Anda di halaman 1dari 28

M.Z.

Arifin et al

HEAD INJURY MANAGEMENT


PENGELOLAAN PENDERITA CEDERA KEPALA

Muhammad Zafrullah Arifin

Departemen Bedah Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran


Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN

Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan tertinggi
pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi. Cedera otak traumatika, pada tahun 2020 akan
menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi penyakit-penyakit
yang lain. Meskipun insidensi cedera otak traumatika di negara-negara maju di Eropa,
Amerika Utara, Jepang dan Australia terus mengalami penurunan, namun insidensinya
mengalami kenaikan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini
erat hubungannya dengan meningkatnya industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan
kendaraan bermotor.1-3 Di USA kejadian cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan
mencapai 500.000 kasus, dan 10% diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit.
Delapanpuluh persen dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai
cedera otak traumatika ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan 10%
sisanya adalah cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang, menderita
berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA.2-4
Di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pada tahun 2011 terjadi
peningkatan kejadian cedera otak traumatika sebanyak 14,5% jika dibandingkan dengan
kejadian cedera otak traumatika tahun 2010. Pada tahun 2011, kejadian cedera otak
traumatika 2.509 kasus yang terdiri atas 1.856 (74%) cedera otak traumatika ringan, 438
(17%) cedera otak traumatika sedang, dan 215 (9%) cedera otak traumatika berat. Angka
kematian pasien dengan cedera otak traumatika berat juga mengalami peningkatan dari
33% pada tahun 2010 menjadi 43% pada tahun 2011.5 Data RSHS pada tahun 2011

1
M.Z. Arifin et al

(Gambar 1) didapatkan total pasien yang masuk IGD dalam tahun 2011 sebanyak 9608
pasien. Jumlah rata-rata pasien perbulannya sebanyak 800 pasien, rata-rata 384 pasien
diantaranya adalah kasus kecelakaan lalulintas, rata-rata 67 pasien meninggal dan 14
pasien meninggal pada saat tiba di RSHS.6

Keterangan: DOA, Death on Arival; KLL, Kecelakaan Lalulintas

Gambar 1. Data instalasi gawat darurat RSHS pada tahun 2011.

Penyebab terjadinya cedera kepala termasuk kecelakaan lalulintas, kekerasan/pemukulan,


jatuh, cedera olahraga, dan kecelakaan industri. Beragam faktor mempengaruhi terjadinya
cedera kepala serius. Sebagai contoh, intoksikasi alkohol terlibat pada setangah dari
semua kasus fatal dalam kecelakaan lalulintas. Pada sisi lain, mengurangi batas kecepatan
pada jalur bebas hambatan, menggunakan sabuk pengaman, dan menggunakan pelindung
kepala/helm untuk pengendara bermotor dan pekerja industri telah mengurangi jumlah
kecelakaan serius. Tetapi, sangat disayangkan, masyarakat menolak menggunakan
alat-alat pengaman atau menerapkan langkah-langkah keamanan.

Jika morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh cedera kepala harus dikurangi, maka
sangat penting bagi semua dokter untuk memahami aspek-aspek patofisiologi cedera
kepala dan penatalaksanaan yang tepat untuk cedera kepala, tulang tengkorak dan otak.

2
M.Z. Arifin et al

CEDERA KULIT KEPALA

Cedera kulit kepala sangat sering terjadi, dan walaupun pada umumnya minor, namun
harus diperiksa dengan sangat hati-hati dan ditangani dengan sebaik-baiknya. Luasnya
cakupan pemeriksaan dan penatalaksanaan tergantung pada kedalaman luka.

Cedera kulit kepala yang paling ringan adalah abrasi/kontusio, yang pada umumnya
membaik dengan terapi lokal (yaitu, membersihkan luka dan penggunaan antibiotik
topikal dan kompres dingin). Pukulan yang lebih kuat dapat menyebabkan perdarahan
pada rongga subgaleal (perdarahan diantara aponeurosis dan periosteum) atau
subperiosteal (perdarahan diantara periosteum dan tulang tengkorak), dengan
pembentukan sefal hematoma, yang paling sering terjadi pada neonatus. Jika cukup luas,
sefalhematoma pada anak-anak dapat mengurangi angka hematokrit dengan signifikan.
Selain mengamati volume darah dan mengawasi kemungkinan terjadinya hiper
bilirubinemia, tidak ada terapi khusus lain yang dibutuhkan. Sefal hematoma tidak boleh
di aspirasi secara rutin. Sangat jarang, terjadi kalsifikasi pada hematoma subperiosteal,
yang membutuhkan operasi pengangkatan. Kadang kala setelah cedera kepala mayor,
hematoma epidural dapat terdorong keluar melalui fraktur tulang tengkorak diatasnya dan
laserasi periosteal dan menghasilkan akumulasi darah pada rongga subgaleal.

Laserasi kulit kepala menjadi alasan utama sebagian besar kunjungan ke unit gawat
darurat pada kasus terkait cedera kepala. Karena kulit kepala memiliki banyak pembuluh
darah, cedera pada dearah ini biasanya sembuh dengan baik.

Rambut disekitar laserasi harus dipangkas (dicukur) untuk penanganan luka. Penanganan
termasuk irigasi dengan saline steril yang sangat banyak dan membersikan/menggosok
kuat luka dengan larutan sterilisasi kulit standar (yaitu, povidone-iodine).

Setelah pemberian anastesi lokal, luka harus diperiksa dengan teliti dibawah lampu yang
terang. Jika laserasi tidak menembus galea, biasanya ditangani dengan penutupan satu
lapis kulit. Jika terdapat laserasi pada galea, tulang tengkorak dibawahnya harus diperiksa
untuk memastikan tidak adanya fraktur. Jika ditemukan ada tanda-tanda fraktur, foto
tulang tengkorak dan konsultasi bedah saraf dibutuhkan sebelum luka ditutup, karena

3
M.Z. Arifin et al

debridemen yang lebih luas atau terapi antibiotik yang lebih banyak/panjang mungkin
diperlukan. Jika tidak ditemukan cedera pada tulang tengkorak, luka dapat ditutup dengan
satu atau dua lapisan. Jika pada awalnya luka terkontaminasi, menutup satu lapis kulit
lebih disarankan, karena jahitan yang tertimbun bisa terinfeksi.

