Anda di halaman 1dari 20

BAB I

HEPATOMA

I. Landasan teori
A. Pengertian
Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoseluler atau
karsinoma hepatoprimer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak
normal yang ditandai dengan bertabahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki
kemampuan membelah/mitosis desertai dengan perubahan sel hati yang menjadi
ganas.
Kanker hati sering disebut penyakit terselubung pasien sering kali tidak
mengalami gejala sampai kanker pada tahap akhir, sehingga jarang ditemukan dini.
Pada pertumbuhan kanker hati, beberapa pasien mungkin mengalami gejala seperti
sakit di perut sebelah kanan atas meluas ke bagian belakang dan bahu, bloating, berat
badan, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah, demam, dan ikterus.
Penyakit-penyakit hati lainnya dan masalah-masalah kesehatan juga dapat
menyebabkan gejala-gejala tersebu, tapi setiap orang yang mengalami gejala seperti
ini harus berkonsultasi dengan dokter (Hussodo, 2006).
Kanker hati atau karsinoma hepatoma seluler merupakan tumor ganas hati
primer yang sering dijumpai di Indonesia. KHS merupakan tumor ganas dengan
prognosis yang amat buruk, dimana pada umumnya penderita meninggal dalam
waktu 2-3 bulan sesudah diagnosisnya di tegakkan (Misnadiarly, 2007).
B. Etiologi
a. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti
kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar
wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan heatoma yang
tinggi umur saat terjadi infeksi merupakan faktor resiko penting karena infeksi
HBV pada usia dini berakibat akan terjadi kronisitas. Karsinogenitas HBV
terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan
proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan

1
aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya,
perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi
menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secaratidak
langsung akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan, suatu atau beberapa gen yang
berubah akibat HBV. Infeksi HBV dengaan panjang agen onkogenik seperti
aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati.
b. Virus Hepatitis C
Diwilayah dengan tungkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko
penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling umum
karsinoma hepatoseluler di jepang dan eropa, 30% dari kasus karsinoma
hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi HCV. Sekitar 5-30% orang dengan
inffeksi HCV akan berkembang menjadi hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar
30% berkembang menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang
menjadi karsinoma hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien
dengan HCV sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan
alkohol oleh pasien dengan HCV kronis lebih beresiko terkena karsinoma
hepatoseluler dibandingkan dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa penggunaan antivirus pada infeksi HCV kronis dapat
mengurangi resiko karsinoma hepatoseluler secara signifikan.
c. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di
Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan infeksi
hepatitis B. Setiap tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan menderita
hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati.
Otopsi pada pasien dengan sirosis hati, 20-80% di antaranya telah menderita
hepatoma.

d. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak

2
berhubungan dengan makanan berjamur.1 Pertumbuhan jamur yang
menghasilkan aflatoksin berkembang subur pada suhu 13C, terutama pada
makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai makanan
yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian
(kentang rusak, umbi rambat rusak,singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan
beras berjamur.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1
menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan
menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan
aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma.
e. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat
diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x akibat
kanker pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40 kg/m2)
dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Obesitas
merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disesease
(NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat
berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian berlanjut menjadi hepatoma.
f. Diabetes Melitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk penyakit
hati kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan hati dan
steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan
peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang
merupakan faktor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya aasosiasi
antara DM dan hepatoma terlihat dari banyak penelitian. Penelitian oleh El Serag
dkk. yang melibatkan173.643 pasien DM dan 650.620 pasien bukan DM
menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada kelompok DM lebih dari dua kali
lipat dibandingkan dengan insidensi hepatoma kelompok bukan DM.
g. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol (>50-70 g/hari atau > 6-7 botol per hari) selama lebih dari 10 tahun
meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti

3
adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga
meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap infeksi
HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC juga
meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau anti-HCV positif.
Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun
infeksi HCV.

