Anda di halaman 1dari 27

Oleh

HASRI SALWAN

Milik Pribadi
TIDAK UNTUK DIPUBLIKASIKAN
19Agustus 2008, Print Kedua

PALEMBANG 2008

Penyakit diare masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara-
negara berkembang. Pengelolahan diare menurut WHO telah berhasil menurunkan angka kematian diare
sebesar 95%, tetapi hanya sedikit menurunkan angka kesakitan diare. Pengelolaan diare yang dianjurkan
WHO meliputi empat unsur utama, yakni pemberian cairan, diet, obat-obatan, dan penyuluhan. Pengelolahan
diare tersebut tidak memperhatikan etiologi, patofisiologi, dan patogenesis terjadinya diare. Hanya sedikit
diare akut (di bawah 5%) yang melanjut menjadi diare kronis. Diare kronis memerlukan penanganan yang
lebih rumit, dimana etiologi, patofisiologi, dan patogenesis penyakit berperan dalam penanganannya.
BATASAN
Batasan diare menurut WHO adalah keluarnya tinja yang lunak/cair dengan frekuensi 3x/hari atau
lebih dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja. Batasan lainnya adalah ibu merasakan adanya
perubahan konsistensi dan frekuensi BAB. Batasan kedua dibuat karena pada bayi terutama yang belum
mendapat makanan tambahan dan hanya mendapat ASI eksklusif, BAB dapat mencapai 6 sampai 8 kali
perhari dengan feses encer dengan ada bagian padat dan berbau asam. Tabel 1 dibawah ini adalah frekuensi
defekasi pada bayi dan anak.
Tabel. 1 Frekuensi Defekasi pada Bayi dan Anak

Usia Frekuensi defekasi Rata-rata Frekuensi


(kali/minggu) defekasi (kali/hari)
0-3 bulan
Bayi yang mendapat ASI 5-40 2,9
Bayi yang mendapat susu formula 5-28 2,0
6-12 bulan 5-28 1,8
1-3 tahun 4-21 1,4
>3 tahun 3-14 1,0
Dikutip dengan modifikasi dari Biggs WS, Dery WH. Evaluation and Treatment of Constipation in Infant and Children.
J Am Fam Psys 2006
Dalam menangani kasus diare, penting untuk membedakan jenis diare berdasarkan waktu, yakni diare
akut dan kronis. Diare akut adalah kumpulan penyakit dengan gejala diare, berupa defekasi dengan tinja
cair/lembek dengan atau tanpa darah dan lendir dengan frekuensi 3 kali/hari atau lebih, berlangsung kurang
dari 14 hari dan frekuensi kurang dari 4x/bulan. Batasan akut menurut Arasu lebih lama yakni 28 hari. Secara
praktis WHO membedakan diare akut ke dalam 3 kelompok, yakni diare akut, kolera, dan disentri. Kasus
yang bukan kolera dan disentri dikelompokkan menjadi diare akut. Pada yang kronis dapat dibedakan menjadi
diare persisten dan diare kronis. Diare persisten lebih ditujukan untuk diare akut yang melanjut lebih dari 14
hari, yang umumnya disebabkan agen infeksi. Diare kronis lebih ditujukan untuk diare yang hilang timbul
yang sering terjadi berulang atau diare akut dengan gejala yang ringan yang melanjut lebih 14 hari, yang
umumnya disebabkan oleh non infeksi. Rerata (95%) diare akut terjadi dalam 3-5 hari, karena itu diare akut
yang melanjut lebih dari 7 hari (disebut prolong diarrhea) harus diketahui agen penyebabnya.

ETIOLOGI
Kebanyakan kasus diare ( 85%) disebabkan oleh Rotavirus, ETEC, dan tidak ditemukan
mikroorganisme penyebab. Sisanya ( 15%) disebabkan bakteri lainnya, virus lainnya, parasit, malabsorpsi
makanan, alergi makanan, keracunan makanan, imunodefisiensi, dan lain-lain. Jadi kebanyakan penyebab
diare tidak memerlukan antimikroba/antibiotik untuk mengatasinya.
Kebanyakan kasus diare ( 80%) disebabkan oleh agen infeksi, dimana 1/3 kasus ( 30%) diare di
masyarakat disebabkan oleh rotavirus. Separuh ( 50%) kasus diare yang dirawat di RS disebabkan oleh
rotavirus, menunjukkan diare karena rotavirus menimbulkan dehidrasi yang lebih berat. Hanya sekitar 10%
disebabkan oleh agen makanan, yakni pada kasus keracunan, malabsorpsi, intoleransi, ataupun alergi.
Diare dapat disebabkan agen penyebab infeksi, yakni virus, bakteri, parasit dan jamur. Golongan
virus, yakni Rotavirus, virus Norwalk, Norwalk like virus, Astrovirus, Calcivirus, dan Adenovirus. Golongan
bakteri, yakni Escherichia coli (EPEC, ETEC, EHEC, EIEC), Salmonella, Shigella, Vibrio cholera 01,
Clostridium difficile, Aeromonas hydrophilia, Plesiomonas shigelloides, Yersinia enterocolitis, Campilobacter
jejuni, Staphilococcus aureus, dan Clostridium botulinum. Golongan parasit, yakni Entamoeba histolytica,
Dientamoeba fragilis, Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum, Cyclospora sp, Isospora belli, Blastocystis
hominis, dan Enterobius vermicularis. Golongan cacing, yakni Strongiloides stercoralis, Capillaria
philippinensis, dan Trichinella spiralis. Golongan jamur, yakni Candidiasis, Zygomycosis, dan
Coccidioidomycosis. Walaupun agen infeksi yang menyebabkan diare banyak jumlahnya, tetapi secara klinis
WHO hanya membagi diare akut menjadis diare akut, disentri, dan kolera.
Beberapa penyakit penyerta dapat menyertai diare. Pada diare akut penyakit penyerta terbanyak
adalah Sepsis (27,20 %) terutama pada bayi yang berumur kurang 2 bulan, bronkopneumoni (23,53%), dan

2
malnutrisi (19,12 %). Penyakit penyerta adalah penyakit yang terjadi bersamaan dengan penyakit diare.
Beberapa penyakit dapat menyerang sistem lainnya disamping sistem traktus digestivus, misalnya infeksi
enterovirus 40-41, virus campak, rota virus (sangay jarang) dikaitkan dengan gejala saluran cerna dan nafas.
Beberapa penyakit lainnya memiliki gejala dominan di sistem lainnya, sementara gejala sistem digestif hanya
sebagai penyerta, misalnya pada ensefalitis dan meningitis. Pada yang terakhir, diduga gangguan GIT
(misalnya diare) terjadi karena (1) adanya sitokin-sitokin yang dilepaskan oleh reaksi peradangan yang
mempengaruhi sistem digestif atau (2) tidak optimalnya kerja enzim-enzim pencernaan akibat hipertermi.

FISIOLOGI SALURAN CERNA


Saluran cerna dimulai dari mulut, orofaring, esofagus, lambung, usus kecil, dan kolon. Proses diare
banyak melibatkan lambung sampai kolon. Diare sesungguhnya terjadi akibat absorpsi cairan usus yang
berkurang dan atau sekresi yang meningkat. Proses sekresi dimulai di mulut dan absorpsi di lambung. Pada
keadaan normal, sistem saluran cerna orang dewasa dapat memproduksi (sekresi) 9 liter cairan perhari yang
akan diabsorpsi kembali sehingga memasuki kolon hanya tinggal 1 liter cairan. Absorpsi cairan berlanjut di
kolon, sehingga cairan total yang dikeluarkan tubuh melalui tinja hanya sebesar 200-300 ml perhari. Sistem
absorpsi dan sekresi saluran cerna disokong oleh protein-protein yang terdapat di membran dan intrasel
enterosit. Protein-protein yang terletak di membran sel dapat bertindak sebagai saluran atau pompa dan
yang berada di intrasel sebagai second messenger.
Saluran cerna juga berfungsi mengeluarkan sejumlah enzm-enzim yang bertanggung jawab terhadap
digesti dan absorpsi bahan makanan (karbohidrat, protein, dan lemak). Enzim-enzim pencernaan terdapat di
intraluminal dan membran sel entrosit. Enzim pencernaan yang menyebabkan bahan makanan siap diabsorpsi
terdapat di membran enterosit sebagai protein membran sel.
Selain sebagai enzim saluran cerna dan saluran/pompa bagi air dan elektrolit, protein-protein di
membran enterosit juga dapat bertindak sebagai reseptor untuk melekatnya kuman yang menyebabkan
terjadinya diare. Dalam keadaan normal, pada orang dewasa terdapat lebih dari 500 jenis kuman dengan
jumlah 1014 (dengan berat 1-2 kg, 25-50% kandungan feses) tetapi tidak menyebabkan diare. Hal ini terjadi
karena sistem saluran cerna memiliki sistem pertahanan yang efektif. Gambar-gambar dibawah ini
memperlihatkan proses pembentukan protein dan fungsi sebagai saluran/pompa elektrolit dan air.

Gambar 1. Transkripsi gen. Terbentuk mRNA yang melalui proses selanjutnya (di plasma sel) akan terbentuk
protein, lihat gambar berikutnya

3
Gambar 2. Sel yang sedang memproduksi hormone peptida dan steroid. Untuk enzim yang berada di intra luminal
proses produksinya mirip dengan produksi hormon. Beberapa enzim tidak dilepaskan ke luar sel tetapi tetap berada di
membran sel (misalnya laktase) dan ada yang dilepas di intra sel (berfungsi sebagai second messengger)

INTRASEL

Gambar 3. Protein-protein di membran sel entrosit dapat bertindak sebagai hormon, media transport air elektrolit-
elektrolit, dan reseptor. Pada media transport protein tersebut dapat bertindak sebagai celah sehingga air dan beberapa
elektrolit bebas keluar masuk tergantung gradien osmotik atau sebagai celah yang terbatas (difusi yang dipermudah
atau transpor aktif).

Proses absorpsi air dimulai saat celah protein di membran sel di basolateral enterosit bertindak
sebagai pompa Na-K bekerja. Pompa ini mengerakkan Na intrasel ke ektrasel di celah antara sel-sel enterosit
melawan gradien kosentrasi, sehingga kadar Na intrasel menjadi rendah. Rendahnya kadar Na intrasel
menyebabkan Na berdifusi dari intraluminal ke intrasel dan juga terjadi ko-transpor Na dengan glukosa atau
asam amino tertentu sehingga menyebabkan kadar Na intrasel menjadi optimal. Masuknya ion-ion Na ke
intrasel menarik ion-ion Clor dan molekul air ke intrasel, dan mengeluarkan ion-ion K dan H ke intra luminal.
Mekanisme lainnya adalah solven drag yang terjadi akibat tenaga fisik penyerapan, pergerakan pelarut
menarik zat-zat terlarut pada saat bersamaan. Mekanisme solven drag absorpsi glukosa sangat berguna setelah
glukosa dengan kosentrasi tinggi berada di ruang paraselluler sehingga dapat menarik air dan molekul glukosa
tanpa melalui enterosit tetapi langsung melalui sambungan sel. Secara keseluruhan, absorpsi cairan pada
intestinum terjadi melalui transpor aktif, difusi, dan solvent drag. Ilustrasi proses tersebut dapat dilihat pada
gambar 4 di bawah ini.
Pengaturan transpor air dan elektrolit di usus juga melibatkan mekanisme-mekaisme lainnya. Pengaturan
neurohumoral, meliputi stimulasi kolinergik yang menyebabkan sekresi dan adrenergik menyebabkan
absorpsi. Sistem saraf enterik mengeluarkan nurotransmitter (asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide/ VIP)
yang meningkatkan sekresi. Pengaturan hormonal dimana mineralokorikoid, glukokortikoid, katekolamin,
stomatostatin, dan enkafalin meningkatkan absorpsi. Mediator peradangan (sitokain, eikosanoid) dapat
merubah transpor elektrolit. Keseimbanan asam basa berpengaruh di ileum dan kolon, dimana asidosis
meningkatkan sementara alkalosis mengurangi absorpsi Na dan Cl. Adanya makanan dan minuman di

4
intraluminal menimbulkan reflek parakrin dan neurogenik sehingga terjadi sekresi. Sejumlah mediator
intraseluler (second messenger) seperti cAMP, cGMP, Ca++, inositol, protein G dapat meningkatan sekresi.