Toxoid tetanus diberikan berdasarkan status imunisasi pasien. Walaupun antibiotik


profilaksis rutin disarankan, tidak ada penelitian yang dapat membuktikan efektivitas
antibiotik tersebut dalam menurunkan terjadinya angka infeksi. Laserasi yang luas dapat
mengeluarkan darah yang sangat banyak dan, terutama pada anak-anak, dapat
menyebabkan anemia atau, jarang sekali, shok hipovolemik.

CEDERA INTRAKRANIAL

Konkusi
Cedera otak paling ringan adalah konkusi. Cedera ini mengakibatkan penurunan
kesadaran untuk beberapa saat dan amnesia, retrograde (sebelum kecelakaan) atau
anterograde (postraumatik) amnesia. Model eksperimen dan data neuropatologik yang
terbatas yang berhubungan dengan kematian pasien konkusi karena penyebab lain tidak
dapat memberikan bukti yang meyakinkan, pada mikroskop cahaya, adanya lesi patologik
didalam otak. Trauma yang mengakibatkan rotasi kepala seringkali menyebabkan
penurunan kesadaran.

Walaupun studi-studi awal melibatkan disfungsi fisiologis pusat batang otak pada cedera
ini, belum ditemukan kasus dengan lesi patologik batang otak yang terisolasi. Pada
kenyataannya, sebagian besar cedera kepala tampak sentripetal; yakni, bagian otak
superfisial rusak terlebih dahulu sebelum bagian yang dalam. Seperti yang sering terlihat
pada defisit amnesia postkonkusi yang dalam pada pasien-pasien dengan perubahan
kesadaran yang sangat minimal dapat menegaskan bahwa cedera bersifat sentripetal.
Walaupun mekanisme kerusakan selular yang terjadi pada konkusi tidak diketahui,
berdasarakan fakta-fakta yang disampaikan diatas, diskoneksi fisiologis antara korteks
dan batang otak menjadi dasar pemikiran utama.

4
M.Z. Arifin et al

Konkusi diklasifikasikan berdasarkan hebatnya derajat cedera primer dan hasil disfungsi
neurologis. Lesi grade I menyebabkan kebingungan (confusion) sementara, lalu segera
kembali ke kesadaran normal dan tanpa amnesia; grade II, kebingungan yang sedikit
lebih berat dan sedikit amnesia (hanya postraumatik), grade III, kebingungan yang sangat
berat pada awalnya, dengan amnesia postraumatik dan retrograde; grade IV (konkusi
klasik), kehilangan kesadaran singkat, periode kebingungan yang bervariasi, dan amnesia
postraumatik dan retrograde.

Evaluasi awal semua pasien-pasien konkusi adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik
lengkap. Banyak dokter-dokter menyarankan foto tulang tengkorak rutin, karena temuan
positif pada radiografi menambah adanya kemungkinan hematoma intrakranial secara
signifikan. Beberapa dokter juga menyarankan foto servikal rutin, tetapi foto ini harus
selalu direncanakan pada pasien dengan nyeri leher atau pada pasien dengan gangguan
kesadaran persisten. Pemeriksaan laboratorium lain disesuaikan berdasarkan keperluan
masing-masing pasien.

Jika periode kebingungan telah lewat, jika hasil dari berbagai investigasi negatif, dan jika
ada seseorang yang dapat dipercaya dapat mengawasi pasien dengan bantuan "head
sheet" (lembar instruksi cedera kepala; termasuk mengawasi timbulnya gejala dan tanda
yang memerlukan bantuan medis sesegera mungkin) selama 24 jam, pasien boleh
dipulangkan. Bahkan jika pasien sedikit kebingungan, temuan radiografi positif, tidak ada
seseorang yang dapat dipercaya untuk mengawasi pasien, atau ada masalah-masalah lain
terjadi, pasien harus dirawat untuk observasi. Tindakan pencegahan ini sangat penting,
bahkan pada cedera kepala yang tampak ringan, karena pasien-pasien demikian dapat
mengalami, kadang kala, hemorrhagik intrakranial yang mengancam nyawa dan keadaan
umumnya memburuk dengan cepat.

Sebagian kecil pasien datang kembali setelah dipulangkan dengan keluhan sakit kepala
persisten, mual, susah berkonsentrasi, memori yang buruk, insomnia dan depresi.
Gejala-gejala ini merupakan sindrom postkonkusi. Pada sebagian besar pasien-pasien ini,
hasil pemeriksaan neurologis dan radiografi (seperti CT scan) singkat/tanpa perhatian
khusus tampak normal, tetapi laporan dari studi-studi baru mengindikasikan adanya

5
M.Z. Arifin et al

abnormalitas pada tes neurofisiologik yang terperinci, bahkan pada pasien-pasien tanpa
sindrom postkonkusi. Tidak ada terapi khusus untuk keluhan-keluhan ini, tetapi dengan
konsultasi, penjelasan dan terapi simtomatik, sebagian besar pasien dalam keadaan baik.

Hematoma Epidural
Hematoma epidural tercatat sebanyak 1% sampai 3% dari semua kasus cedera kepala
mayor. Walaupun dapat terjadi pada semua umur, kasus ini paling sering dijumpai pada
dekade kedua dan ketiga kehidupan. Perbandingan rasio lelaki dan wanita sebesar 4:1.
Kecelakaan berkendara menjadi penyebab utama, tetapi kejadian kecil, seperti terpeleset
dan cedera olahraga, bisa menjadi pencetus yang fatal. Sumber permasalahan umumnya
berasal dari arterial (85%), tetapi epidural hematoma juga dapat melibatkan vena
meningeal atau sinus dural. Lokasi-lokasi epidural hematoma paling umum termasuk fosa
temporal, regio subfrontal dan area oksipital-suboksipital (gambar 2).

Hematoma epidural fosa temporal, yang menyebabkan cedera arteri meningeal media,
adalah epidural hematoma yang paling sering dijumpai. Fraktur tulang temporal menjadi
penyebab pada setidaknya 80% kasus. Tanda-tanda klinis klasik dan rangakaian kejadian
yang panjang pada hematoma tipe ini hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien saja.
Pada dasarnya, konkusi menyebabkan periode awal penurunan kesadaran, kemudian,
karena dura cukup erat dengan tulang tengkorak, akumulasi darah terhambat dan interval
lucid menyusul, pada saat fungsi neurologis pasien relatif normal. Akhirnya, ketika lesi
semakin membesar, kesadaran menurun secara drastis. Kejadian ini menggambarkan
karakteristik yang disebut "talk and die patient" (pasien berbicara lalu meninggal).
Interval lucid lebih panjang jika sumber perdarahan berasal dari vena (tekanan yang lebih
rendah).

