Anda di halaman 1dari 6

EPISTEMOLOGI

Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos


(kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan
jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan
dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode,
diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis
dan metode dialektis (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).

Epistemologi
Jika kita tanya kepada orang disamping kiri kita, kenapa anda meyakini bahwa
manusia itu adalah begini dan bukan begitu, maka dia akan memaparkan jawaban
tentang kebeginian sehingga dia tiba kepada keyakinan bahwa manusia itu adalah
begini.

Pengetahuan
Pun demikian jika kita menoleh kepada orang yang disamping kanan kita, dan
menanyakan, Dan kenapa anda meyakini bahwa manusia itu adalah begitu dan bukan
begini, maka orang yang disamping kanan kita akan mengungkapkan jawaban yang
berbeda dengan orang disamping kiri kita dengan memaparkan teori tentang kebegituan
sehingga dia tiba kepada keyakinan bahwa manusia itu adalah begitu.
Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa masing-masing orang mempunyai jawaban yang
berbeda atas satu permasalahan yang sama?
Disini menarik untuk kita teliti, apa sih yang menyetir pikiran orang sehingga kemudian
masing-masing individu dan golongan cenderung untuk mempertahankan dan membela
apa yang diyakininya.
Mari kita lihat dulu proses bagaimananya, Bagaimana seseorang tiba kepada
sebuah keyakinan.
Seseorang tiba kepada sebuah keyakinan tentang sesuatu sesuai dengan porsi
pengetahuannya (epistemologi), dari pengetahuan yang didapat tersebut kemudian
terbentuklah sebuah pandangan alam dan dari pandangan alam ini muncullah sebuah
ideologi yang pada akhirnya akan menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak
boleh, mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus ditolak, mana yang halal dan
mana yang haram.
Dari proses kebagaimanaan tersebut, nanti kita akan memfokuskan pembicaraan
kita kepada teori pengetahuan. Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, alat untuk
mendapatkan pengetahuan, sumber pengetahuan, tahapan pengetahuan dan jika
memungkinkan akan kita kaji juga bentuk dan bagian pengetahuan.
Namun sebelum sampai kesana, sekarang kita perlu tahu sedikit, bagaimana hubungan
pengetahuan dengan ideologi seseorang. Bagaimana pengetahuan itu melahirkan
Pandangan Alam.
Pandangan Alam adalah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran dan hasil
kajian seseorang terhadap alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah.
Sebagaimana yang saya kemukakan pada pembuka tulisan ini bahwa antara orang yang
disebelah kiri dan kanan kita juga telah dan atau bisa terjadi perbedaan pandangan alam,
yang satu mengatakan bahwa manusia itu adalah begini dan yang lainnya mengatakan
begitu. Perbedaan pandangan alam secara otomatis akan membawa kepada perbedaan
ideologi karena sandaran atau dasar sebuah ideologi itu adalah pandangan alam.
Ideologi akan menentukan sederet perintah dan larangan, anda tidak boleh begini, anda
harus begitu, yang ini yang harus dipertahankan, yang itu yang harus ditolak, yang ini
yang baik, yang itu yang jelek dan seterusnya. Dan semua perintah dan larangan yang
ditentukan oleh ideologi tersebut mengandung sebuah pertanyaan Kenapa?
Kenapa tidak boleh begini, kenapa boleh begitu, kenapa harus mempertahankan yang
ini dan kenapa harus menolak yang itu, kenapa yang ini baik dan kenapa yang itu jelek
dan seterusnya.
Dan semua jawaban atas pertanyaan kenapa itu akan dijawab oleh pandangan
alam seseorang. Bentuk pandangan alam seperti apapun yang kita miliki terhadap alam
semesta ini maka ideologi kitapun akan selalu mengikuti pandangan alam itu.
Misalnya, tidak mungkin orang yang mempunyai pandangan alam bahwa alam semesta
ini adalah hanya materi semata, manusia itu adalah materi semata lalu ia akan meyakini
bahwa akan adanya kehidupan yang kekal dan abadi yang non materi. Disinilah
dikatakan bahwa ideologi merupakan buah hasil dari pandangan alam
Pandangan alam, tidak ubahnya seperti pondasi atau dasar dari sebuah bangunan,
sedangkan ideologi adalah bangunan atas dari sebuah bentuk pemikiran. Dengan kata
lain bisa dikatakan bahwa pandangan alam adalah teori dan ideologi adalah praktek
dari sebuah pemikiran.