C. Patofisiologi
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut
merupakan proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses dari
pembentukan hepatoma walaupun pada pasien-pasien hepatoma kelainan cirrhosis
tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses replikasi DNA Virus
dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein yang tidak dapat
bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari infeksi virus hepatitis,
dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan
mereplikasikan diri disitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan
dari keganasan yang nantinya akan menghambat apoptosis dan meningkatkan
proliferase sel hati. Para ahli genetika mencari gen-gen yang berubah dalam
perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkam adanya mutasi dari gen p53,
PIKCA, dan B-Catenin.
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul-nodul dihepar, baik
nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa
tidak ada progresi yang khusus dari nodul-nodul diatas yang menuju kearah
hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari
sel-sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan hepatoma. Sel-sel kecil ini
disebut sebagai stem cel dari hati. Sel-sel ini meregenerasi sel-sel hati yang rusak,
tetapi sel-sel ini juga berkembang sendiri menjadi nodul-nodul yang ganas sebagai
respon dari adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus. Nodul-
nodul inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma
Stadium Hepatoma
Stadium I : Satu fokal tumor berdiameter < 3 cm

4
Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segment I
atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium III : Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau ke
lobus kanan segment V dan VIII atau tumor dengan invasi peripheral
ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary
duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium IV : Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus
kiri hati.
- atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra
hepaticvaskuler) ataupun pembuluh empedu (biliary duct)
- atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra
hepaticvessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis)
- atau vena cava inferior-atau adanya metastase keluar dari hati (extra
hepatic metastase)

5
Pathway

Virus Virus Aflatoksi Alkohol, steroid,


n
anabolic, androgen yang
berlebihan, bahan
Integrasi DNA Infeksi sel hati Mutasi Gen
Virus ke DNA sel kontrasepsi oral,
penimbunan zat besi
yang berlebihan dalam
Peningkatan inflamasi
poliferasi hepatosit hati

Sirosis hepatik

Hepatoma

Anoreksia, mual Asitesis

Gangguan nutrisi kurang Dinding perut mengembang Diafragma tertekan


dari kebutuhan

Gangguan rasa nyaman nyeri Gangguan ventilasi

Pembedahan

Insisi bedah Diskontinuitas


jaringan

Luka post operasi

Resiko Infeksi Gangguan rasa


nyaman nyeri

6
D. Manifestasi Klinis
Biasanya gejala awal hepatoma adalah nyeri perut, penurunan berat badan dan
terdapatnya suatu massa yang besar, yang dapat dirasakan/diraba diperut kanan
bagian atas
Penderita yang sebelumnya menderita sirosis menahun, akan tampak sangat
sakit. Pada umumnya terdapat demam, Keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun
ada rasa bengkak di perut kanan atas, Nafsu makan berkurang, Berat badan menurun,
dan rasa lemas. Keluhan lain terjadinya perut membesar karena ascites (penimbunan
cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam,
bengkak kaki, kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lain-
lain. Kadang gejala awalnya berupa nyeri perut akut dan syok, yang disebabkan oleh
pecahnya tumor atau perdarahan pada tumor.
E. Pemeriksaan penunjang
1. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama
ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan
radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma.
Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CTscann mudah,
aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat
jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju
tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan
akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi
itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.
2. Radiologi
Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat menentukan
dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa
benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah,dua buah atau lebih atau bisa sangat
banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan
atau kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul.
3. Ultrasonografi
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang
normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen). USG conventional
hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hatidiameter 2 cm 3 cm saja. Tapi

7
bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa
mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan
diagnosanya hanya 60%.
4. CT scan
CT scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu
potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-
sebagian saja. CTscann dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan
empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker
ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.
5. Angiografi
Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang
kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa
saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan
ukuran kanker yang sebenarnya.
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic
ResonanceAngiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta
pembuluh darah kanker hati ini.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis
kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan
dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk
mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme
di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker.
PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan
lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping
itu juga dapat melihat metastase (penyebaran).
F. Penatalaksanaan Medis
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan
radiologi dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan
besarnya ukuran kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya
tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat

8
besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya
metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada
tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati. Tahap
penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu tindakan non-bedah dan tindakan bedah.
1. Tinakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini dalah tindakan
bedah yaitu reseksi (pemotongan) bagian hati yang terkena kanker dan juga
reseksi daerah sekitarnya. Pada prinsifnya dokter ahli bedah akan membuang
seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita,
karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu
sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas antara kanker dan
jaringan yang sehat. Radiologilah satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan
pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan CT Angiography yang dapat
memperjelas batas kanker dan jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu
menentukan dimana harus dibuat sayatan.
Dilakukan CT Angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah
kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab
memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat
tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial
Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukan zat yang dapat menyumbat
pembuluh darah (feeding Artery) sehingga menyetop suplai makanan ke se-sel
kanker dan dengan demikian kemampuan hidup (viability) dari sel-sel kanker
akan sangat menurun bahkan sampai menghilang.
Sebelum dilakukan TAE terlebih dahulu dilakukan tindakan Trans Arterial
Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding Artery kankernya
disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah terkena racun
dan ditutupi suplai makanannya, maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan
tidak dapat berkembang kembali dan biala sel-sel ini nanti terlepas saat operasi
tidak perlu dikhawatirkan, karena sudah tidak mampu lagi tumbuh. Tindakan
TAE digabung dengan tindakan TAC yang dilakukan oleh dokter spesialis
radiologi. Selain itu TAE juga bertujuan untu supportif yaitu untuk mengurangi

9
pendarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan ukuran kanker dengan
demikian memudahkan dokter melakukan sayatan.
Pemberian kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bagian
onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan melalui
pembuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan
mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup
penderita per lima tahun 90% dan per sepuluh tahun 80%
2. Tindakan Non-Bedah Hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada
stadium lanjut. Yang termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah :
a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhakan makanan dan oksigen
yang datangnya bersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada
kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan
oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (new-
vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah baru
yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery)
tindakan TAE ini menyumbat feeding Artery
Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (artery
femoralis ) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta
abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery
hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery
ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga
aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan
oksigen ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati.
Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial
chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapy melalui feeding artery itu
maka sel-sel kanker akan diracuni dengan obat yang mematikan.
b. Infus Situstatika Intra-arterial
Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal
berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas
mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila
vena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati

10
normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti
kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini.
Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang
besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat
dilakukan tindakan transplantasi hatinoleh karena ketiadaan donor, atau
karena pasien menolak atau karena ketidak mampuan pasien. Sitostatika yang
dipakai adalah mitomycin C 10-20 mg kombinasi dengan adriblastina 10-20
mg dicampur dengan NaCl (saline) 100-200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan
5FU (5nFluoro Uracil).
Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus
sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen
balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah
ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan
dalam keadaan ballon mengembang selama 10-30 menit, tujuannya adalah
memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan
hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunya 30%
dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah 20% dan 10% .
c. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua
tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tidak mampu
membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan
satu-satunya.
Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakam, aman, efek
samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan.
PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium
lanjut. Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara ini untuk
kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal
dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3 cm, pemeriksaan histopatologi
setelah tindakan membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang
lengkap. Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus
kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari 3 buah nodule, meskipun
dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus yang optimal dalam