6
M.Z. Arifin et al

Gambar 2. Lokasi Epidural (Sumber: Netter)


Hematoma yang terus membesar dapat mendorong lobus temporal ke arah medial,

7
M.Z. Arifin et al

menyebabkan herniasi unkus dan girus hipokampal melalui dan melampaui lekukan
tentorial. Karakteristik sindrom herniasi unkal adalah penurunan kesadaran, dilatasi pupil
ipsilateral dini, dan hemiparesis. Hemapresis pada kasus ini umumnya kontralateral,
karena dekusasi pada traktus piramid desenden; namun, jika pedunkulus serebri
kontralateral tertekan ke tepi tentorial (Kernohan's notch), hemiparesis ipsilateral dapat
terjadi. Bukti lain menunjukkan hematoma epidural disertai dengan kontusi kulit kepala
ditempat cedera, fraktur tulang temporal, atau hematoma subgaleal temporal yang
diakibatkan oleh ekstravasasi darah epidural melalui fraktur tulang tengkorak dan laserasi
periosteum.

Hematoma epidrual frontal atau subfrontal paling sering terjadi pada anak-anak atau
orang tua, dan dikaitkan dengan pukulan langsung pada bagian frontal. Cedera ini dapat
melibatkan cabang anterior arteri meningeal media, arteri meningeal anterior, atau sinus
venosus. Gejala dan tanda yang umum termasuk sakit kepala, perubahan kepribadian dan
anisokoria. Interval lucid biasanya lebih panjang dan evolusi dari lesi lebih lambat jika
dibandingkan dengan lesi temporal. Studi-studi baru menyarankan bahwa kasus ini dapat
ditangani secara konservatif.

Hematoma epidural fosa posterior biasanya disebabkan oleh pukulan pada bagian
oksipital, dan dikaitkan dengan fraktur yang melewati sinus transversus. Presentasi klinis
bisa akut atau kronis. Gejala dan tanda yang umum termasuk sakit kepala, meningismus,
dysmetria, ataxia dan defisit nervus kranialis. Herniasi fosa posterior melalui foramen
magnum dapat menyebabkan trias Cushingdepresi pernafasan, tekanan darah yang
tinggi, dan denyut nadi yang rendah.

Hematoma epidural jarang bilateral, tetapi terkadang terkait dengan lesi subdural.
Diagnosa dapat dipastikan dengan CT scan; namun, kadang kala, tidak ada waku untuk
penundaan dan diagnosa dan terapi harus dikerjakan bersamaan, dalam bentuk
kraniektomi. Mortalitas pada kasus-kasus lampau dilaporkan mencapai 50%; namun,
studi baru, dengan diagnosis dan teknik terapi yang agresif, lebih memberikan harapan,
melaporkan mortalitas sekitar 20%.

8
M.Z. Arifin et al

Hematoma Subdural
Hematoma subdural pada umumnya merupakan hasil dari hemorrhagik vena akut yang
diakibatkan oleh ruptur bridging veins. Sumber perdarahan lain yang jarang ditemukan
dapat berasal dari arteri kortikal, aneurisma, malformasi arterivena dan tumor metastasis.

Hematoma subdural akut terjadi didalam 1 minggu setelah cedera (biasanya dalam jam).
Separuh kasus berkaitan dengan fraktur tulang tengkorak; kecelakaan bermotor
merupakan penyebab utama. Sering disertai oleh kontusi serebral atau batang otak yang
sangat berat, atau keduanya, menghasilkan mortalitas yang tinggi (50%). Tanda-tanda
umum termasuk penurunan kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral, dan hemiparesis
kontralateral. Seperti hematoma epidural, hemiparesis pada kasus ini jarang ipsilateral.
Tanda-tanda lain yang disebut sebagai lokalisasi palsu termasuk homonimus hemianopia
akibat dari trombosis arteri serebral posterior pada herniasi unkal, tatapan/pandangan
abnormal yang disebabkan oleh cedera batang otak, dan, kadang-kadang, dilatasi pupil
kontralateral karena kompresi nervus okulomotor terhadap tentorium. Hematoma
subdural akut hampir selalu terletak pada konveksitas serebral dan ditemukan bilateral
pada 15% sampai 20% pasien. Diagnosa definitif dapat diperoleh dari CT scan atau
angiografi.

Hematoma subdural subakut biasanya terjadi di dalam 7 sampai 10 hari setelah cedera.
Gejala dan tandanya mirip dengan hematoma subdural akut, tetapi perjalanannya lebih
lambat dan mortalitasnya lebih rendah. Diagnosa definitif dapat diperoleh dari CT scan,
walaupun angiografi terkadang dibutuhkan karena isodensitas hematoma ini.

Hematoma subdural kronis paling sering dijumpai pada orang tua dan pemabuk kronis,
yang pada umumnya mengalami atrofi otak ringan, yang menghasilkan rongga subdural
yang lebih besar. Pasien yang mengkonsumsi terapi antikoagulan dalam waktu yang lama
atau pasien dengan dyscrasia juga memiliki faktor risiko yang lebih tinggi. Trauma
pencetus biasanya sangat sepele sehingga terlupakan. Pada awalnya, hemorrhagik kecil
memenuhi rongga subdural, dan kira-kira setelah 2 minggu, membran vaskular terbentuk
disekeliling lesi. Semula, diperkirakan bahwa hasil darah dari dalam hematoma subdural
menarik cairan serebrospinal secara osmosis, menambah ukuran hematoma, meregangkan

9
M.Z. Arifin et al

membran, dan menyebabkan hemorrhagik lebih lanjut. Namun, telah dibuktikan bahwa
tidak ada gradien osmotik terhadap membran. Meskipun demikian, pada beberapa pasien
hematoma tampaknya terus membesar sampai menimbulkan gejala.