Gambar 5. Mekanisme
aborpsi air dan elektrolit-
elektrolit di mukosa usus,
dimana proses absorpsi
dimulai dengan aktifnya
pompa Na-K

Sistem pertahanan usus


Usus memiliki sistem pertahanan yang memadai, sehingga walaupun di intraluminal banyak terdapat
kuman tetapi jarang menimbulkan penyakit. Sistem pertahanan usus tersebut diantaranya
1. Siklus sheeding
Lapisan permukaan mukosa usus terdiri dari kripta dan villus. Bagian lekukan disebut kripta dimana
terdapat sel berbentuk kuboid yang akan berdiferensiasi dan bermigrasi ke baian tonjolan (disebut villus)
menjadi sel yang berbentuk kolumnar. Enterosit di kripta banyak mengandung protein-protein intaseluler
yang bertindak sebagai second massengger yang jika diaktifkan akan menyebabkan sekresi cairan. Entrosit di
villus banyak mengandung protein di membrannya yang berfungsi sebagai enzim pencernaan dan sebagai
pintu masuknya air dan elektrolit-elektrolit ke dalam intrasel. Sistem vaskuler di kripta akan bersifat sekretif
sedangkan di villus bersifat absorptif.
Dalam keadaan normal, pergantian enterosit terjadi berkesinambungan oleh suatu keseimbangan
dinamik antara produksi sel pada dasar kripta dan terbuangnya sel-sel pada puncak villus. Pergantian enterosit
lapisan mukosa (renewal), merupakan tingkat pergantian tercepat diantara sel-sel tubuh lainnya. Pergantian
epitel usus terjadi setiap 3 sampai 6 hari. Setelah 2 kali pembelahan (mitosis) dalam kripta usus, enterosit
bermigrasi ke daerah villus dan berdifferensiasi (sehingga mengandung bermacam-macam enzim untuk
penyerapan makanan). Migrasi berakhir pada puncak villus dimana sel akan dilepaskan ke dalam lumen
(sheeding). Kinetika sel epitel usus dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, produksi
sel dipengaruhi oleh 2 mekanisme, yakni feedback control dan adaptive kontrol. Feedback control adalah
kontrol terhadap pembelahan (mitosis) sel kripta yang tergantung pada jumlah sel yang ada pada villus.
Adaptive control adalah kemampuan villus untuk memperpanjang diri pada keadaan tertentu tanpa tergantung
mitosis sel dalam kripta. Faktor ekstrinsik meliputi diet, hormonal, neurovaskuler, mekanik, bakteri, dan lain-
lain. Diet enterosit tergantung dari suplai 2/3 darah dan 1/3 intraluminal. Gambar 3 memperlihatkan struktur
usus, dan proses sheeding.

5
Gambar 3. Memperlihatkan struktur usus dan proses sheeding
Mekanisme siklus sheeding merupakan salah satu mekanisme pertahanan usus. Diare yang
disebabkan karena adanya bakteri yang melekat di enterosit (misalnya Vibrio colera) dapat dihilangkan
setelah 3-6 hari. Walaupun diet yang berasal dari intraluminal hanya 1/3 bagian, tetapi hilangnya intake
intraluminal (saat puasa) menyebabkan regenerasi enterosit sangat terhambat. Dengan adanya alasan tersebut,
maka pada anak yang diare (termasuk diare osmotik), pemberian makan harus diteruskan.
2. Epithelial barrier Sel-sel epitel usus berkemampuan mensekresi lapisan lendir yang kaya dengan
imunoglobulin terutama IgA serta lain-lain zat antimikrobial dan antiviral (lisozim dan interferon), sehingga
berfungsi sebagai pertahanan utama terhadap gangguan dari luar. Sel mukosa usus dapat menimbulkan aksi
imunologis, yang menyebabkan dilepaskannya mediator-mediator.
3. Lapisan usus merupakan jaringan yang kaya akan kelenjar-kelenjar limfoid, yang jika terangsang dapat
mengaktifkan sistem imun.
4. Motilitas usus, berfungsi sebagai pembersihan peristaltik.
5. Asam lambung, merupakan pertahanan kimiawi dimana pada pH di bawah 4 dapat menyebabkan kematian
mayoritas kuman.
6. Bakteri kolon komensal yang menguntungkan, dapat menekan pertumbuhan kuman-kuman yang patologis
(lihat pada subbab probiotik).
Mekanisme terjadinya diare
Patofisiologi dasar terjadinya diare adalah absorpsi yang berkurang dan atau sekresi yang meningkat.
Beberapa mekanisme yang mendasarinya adalah mekanisme sekretorik (diare sekretorik), mekanisme
osmotik (diare osmotik), dan campuran. Prinsip dasar infeksi oleh bakteri adalah kemampuan bakteri
mengeluarkan toksin-toksin, yang dapat bertindak sebagai reseptor untuk melekat pada enterosit, merusak
membran enterosit dan kemudian menghancurkannya (sitolitik, disebut sitotoksin), mengaktifkan second
messenger intraseluler sehingga terjadi peningkatan sekresi (disebut enterotoksin), dan merusak/merangsang
sistem persarafan (disebut neurotoksin). Pada infeksi bakteri, kerusakan sel dapat terjadi tergantung jenis
bakteri yang menginvasi, tetapi dapat pula entrositnya utuh/tidak rusak. Jika enterositnya tidak rusak maka
diare yang ditimbulkannnya adalah diare sekresi. Jika enterositnya rusak maka disamping diare sekresi juga
dapat terjadi diare osmotik (tergantung pada tingkat kerusakan enterosit). Prinsip dasar diare karena virus

6
adalah invasi virus ke dalam enterosit untuk berkembang biak sehingga enterosit lisis. Lisisnya enterosit
menyebabkan gangguan pada villi (pemendekan pada villi) sehingga menyebabkan kripta hipertropi dan
hiperplasi.
Diare Sekretori
Diare terjadi akibat aktifnya pompa: yang bekerja mengeluarkan elektrolit dan air ke lumen usus.
Biasanya pompa yang terangsang adalah pompa clorida. Pompa ini terangsang karena adanya rangsangan
mediator-mediator intraseluler (second messengger) yang terangsang karena toksin bakteri.
Beberapa bakteri mengeluarkan enterotoksin tanpa invasi maupun merusak struktur mukosa usus.
Bakteri ini menempel di sel, kemudian mengeluarkan enterotoksin yang mengikat reseptor mukosa yang
spesifik yang kemudian meningkatkan aktifitas mediator intraseluler (second messenger). Meningkatnya
aktifitas mediator intraseluler menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi. Contohnya adalah Vibrio cholera,
dimana bakteri berkembang dalam usus kecil, kemudian melakukan perlengketan pada enterosit, kemudian
mengeluarkan enterotoksin yang merangsang mediator intraseluler, sehingga terjadi peningkatan sekresi
cairan. ETEC mengeluarkan toksin labil panas (LT, termasuk enterotoksin) yang kemudian berikatan dengan
reseptor membran apikal enterosit, yang akan mengaktivasi GMP siklik intraseluler yang memacu sekresi Cl
dan menghambat absorbsi Na. EPEC melakukan perlengketan tanpa menimbulkan kerusakan pada mukosa
dan tanpa pengeluaran enterotoksin, terjadi kerusakan pada mikrovilli, yang mengakibatkan gangguan
absorpsi.
Beberapa kuman melakukan invasi, menimbulkan reaksi radang, dan menyebabkan destruksi
enterosit, diantaranya Shigella, EIEC, EHEC, Yersinis enterocolitica, Campylobacter, Entamoeba histolytica.
Infeksi dapat terbatas pada usus kecil atau kolon, tetapi dengan cepat menimbulkan kolitis dengan ulserasi
pada mukosa superfisial dan keluhan mengejan, tenesmus, dan tinja berlendir dan berdarah. EIEC
mengeluarkan toksin yang akan menhancurkan enterosit, mirip dengan Shigella. EHEC mengeluarkan toksin
yang menyebabkan sembab dan perdarahan difus di kolon dan dapat menimbulkan SHU. Beberapa kuman
selain melakukan invasi juga melakukan penetrasi ke lamina propria dan sistemik, contoh Salmonella. Jadi,
walaupun bakteri menyebabkan diare sekresi, tetapi beberapa bakteri menyebabkan kerusakan
mukosa/enterosit, sehingga juga terjadi diare osmotik. Beberapa jenis toksin, kuman yang menghasilkannnya
dan aktifitasnya dapat pada tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Nama Toksin, Kuman yang Menghasilkannya, dan Aktifitasnya
NAME OF TOXIN BACTERIA INVOLVED ACTIVITY
ADP ribosylation of G proteins stimulates adenlyate
Cholera enterotoxin (ctx) Vibrio cholerae cyclase and increases cAMP in cells of the GI tract,
causing secretion of water and electrolytes
E. coli heat labile toxin Escherichia coli Similar to cholera toxin
Stimulates guanylate cyclase and promotes secretion of
E. coli heat stable toxin Escherichia coli
water and electrolytes from intestinal epithelium
Enzymatically cleaves rRNA resulting in inhibition of
Shiga toxin Shigella dysenteriae
protein synthesis in susceptible cells
Stimulates adenylate cyclase leading to increased
Perfringens enterotoxin Clostridium perfringens
cAMP in epithelial cells
Zn++ dependent protease that inhibits neurotransmission at
Botulinum toxin Clostridium botulinum
neuromuscular synapses resulting in flaccid paralysis
Pseudomonas Exotoxin A Pseudomonas aeruginosa Inhibits protein synthesis; similar to diphtheria toxin
Massive activation of the immune system, including
Staphylococcus enterotoxins* Staphylococcus aureus
lymphocytes and macrophages, leads to emesis
Toxic shock syndrome toxin Acts on the vascular system causing inflammation,
Staphylococcus aureus
(TSST-1)* fever and shock
Cleavage within epidermal cells (intraepidermal
Exfoliatin toxin* Staphylococcus aureus
separation)
Erythrogenic toxin (streptococcal Same as TSST - inflammation, fever and shock; can
Streptococcus pyogenes
pyrogenic exotoxin SPE)* cause localized erythematous reactions

Tabel 2 memperlihatkan perbedaan eksotoksin dan endotoksin.