Epistemologi Imam Ghazali dan Rene Descartes


Banyak yang berpendapat, bahwa keyakinan harus dipegang teguh, dan tidak
boleh diragukan sedikitpun. Tapi tahukah anda, bahwa ada seseorang yang mendapatkan
keyakinannya dari keraguan yang amat mendalam? Bagaimana ceritanya? Dan Siapakah
dia? Mari kita simak!
Bangsa Turki dan Kekhalifahan: Sebuah pergeseran Sosial
Pada abad ke 5 hijriah (11 masehi), Bangsa Turki menduduki wilayah Timur Tengah.
Awalnya, mereka tidak punya agama, dan tidak punya bahasa tulis. Alhasil, mereka pun
mengadopsi agama Islam, dan mengadopsi bahasa Persia sebagai bahasa resmi mereka.
Ibu kota merekapun, pada awalnya terletak di wilayah Persia (sekarang Iran). Dengan
pendudukan bangsa Turki ini, maka Khalifah di Baghdad menjadi tidak lebih daripada
boneka Sultan Turki. Kekuasaan riil berada di tangan Sultan. Perebutan kekuasaan ini
mengakibatkan terjadinya disintegrasi sosial. Konsekuensi perubahan ini adalah,
terjadinya kekosongan dan kehampaan spiritualitas, terutama di seluruh wilayah
kekhalifahan. Bermunculanlah berbagai aliran filsafat, kebatinan, ataupun kelompok
rahasia, sebagai cara untuk mengisi kekosongan sosio-spiritual tersebut. Ditengah
kekacauan sosial tersebut, hadirlah seorang Abu Hamid Al-Ghazali di panggung sejarah.