Gejala dan tanda hematoma subdural kronis mirip dengan penyakit serebrovaskular,
ensefalitis, ensefalopati metabolik atau psikosis, dan cenderung bervariasi. Sakit kepala
kronis dan nyeri perkusi pada bagian lesi ditemukan pada 80% pasien, dan sebagian besar
pasien menderita demensia progresif dengan rigiditas menyeluruh (paratonia). Radiografi
tulang tengkorak menunjukkan abnormalitas pada 25% pasien, elektroensefalogram
menggambarkan pernurunan voltase pada daerah lesi, dan konsentrasi protein di dalam
cairan serebrospinal sering kali menurun. Diagnosa dapat dipastikan dengan CT scan atau
angiografi.

Tatalaksana Awal dan Evaluasi


Cedera intrakranial akut seringkali berkaitan dengan kerusakan neurologis yang berat.
Seringkali, pasien dibawa ke unit gawat darurat dalam keadaan komayakni, "tidak dapat
membuka mata, mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengeri, atau mengikuti perintah."
Penatalaksanaan awal cedera kepala yang berat (gambar 3) adalah ABC yang menjadi inti
dari ilmu kegawatdaruratan medis moderen.

Langkah pertama pada ABC adalah Airway/saluran nafas (A) dan membebaskan jalan
nafas dari benda-benda obstruktif (seperti, gigi palsu, vomitus). Karena pasien mungkin
mengalami cedera cervikal, radiografi lateral cervikal harus diperoleh terlebih dahulu
sebelum leher dapat dimanipulasi untuk intubasi trakeal. Namun, jika pernafasan tampak
terancam, intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dengan leher pada posisi netral harus
dilakukan dengan sangat hati-hati sesegera mungkin. Kadang kala, trauma pada wajah
mencegah pemasangan intubasi, dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi
pilihan jika diperlukan.

10
M.Z. Arifin et al

Gambar 3. Penatalaksanaan cedera kepala berat (Sumber: Netter)

11
M.Z. Arifin et al

Setelah saluran nafas dibebaskan, langkah berikutnya adalah Breathing/pernafasan (B).


Rata-rata dan ritme pernafasan, juga suara nafas, harus dievaluasi. Perubahan pola
pernafasan dapat mencerminkan disfungsi sistem saraf pusat pada level tertentu. Lesi
hemisferik bilateral yang dalam dan basal ganglia dapat menyebabkan respirasi
Cheyne-Stokes (pernafasan dengan periode hiperventilasi dan apnea yang silih berganti),
dan hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh lesi pada mesensefalik atau
pontine bagian atas. Pernafasan ataksik muncul pada fase terminal, dimana hanya
medullary yang masih dapat berfungsi. Analisa gas darah harus diperiksa pada semua
pasien dengan cedera kepala, karena hipoksemia sering terjadi. Oksigen harus diberikan
untuk menjaga kadar PaO2 dalam batas normal; hiperventilasi direkomendasikan untuk
menjaga PaCO2 diantara 25 dan 30 mmHg, karena hipokarbia merupakan serebral
vasokontriktor yang kuat, mengurangai volume darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan
intrakranial. Foto polos dada harus diperoleh untuk memastikan tidak ada cedera pada
rongga dada seperti pneumothorak, kontusi paru atau aspirasi.

Kemudian perhatian diarahkan pada status Circulatory/sirkulasi (C) pasien, yang dapat
digambarkan oleh tekanan darah. Karena shok jarang terjadi akibat cedera kepala murni,
pemeriksaan dengan teliti harus dilakukan untuk mencari penyebab lain (yaitu, ruptur lien
atau fraktur tulang panjang). Kateter vena sentral, pada subklavian atau vena jugular
interna, seringkali memiliki peran yang tak ternilai dalam mengevaluasi dan mengobati
pasien-pasien dengan cedera multipel. Bersamaan dengan nilai hematokrit, tekanan vena
sentral dapat membedakan shok hipovolemik dengan beberapa kasus shok neurogenik
yang disebabkan oleh cereda kord spinal.

Pada shok neurogenik, disfungsi saraf servikal mengganggu aliran simpatis ke jarigan,
menyebabkan pooling vena dan hipotensi. Shok tipe ini biasanya ditandai dengan
hipotensi, bradikardia, tekanan vena sentral relatif normal, dan nilai hematokrit yang
normal, sedangkan shok hipovolemik menyebabkan takikardia, tekanan vena sentral yang
sangat rendah, dan nilai hematokrit yang menurun. Shok neurogenik biasanya dapat
diatasi dengan menundukan kepala pasien dan memberikan terapi cairan yang tidak
terlalu banyak; kadang-kadang atropin atau vasopresor juga dibutuhkan. Sedangkan,
pasien dengan shok hipovolemik membutuhkan cairan intravena yang sangat banyak,

12
M.Z. Arifin et al

yang dapat menyebabkan kelebihan cairan pada sirkulasi dan menimbulkan edema paru
pada pasien dengan hipotensi neurogenik.

Pada saat dan setelah penilaian ABC, pemeriksaan fisik lengkap juga dilakukan. Evaluasi
neurologis harus difokuskan pada tingkat kesadaran pasien, reaksi pupil, gerakan
ekstraokular, dan reaksi motorik. Anggota medis dan paramedis dapat melakukan
pemeriksaan tersebut di tempat kejadian trauma, unit gawat darurat, dan ruang rawat
intesif. Dengan demikian, perubahan pada pasien dapat dikenali lebih awal dan
penatalaksanaan dapat diterapkan sesegera mungkin.

Bermacam-macam isitilah, seperti koma, semikoma, stupor dan obtundation, digunakan