7
Tabel 2. Perbedaan Eksotoksin dan Endotoksin
Eksotoksin Endotoksin
Dihasilkan dari Sekresi bakteri yang hidup Dinding sel yang mati
Bahan Protein Lipopolisakarida
Reaksi terhadap pemanasan Inakif Tahan
Karakteristik Neurotoksin : mempengaruhi sel-sel syaraf, Pirogenisitas: kemampuan merubah suhu
dapat bersifat menekan (contoh botulinum: tubuh/ demam sebagai respon dilepaskan
toksin berikatan dengan akson dekat bahan kmia oleh leukosit.
neuromusculer junction sehingga mencegah Perubahan-perubahan darah: menyebabkan
pelepasan asetilkolin) ataupun merangsang peningkatan dan kemudian penurunan WBC,
(contoh tetanus: merangsang intisel dikornu menghancuran trombosit, factor-faktor
anterior). pembekuan dan meningkatkan permeabilitas
Enterotoksin: merangsang second vaskuler
messenger di intrasel entrosit. Syok karena turunnya tekanan darah, nadi
Citotoksin: menghancurkan sel, contoh: lemah, turunnya respirasi
dipteri menhasilkan lekocidins dan hemolysin
yang menghacurkan leukosit dan RBC

Beberapa Mekanisme Spesifik Bakteri


Escherichia coli: Kebanyakan sebagai flora normal, tetapi ada 4 yang virulen, yakni EPEC
(Enterophatogenic E Coli), ETEC (Enterotoxigenic E Coli), EIEC (Enteroinvasive E Coli), dan EHEC
(Enterohemorrhagic E Coli). EPEC dan ETEC melekat pada enterosit duodenum dan jejenum tanpa
melakukan invasi. EPEC mengeluarkan toksin yang dapat merusak mikrovilli dan diduga mengurangi
absorpsi dan meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit sehingga terjadi gangguan digesti dan absorpsi
makanan dan diare sekresi. EPEC berperan untuk terjadinya diare persisten. ETEC memproduksi toksin stabil
(ST) dan labil (LT). Mekanisme terjadinya diare mirip kolera. EIEC dan EHEC menyebabkan kerusakan pada
kolon, jarang pada ileum terminal. Patogensis EIEC mirip Shigella. EHEC (hampir seluruhnya O157:H7)
tidak menginvasi dan tidak mengeluarkan enterotoksin, tetapi menghasilkan sitotoksin yang merusak sel-sel
epitel sekum, kolon, dan kadang ileum terminal. Bakteri ini juga menghasilkan verotoksin yang merusak sel
endotel vaskuler menyebabkan hemolisis, trombosis, dan HUS (sindrom hemolitik uremik)
Salmonella: Bakteri berkolonisasi di jejunum/ileum/kolon, melakukan invasi ke sel epitel mukosa usus,
kemudian invasi ke lamina propria (tidak menimbulkan kerusakan yang luas, hanya sedikit lapisan efitel yang
rusak). Bakteri memproduksi heat-labile cholera like enterotoxin. Terjadi infiltrasi sel-sel radang, dan sintesis
prostaglandin. Bakteri kemudian meng-invasi plaque peyeri, penyebaran ke KGB mesenterium sehingga
terjadi hipertrophi, mengakibatkan penurunan aliran darah ke mukosa, sehingga terjadi nekrosis mukosa.
Nekrosis mukosa menimbulkan ulkus menggaung, sehingga eritrosit dan plasma keluar ke lumen
menyebabkan tinja bercampur darah.
Shigella dan EIEC: Bakteri berkolonisasi di ileum terminalis/kolon (terutama kolon distal), melakukan
invasi ke sel epitel mukosa usus. Di enterosit, bakteri bermultiplikasi, kemudian melakukan penyebaran ke
enterosit-enterosit sekitarnya. Bakteri memproduksi enterotoksin yang akan meningkatkan aktifitas cAMP
sehingga terjadi hipersekresi usus (diare sekresi). Bakteri juga memproduksi eksotoksin yang bersifat
sitotoksik, yang menyebabkan infiltrasi sel radang, terjadi nekrosis sel epitel mukosa sehingga terbentuk
ulkus kecil yang melebar. Adanya ulkus menyebabkan eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus, sehinga
tinja bercampur darah. Bakteri (terutama pada infeksi S. dysenteriae serotype I) kadang dapat meng-invasi
lamina propia, sehingga terjadi bakteremia.
Campylobacter jejuni: Bakteri berkolonisasi di jejunum/ileum/kolon, kemudian meng-invasi sel epitel
mukosa usus. Invasi berlanjut ke lamina propria, menimbulkan infiltrasi sel-sel radang dan pelepasan
prostaglandin. Bakteri memproduksi heat-stabile cholera-like enterotoxin. Bakteri diduga juga memproduksi
sitotoksin, menyebabkan nekrosis mukosa sehingga terbentuk ulkus. Adanya ulkus menyebabkan eritrosit dan

8
plasma keluar ke lumen sehingga tinja bercampur darah. Jika bakteri masuk ke sirkulasi dapat menyebabkan
bakteremia.
Vibrio cholera: Bakteri yang lolos dari asam lambung, akan bermultiplikasi di lumen usus yang bersifat basa.
Bakteri mengasilkan suatu protein yang dapat melekatkan dirinya pada enterosit. Kemudian bakteri
menghasilkan enzim adenylate cyclase, yang mengubah ATP menjadi cAMP, sehingga terjadi sekresi Cl di
kripta dan hambatan absorbsi Na+ di villus, yang menyebabkan sekresi air, garam, dan basa.
Clostridium difficile: Bakteri anaerob gram positif ini menghasilkan sitotoksin dan enterotoksin (toksin A
dan B). Komensal di tubuh, terutama pada bayi, menimbulkan kolitis (pseudomembran) yang umumnya
terkait pemakaian antibiotik. Sekitar 20-30% AAD (antibiotic asociated diarrhoea) disebabkan oleh C
difficile.
Yersinia enterocolitis: Bakteri patogen invasif ini menyebabkan diare akut dan kronis pada anak. Kelainan di
ileum terminalis berupa nodul-nodul, penebalan mukosa, dan ulkus aftae mirip penyakit Chron. Pada anak
yang besar dan dewasa menyebabkan adenitis mesentrik.
Campylobacter jejuni: Bakteri ini invasif pada kolon dan ileum. Menimbulkan peradangan usus dan dapat
terjadi bateriemia. Masa inkubasi 2-11 hari, kemudian timbul panas, nyeri abdomen (biasanya sekitar pusat),
diare dengan tinja berbau busuk.

Diare osmotik
Diare terjadi karena tidak dicernanya bahan makanan secara maksimal, akibat dari insufisiensi sistem
enzim atau terjadi Short Bowel syndrome. Makanan dicerna sebagian, sisanya akan menimbulkan beban
osmotik (meningkatkan tekanan osmotik) intraluminal bagian distal. Hal ini memicu pergerakan cairan
intravaskuler ke intraluminal, sehingga terjadi okumulasi cairan dan sisa makanan. Di kolon, sisa makanan
tersebut akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri kolon. Polisakarida didekomposisi menjadi asam lemak
rantai pendek, gas hidrogen, dan lain-lain. Protein menjdi amoniak, dan lain-lain. Adanya bahan-bahan
makanan yang telah dikomposisi ini menyebabkan tekanan osmotik intraluminal kolon akan lebih meningkat
lagi, sehingga sejumlah cairan akan tertarik ke intra luminal kolon, sehingga terjadi diare osmotik. Asam-
asam lemak rantai pendek yang terbentuk dari pemechan polisakarida atau disakarida yakni asam propionat,
asam asetat, dan asam butirat dapat menyebabkan peningkatan absorpsi (vasodilatasi vaskuler di kolon) tetapi
dapat juga menyebabkan diare bertambah, tergantung dari perbandingan komposisi asam-asam lemak rantai
pendek tersebut. Beberapa kuman yang dipakai sebagai probiotik, salah satu mekanisme kerjanya adalah
meningkatkan kemampuan absorpi kolon.

Diare sitolitik
Oleh virus
Virus menginvasi enterosit dan kemudian bermultifikasi dalam enterosit yang menyebabkan efek
sitotoksik. Pada infeksi rotavirus, virus masuk dan memperbanyak diri dalam enterosit yang matur pada ujung
vili usus kecil bagan proksimal kemudian menyebar ke bagian distal dalam masa inkubasi 48 jam. Mikrovili
rusak dan dikeluarkan dalam 24 jam, kripta menjadi hiperplasi dan hipertrofi dalam 48 jam dan memperbaiki
kembali permukaan vili yang rusak tetapi perbaikan tidak lengkap sehingga villi menjadi pendek. Hipertropi
dan hiperplasi kripta membuat kripta makin dalam, sehingga sifat sekresinya kian bertambah. Memendeknya
vili menyebab sifat absorsinya berkurang (struktur pembuluh darah di villi memungkinkan vili bersifat
absorptif). Enterosit yang terdapat di villi kurang matang sehingga enzim-enzim percernaan kurang sempurna
terbentuk terutama enzim disakaridase (enzim yang paling cepat berkurang saat diare dan paling lambat
pulihnya adalah laktase). Hal ini menyebabkan makanan tidak sempurna didigesti sehingga terbentuk banyak
sisa makanan. Sisa makanan menyebabkan beban osmotik intaluminal tinggi, sehingga terjadi penarikan
cairan ke intraluminal. Sebagian sisa makanan dihidrolisis oleh bakteri-bakteri kolon, sehingga menyebabkan
diare osmotik dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek. Pada infeksi rotavirus terjadi diare
campuran antara diare sekretori dan osmotik.