Kegelisahan seorang profesor


Al Ghazali dikenal sebagai seorang jenius. Dia sudah hapal al-quran dan
menguasai bahasa arab, sebelum memasuki masa puber. Prestasi akademisnya di sekolah
dan universitas sangat cemerlang, sehingga tidak heran jika akhirnya dia ditawarkan
posisi menjadi guru besar dalam bidang ilmu agama di Universitas Nizamyyah, Baghdad.
Sepintas, sampai disini kita melihat bahwa seorang Al-Ghazali akan menjadi seorang
akademisi terkemuka untuk seterusnya. Namun, ternyata jalan hidupnya bergerak ke arah
lain.
Pada suatu hari, Al Ghazali mengalami penyakit yang aneh. Dia kehilangan
tenaga dan stamina untuk mengajar dan meneliti, sehingga produktivitasnya turun drastis.
Dokter terbaik di seluruh wilayah kekhalifahan sudah dipanggil untuk menyembuhkan
penyakit tersebut, tapi mereka semua angkat tangan. Akhirnya Al Ghazali sadar, bahwa
penyakit dia bukanlah penyakit fisik, namun penyakit psikis.
Ternyata kegelisahan dia bermulai dari pertanyaan sederhana, yaitu apakah yang
saya cari?. Pada waktu itu, Al Ghazali sudah memiliki posisi tinggi di Universitas, dan
memiliki harta sangat banyak. Namun, akhirnya dia bertanya kepada dirinya sendiri,
apakah semua ini adalah tujuan hidup saya? Posisi di Universitas? Harta berlimpah?
Apakah hanya ini? Bagaimana kalo akhirnya saya kehilangan semuanya dalam sekejab?.
Al Ghazali meyakini, bahwa motivasi dia mengajar dan meneliti tidaklah tulus demi
kemanusiaan dan sesamanya. Semua itu hanya demi mendongkrak popularitas dia
semata. Dan jika memiliki popularitas, hanya menunggu waktu sebelum akhirnya
kehilangan semuanya. Perasaan kehilangan popularitas itu membuatnya sangat khawatir
dan stress berkepanjangan. Semua pertanyaan itu, mengendap dalam pikirannya, tanpa
ada jawaban. Akhirnya dia jatuh sakit.
Akhirnya, Dia melakukan uzlah, atau perjalanan mengembara selama bertahun-
tahun. Setelah memberikan nafkah bagi anak dan istrinya untuk hidup, pergilah dia
meninggalkan Baghdad. Seperti yang dikemukakan diatas, wilayah kekhalifahan waktu
itu memiliki banyak aliran dengan berbagai macam ideologi. Pada awalnya, Al Ghazali
bergabung dengan para filusuf. Di forum ini, Al Ghazali mempelajari karya filusuf
muslim, seperti Ibn Sina dan Al Farabi. Dari para filusuf muslim itulah, dia mengenal
pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, yang adalah filusuf yunani klasik. Pada
awalnya, Al Ghazali sangat puas bergabung dengan para filusuf. Namun, akhirnya dia
sadar, bahwa filsafat hanya mampu memberi jawaban terhadap kegelisahan di akal,
namun tidak dapat menghentikan kegelisahan hati. Akhirnya, filusuf ia tinggalkan, dan
memasuki kelompok kebatinan (catatan: jangan samakan kebatinan versi al ghazali
dengan kebatinan di Indo. Tidak ada hubungannya). Di kelompok kebatinan yg ia jumpai,
Al Ghazali dipaksa untuk patuh secara buta terhadap gurunya. Pertanyaan atau keraguan
adalah pembangkangan. Penggunaan akal, untuk menganalisa kebenaran, dilarang sama
sekali. Ini jauh lebih buruk daripada kelompok filusuf, dan akhirnya kebatinan dia
tinggalkan.
Kelompok Sufi: Penguasa segala keadaan
Akhirnya, Al-Ghazali bergabung dengan kelompok sufi. Berbeda dengan filusuf,
sufisme tidak hanya menggunakan akal, namun juga intuisi. Berbeda juga dengan
kebatinan, penggunaan akal dalam sufisme masih diperbolehkan untuk hal rasional. Pada
dasarnya, kelompok sufi, yang bergabung dalam tarekat, melakukan olah batin untuk
menjaga keseimbangan antara ikthiar (usaha manusia) dengan kepasrahan (berkat Ilahi).
Seorang sufi, akan bekerja keras seperti hidup abadi di dunia, namun beribadah seperti
akan segera berpulang kepada-Nya. Dalam Sufi, juga ditekankan benar untuk bertoleransi
dengan sesama kaum muslim yang berbeda ideologi, dan juga bertoleransi dengan
mereka yang berbeda keyakinan. Toleransi adalah keharusan, sebab dalam kacamata para
Sufi, manusia, siapapun mereka, adalah ciptaan Tuhan. Menghargai dan mengapresiasi
ciptaan Tuhan adalah suatu keniscayaan. Bergaul dengan mereka yang berbeda ideologi,
dan berbeda keyakinan, sudah menjadi kebiasaan kaum Sufi. Karena ketepatan kaum Sufi
untuk menjaga keseimbangan, antara dunia dan akhirat, dan keluwesan pergaulan
mereka, maka Al-Ghazali menjuluki kaum Sufi sebagai Penguasa segala keadaan.
Rene Descartes: Mempelajari filsafat Al-Ghazali.
Beberapa waktu setelah Al-Ghazali meninggal, karya beliau diterjemahkan ke
bahasa latin oleh intelektual eropa. Di benua ini, Al-Ghazali dikenal namanya sebagai
Algazel. Ternyata, filusuf Perancis Rene Descartes juga mempelajari karya Al-Ghazali.
Buktinya, seorang profesor Tunisia pernah membaca terjemahan latin karya Al-Ghazali di
perpustakaan nasional Perancis, dan menemukan tulisan tangan Descartes di buku itu.
Descartes menulis: Pindahkan ini ke metode kita pada buku Al-Ghazali tersebut.
Namun, filsafat Descartes tetap berbeda dengan Al-Ghazali. Descartes tidak
memasukkan sufisme kedalam filsafatnya, namun aspek rasional dari pemikiran Al-
Ghazali yang dia utamakan. Sesuatu yang sah-sah saja, sebab pemikiran siapapun pasti
akan mengalami adaptasi kultural di bangsa lain.
Dari keraguan menuju pengetahuan
Namun, apa yang bisa kita petik dari cerita diatas. Dalam kisah tersebut, jelas
bahwa Al-Ghazali berpendapat bahwa kaum sufi merupakan penguasa segala keadaan.
Sebenarnya, tidak hanya Islam, namun semua agama memiliki tradisi Sufi. Misalnya,
Katholik dengan asketisme, dan Hindu-Budha dengan Yoga atau Tantra. Semua tradisi
tersebut adalah wahana olah batin, untuk menjaga keseimbangan antara dunia dan
akhirat.

Referensi
Ihya Ulumudin (Ilmu-ilmu agama), Abu Hamid Al Ghazali
Muqidz ad-Dholal (Kitab keraguan), Abu Hamid Al-Ghazali
History of Western Philosophy, Bertrand Russel
foto:.jadu.de

Anda mungkin juga menyukai