untuk menggambarkan tingkat kesadaran pasien, tetapi istilah-istilah berikut tidak dapat
diterapkan secara seragam di senter-senter dan bahkan di antara pemeriksa. Oleh karena
itu, penilaian yang dikembangkan oleh Jennett dan Teasdale's, pada tahun 1974, yang
dikenal sebagai Glasgow Coms Scale (GCS) menjadi kemajuan yang berarti. Pada skala
ini, kemampuan pasien melakukan tiga tes fungsi neurologismembuka mata, reaksi
motorik dan reaksi verbalmenentukan skor total, seperti yang diilustrasikan pada
gambar 4. Definisi standar koma"tidak dapat membuka mata, mengeluarkan kata-kata
yang dapat dimengerti, atau mengikuti perintah"sesuai dengan nilai maksimum 8 pada
GCS. Glasgow Coma Scale sangat mudah diterapkan dan dapat dilakukan berulang-ulang,
memberikan gambaran perjalanan keadaan pasien dan dapat digunakan untuk melakukan
perbandingan pada institusi yang sama atau institusi-institusi lain. GCS telah menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari diagnosa dan terapi moderen cedera kepala. Berbagai
macam abnormalitas pupil dapat ditemukan pada kasus cedera kepala. Yang paling
dikenal adalah kelumpuhan unilateral nervus ketiga karena herniasi unkal, yang
menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral dan respons yang buruk terhadap cahaya
(Hutchinson's pupil). Kemudian, fungsi otot ekstraokular juga terganggu, menghasilkan
dilatasi maksimal pupil dan menempatkan bola mata ke arah inferolateral. Pada keadaan
lain, anisokoria dapat mencerminkan sindrom Horner's. Sindrom Horner's traumatik pada
umumnya berhubungan dengan cedera pada serviko-thorakal kord spinal, pleksus
brakhialis atau arteri karotis. Cedera ini menyebabkan denervasi simpatis mata ipsilateral,
yang menimbulkan trias klasik: miosis, ptosis dan anhidrosis.

13
M.Z. Arifin et al

Gambar 4. Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (Sumber: Netter)

14
M.Z. Arifin et al

Miosis pupil bilateral, pada umumnya mengindikasikan intoksikasi obat, dapat juga
diakibatkan oleh cedera pontin. Cedera pada retina atau nervus optikus dapat
menyebabkan defek pupil aferen Marcus Gunn. Pada situasi ini, respons cahaya indirek
lebih kuat dibandingkan respons cahaya direk pada mata yang cedera. Mengayunkan
cahaya dari mata yang normal ke mata yang cedera memperlihatkan dilatasi pupil yang
berlawanan? Respons pupil lain, seperti pupil tektal dan hippus, kadang kala dapat
dijumpai setelah cedera kepala.

Saat menilai motilitas ekstraokuler, akan sangat membantu jika pemeriksa mengigat
bahwa terdapat dua area besar yang mengendalikan gerakan horizontal bola mata.
Didalam formasi retikular pontin terdapat pusat tatapan horizontal. Pusat ini terhubung,
melalui median longitudinal fasikulus, ke servikal kord spinal dan vestibular dan kranial
ekstraokular nuclei. Kerusakan pada pusat ini menyebabkan deviasi kedua bola mata ke
arah berlawanan. Pusat yang lain terletak didalam lobus frontal (area mata frontal,
Brodmann's area 8). Kerusakan pada pusat ini menyebabkan deviasi kedua bola mata dan
kepala ke arah lesi. Jika lokasi cedera berada di lobus frontal, kedua bola mata berdeviasi
menjauh dari sisi hemiparetik (traktus motorik menyebrang pada medulla); pada cedera
batang otak, kedua mata berdeviasi ke arah sisi hemiparetik.

Ditemukannya deviasi atau tidak, motilitas okular harus dinilai dengan lengkap. Jika
servikal tidak terlibat, fenomena doll's-head dapat digunakan. Menggerakan kepala dari
satu sisi ke sisi lain dapat menstimulasi akar-akar saraf dan vestibular nuclei dan, ketika
batang otak tidak terlibat, menyebabkan pergerakan bola mata ke arah berlawanan, agar
dapat mempertahan posisi relatifnya didalam ruang. Jika batang otak mengalami cedera,
gerak bola mata tidak terpengaruh oleh gerakan kepala (tanda prognosis yang buruk).

Sebagai alternatif, test kalorik dengan air-es dapat digunakan. Kepala diangkat 30 derajat
dari posisi supine, agar kanal semisirkular horizontal berada dalam posisi vertikal. Jika
kanal bebas dan membran timpani utuh, air-es dapat dimasukkan. Pada pasien sadar,
air-es menstimulasi vestibular nuclei, menghasilkan nistagmus dengan fase cepat ke sisi
kontralateral (COWS: Cold Opposite, Warm Same. Dingin berlawanan, hangat sama).
Pada pasien koma, namun, fase cepat tidak dapat dilihat sehingga kedua mata sebenarnya

15
M.Z. Arifin et al

berdeviasi ke arah irigasi air-es. Hasil negatif tes kalorik juga merupakan prognosa yang
buruk.

Beberapa kategori respons motorik termuat dalam Glasgow Coma Scale pada gambar 4.
Walaupun sederhana, skema ini sangat membantu menilai beratnya kasus cedera kepala.
Jika pasien dapat mematuhi perintah, melokalisasi nyeri, menghindari nyeri, berarti
semua traktus motorik desenden utuh. Traktus rubrospinalis mengatur respons fleksi
tetapi hanya mempersarafi ekstrimitas bagian atas pada manusia. Dekortikasi (fleksi
tangan dan ekstensi kaki), oleh sebab itu, mencerminkan cedera fisiologis pada level
diantara korteks dan red nuclei. Traktus vestibulospinal mengatur ekstensi pada keempat
ekstrimitas. Deserebrasi (ekstensi keempat ekstrimitas), oleh sebab itu, mencerminkan
cedera pada level diantara red nuclei dan vestibular nuclei. Respons motorik yang nihil
menandakan cedera pada level dibawah vestibular nuclei. Respons motorik lain (seperti
monoplegia, paraplegia atau quadriplegia) mencerminkan cedera pada berbagai area
sistem saraf.

Lengkapnya pemeriksaan lanjutan tergantung pada beratnya cedera dan dilakukan setalah
evaluasi awal. Radiografi tulang tengkorak diperoleh pada saat bersamaan. Tes
laboratorium standar harus diajukan untuk semua pasien trauma.

Fokus kemudian diarahkan pada radiografi definitif atau langkah-langkah terapi, atau
keduanya. Radiografi yang dimaksudkan termasuk CT scan otak, yang pada beberapa
tahun terakhir merevolusi diagnosa lesi intrakranial. Pada CT scan, kepala pasien
diletakkan didalam alat scan sirkular yang tersusun oleh tabung-tabung roengten. Karena
kepala tidak boleh bergerak selama pemeriksaan, anastesi pada umumnya dibutuhkan
untuk pasien dengan agitasi, pasien muda atau pasien yang tidak kooperatif. Pada saat
scan berrotasi, sinar x melintasi intrakranial dari berbagai sudut tetapi pada satu bidang
horizontal yang sama. Dengan menganalisa derajat struktur intrakranial yang
menipiskan/melemahkan sinar x, komputer memproduksi video atau gambar yang
menunjukkan radiodensitas pada bagian yang di scan. CT scan masa kini dapat
menghasilkan potongan-potongan dengan resolusi tinggi kurang dari 1 menit. Gambar 5
menunjukkan CT scan otak normal dan beberapa kasus hematoma intrakranial.