9
Gastroenteritis akut karena virus akan menyembuh dengan sendirinya, yang umumnya berlangsung
sampai 7 hari, namun penyembuhan kerusakan histologis memerlukan waktu paling tidak 1 minggu setelah
gejala klinik hilang. Intoleransi terhadap disakarida pulih setelah beberapa minggu.
Beberapa mekanisme spesifik virus
Rotavirus. Insiden tinggi di setiap negara. Kebanyakan menyerang pada bayi umur 6 bulan sampai 2 tahun.
Bayi di bawah umur 3 bulan dapat terkena. Sangat jarang menyerang orang dewasa (serotype C). Masa
inkubasi 1-2 hari. Gejala diawali oleh demam yang tidak tinggi (sekitar 75%) dan muntah-muntah (sekitar
100%), kemudian demam dan muntah meredah baru timbul diare (5-10% kasus disertai BAB berdarah).
Sembuh sendiri dalam 7 10 hari.
Enteric Adenovirus. Serotipe 40, 41. Penyebab terbanyak kedua oleh infeksi virus. Masa inkubasi 8-10 hari.
Gejala muntah dan panas subfebril yang kemudian diikuti olehdiare sekitar 5 hari (1-14 hari)
Virus Norwalk dan virus serupa norwalk. Masa inkubasi 1-2 hari. Gejala flu perut dengan gejala muntah
lebih menonjol dibandingkan diare. Saat wabah yang terkena anak di atas 4 tahun dan dewasa
Virus Astro dan virus Calici. Mirip diare rotavirus.
Oleh proses inflamasi: allergi, IBD
Inflamasi mengakbatkan sel-sel imun menghasilkan sitokin-sitokin, kemokin-kemokin, dan
prostaglandin. Hal ini memicu terjadi sekresi dan mengaktifkan saraf-saraf enterik. Metaloprotein yang
dihasilkan oleh proses peradangan akan menghancurkan enterosit pada villus sehingga terjadi penurunan
absorpsi. Rusaknya villus merangsang sel enterosit di kripta untuk hiperplasia sehingga terjadi peningkatan
sekresi. Di villi, sel-sel ditempati oleh enterosit yang immatur dimana terjadi insufisiensi enzim-enzim
disakaridase dan peptide hydrolase Kedua hal tersebut mengakibatkan terjadinya diare campuran.
Konsistensi feses pada diare sekresi adalah cair dengan kandungan elektrolit yang tinggi, sedangkan
pada diare osmotik, konsistensinya lembek dengan kandungan elektrolit rendah. Pada diare sitolitik terjadi
campuran antara diare sekretorik dan osmotik.
Perjalanan penyakit diare
Hampir seluruh kasus diare berlangsung 3-5 hari. Karena itu diare yang melebihi 7 hari, walaupun
masih tergolong diare akut, harus diketahui penyebabnya. Diare akut dapat menjadi diare persisten (lebih dari
14 hari). Penyebab terjadinya diare persisten sangat kompleks dan merupakan gabungan banyak faktor yang
saling berkaitan dan mempengaruhi. Faktor kuman, terinfeksi oleh kuman yang sering menyebabkan diare
persisten, yakni Shigella, EPEC, Samonella, Giardia, Entamoeba histolylotica, Cryptosporiium dan lain-lain.
Infeksi rotavirus jarang menyebabkan diare persisten. Faktor pejamu (host) diantaranya adalah tidak
mendapat ASI, tidak mendapat ASI eksklusif, anemia, umur kurang dari 1 tahun, BBLR, gizi buruk,
penggunaan antibiotika yang tidak tepat, penanganan diare yang tidak benar, penggunaan obat-obat
simptomatik, defisiensi zat imunologis, defisiensi enzim pencernaan. Faktor lainnya adalah sanitasi yang
jelek, sumber air minum yang kotor, pendidikan pengasuh yang rendah. Selain diare persisten, diare yang
berlangsung lebih dari 14 hari disebabkan diare kronik. Salah satu cara untuk membedakannya adalah puasa,
dimana pada diare persisten diare tetap berlangsung sedangkan pada diare kronik tidak. Cara lainnya adalah
dengan mengetahui bentuk tinja, dimana pada diare dengan tinja berair dapat disebabkan oleh diare persisten,
difisiensi enzim disakaridase, malabsorpsi monosakarida, alergi makanan, psikogenik, sindroma usus pendek,
sindroma usus kecil tercemar, defek imun primer, penggunaan pencahar, tumor ektraluminal, dan gangguan
endokrin. Tinja berlemak dapat disebabkan oleh giardiasis, insufisiensi pancreas, sindroma usus kecil
tercemar, kolestasis, limangiektasi intestin, defek imun primer, kistik fibrosis. Tinja berdarah dapat
disebabkan diare persisten (infeksi) dan alergi.

Patofisiologi lainnya

10
Pada saat dehidrasi, terjadi penurunan volume cairan ekstraseluler (CES) yang besar dengan sedikit
pegeseran cairan intraseluler (CIS) ke ektraseluler, yang menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan.
Berkurangnya volume CES menyebabkan stroke volume berkurang, tubuh mengkompensasi dengan
meningkatkan kecepatan nadi sehingga stroke volume meningkat.
Pada diare dengan dehidrasi yang berat dapat terjadi asidosis. Asidosis disebabkan: (1) Kehilangan
bikarbonat yang meningkat dalam tinja pada diare yang berat yang gagal dikompensasi. (2) Terbentuknya
asam-asam organik dari pemecahan karbohidrat yang kurang sempurna dalam kolon yang kemudian
diabsorpsi. (3) Terbentuknya laktat akibat asidosis laktat yang terjadi karena adanya metabolisme anarob
akibat perfusi oksigen ke jaringan berkurang. (4) Asidosis dan uremia (pada diare, asidosis diperberat dengan
kehilangan bikarbonat melalui usus) akibat terganggunya fungsi ginjal karena berkurangnya perfusi ginjal. (5)
Ketoasidosis yang terjadi akibat berkurangnya pemasukan kalori yang menyertai diare atau ketidakmampuan
untuk memetabolisir kalori yg masuk.
Tubuh berkompensasi mengatasi asidosis yang terjadi, melalui: (1) ginjal terpacu untuk meningkatkan
produksi amonia dan eksresi hidrogen melalui urin. (2) Pusat pernafasan terangsang untuk meningkatkan
frekuensi pernafasan sehingga dapat meningkatkan pengeluaran CO 2 dari paru mengurangi peningkatan PCO 2
di darah sehingga pH darah meningkat. Pernafasan kussmall dalam hal ini bertindak sebagai upaya
kompensasi respiratorik. Jika asidosis berat tidak dapat ditangulangi akan menyebabkan terjadinya penurunan
tahanan vaskuler perifer dan fungsi ventrikel jantung, sehingga terjadi hipotensi, sembab paru, dan hipoksia
jaringan.
Diare menyebabkan hilangnya air dan elektrolit terutama Na dan K dalam jumlah besar sehingga
terjadi dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa. Kadar Na dan K plasma tergantung
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran antara air dan Na atau K. Pada diare, umumnya terjadi
keadaan normonatremia, hiponatremia, hipokalemia, dan normokalemia. Jarang terjadi hiperkalemia
(biasanya disertai dengan gagal ginjal) dan hipernatremia.
Natrium
Na merupakan komponen utama elektrolit CES, dengan kadar 135-155 mEq/l, sedangkan CIS hanya
4-5 mEq/l. Na berperan menjaga osmolaritas CES, yang berarti diperlukan untuk mempertahankan volume
CES, yang berarti pula mutlak harus ada di cairan rehidrasi. Jika jumlah Na hilang bersama feses melampaui
proporsi air maka dapat terjadi dehidrasi hiponatremia. Dehidrasi hiponatremia juga dijumpai pada masukan
Na yang kurang (karena anoreksia atau muntah), minum terlalu banyak, dan status nutrisi yang buruk.
Penderita diare akut kehilangan Na dalam feses sekitar 5098 mEq/l, sedangkan pada fase penyembuhan 34-
46 mEq/l. Pada gizi buruk kadar Na serum rendah, tetapi kandungan total Na tubuh relatif tinggi karena
banyak Na masuk ke intrasel, karena itu saat rehidrasi penderita gizi buruk memerlukan Na yang lebih
rendah. Pada dehidrasi hiponatremia dapat terjadi kejang pada saat dehidrasi, karena depolarisasi mudah
terjadi.
Hubungan dehidrasi dengan kadar Na tergantung dari perbandingan hilangnya Na dan air melalui
tinja dan kerja sistem kompensasi dari ginjal, saraf, dan hormonal, jika (1) pengeluaran Na lebih banyak dari
air, maka terjadi dehidrasi hiponatremi (Na serum < 130 mEq/L, contoh pada kolera), (2) pengeluaran Na
setara dengan air, maka terjadi dehidrasi isonatremi (Na serum 130-150 mEq/L, contoh pada infeksi virus),
dan (3) jika pengeluaran Na lebih sedikit dari air, maka terjadi dehidrasi hipernatremi (Na serum > 150
mEq/L, contoh pada pemberian cairan yg banyak mengandung garam pada saat diare, atau pada bayi muda
karena kemampuan ginjalnya untuk menahan air terbatas). Pada dehidrasi hipernatremia dapat terjadi kejang
pada saat rehidrasi. Hal ini terjadi karena saat dehidrasi hipernatremia, sel-sel otak berkemampuan
menghasilkan granul-granul osmotik di intraselnya. Granul-granul ini mengalami degradasi dalam 24-48 jam
setelah keadaan normoosmotik. Karena itu jika rehidrasi dilakukan secara cepat (yang mestinya dilakukan
dalam 24-48 jam), apalagi dengan cairan hiponatremia (yang seharusnya diberikan RL, D5% salin, atau
KAEN 3A) dapat terjadi kejang karena adanya edema otak.
Kalium

11
Kalium merupakan komponen utama elektrolit CIS 150-160 mEq/l, sedangkan CES hanya 4-5 mEq/l.
Kadar K CIS yang tinggi dapat merupakan simpanan/pool K dalam tubuh. Resiko hipokalemia terjadi pada
diare dengan derajat dehidrasi berat, diare yang disertai muntah, oralit tidak diberikan, dan status gizi buruk.
Pada penderita dengan status gizi buruk, pool K tubuh berkurang. Resiko hipokalemia juga terjadi pada diare
yang lama. Penderita diare akut kehilangan K dalam feses sekitar 2946 mEq/l, sedangkan pada fase
penyembuhan meningkat menjadi 37-65 mEq/l. Kehilangan K selama diare, menyebabkan terjadinya
pergeseran ion K+ dari CIS ke CES. Kalium intraseluler akan diganti sebagian dengan ion-ion Na, H, dan
asam amino dibasik. Pada asidosis karena diare, ion H ECF banyak masuk ICF sehingga ion K ICF akan
keluar ke ECF sehingga terjadi hiperkalemia relatif.
Hubungan kadar K CES dan K CIS sangat vital bagi fungsi sel. Proses depolarisasi membran untuk
kontraksi otot memerlukan pemasukan yang cepat dari ion Na ke dalam sel serta pengeluaran K dari CIS ke
CES. Keadan ini berbalik pada saat repolarisasi. Karena pada keadaan hipokalemia terjadi kelemahan otot
secara umum, baik otot serang lintang, otot polos, maupun otot jantung. Pada keadaan hiperkalemia kontraksi
otot umum tidak terlihat, karena otot jantung sangat sensitif terhadap peningkatan kadar kalium, yang dapat
berakhir dengan kematian. Manifestasi hipokalemi adalah kelemahan otot (arefleksi, paralisis dan kematian
karena kegagalan otot pernafasan), kelemahan otot polos usus (ileus paralitik dan dilatasi lambung),
perubahan EKG (voltase gelombang T menurun, munculnya gelombang U dan gelombang T yang mendatar),
kelainan ginjal (hipokalemi menyebabkan perubahan vakuole dari epitel tubulus sehingga terjadi sklerosis
ginjal dan fibrosis interstisial). Gambaran EKG penting dilakukan pada penderita diare yang hipokalemia,
karena hipokalemia yang mempunyai arti klinis adalah hipokalemia intraseluler (yang dapat dimonitor dari
EKG). Gambaran EKG Normal pada lead II terlihat pada gambar 4 dibawah ini

Gambar 4. Gambaran normokalemia EKG


Gambaran hipokalemia pada EKG lebih bermakna secara klinis dibandingkan kadar K plasma pada diare. Hal
ini dikarenakan pada diare terjadi pegeseran K intrasel ke ektrasel dan saat asidosis terjadi kebalikkannya.
Gambaran hipokalemia pada EKG saat diare dapat memperlihatkan kadar K total (terutama kada K intrasel).
Gambaran EKG hipokalemia dapat dilihat pada gambar 5 dan hiperkalemia pada gambar 6 di bawah ini.
Gambaran EKG hipokalemia dapat dibedakan dengan hiperkalemia.Hiperkalemia sering dijumpai pada
komplikasi diare yakni gagal ginjal.

