ampicillin) ciprofloxacin
clindamycin,
makrolida, dan
aminopenicillin yang
dikombinasi inhibitor
- laktamase

TERAPI PENDUKUNG

Analgesik seperti ibuprofen

Antipiretik

Kumur dengan larutan garam, gargarisma khan

Lozenges/ Tablet hisap untuk nyeri tenggoroka

IV. Resistensi bakteri

Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotik yang berupa resistensi

alamiah. Kegagalan terapi antibiotik terjadi apabila bakteri telah resisten terhadap antibiotik.

Resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat dilihat pada tabel

Menurut pedoman umum penggunaan antibiotik (Kemenkes RI, 2011) resistensi

bakteri terhadap antibiotik dibagi menjadi 5 yaitu :


a. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi

b. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotic

c. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri

d. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel akibat perubahan sifat dinding sel

Bakteri

e. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam

sel melalui mekanisme transpor aktif ke luar sel.

V. Algoritme terapi faringitis

Infeksi faringitis yang disebabkan oleh virus atau bakteri dapat secara langsung

menginvasi mukosa pada rongga tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal.

Streptococcus group A merupakan bakteri penyebab faringitis akut yang paling sering, kira-

kira 15 sampai 30 % kasus pada anak-anak, dan 5 sampai 10 % pada orang dewasa. Gejala

dapat berupa rasa sakit pada tenggorokan, nyeri saat menelan, demam, pusing, nyeri perut,

mual dan muntah dan tanda-tanda yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil,

eksudat pada faring dan tonsil, edema uvula, dan limfadenopati servikalis anterior. Tidak

semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut, banyak pasien dating dengan gejala

yang ringan dan tanpa eksudatif (Bisno, et al., 2002).

Tabel 4. Resistensi bakteri terhadap antibiotika

Antibiotika Resistensi bakteri terhadap antibiotika

Penicillin dan Cefalosporin 1. Bakteri resisten karena mutasi : menyebabkan


terbentuknya produksi protein pengikat
penicillin yang berbeda
2. Bakteri memiliki sistem transpor membran luar
yang terbatas, yang mencegah penicillin
mencapai membrane sitoplasma.
3. Bakteri memiliki kemampuan untuk
memproduksi beta laktamase, yang akan
menghidrolisis ikatan pada cincin betalaktam
molekul penicillin dan mengakibatkan inaktivasi
antimikroba.

Vankomycin Adanya enzim pada sel bakteri yang resisten, yang


akan membuang residu alanin dari bagian peptida
peptidoglikan

Tetrasiklin 1. Adanya bentuk perubahan pada membran


sitoplasma.
2. Resistensi pompa eflux

Aminoglikosida Aminoglikosida Sel bakteri memproduksi enzim


enzim yang dapat menambahkan fosfat, asetat, atau
gugus adenil sehingga terjadi modifikasi antibiotik
yang menyebabkan tidak mampu berikatan dengan
subunit 30S ribosom untuk menghambat sintesis
protein

Makrolida Bakteri mengalami mutasi pada target antibiotik,


yang
didasarkan atas enzim RNA metilase yang
menambahkan gugus metil ke dalam gugus adenin
spesifik pada subunit 50S rRNA.

Fluorokuinolon Resistensi bakteri terhadap flurokuinolon


disebabkan adanya mutasi pada gen pengkode
DNA girase yang menyebabkan diproduksinya
enzim yang aktif namun tidak dapat diikat oleh
flurokuinolon.

Sulfonamid dan trimethoprim Bakteri mengalami mutasi pada gen pengkode


enzim yang terlibat dalam jalur metabolisme
sintesis asam tetrahidrofolat.(Pratiwi, 2008)
.

Infeksi faringitis karena virus, gejala disertai dengan konjungtivitis, coryza,

malaise, fatigue, serak, dan demam yang tidak tidak terlalu tinggi (Vincent, et al., 2004).

Apabila terdapat tonsil eksudat, pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak disertai batuk dan

suhu badan meningkat sampai 380 C maka dapat dicurigai adanya faringitis karena infeksi

GABHS (Bisno, et al., 2002).

Kultur tenggorok merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menegaskan

suatu diagnosis dari faringitis. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih

dari 10 hari. Rapid antigen detection test merupakan suatu metode untuk mendiagnosa

faringitis karena infeksi GABHS. Jika hasil yang diperoleh adalah positif maka pengobatan

antibiotik yang tepat (Bisno, et al.,2002).

Apabila penyebabnya diduga infeksi virus, pasien cukup diberikan terapi suportif

seperti analgesik, antipiretik, kumur dengan larutan garam, gargarisma khan, dan lozenges/

tablet hisap untuk nyeri tenggorokan. Antibiotika diberikan untuk faringitis yang disebabkan

oleh bakteri (Depkes RI, 2005).

Tabel 5. Algoritme terapi antibiotika pada pasien faringitis

Antibiotika Dosis

Lini pertama Penicilin G (untuk pasien yang tidak 1 x 1,2 juta U i.m. 1dosis
dapat menyelesaikan terapi oral selama
10 hari)

Penicilin VK Anak: 2-3 x 250 mg


Dewasa 2-3 x 500 mg
selama 10 hari

Amoxycillin (Clavulanat) Anak: 2-3 x 250 mg


Dewasa 2-3 x 500 mg
selama 10 hari

Lini kedua Eritromycin (untuk pasien alergi Anak: 4 x 250 mg


Penicilin) Dewasa:4x 500 mg selama
10 hari

Azitromycin 1 x 500 mg, kemudian 1x250


mg selama 4 hari berikutnya

Claritromycin Anak:15 mg/kg/hari terbagi


dalam 2 dosis
Dewasa: 2 x 250 mg

Cefalosporin generasi satu atau dua Bervariasi


sesuai agen selama 10 hari

Levofloxacin (hindari untuk anak Dewasa: 1 x 250-500 mg


maupun wanita hamil) selama10 hari
(Depkes RI, 2005)

VI. Peresepan Obat

Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan

kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Lembaran resep umumnya berbentuk empat persegi

panjang, ukuran ideal lebar 1012 cm 29 dan panjang 1520 cm (Jas, 2009). Pelayanan

resep merupakan kegiatan meliputi aspek teknis dan non teknis yang harus dikerjakan mulai

dari penerimaan resep, peracikan obat sampai penyerahan obat kepada pasien (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2006).


DAFTAR PUSTAKA

1. Jawetz, E., Melnick, J. L. & Adelberg, E.A., 2005, Mikrobiologi Kedokteran Edisi pertama,

diterjemahkan oleh bagian M. F. K. UNAIR, Surabaya, Salemba Medika, 206-380

2. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan.

3. Vincent, M. T., Celestin, N. & Hussain, A. N., 2004, Pharyngitis, The American Family

Physician, 69 : 1465-70

4. Wessels, M. R., 2011, Streptococcal Pharyngitis, The New England Journal of

Medicine,(364), pp.648655

5. Anjos, L. M. M., Marcondes, M. B., Lima, M. F., Mondelli, A.L.& & Okoshi, M.P.,

2014,Streptococcal Acute Pharyngitis, Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical,

47(May), pp.409413

6. Isnawati, A., Gitawati, R., Herman, M.J., 2002, Pola Sensitifitas Kuman Dari Isolat Hasil

Usap Tenggorok Penderita Tonsilo-Faringitis Akut Terhadap Beberapa Antimikroba Di

Puskesmas Jakarta Pusat, Bul. Penel. Kesehatan, Vol. 30

7.

Anda mungkin juga menyukai