16
M.Z. Arifin et al

CT Scan pada Cedera Kepala

A. Normal brain. Transaksial CT scan kepala B. Epidural Hematom. CT scan kepala menunjukan
menunjukan struktur normal otak dengan sulkus, gambaran hiperdens berbentuk lentikular (bikonkaf)
giris dan sisterna yang masih terbuka di area temporal kiri (panah).

Gambar 5. CT scan pasien trauma kepala


(Sumber: Departemen Bedah Saraf FK Unpad-RSHS)

CT scan memperlihatkan perbedaan densitas antara struktur-struktur intrakranial.


Densitas serebrum pada CT adalah isodens. Struktur-struktur hiperdens termasuk tulang
tengkorak, kelenjar pineal dan darah segar; struktur-struktur hipodens termasuk cairan
serebrospinal, lemak dan air. Struktur-struktur yang berdampingan memiliki densitas
yang berbeda agar dapat dengan mudah diidentifikasi pada CT scan. Pergeseran struktur
normal, seperti kelenjar pineal atau sistem ventrikular, dapat menunjukkan adanya lesi.

Hematoma epidural dan subdural keduanya hiperdens tetapi seringkali memilik bentuk
yang berbeda. Hematoma epidural berbentuk lentikular karena kerekatan dura mater
dengan tabula dalam tulang tengkorak pada kedua tepi/ujung lesi. Hematoma epidural
dapat menggeser sistem ventrikuler dan kelenjar pineal.

Hematoma subdural akut biasanya berbentuk bulan sabit (cekung). Hematoma subdural
pada umumnya terletak disekeliling konveksitas serebral, dan biasanya menggeser sedikit
bagian dari sistem ventrikuler. Hematoma subdural subakut, jika isodens, sulit dilihat
pada CT scan. Kasus subakut biasanya dapat terdeteksi karena adanya pergeseran struktur

17
M.Z. Arifin et al

normal dalam otak, tetapi pergeseran ini tidak dapat ditemukan jika hematoma terjadi
pada kedua sisi (bilateral), dijumpai pada 15% sampai 20% kasus. Pada kasus-kasus
tersebut, CT scan dengan kontras dapat menggambarkan batas/tepi korteks. Jika tidak,
angiografi karotis, biasanya melalui kateter transfemoral, dapat berperan penting untuk
menunjukkan pembuluh darah kortikal yang lepas/geser dari tabula dalam tulang
tengkorak pada lokasi hematoma. Hematoma subdural kronik pada umumnya hipodens
dan, oleh sebab itu, mudah dilihat pada CT scan. Hematoma subdural kronis kadang kala
berbentuk lentikular, karena terbungkus/terisolasi didalam membran subdural.

Hematoma intraserebral terlihat hiperdens pada CT dan biasanya ditemukan pada lobus
temporal dan frontal setelah trauma. Struktur-struktur normal dapat tergeser. Terkadang
hemorrhagik intraserebral lobus temporal terlihat berangkaian dengan hematoma subdural
diatasnyayang dinamakan lobus temporal burst (gambar 6), dan memiliki prognosis
yang cukup buruk. Tidak jarang, CT scan pada kasus cedera kepala mayor gagal
menunjukkan adanya lesi. Dengan cara lain, area dengan hipodensitas relatif dapat dilihat
didalam struktur white matter, mencerminkan adanya edema serebral postraumatik.

PERTUKARAN RESPIRASI PADA CEDERA KEPALA

Sangat penting dalam penatalaksanaan medis pasien cedera kepala adalah memahami
pertukaran respirasi yang kacau/tidak teratur. Otak sangat bergantung pada metabolisme
aerobik pada situasi fisiologis dan sebagian besar patologis. Metabolisme otak normal
untuk oksigen adalah 3,5 ml/100 g menit, yang mewakili 20% dari total oksigen yang
dibutuhkan oleh tubuh. Aliran darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan intrakranial
bergantung pada PaCO2 dan pH darah. Sebagai contoh, inhalasi 5% karbondioksida
meningkatkan aliran darah otak sebanyak 50%, dimana hipokapnia yang dihasilkan dari
hiperventilasi dapat menurunkan aliran darah otak sebanyak 60%. Setelah cedera serebral,
oleh sebab itu, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis yang berhubungan dengan
abnormalitas pernafasan dapat menyebabkan perburukan metabolisme neuronal dan
hipertensi intrakranial. Keadaan ini kembali mempengaruhi respirasi, menciptakan siklus
perburukan yang fatal.

18
M.Z. Arifin et al

Gambar 6. Perdarahan kompleks intracranial (Sumber: Netter)

19
M.Z. Arifin et al

Pernafasan dikontrol secara volunter dan otomatis. Pusat volunter tertinggi belum
ditemukan, namun tiga pusat otomatis telah diidentifikasi didalam batang otak: pusat
pneumotasik, yang terletak di pons rostral dan menyempurnakan pusat lain; pusat
apneustik, yang terletak di formasi retikuler midpontine dan mungkin berfungsi sebagai
terminal dari stimulus yang mengakhiri inspirasi; dan pusat medular, yang
mempertahankan ritme intrinsik pernafasan. Stimulus aferen dari perifer (karotis dan
badan aorta dan paru-paru) dan reseptor sentral memberikan input pada pusat-pusat ini.
Output sistem volunter berada di dalam traktus kortikospinal, sedangkan sistem otomatis
terletak di dalam kuadran ventrolateral. Lesi yang dibuat pada traktus spinotalamikus
untuk menghilangkan rasa sakit (kordotomi) dapat mempengaruhi traktus ini. Kadang
kala, tindakan ini dapat mengakibatkan "Ondine's curse," kondisi dimana pasien berhenti
bernafas saat tidur.