Gambar 5. Gambaran EKG hipokalemia


Gambar 6. Gambaran EKG hiperkalemia
Chlorida (Cl)

12
Cl adalah anion utama CES, juga mengalami gangguan pada diare, paralel dengan gangguan Na.
Namun kadang-kadang perubahan dari kadar klorida tidak dibarengi setara dengan perubahan kadar Na.

KLASIFIKASI
Klassifikasi diare ada beberapa macam. Berdasarkan waktu, dibagi menjadi diare akut dan kronis.
Patokan waktunya adalah 14 hari, tetapi menurut Arasu adalah 28 hari. Diare akut biasanya (95%)
berlangsung dalam 3-5 hari, karena itu diare akut yang memanjang lebih dari 7 hari disebut prolong
diarrhoea harus dipikirkan kuman penyebab dan faktor resiko terjadinya diare persisten. Berdasarkan
manifestasi klinis, dibagi menjadi tiga, yakni disentri, kolera, dan diare akut (bukan disentri maupun kolera).
Diare kronis dapat dibagi menjadi 2 (beberapa pengarang tidak membedakannya) adalah diare persisten
(kelanjutan dari diare akut, disebabkan adanya infeksi) dan diare kronis (diare yang sering hilang timbul atau
kelanjutan diare akut dengan gejala yang ringan, dengan sebab bukan karena infeksi). Klassifikasi
berdasarkan manifestasi klinis, ditujukan untuk penggunaan antimikroba, dimana pada kolera dan disentri
diberikan antibotika. Secara sederhana setiap diare akut yang disertai darah dan atau lendir/pus dapat
dianggap disentri yang disebabkan oleh shigelosis, sampai terbukti lain. Kolera mempunyai manifestasi klinis
khas, yakni diare profus, seperti cucian air beras, berbau khas seperti bayklin/sperma, umur anak 3 tahun ke
atas (terutama di atas 5 tahun), adanya kejadian luar biasa dimana pada awal serangan menyerang orang
dewasa baru kemudian menyerang anak.
Berdasarkan derajat dehidrasi, dibagi menjadi tanpa dehidrasi, ringan-sedang, dan berat. Klasifikasi
dehidrasi sesuai kehilangan cairan yang telah terjadi (PWL= provious water loss). PWL yang 0-5%
penurunan barat badan (BB) tidak berdampak pada derajat dehidrasi (tanpa dehidrasi). Kehilangan cairan
hingga 3% BB masih dapat dikompensasi oleh tubuh sehingga tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi. PWL yang
5-10% penurunan BB berdampak pada tanda-tanda klinis dehidrasi ringan-sedang. PWL yang 10-15%
penurunan BB berdampak pada tanda-tanda klinis dehidrasi berat. PWL yang lebih dari 15% menyebabkan
kematian ataupun syok. Pada anak yang lebih besar karena komposisi cairan tubuh, terutama CES, lebih
sedikit maka PWL sebesar 9% BB bisa menimbulkan dehidrasi berat. Derajat dehidrasi dapat ditentukan
berdasarkan gambaran klinis anak yang menderita diare, yang menurut MTBS (manajemen terpadu
balita sakit) berdasarkan keadaan umum, kelopak mata, rasa haus, dan turgor.
Tabel 4. Derajat Dehidrasi yang Dihubungkan Kehilangan BB
DERAJAT DEHIDRASI % kehilangan BB
Bayi anak 10kg Anak Besar
Tanpa dehidrasi 0-5 %
Dehidrasi ringan sedang 5-10% rerata 7,5%, (50-100 ml/kg) Rerata 5-6% (50-60 ml/kg)
Dehidrasi berat 10-15% rerata 12,5%, (100-150 ml/kg) Rerata 8-9% (80-90 ml/kg)

Beberapa patokan yang dapat digunakan untuk menentukan derajat dehidrasi:


MTBS (managemen terpadu balita sakit)
Penilaian ini praktis dan mudah diterapkan. Hal-hal yang perlu ditanyakan adalah sudah berapa lama
diare berlangsung dan adakah darah dalam feses. Kemudian lihat dan raba: keadaan umum, mata cekung, rasa
haus/tidak mau minum, dan turgor. Klassifikasikan diare berdasarkan derajat dehidrasi dan berdasarkan lama
diare (patokan 14 hari atau lebih) dan darah dalam tinja.

13
Gambar 7. Algoritma klassifikasi diare menurut MTBS

Program P2 Diare
Penilaian ini sedikit lebih rumit, tetapi lebih baik dalam menentukan derajat dehidrasi dibandingkan
MTBS. Penilaian ini mirip dengan MTBS, tetapi terdapat penambahan penilaian air mata dan keadaan
mukosa mulut dan lidah.
Tabel 5. Penilaian Derajat Dehidrasi Menurut Program P2 Diare

PENILAIAN A B C
1 Lihat
- Keadaan umum Baik, sadar *gelisah, rewel *lesu, lunglai atau tidak sadar
- Mata Normal Cekung sangat cekung atau kering
- Air mata Ada tidak ada tidak ada
- Mulut dan lidah Basah Kering sangat kering
- Rasa haus minum biasa, tidak haus *haus, ingin minum banyak *malas minum atau tidak bisa minum
2. Periksa
- Turgor kulit kembali cepat *kembali lambat *kembali sangat lambat
3. Derajat dehidrasi tanpa dehidrasi dehidrasi ringan- sedang dehidrasi berat
Bila ada 1 tanda* ditambah Bila ada 1 tanda* ditambah 1 atau
1 atau lebih tanda lain lebih tanda lain

Skor Maurice King


Skor ini telah lama dibuat, tetapi karena tidak praktis maka skor ini jarang digunakan. Beberapa
kelemahan skor ini adalah penilaian ubun-ubun besar (UUB) dan denyut nadi. UUB lebih cembung dan
frekuensi nadi lebih cepat pada bayi yang menangis dan atau panas.

14
Tabel 6. Penilaian Derajat Dehidrasi Menurut Skor Maurice King

Penilaian derajat dehidrasi berdasarkan gambaran klinis umum dapat menyokong klasifikasi lainnya
tertutama pada MTBS. Tabel 7 memperlihatkan derajat dehidrasi berdasarkan gambaran klinis.
Tabel 7. Penilaian Derajat Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis
Derajat Dehidrasi
Gejala Klinis
Tanpa Dehidrasi Ringan-Sedang B e r a t
Keadaan umum
Kesadaran Baik Gelisah, rewel Apatis-koma
Rasa haus + +++ -
Nadi (x/menit) Normal (<120) Cepat Cepat sekali (>140), lemah-tak teraba.
Pernafasan Biasa Cepat dan dalam (jika ada asidosis)
Keadaan spesifik
Ubun-ubun besar Normal Cekung Cekung sekali
Kelopak mata Normal Cekung Cekung sekali
Turgor (kembali dalam ) Normal (<1 detik) Kurang (1-2 detik) Jelek (> 2 detik)
Selaput lendir Normal Agak kering Kering
Diuresis Normal Oliguri Anuri (> 6 jam)

PENATALAKSANAAN
Menurut WHO ada 4 dasar terapi diare: (1) pemberian cairan: untuk mengobati atau mencegah
dehidrasi, (2) Diet: meneruskan ASI dan makanan lainnya, (3) obat-obatan: tidak memakai antibiotika,
terkecuali pada kasus kolera dan disentri, WHO telah merekomendasikan pemakaian zinc dan (4) penyuluhan.
Secara umum penanganan diare ditujukan untuk : (1) mencegah / menangulangi dehidrasi dan kemungkinan
terjadinya intoleransi, (2) mengobati kausa dari diare, (3) mencegah / menanggulangi gangguan gizi, dan (4)
menanggulangi penyakit penyerta.
Pemberian terapi cairan untuk mengobati atau mencegah dehidrasi dapat melalui oral dan parenteral.
Pemberian cairan peroral lebih menguntungkan dibandingkan parenteral karena mudah, murah, dan lebih
mengurangi frekuensi BAB dan lama diare dibandingkan parenteral. Pemberian cairan peroral diberikan pada
diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan sedang. Pada keadaan dimana diare dengan dehidrasi berat gagal
dilakukan pemasangan IVFD dan fasilitas/tempat untuk pemasangan IVFD tidak terjangkau, dapat diberikan
personde NGT, dengan kecepatan maksimal 20 ml/kgBB/jam. Standar penatalaksanaan FKUI, pada diare
dehidrasi ringan-sedang dengan gagal upaya rehidrasi oral, cairan oralit diberikan melalui nasogastric tube.

15
Pemberian cairan parenteral diberikan pada dehidrasi berat (dimana peroral tidak akan tercapai), dan
dehidrasi ringan-sedang gagal URO. Setelah rehidrasi tercapai secepat mungkin beralih ke pemberian oral.
Jenis cairan adalah kristalolid (RL, NaCl, NaCl+Dektrose), yang terbaik adalah RL. NaCl dapat mengatasi
dehidrasi tetapi dapat menimbulkan asidosis hiperkloremia. NaCl+Dektrose (KAEN 3A atau 3B) kurang
bermamfaat pada dehidrasi berat, karena kecepatan infus melampui batas GIR (glucose infussion rate), tetapi
dapat bermamfaat pada dehidrasi ringan sedang. Pemberian infus yang mengandung dektrose, jika melampaui
GIR, tidak dapat mengatasi dehidrasi, malahan akan menimbulkan dehidrasi.
Prinsip Terapi Cairan
Pemberian cairan dilakukan dengan cepat, dalam 3 sampai 6 jam. Pemberian cairan pada dehidrasi
berat dalam keadaan syok merupakan tindakan kedaruratan medis, jika terjadi gejala dan tanda syok (nadi
tidak teraba) berikan dulu loading cairan 20 ml/kgBB secepatnya. Penilaian lengkap status dehidrasi penderita
dilakukan sesudah dimulainya pemberian cairan dan syok telah teratasi. Terapi rehidrasi dengan cairan
parenteral pada dehidrasi berat, memerlukan tahap-tahapan : (1) Terapi Awal (initial therapy) ditujukan untuk
memperbaiki dinamik sirkulasi dan fungsi ginjal dengan cara reekspansi cepat volume CES, (2) Terapi
lanjutan, ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit dengan kecepatan pemberian cairan yang lebih
rendah dibandingkan terapi awal (initial therapy). Mengingat Na penting untuk mempertahankan volume
CES dan adanya keterbatasan kadar K dalam rehidrasi cepat, maka pengantian ion Na lebih diutamakan dari
pada K, dan (3) Perlu memperhatikan status glukosa saat rehidrasi, karena diare menyebabkan kekurangan
kalori dan hipoglikemi. Memperbaiki status glukosa saat rehidrasi cepat, apakah glukosa dimasukkan ke
dalam cairan intravena atau tidak, berbeda-beda tiap senter. FKUI memasukkan glukosa ke cairan rehidrasi
intravena, sedangkan WHO/Depkes dan FK UNSRI tidak. Menurut WHO/Depkes dan FK UNSRI untuk
mengatasi hipoglikemia maka setelah keadaan umum membaik segera diberikan asupan makanan. Setelah
terapi rehidrasi, sangat penting menjaga/memulihkan status gizi penderita dengan meningkatkan asupan
makanan.
Terapi awal saat rehidrasi cepat pada dehidrasi berat menurut WHO/Depkes menggunakan Rl 30 ml
selama 30 menit pada anak 1 tahun ke atas dan 1 jam pada anak di bawah 1 tahun. Terapi lanjutannya
menggunakan Rl 70 ml selama 2,5 jam untuk anak 1 tahun ke atas dan 5 jam untuk anak di bawah 1 tahun.
FK UNSRI, rehidrasi pada dehidrasi berat pada diare akut murni menyamaratakan jumlah cairan baik pada
terapi awal maupun terapi lanjutan (juga tidak tergantung umur) dengan pemberian Rl 30 ml/kgBB/jam
selama 4 jam. Tetapi jika saat awal terjadi syok maka cairan perlu diloading dulu dengan 20 ml/kgBB/
secepatnya. Tatalaksana FK UI mirip WHO tetapi menggunakan KAEN 3B. Pada dehidrasi ringan-sedang
diberikan oralit sebanyak 75 ml/kgBB, yang menurut WHO dalam 3 jam dan FK UNSRI dalam 4 jam.
Jumlah cairan dan jenis cairan yang diberikan saat rehidrasi pada diare dengan derajat dehidrasi berat
tanpa penyulit berbeda-beda tiap senter. Tabel 8 dan 9 di bawah ini menunjukkan perbedaan pemberian jenis
dan jumlah cairan pada ke-3 senter serta keuntungan dan kerugiannya.
Tabel 8. Perbedaan Jenis, Jumlah, dan Kecepatan Pemberian Cairan
FK UNSRI WHO/Depkes FKUI 2007
Tanda2 syok RL 20 ml/kg secepatnya ? RL 20 ml/kg secepatnya
Terapi Awal RL 30 ml/jam RL 30 ml KAEN 3B 30 ml
< 1 tahun 1 jam < 1 tahun 1 jam
1 tahun: jam 1 tahun: jam
Terapi lanjutan RL 30 ml/jam, Monitor setiap RL 70 ml KAEN 3B 70 ml
jam hentikan jika rehidrasi < 1 tahun 5 jam < 1 tahun 5 jam
tercapai 1 tahun: 2 jam 1 tahun: 2 jam
Jumlah total RL 120 ml/4jam + Rl 100 ml KAEN 3B 100ml +
RL resusitasi syok RL resusitasi syok