11
pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong tetapi
tidak banyak penelitian yang memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan
membawa tindakan ini memberi hasil yang cukup baik.
d. Terapi Non-Bedah Lanilla
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya
dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Chemotherapy tidak
mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation
Therpy (RFA), proton Beam Therapy, Three Dimentional Conformal
Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang kesemuanya ini bersifat palliatif
(membantu) bukan kuratidf (menyembuhkan) keeluruhannya.
e. Tindakan Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati
dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh
hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta
(thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari
transplantasi hati. Transplantasi hati adalah tindakan pemasangan organ hati
dari orang lain ke tubuh seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkah lain
seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebutkan diatas tidak
mampu lagi menolong pasien.
Akan tetapi, langkah menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya
ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring
kesepakatan global yang melarang jual beli organ tubuh. Selain itu, biaya
transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula sebelum proses transplantasi
harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes jaringan tubuh dan
darah yang tujuannya memastikan adanya kesamaan/kecocokan tipe jaringan
tubuh pendonor dan pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru.
Penolakan bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang
akan menimbulkan kerusakan permanen dan mempercepat kematian
penderita. Seiring keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien
setidaknya akan lebih panjang lima tahun.

12
G. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran
cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom
hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis klornik, kegagalan
fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan
sirkulasi darah. Sindrom ini mempunyai resiko kematian yang tinggi. Terjadinya
gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad 19
dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs. Penatalaksanaan sindrom
hepatorenal masih belum memuaskan, masih banyak kegagalan sehingga
menimbulkan kematian. Prognosis pasien dengan penyakit ini buruk.

II. Fokus Assesment


PENGKAJIAN
a. Biodata
Pengkajian ini penting dilakukan untuk mengetahui latar belakang, status sosial
ekonomi, adat / kebudayaan, dan keyakinan spiritual, sehingga mudah dalam
komunikasi dan menentukan tindakan keperawatan yang sesuai.
Riwayat Keperawatan
a. Keluhan utama
Adanya pembesaran hepar yang dirasakan semakin mengganggu sehingga
bisa menimbulkan keluhan sesak napas yang dirasakan semakin berat
disamping itu disertai nyeri abdomen.
b. Riwayat Penyakit sekarang
Riwayat Penyakit Sekarang dapat diperoleh melalui orang lain atau dengan
klien itu sendiri. Dikaji untuk mendapatkan kemungkinan adanya penyakit
yang mendasari hepatoma seperti hepatitis dan sirosis hepatic.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Penyakit Dahulu dikaji untuk mendapatkan data mengenai
penyakit yang pernah diderita oleh klien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Penyakit Keluarga dikaji untuk mengetahui data mengenai
penyakit yang pernah dialami oleh anggota keluarga, adanya anggota
keluarga yang menderita penyakit yang sama.

13
Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Biasanya pasien terlihat lemas, letih, dengan perut membesar dan sesak,
mual mubtah, kurang tidur, penurunan BB
b) Vital Sign
TD : ...... mmHg
N : ...... x / mnt
RR : ...... x / mnt
S : ...... C
c) Kepala dan leher
Biasanya terjadi pernafasan cuping hidung, ikterus, muntah
d) Thoraks
Biasanya terjadi retraksi dada dikarenakan kesulitan bernafas,
penggunaan otot-otot bantu pernafasan.
e) Abdomen
Biasanya terjadi pembesaran hati (hepatomegali), permukaan hati terasa
kasar, asites, nyeri perut bagian kanan atas dengan skala 7-10,
splenomegali
f) Ekstermitas
Biasanya terjadi gatal-gatal, kelemahan otot
g) Breath
Biasanya pasien mengalami sesak nafas
h) Blood
Biasanya pasien anemi dikarenakan adanya perdarahan
i) Brain
Jika sudah metastase akan terjadi enselofaty hepatik
j) Bowel
Biasanya pasien mengalami anoreksia, mual, muntah, melena, bahkan
mungkin terjadi hematomesis. Terjadi penurunan BB, turgor kulit lebih
dari 2 detik, rambut keriting, penurunan serum albumin.
k) Blader
Biasanya pasien mengeluarkan urine berwarna seperti teh pekat

14
l) Bone
Jika terjadi metastase ke tulang akan terjadi nyeri tulang
Riwayat pemenuhan Bio-Psikososial-spiritual
1. pola Respirasi
2. pola Nutrisi
3. pola Eliminasi
4. pola Aktivitas
5. kebutuhan Istirahat Tidur
6. Kebutuhan Rasa Aman dan Nayaman
7. Kebutuhan Personal Hygiene
8. Mempertahankan Temperatur tubuh
9. Berkomunikasi dengan orang lain
10. Kebutuhan bekerja
11. Kebutuhan bermain / Rekreasi
12. Kebutuhan berpakaian
13. Kebutuhan belajar
14. Kebutuhan spiritual