Kelainan yang spesifik pada rata-rata dan pola pernafasan dapat mencerminkan disfungsi
fisiologis atau anatomis sistem saraf pusat. Lesi hemifer bilateral yang dalam atau ganglia
basal, atau keduanya, dapat menyebabkan pernafasan Cheyne-Stoke, yang dihubungkan
dengan ensefalopati atau herniasi unkal yang tertunda. Mesensefalik atau lesi pontine
bagian atas dapat menyebabkan hiperventilasi neurogenik sentral, yang juga dapat
diakibatkan oleh hipoksia dan asisdosis. Respirasi apneustik, ditandai dengan inspirasi
yang memanjang, disebabkan oleh lesi pada pusat respirasi apneustik; terjadi pada pasien
dengan infark pontine, hipoglisemia atau anoxia. Pola pernafasan ataksik dapat terjadi
akibat lesi masa yang mempengaruhi pusat pernafasan medulari.

Pengawasan gas darah arterial sangat penting dalam mendiagnosa dan menangani
kelainan pernafasan pada pasien-pasien koma. Hipoksemia sering terjadi pada
pasien-pasien ini, dan perubahan pada gas darah arterial hampir selalu mendahului
perubahan radiografis (lebih cepat 12 jam atau lebih). Pengawasan gas darah arterial juga
bisa menjadi sangat berarti dalam menentukan penyebab koma. Asidosis metabolik dapat
mensinyalir adanya uremia, ketoasidosis diabetik, asidosis laktat atau keracunan.
Alkalosis metabolik dapat disebabkan oleh konsumsi alkali, emesis yang lama atau
hipokalemi. Asidosis respiratori dapat diakibatkan oleh depresi sistem saraf pusat (pada
trauma atau obat-obatan) atau gagal nafas. Alkalosis respiratori merumitkan keracunan

20
M.Z. Arifin et al

aspirin (salisilisme), esefalopati hepatikum dan sepsis. Edema paru akut terkadang
dijumpai bersama dengan cedera kepala, mungkin karena cedera hipotalamik
menyebabkan discharge simpatetik masal, dengan konsekuensi vasokonstriksi dan
shunting volume darah yang banyak ke dalam area vaskular dengan resistensi yang relatif
rendah, termasuk paru-paru.

Banyak faktor lain yang menyebabkan kesulitan bernafas pada pasien yang mengalami
trauma multipel (gambar 7). Terapi medis dan pernafasan yang agresif dapat meringankan
semua abnormalitas tersebut, memperbaiki hasil akhir pasien dengan cedera pada sistem
saraf pusat.

METABOLISME AIR DAN GARAM PADA CEDERA KEPALA

Otak, melalui hipotalamus dan neurohipofisis, berperan penting dalam mengatur


metabolisme air dan garam di dalam tubuh. Kelainan/kekacauan pada sistem yang peka
ini dapat menghasilkan hipertoni atau hipotoni yang berat pada darah, keadaan ini dapat
memperburuk kondisi neurologis yang sudah terlebih dahulu terancam (gambar 8).

Metabolisme normal sodium bergantung pada tiga faktor. Pertama, manusia dan mamalia
lebih menyukai makanan asin dalam jumlah yang melebihi kebutuhan hemostatiknya.
Kedua, aldosterone, mineralokortikoid yang disekresi oleh kelenjar adrenalterutama
dalam merespons sistem renin-angiotensin tetapi juga memberikan respons terhadap
hormon adrenokortikoid (ACTH)mempertahankan sodium dengan cara meningkatkan
absorpsi ginjal. Ahli mempercayai adanya faktor natriuretik sentral: hormon antidiuretik
(ADH, vasopresin), oksitosin, melanocyte-stimulating hormone atau neurofisin. Banyak
faktor dapat mempengaruhi pertukaran air dan garam pada penyakit sistem saraf pusat.
Pemberian solusi hipertonik (seperti, manitol) atau restriksi cairan yang berlebihan untuk
mengurangi edema serebral dapat menyebabkan dehidrasi yang berat. Sebaliknya,
pemberian cairan hipotonik melalui intravena yang berlebihan dapat mengakibatkan
hiposmolaritas dan meningkatkan edema serebral. Hipertermi, masalah paru-paru, shok,
dan lain-lain, dapat mempengaruhi kebutuhan cairan, dan keadaan ini harus ditangani
dengan tepat. Pengawasan serum elektrolit dan urin menjadi sangat amat penting.

21
M.Z. Arifin et al

Gambar 7. Multipel injury pada pasien cedera kepala (Sumber: Netter)

22
M.Z. Arifin et al

Gambar 8. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit (Sumber: Netter)

23
M.Z. Arifin et al

Masalah metabolisme air dan garam yang paling umum pada kelainan sistem saraf pusat
(seperti cedera kepala, ensefalitis atau tumor) terkait dengan gangguan pada mekanisme
kerja ADH. Tiadanya ADH, menyebabkan ekskresi dilute urin (berat jenis <1,005) dalam
jumlah yang besar (8 sampai 10 L/hari)kondisi yang dikenal sebagai diabetes insipidus.
Jika sadar, pasien merasakan kehausan yang hebat dan meminum sejumlah cairan untuk
menggantikan cairan yang keluar. Namun, jika kesadaran pasien atau mekanisme haus
terganggu, atau keduanya, seperti yang sering terjadi pada kasus cedera kepala, pasien
akan mengalami dehidrasi yang berat. Kasus ringan dapat ditangani dengan obat yang
meningkatkan aktifitas ADH yang bersikulasi dalam darah, seperti klorpropamid dan
klofibrat.

Terapi lini pertama untuk dehidrasi berat akut adalah administrasi cairan. Jika pemberian
cairan tidak mencukupi atau kondisi ini berlangsung selama lebih dari 24 sampai 48 jam,
terapi hormone vasopresin encer (aqueous vasopresin) atau vasopresin tannate di dalam
oli dapat diberikan; vasopresin tannate memiliki efek yang lebih lama. Diabetes insipidus
kronik yang berat sekarang ditangani dengan sintesis analog vasopresin melalui nasal
insuflasi, desmoprsin asetat (DDAVP).

Sekresi ADH yang berlebihan merupakan kelanjutan dari cedera kepala, tumor otak,
infeksi sistem saraf pusat, dan hidrosefalus, diantara banyak kondisi. Telah diperkirakan
bahwa kondisi ini, syndrome of inappropriate ADH secretion (SIADH atau sindrom
Schwartz-Bartter), ditemukan pada 30% pasien bedah saraf pada masa perawatan di
rumah sakit. Jika berat, dapat menyebabkan intoksikasi air, diindikasikan dengan mual,
lemah, letargi, bingung, koma dan kejang. Kriteria laboratorium untuk diagnosa SIADH
termasuk konsentrasi serum sodium dibawah 135 mEq/L, konsentrasi sodium urin
melebihi 25 mEq/L, serum hiposmolalitas, dan konsentrasi urin yang abnormal. Kriteria
ini menyingkirkan penyebab serum hiponatremia lain, seperti dehidrasi, gagal jantung
kongestif, sirhosis, penyakit ginjal atau adrenal, dan pemberian diuretik.