16
Tabel 9. Keuntungan dan Kerugian Metode 3 Senter

FK UNSRI WHO/Depkes FKUI 2007


Jumlah cairan untuk Menutupi rerata dehidrasi Menutupi jumlah minimal Menutupi jumlah minimal
anak 10 kg berat (10-15% BB) dehidrasi berat (10% BB) dehidrasi berat (10% BB)
kemungkinan timbul dehidrasi kemungkinan timbul dehidrasi
lagi, defisit 2,5% dianjurkan lagi
minum oralit
Jumlah cairan untuk Rehidrasi umumnya dicapai Mencukupi Mencukupi
anak > 10 kg dengan dalam 3 jam pertama, jadi
dehidrasi berat perlu pemantauan yang ketat
Ion Kalium Rendah, kemungkinan lebih Rendah, kemungkinan lebih Tinggi, kemungkinan lebih kecil
besar terjadi hipokalemia besar terjadi hipokalemia terjadi hipokalemia, tetapi jika
terjadi gagal ginjal terjadi
hiperkalemia
Glukosa Tidak mengandung, Tidak mengandung, Mengandung, kemungkinan
kemungkinan terjadi kemungkinan terjadi terjadi hiperglikemi
hipoglikemi hipoglikemi
Batas GIR (Glukosa Tidak terlampaui Tidak terlampaui Terlampaui, sehingga rehidrasi
Infussion Rate) tidak bisa dicapai
Pada diare akut murni/tanpa masalah/ tanpa penyakit penyulit rehidrasi ditujukan untuk menganti
PWL. Pemberian rehidrasi cepat (3-6 jam) parenteral ditujukan untuk : (1) Memperbaiki dinamika sirkulasi
(bila ada syok) dan (2) Mengganti defisit yg terjadi atau untuk menganti PWL, sementara pergantian CWL
dan IWL diberikan peroral, tetapi jika peroral tidak memungkinkan IVFD dapat dipertahankan. Berbeda
dengan diare akut murni, pada diare akut dengan penyakit penyulit, tujuan pemberian cairan yang diberikan
selama 24 jam adalah (1) Mengganti kehilangan yang telah terjadi, yang menentukan derajat dehidrasi pada
saat dirawat (previous water loss = PWL), (2) Mencukupi kehilangan abnormal dari cairan yang sedang
berlangsung (on going water losses = concomitant water loss = CWL, (3) Menganti cairan melalui keringat
dan pernapasan (insssiible water loss (IWL). Atau (1) Mempertahankan kebutuhan rumatan dan (2) Menganti
cairan yang telah hilang dan yang terus/akan berlangsung (PWL/CWL). Penyakit penyulit adalah
keadaan/penyakit yang dapat membahayakan jika dilakukan pemberian terapi rehidrasi cepat.
Keadaan/penyakit tersebut adalah keadaan/penyakit yang dapat menimbulkan beban volume vaskuler atau
beban volume rongga otak, yakni penyakit jantung, BP, bronkiolitis, meningitis, ensefalitis, penyakit ginjal,
hipernatremia. Pada diare dengan penyakit penyulit karena rehidrasi dilakukan selama 24 jam maka 1/3
sampai harus diberikan dalam 4 jam pertama agar keadaan dehidrasi (terutama yang berat) cepat teratasi
dan sisanya dalam 20 jam kemudian. Pada beberapa keadaan dimana ancaman komplikasi dehidrasi tidak ada
(misalnya pada dehidrasi ringan-sedang) atau kemungkinan dehidrasi (terutama yang berat) akan terjadi
dalam 24 jam ke depan karena anak tidak bisa minum, maka cairan dapat diberikan dengan kecepatan yang
sama. Cairan yang digunakan adalah cairan modifikasi Sutejo, yakni D5% 500 ml + NaCl 15% 10 ml + KCl
10% 4 ml + BicNat 8,4% 7 ml atau mengunakan KAEN 3A atau KAEN 3B.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka jumlah terapi cairan selama 24 jam adalah : Pada
dehidrasi ringan sedang: 200 ml/kgBB/24 jam atau 150-200 ml/kgBB/24 jam, dengan rincian sebagai berikut:
(1) PWL: 75 ml/kg ditambah (2) CWL: 10-20 ml/kg/BAB, 5-10 ml/kg/muntah dengan rerata perhari 100
ml/kg/hari, dan ditambah (3) IWL: 25 ml/kg/hari. Atau (1) kebutuhan rumatan: 100 ml/kgBB/hari ditambah
(2) PWL: dehidrasi ringan sedang 50-100 ml/kg ditambah (3) CWL: tergantung jumlah BAB dan muntah.
Pada dehidrasi berat: 250 ml/kgBB/24 jam, dengan rincian sebagai berikut: (1) PWL: 125 ml/kg ditambah (2)
CWL: 10-20 ml/kg/BAB, 5-10 ml/kg/muntah dengan rerata perhari 100 ml/kg/hari, dan ditambah (3) IWL: 25
ml/kg/hari. Atau (1) kebutuhan rumatan: 100 ml/kgBB/hari ditambah (2) PWL: dehidrasi berat 125 ml/kg
ditambah (3) CWL: tergantung jumlah BAB dan muntah. Rehidrasi menurut RSMH/FK UNSRI pada diare
dengan dehidrasi berat yang disertai penyakit penyulit diberikan cairan sebanyak 250 ml/kgBB/hari, dimana
bagiannya (60 ml/kgBB) diberikan dalam 4 jam pertama dan sisanya (190 ml/kgBB) diberikan dalam 20

17
jam selanjutnya. Dehidrasi ringan-sedang memakai dosis 200 ml/kgBB/hari. WHO sendiri tidak mengenal
istilah ini (diare akut dengan penyakit penyulit/bermasalah).
Kebutuhan rumatan kalori dan air persatuan kgBB perhari dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 10. Kebutuhan Rumatan Kalori dan Jumlah Cairan
Rumatan
Berat Badan (Kg)
Kcal/kg/24 jam ml air/kg/24 jam
10 kg pertama 100 100
10 kg kedua 50 50
Setiap kg penambahan BB (>20 kg) 20 20
Jumlah cairan rehidrasi yang diberikan relatif lebih sedikit pada anak dengan BB di atas 10 kg
dibandingkan anak dengan BB 10 kg ke bawah. Pada anak dengan BB di atas 10 kg yang mengalami diare
akut murni (tanpa penyulit) maka jumlah cairan rehidrasi tidak mencapai 120 ml/kgBB/4 jam. Rehidrasi
mungkin telah tercapai sebelum 4 jam. Karena itu pada anak dengan BB di atas 10 kg jika terjadi dehidrasi
berat, saat rehidrasi perlu pemantauan ketat tiap jam. Pada diare akut dehidrasi berat dengan penyulit,
perkiraan jumlah cairan yang dibutuhkan dalam 24 jam berdasarkan derajat dehidrasi dan berat badan. Secara
praktis jumlah cairan yang diberikan berdasarkan berat badan selama perhari dapat mengacu pada kebutuhan
cairan perhari. Pada dehidrasi berat, jumlah cairan dikalikan 2,5 dan pada dehidrasi ringan sedang dikalikan
1,5 sampai 2. Contoh: anak 20 kg maka jumlah kebutuhan cairan perhari adalah 1500 ml (15 tetes/menit), jika
mengalami dehidrasi berat membutuhkan cairan 3750 ml/hari (37-38 tetes/menit, jika kecepatan pemberian
disamaratakan), dan jika mengalami dehidrasi ringan-sedang membutuhkan cairan 2250-3000 ml/hari (22-30
tetes/menit)
Tabel 11. Jumlah Cairan yang Dibutuhkan dalam 24 Jam:
3 10 kg 10-15 kg 15 25 kg
Derajat Dehidrasi
PWL NWL /hari PWL NWL /hari PWL NWL /hari
Ringan 50 100 175 30 80 135 25 65 115
Sedang 75 100 200 50 80 155 50 65 140
Berat 125 100 250 80 80 185 80 65 170
Jenis cairan peroral yang dapat diberikan pada yang tanpa dehidrasi, yakni cairan rumah tangga,
pedialite, oralit dengan disertai minum air putih dengan jumlah yang sama. Larutan gula-garam mulai
ditinggalkan karena banyak ibu/pengasuh salah menakar garam dan atau gula. Pada dehidrasi ringan sedang
diberikan oralit atau renalit. Pada yang sudah terehidrasi dapat digunakan oralit atau renalit
Oralit
Oralit (ORS = oral rehydration solution) adalah cairan elektrolit-glukosa yang sangat esensial dan
telah terbukti efektif dalam pencegahan dan mengobati rehidrasi pada dehidrasi ringan-sedang. Dasarnya
adalah penelitian in vitro mengenai absorbsi Na dari usus mamalia, dimana air bergerak masuk dari lumen
usus sebagai respon terhadap transpor aktif berpasangan elektrolit dan solut organik, salah satunya yang
penting adalah NaCl dan glukosa. Selain dengan glukosa, mekanisme tranfor Na yang berpasangan juga
dengan solut organik lain, yaitu asam amino dan polipeptide rantai pendek. Selain itu suatu glukosa polimer
dapat digunakan dan memiliki keuntungan karena berat molekul (BM) yang rendah tetapi dapat menghasilkan
glukosa yang banyak yang dilepas secara bertahap (slow release) tanpa menganggu beban osmotik
intraluminal. Zat-zat lainnya juga digunakan untuk meningkatkann kemampuan absorpsi pada oralit misalnya
pro/prebiotik, gum arabik. Penambahan zat-zat yang dapat meningkatkan absorpsi dan atau menekan sekresi
luminal ke dalam oralit standar akan menghasilkan suatu oralit super (super ORS).
Absorpsi Na dan air oleh usus menurut kaedah-kaedah, antara lain (1) Yeyunum yang mengabsorpsi
Na (dan air) pada kecepatan yang meningkat apabila ada glukosa atau solut organik lainnya, (2) Ileum yang
secara aktif mengabsorbsi Na dan Cl melawan perbedaan gradien elektro-kimiawi walaupun tanpa glukosa,
(3) Kadar glukosa sekitar 20 g/l yang memacu absorpsi yang optimal. Kadar glukosa lebih dari 20 g/l
menyebabkan absorpsi tidak sempurna, sehingga menimbulkan diare osmotik, dan (4) kecepatan absorpsi air