III. Masalah / Diagnosa keperawatan


Berdasarkan pengkajian di atas maka diagnosa keperawatan yang sering muncul adalah:
a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan adanya penurunan ekspansi
paru (ascites dan penekanan diafragma)
b. Nyeri akut abdomen berhubungan dengan adanya penumpukan cairan dalam rongga
abdomen (ascites).
c. Gangguan nutrisi : Kurang dari kebutuhan berhubungan dengan tidak adekuatnya
asupan nutrisi.
d. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan sesak dan nyeri.
e. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan sesak dan nyeri
f. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita.

IV. Rencana Tindakan / Intervensi


Intervensi I :

15
a. Pertahankan Posisi semi fowler.
Rasional : Posisi ini memungkinkan tidak terjadinya penekanan isi perut terhadap
diafragma sehingga meningkatkan ruangan untuk ekspansi paru yang
maksimal. Disamping itu posisi ini juga mengurangi peningkatan
volume darah paru sehingga memperluas ruangan yang dapat diisi oleh
udara.
b. Observasi gejala kardinal dan monitor tanda tanda ketidakefektifan jalan napas.
Rasional : Pemantau lebih dini terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat
diambil tindakan penanganan segera.

c. Berikan penjelasan tentang penyebab sesak dan motivasi utuk membatasi aktivitas.
Rasional : Pengertian klien akan mengundang partispasi klien dalam mengatasi
permasalahan yang terjadi.
d. Kolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam pemberian Oksigen dan pemeriksaan
Gas darah.
Rasional : Pemberian oksigen akan membantu pernapasan sehingga eskpasi paru
dapat maksimal. Pemeriksaan gas darah untuk mengetahui kemampuan
bernapas.
Intervensi II :
a. Lakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik.
Rasional : Analgesik bekerja mengurangi reseptor nyeri dalam mencapai sistim
saraf sentral.
b. Atur posisi klien yang enak sesuai dengan keadaan.
Rasional : Dengan posisi miring ke sisi yang sehat disesuaikan dengan gaya
gravitasi,maka dengan miring kesisi yang sehat maka terjadi
pengurangan penekanan sisi yang sakit.
c. Awasi respon emosional klien terhadap proses nyeri.
Rasional : Keadaan emosional mempunyai dampak pada kemampuan klien untuk
menangani nyeri.
d. Ajarkan teknik pengurangan nyeri dengan teknik distraksi.
Rasional : Teknik distraksi merupakan teknik pengalihan perhatian sehingga
mengurangi emosional dan kognitif.

16
e. Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Deteksi dini adanya kelainan
Intervensi III :
a. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin.
Rasional : Dengan pemberian vitamin membantu proses metabolisme,
mempertahankan fungsi berbagai jaringan dan membantu pembentukan
sel baru.
b. Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh dan diit yang di tentukan
dan tanyakan kembali apa yang telah di jelaskan.
Rasional : Pengertian klien tentang nutrisi mendorong klien untuk mengkonsumsi
makanan sesuai diit yang ditentukan dan umpan balik klien tentang
penjelasan merupakan tolak ukur penahanan klien tentang nutrisi
c. Bantu klien dan keluarga mengidentifikasi dan memilih makanan yang mengandung
kalori dan protein tinggi.
Rasional : Dengan mengidentifikasi berbagai jenis makanan yang telah di
tentukan.
d. Identifikasi busana klien buat padan yang ideal dan tentukan kenaikan berat badan
yang diinginkan berat badan ideal.
Rasional : Diharapkan klien kooperatif.
e. Sajikan makanan dalam keadaan menarik dan hangat.
Rasional : Dengan penyajian yang menarik diharapkan dapat meningkatkan selera
makan.
f. Anjurkan pada klien untuk menjaga kebersihan mulut.
Rasional : Dengan kebersihan mulut menghindari rasa mual sehingga diharapkan
menambah rasa.
g. Monitor kenaikan berat badan
Rasional : Dengan monitor berat badan merupakan sarana untuk mengetahui
perkembangan asupan nutrisi klien.
Intervensi IV :
a. Lakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen dan analgesik
Rasional : Dengan penambahan suplay O2 diharapkan sesak nafas berkurang
sehingga klien dapat istirahat.