Pada pasien asimtomatis, restriksi cairan (600 sampai 800 ml/hari) menurunkan filtrasi
glomerular dan meningkatkan absorpsi sodium di ginjal. Jika pasien simptomatis,
pemberian intravena solusi saline hipertonik memperbaiki kadar serum sodium. Sebagai

24
M.Z. Arifin et al

alternatif, furosemide dapat diberikan, disertai dengan penggantian serum elektrolit yang
hilang melalui kemih. SIADH kronik memberikan reaksi yang baik terhadap
demeklosiklin, tetrasiklin yang bereaksi pada tabula renal distal, menyebabkan diabetes
insipidus "nefrogenik".

PROGNOSIS PADA CEDERA KEPALA

Glasgow Outcome Scale sering digunakan untuk menilai hasil terapi pada kasus cedera
kepala berat. Kategori-kategeri hasil akhir termasuk kematian, status vegetatif persistent,
disabilitas berat (memerlukan bantuan untuk menjalani aktifitas hidup sehari-hari),
disabilitas sedang (tidak memerlukan bantuan dalam aktifitas hidup sehari-hari), dan
sembuh (dapat menjalani pekerjaan sebelumnya). Pada seri Becker, yang
merepresentasikan operasi dan terapi agresif, hasilnya adalah sebagai berikut: mortalitas,
32%; disabilitas berat/status vegetatif, 11%; disabilitas sedang/sembuh, 57%. Semua
pasien pada seri ini berada dalam keadaan koma saat penerimaan.

Bermacam-macam faktor pretrauma mempengaruhi prognosis cedera kepala berat


(gambar 9). Umur adalah faktor yang paling penting, karena mortalitas cedera kepala
meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Tren ini disebabkan oleh insidens
komplikasi medis yang tinggi pada pasien tua dengan cedera kepala berat; terlebih lagi,
lesi masa intrakranial lebih sering terjadi pada pasien tua. Adanya cedera atau penyakit
terdahulu (sebelum trauma) pada otak juga memperburuk prognosis. Contohnya adalah
sindrom "punch-drunk" pada petinju, dimana cedera kepala minor yang berulang
menghasilkan kumulatif prognosis yang buruk. Berbagai macam aspek koma sangat
berhubungan erat dengan hasil akhir. Nilai Glasgow Coma Scale berhubungan dengan
hasil akhir. Kematian atau status vegetatif adalah hasil akhir pada 80% pasien dengan
nilai 3 sampai 4, pada 54% pasien dengan nilai 5 sampai 7, pada 27% pasien dengan nilai
8 sampai 10, dan pada 6% pasien dengan nilai 11 sampai 15. Tanda-tanda disfungsi
batang otak merupakan faktor prognosis yang buruk. Jika respons pupil terhadap cahaya
negatif pada kedua mata, mortalitasnya mencapai 65% pada pasien dengan lesi masa dan
82% pada pasien dengna cedera otak difus. Jika respons okulovestibular nihil, mortalitas
mendekati 60%. Postur deserebrasi terkait dengan 50% mortalitas.

25
M.Z. Arifin et al

Gambar 9. Prognosis cedera kepala berat (Sumber: Netter)

26
M.Z. Arifin et al

Gangguan otonomik, seperti pola pernafasan yang abnormal dan hipertensi, juga
memberikan prognosis yang buruk, dan jenis/asal cedera juga menjadi faktor penentu.
Contohnya, adanya lesi masa meningkatkan mortalitas secara signifikan; oleh karena itu,
CT scan sangatlah penting dalam prognosis. Hasil akhir yang paling baik berhubungan
dengan scan normal atau scan dengan lesi densitas rendah (edema). Prognosis semakin
bertambah buruk pada lesi densitas tinggi berikut: hematoma epidural, hematoma
subdural akut, hematoma intraserebral akut (atau kontusi hemorrhagik), urutan diatas
dimulai dari prognosis yang terburuk.

Pada seri dimana pengawasan tekanan intrakranial diterapkan sejak awal, tekanan
intrakranial meningkat pada semua pasien cedera kepala paska operasi. Pada dua per tiga
pasien nonoperatif dengan cedera otak difus, tekanan intrakranial melebihi 10 mmHg.
Terjadinya tekanan intrakranial yang sulit dikontrol (>40 mmHg) selalu menurunkan
tekanan perfusi serebral dan membawa hasil akhir yang buruk. Rangkaian kejadian ini
bertanggung jawab atas separuh kematian pada cedera kepala berat. Pada pasien dengan
cedera kepala difus, hipertensi intrakranial yang tidak terlalu tinggi meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.

PENUTUP

Kesimpulannya, cedera kepala adalah masalah kesehatan umum. Namun, pengetahuan


tentang patofisiologi telah meningkat pesat, dan penggunaan terapi-terapi agresif,
termasuk pengawasan tekanan intrakranial, telah menurunkan morbiditas dan mortalitas
yang masih sangat tinggi. Ada banyak alasan untuk berharap agar masa depan
memberikan kemajuan lebih lanjut.

27
M.Z. Arifin et al

DAFTAR PUSTAKA

1. Bullock MR, Hovda DA. Introduction to Traumatic Brain Injury. In : Youmans (ed)
Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2011 : 3267-69.
2. Schouton JW, Maas AIR. Epidemiology of Traumatic Brain Injury. In : Youmans (ed)
Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2011 : 3267-69.
3. Fearnside MR, Simpson DA. Epidemiology. In : Head Injury Pathophysiology and
Management. London : Hodder Arnold. 2005 : 3-25.
4. Fane RA, Nassar T, Mazuz A, Waked O, Heyman SN, dkk. Neuroprotection by
glucagon: role of gluconeogenesis. J Neurosurg 114:85-91, 2011.
5. Imron A. Pola pasien cedera otak traumatika di RSHS. 2012.
6. Data Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2011.

28

Anda mungkin juga menyukai