18
pada usus bagian proksimal lebih tergantung pada transpor (terutama transpor berpasangan) elektrolit dan
bahan-bahan organik, pada usus bagian distal lebih tergantung pada beda osmolaritas. Pada kebanyakan diare,
proses peradangan/kerusakan mukosa terjadi pada usus bagian distal (ileum dan kolon) sehingga jalur
absorpsi elektrolit dan air lainnya banyak yang mengalami gangguan kecuali jalur tranpor berpasangan antara
Na dan glukosa/asam amino/peptida. Oleh karena itu setiap cairan rehidrasi oral harus mengandung Na dan
glukosa/asam amino/peptida.
Oralit juga diberikan setelah selesai rehidrasi, yakni pada tahap rumatan. Pada tahap rumatan,
pemberian cairan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung karena diare, yakni
sebanyak 10-20 ml/kgBB untuk setiap diare berair yang terjadi dan 5-10 ml/kgBB setiap muntah atau 100 ml
setiap kgBB pada anak dengan BB 10 kg ke bawah dan 200 ml/kgBB untuk BB di atas 20 kg. Oralit mulai
diperkenalkan pada tahun 1978 dengan komposisi Na (90 mmol/l) dan osmolaritas (311 mmol/l) yang tinggi.
Pada tahun 2004 mulai diperkenalkan oralit yang hipoosmolar, dimana pada penelitian multisenter telah
terbukti dapat menurunkan frekuensi dan lama diare dibandingkan oralit lama (hiperosmolar). Tabel 12
menunjukkan perbedaan komposisi atara oralit hipoosmolar an hiperosmolar
Tabel 12. Perbedaan Komposisi antara Oralit Hipoosmolar dan Hiperosmolar
Reduced Osmolarity ORS Hyperosmolarity ORS
Grams/litre Mmol/L Grams/litre Mmol/L
Sodium Chloride 2.6 Na 75 3,5 Na 90
Anhidrous Glukose 13.5 Glukosa 75 20 Glukosa 111
Potassium chloride 1.5 Cl 65 1,5 Cl 80
Trisodium citrate, dihydrate 2.9 K 20 2,9 K 20
Citrate Sitrat 10 Sitrat 10 atau
Bikarbonat Atau 2,5 BicNat Bikarbonat 30
Total Osmolarity 245 311

WHO menyusun rencana pengobatan untuk mengobati diare, dimana rencana A untuk tanpa
dehidrasi, B untuk dehidrasi ringan-sedang dan C untuk dehidrasi berat.

19
20
Beberapa cairan yang dapat dipakai dalam rehidrasi penderita dehidrasi berat:
Garam faali (NaCl ,9%)
NaCl 0,9% dapat digunakan pada dehidrasi dengan alkalosis metabolik yang biasanya disebabkan
oleh muntah-muntah yang perfuse. Hal ini disebabkan NaCl 0,9% tidak mengandung basa. NaCl 0,9% kurang
optimal dalam rehidrasi pasien dengan dehidrasi asidosis (sebagai komplikasi diare), karena tidak dapat
mengkoreksi asidosis. NaCl 0,9% yang ditambahkan Dektrose, dapat mengatasi dehidrasi tetapi jika GIRnya
terlampaui, maka cairan tersebut tidak dapat mengatasi dehidrasi.
Ringer Laktat (RL)
Pemakaian RL secara cepat dapat mengatasi asidosis dengan cara meningkatkan perfusi ginjal yang
mengakibatkan peningkatan eksresi ion hidrogen. Laktat dan asetat sendiri dapat mengatasi asidosis, tetapi
efek netralitas terhadap asam tersebut tidak segera terjadi, karena metabolisme laktat atau asetat menjadi
bikarbonat memerlukan waktu yang lebih lama. Hal ini penting, karena menormalkan pH yang terlalu cepat
atau terlalu agresif, akan lebih berbahaya. Pemberian bikarbonat pada dehidrasi berat hanya ditujukan untuk
asidosis berat, yakni bila pH 7,10. EBM memberikan hasil yang baik pada pemberian RL pada pasien
dengan dehidrasi berat, bahkan yang dalam keadaan syok tanpa memperburuk asidosis. RL hanya
mengandung kalium sebesar 4 mEq/l, kurang mencukupi untuk mengatasi hipokalemia akibat dehidrasi pada
diare akut. Terapi Kalium diberikan sesudah ginjal berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, maka pemberian
cairan yang rendah Kalium diperlukan pada saat rehidrasi (terutama saat terapi awal) pada dehidrasi berat.
Banyak perdebatan mengenai jenis cairan intravena dalam mengatasi dehidrasi akibat diare, terutama
pada dehidrasi berat. WHO, Depkes RI, dan FK Unsri memakai RL sedangkan RSCM/FKUI menggnakan

21
KAEN 3B. Menurut Neville, rehidrasi dengan salin normal (NaCl 0,9% + D 2,5%) lebih baik dari salin
hipotonik (NaCl 0,45% + D 2,5%), karena dapat mengatasi hiponatremia tanpa hipernatremia. Menurut
Eisenhut, penggunaan salin isotonik dapat menimbulkan hiperkloremik asidosis. Menurut Choong,
penggunaan larutan hipotonik (baik itu hipotonik fisiologis, yakni KAEN 3A/3B) meningkatkan resiko
terjadinya hiponatremia akut dan morbiditas. Untuk anak larutan isotonik lebih fisiologis dan aman.
Hiponatremia terjadi akibat keseimbangan positif pemberian cairan bebas Na dan ketidakmampuan
mensekresi urin yang hipotonik akibat ADH. Pengeluaran ADH terjadi akibat adanya hipovolumia atau
hipoosmolar, tetapi jika terjadi bersamaan, ADH lebih merespon hipovolemia dibandingkan hipoosmolar
dengan akibat hipoosmolar semakin berat.
Pemantauan klinis lebih ditekankan dalam menilai hasil rehidrasi. Respon klinis yang dipantau,
meliputi: tangis bayi, tingkat aktifitas, turgor kulit, nadi dan tekanan darah, frekuensi nafas, BB, intake-
output, dan lain-lain. Pada keadaan tertentu (misalnya ada komplikasi), perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium, misalnya periksa nilai analisa gas darah, nilai elektrolit serum dan urin.

Diet
Pada diare, diet memegang peranan penting. Pemberian diet secara dini dapat mempercepat
penyembuhan diare dan mencegah penurunan BB lebih lanjut. Pada dehidrasi berat, makanan diberikan
setelah keadaan umum anak membaik. ASI diteruskan seperti biasanya. Tetap meneruskan makan dan minum
seperti biasanya, dengan penambahan porsi karena pada diare kebutuhan akan diet meningkat 50% adalah
prinsip terapi diet pada terapi diare. Makanan yang dikonsumsi banyak mengandung kalium dan tidak
merangsang.
Pada bayi yang mendapat susu formula, jika ada tanda-tanda intoleransi glukosa (baik klinis maupun
laboratoris), dehidrasi berat, diare telah berlangsung 3-5 hari ganti susu formula dengan susu rendah laktosa
atau bebas laktosa. Penelitian multisenter menunjukkan pemberian susu bebas laktosa lebih bermamfaat jika
ada tanda-tanda intoleransi laktosa dibandingkan susu rendah laktosa.

Medika mentosa
Obat-obat Causa
Anti mikroba tidak rutin digunakan pada diare. Pada diare akut, menurut WHO dan Depkes,
antibiotika hanya digunakan pada kasus kolera dan disentri. Penggunaan antibiotika dapat diperluas pada
kasus diare invasif, yakni diare yang disebabkan oleh bakteri yang meng-invasi enterosit. Suatu diare
digolongkan ke diare invasif jika ditemukan leukosit tinja 10/lpb atau lebih, yang biasanya ditandai dengan
gejala panas lebih dari 38,5 oC. Antibiotika juga harus digunakan jika terdapat gejala meteorismus, dimana
pada keadaan ini terjadi perubahan barier usus yang menyebabkan bakteri-bakteri intraluminal mudah
mengalami translokasi. Secara miskroskopis, pengunaan antibiotika dapat dibenarkan pada kasus tersangka
kolera, tersangka shigelosis, terbukti amubiasis, terbukti giardiasis, dan overgrowth kuman. Diare yang
melanjut lebih dari 7 hari, dipertimbangkan untuk memberi antibiotika sambil menunggu hasil kultur dan
resistensi feses. Penggunaan antibiotika yang tepat adalah berdasarkan hasil kultur feses. Kultur juga
dilaksanakan untuk mengetahui parasit sebagai penyebab. Jenis antibiotika yang sering digunakan adalah
untuk membasmi kolera drug of choice-nya adalah tetrasiklin dengan alternatif kotrimokzasol. Untuk
desentri, drug of choice-nya adalah kotrimoksazol. Untuk amubiasis dan giardiasis drug of choice-nya adalah
metronidazol. Untuk overgrowth kuman, karena hampir 90% kuman yang di kolon adalah kuman gram
negatif anaerob, maka drug of choice-nya adalah metronidazol. Secara sederhana, pada diare yang
memerlukan antibiotik, maka diperlukan antibiotika kotrimoksazol dan metronidazol. Tetapi karena telah
terjadi banyak resistensi terhadap antibiotika, terutama kotrimoksazol, maka pemilihan obat antibiotika pada
kasus diare yang memerlukan antibiotika, sebaiknya mengikuti pola resistensi dan sensitivitas kuman pada
daerah tersebut.
Beberapa penyakit dapat menyertai diare akut. Pemakaian antibiotika dapat dibenarkan pada kasus
seperti ini, tetapi antibiotika yang dipakai adalah antibiotika untuk penyakit penyerta, misalnya diare akut