17
b. Beri suasana yang nyaman pada klien dan beri posisi yang menyenangkan yaitu
kepala lebih tinggi:
Rasional: Suasana yang nyaman mengurangi rangsangan ketegangan dan sangat
membantu untuk bersantai dan dengan posisi lebih tinggi diharapkan
membantu paru paru untuk melakukan ekspansi optimal.
c. Berikan penjelasan terhadap klien pentingnya istirahat tidur.
Rasional : Dengan penjelasan diharapkan klien termotivasi untuk memenuhi
kebutuhan istirahat sesuai dengan kebutuhan.
d. Tingkat relaksasi menjelang tidur.
Rasional : Diharapkan dapat mengurangi ketegangan otot dan pikiran lebih
tenang.
e. Bantu klien untuk melakukan kebiasaannya menjelang tidur.
Rasional : Dengan tetap tidak mengubah pola kebiasaan klien mempermudah
klien untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Intervensi V :
a. Bimbing klien melakukan mobilisasi secara bertahap.
Rasional : Dengan latihan secara bertahap klien dapat melakukan aktivitas sesuai
kemampuan.
b. Latih klien dalam memenuhi kebutuhan dirinya.
Rasional : Diharapkan ada upaya menuju kemandirian.
c. Ajarkan pada klien menggunakan teknik relaksasi yang merupakan salah satu teknik
pengurangan nyeri.
Rasional : Pengendalian nyeri merupakan pertahanan otot dan persendian dengan
optimal.
d. Jelaskan tujuan aktifitas ringan.
Rasional : Dengan penjelasan diharapkan klien kooperatif.
e. Observasi reaksi nyeri dan sesak saat melakukan aktifitas.
Rasional : Dengan mobilisasi terjadi penarikan otot, hal ini dapat meningkatkan
rasa nyeri.
f. Anjurkan klien untuk mentaati terapi yang diberikan.
Rasional : Diharapkan klien dapat kooperatif.
Intervensi VI :

18
a. Berikan dorongan pada klien untuk mendiskusikan perasaannya mengemukakan
persepsinya tentang kecemasannya.
Rasional : Membantu klien dalam memperoleh kesadaran dan memahami
keadaan diri yang sebenarnya.
b. Jelaskan pada klien setiap melakukan prosedur baik keperawatan maupun tindakan
medis.
Rasional : Dengan penjelasan diharapkan klien kooperatif dan mengurangi
kecemasan klien
c. Kolaborasi dengan dokter untuk penjelasan tentang penyakitnya.
Rasional : Dengan penjelasan dari petugas kesehatan akan menambah
kepercayaan terhadap apa yang dijelaskan sehingga cemas klien
berkurang.

V. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, tindakan dan pelaksanaannya sudah
berhasil dicapai. Untuk evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor kealpaan
yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan dan pelaksanaan tindakan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Gale, Danielle, Charette, Jane. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta:
EGC.

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa
YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Sylvia Anderson Price, Ph D. R.N. dan L.Mc.Carty Wilson, Ph D. R.N, Pathofisiologi


proses-proses penyakit, edisi I, Buku ke empat.

Marilyn E. Doenges, Merry Frances Mourhouse, Allice C. Glisser. 2000. Nursing Care
Planning Guidelines For Planning and Documenting Patient Care. Third
Edition.Philadelphia FA. Davis. Company.

20

Anda mungkin juga menyukai