22
dengan tonsilofaringitis, maka antibiotika yang digunakan adalah antibiotika untuk tonsilofaringitis. Panas
tinggi merupakan indikasi lain penggunaan antibiotika, walaupun penyakit primernya sulit ditemukan. Diare
akut murni, sangat jarang disertai panas tinggi. Panas tinggi yang menyertai diare dapat disebabkan oleh
sepsis, ensefalitis, meningitis, dan lain-lain. Bayi berumur di bawah 3 bulan juga perlu dilindungi dengan
antibiotik jika mengalami diare, karena mudah mengalami sepsis.
Pemakaian antibiotika yang serampangan menyebabkan mudah terjadinya resistensi. Kuman-kuman
di dalam GIT merupakan sumber penyebab keresistenan bakteri, walaupun antibiotika yang dipakai tidak
ditujukan untuk infeksi GIT. Pemakaian antibiotika pada diare juga dapat memperpanjang lama diare dan
meningkatkan frekuensi defekasi. Resistensi terhadap AB tidak hanya mengurangi keefektifan AB terhadap
kuman akan tetapi kuman yang resisten justru dapat tumbuh lebih cepat bila ada AB tersebut, sehingga
menimbulkan super infeksi.
Resistensi kuman terhadap antibiotika kebanyakan diperantarai oleh plasmid. Plasmid merupakan
elemen genetika di luar kromoson, yang dapat bereplikasi secara otonom di dalam sel host. Mekanisme kerja
plasmid, melalui beberapa cara yakni (1) Perubahan tempat sasaran antibiotika, contohnya: resistensi
terhadap eritromisin dan linkomisin, (2) Memodifikasi antibiotika sehingga tidak aktif lagi, contohnya:
resistensi terhadap kloramfenikol, penisilin, dan sefalosporin. (3) Pencegahan antibiotik memasuki sel bakteri,
contoh resistensi terhadap tetrasiklin dan aminoglikosid, dan (4) Produksi enzim baru sebagai penganti enzim
yang berasal dari host yang merupakan sasaran AB, contohnya resistensi terhadap sulponamid dan
trimetroprim
DNA plasmid dapat dipindahkan dari satu jenis spesies kuman ke spisies kuman lainnya dengan cara :
tranduksi, transformasi, dan konjugasi. Tranduksi terjadi dengan perantaraan bakteriofag, misalnya cara
pemindahan sifat resistensi AB antara strain Staphylococcus aureus. Transformasi adalah kemampuan bakteri
untuk berubah secara alamiah untuk mengambil langsung DNA donor, msalnya pada H nluensa,
Streptococcuc pneumoni. Konjugasi terjadi akibat pemindahan gen resisten dari satu kuman ke kuman lainnya
dengan kontak melalui sexpilus, terutama pada basil gram negatif, contohnya pada E coli, Samonella,
Shigella, Klebsiella, V cholera, dan Pseudomonas
Selain resistensi, AB terutama yang berspktrum luas juga dapat menimbulkan diare yang
dihubungkan dengan antibiotika (AAD = antibiotics associated diarrhea atau drug induced diarrhea). AB
menimbulkan AAD, dengan mekanisme antara lain (1) Membunuh kuman apathogen sehingga terjadi
gangguan keseimbangan kuman, sehingga kuman yang pathogen dan jamur (terutama Candida) overgrowth
(2) Berpengaruh langsung ke otot-otot polos GIT yang menimbulkan hiperperistaltik, misalnya eritromisin,
dan (3) Efek toksik obat.
Pemakaian obat causa berdasarkan penyebab:
Virus: tidak ada obat yang spesipik, terapi hanya bersifat simptomatik (mengobati dan mencegah dehidrasi).
Obat antimikroba tidak perlu digunakan.
E. coli: tidak perlu diberi antibiotika, kecuali pada bayi yang sakit berat atau berumur di bawah 2-3 bulan,
karena berpotensi menimbulkan sepsis. Antibiotika yang dapat dipakai adalah Polymixin E sulfat (Collistin),
berkerja dengan cara interferensi pada struktur dan fungsi membran sitoplasma bagian luar bakteri sehingga
menimbulkan kebocoran komponen intra seluler. Bersifat bakterisid. Peroral tidak diserap. Dosis 100.000
SI/kgbb/hari dibagi 3 dosis. Juga dapat dipakai Nifuroxazida (Nifural), bekerja lokal dan tidak diserap
mukosa usus. Dosis untuk bayi di bawah 6 bulan 2 kali 1 sendoh teh perhari. Untuk ETEC dapat digunakan
kombinasi trimetoprim dan sulfametoksasol (kotrimoksazol), bekerja dengan cara mempengaruhi sintesa
protein bakteri sehingga menghambat reproduksi bakteri. Golongan Aminoglikosid (neomisin/ kanamisin),
dapat mempengaruhi struktur usus, sehingga menganggu fungsi normal usus, dapat terjadi malabsorbsi lemak,
gula, dan kalsium. Pemakaian Neomisin dalam jangka lama dapat menimbulkan diare.
Salmonella non tifoid: Insiden terbanyak pada tahun pertama kelahiran. Antibiotik tidak dianjurkan terutama
pada kasus yang ringan. Antibiotik hanya dianjurkan pada penderita imuno compromized, bayi berumur

23
kurang dari 3 bulan, dan yang menunjukkan sindrom sistemik seperti demam enterik dan bakteriemia. Pilihan
antibiotik adalah kloramfenikol, tiamfenikol, amoksisilin. trimetroprim/ sulfametoksazol. Yang terbaik adalah
berdasarkan hasil sensitifitas.
Shigella: Sebagian kasus bersifat self limiting dan tidak pernah terjadi masa karier. Pada yang kasus yang
ringan tidak perlu antibiotika. Antibiotika yang dapat dipakai antara lain kotrimoksasol, bersifat bakterisid,
mengandung 2 bahan aktif yang sinergis melakukan blokade terhadap enzim yang mengkatalisis tahapan
beruntun dari biosintesa asam folik di dalam mikroorganisme. Dosis trimetorim 5-10 mg/kg/hari dan
sulfametoksazol 25-50 mg/kg/hari, 2 dosis selama 5 hari. Efek samping berupa hipersensitifitas, mual,
muntah, stomatitis, leukopenia, dan trombositopenia. Kontra indikasi pemakaian: bayi berusia kurang dari 2
bulan. Golongan quinolon, bersifat bakterisid, daya inhibisi girase pada saat fase proliferasi bakteri sehingga
menghambat replikasi DNA bakteri. Asam nalidiksat (Urineg): dosis 55mg/kg/hari, 4 kali sehari 5 hari.
Ciprofloksazin dengan dosis 2 x sehari 15 mg/kgBB/x. Pemakaian ke-2 obat tersebut harus hati-hati pada:
bayi berumur kurang dari 3 bulan, pernah kejang, anak masa prepubertas karena resiko erosi tulang rawan
pada sendi penyangga. Efek samping adalah nausea, diare, dan nyeri perut. Ampisillin, cara kerjanya dengan
mengganggu biosintesa dinding sel bakteri, sehingga menyebabkan lisis dan kematian bakteri. Dosisnya
adalah 25 mg/kg/kali, 4 x sehari selama 5 hari. Dapat terjadi hipersensitifitas pada penderita yang sensitif
penisilin dan sefalosporin. Efek sampingnya adalah alergi, mual, muntah, diare. Sulfonamid yang tidak
diserap seperti sulfakuanidin, suksinil-sulfatizol, dan ptalylsulfatiazol, bekerja dengan cara secara kompetisi
dengan bakteri dengan cara menghambat penggunaan asam p-aminobenzoat saat sintesa dehidrofolat yang
esensial untuk sintesa DNA dan RNA.
V. cholera. Penggunaan antibiotik dapat mengurangi volume dan lama diare serta masa ekskresi dari kuman.
Tetapi sebagian laporan melaporkan, penggunaan antibiotika tidak berpengaruh. Drug of choicenya adalah
tetrasiklin. Cara kerjanya adalah menghambat replikasi DNA sehingga menghambat sintesa protein bakteri
yang akan menyebabkan kebocoran isi sel. Efek samping berupa mual, anoreksia, diare. Dosis 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 4 dosis selama 3-5 hari. Reaksi hipersensitifitas dan gangguan pada hepar dan ginjal. Sebaiknya
dihindarkan pada anak usia di bawah 6-8 tahun. Absorpsi dihambat oleh antasid dan suplementasi Fe, Ca, Mg.
Obat lainnya adalah kotrimoksazol, dengan dosis trimetoprin 10 mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 3 hari.
Furazolidin, bekerja dengan cara menghambat enzim bakteri dan merusak DNA dan menghambat
metabolisme karbohidrat dan jaringan saraf (toksisitas neurologik). Dosisnya adalah 5 mg/kg/hari
Campylobacter yeyuni. Sebagian besar C jejuni memproduksi lactamase. Bersifat self limiting, pada yang
ringan tidak perlu antibiotika. Eritromisin atau tetrasiklin dapat mempercepat masa kesembuhan dan
mengurangi lama masa karier dan pengeluaran kuman serta kekambuhan. Eritromisin, bekerja dengan cara
menghambat sintesa protein tanpa mempengaruhi sintesa asam nuklei. Efek samping berupa nyeri/ kejang
perut. Hati-hati pada gangguan faal hati.
Yersinia enterokolitika. Bersifat self limiting, sehingga tidak perlu antibiotika
Aeromonas. Jika episode ringan bersifat self limiting sehingga tidak perlu antibiotika. Separuh kasus
berlangsung selama 10 hari, bila bertambah parah maka perlu dipertimbangkan memakai antibiotika
kotrimoksasol
Entamoeba histolytica. Bila ditemukan trofozoit dengan ada RBC di plasmanya atau ulkus pada kolon maka
harus diterapi. Hampir 90% orang yang dalam fesesnya mengandung amuba, merupakan Entamoeba
histolytica yang non patogen (dinamakan Entamoeba dispar). Idioquinol dan diloksanid furanoate efektif
untuk digunakan pada amubisid lumen. Metronidazol dan dehidroemetik efektif digunakan untuk amubisid
jaringan (Amubisid invasif). Metronidazol, untuk amubisid intestinal, hepar, dan organ lain. Dosis: 30-50
mg/kg/hari per oral, 22,5 mg/kg/hari iv dibagi 3 dosis diberikan selama 10 hari. Pada amubisis berat
digunakan dehiroemetin dengan dosis 1 mg/kg/hari IM atau SC 1 x sehari, 10 hari dengan efek toksik pada
jantung, terutama pada penderita dengan gizi buruk. Tinidazol dosis tunggal 60 mg/kg/hari, 3 hari berturut-
turut untuk amubiasis intestinal berat.Metronidazol dan tinidazol menimbulkan gejala toksik SSP dan ginjal

24
dan perlu perhatian pada bayi muda. Pemeriksaan tinja perlu diulang 2 minggu setelah terapi amubisid.
Sembuh bila tidak ditemukan amuba dalam tinja dalam interval 6 bulan
Giardia lambdia. Kebanyakan infeksi tidak menimbulkan gejala (asimptomatik). Antimikroba yang
digunakan adalah metronidazol dengan dosis 15 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5 hari atau kuinakrin
(Quinacrine) 7,5mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 5 hari.
Cryptosporidium. Dapat digunakan antibiotika Makrolid (eritromisin, spiramicin, clindamisin) yang dapat
mengurangi jumlah parasit. Paramomycin dan dictazuril dapat mengurangi beban parasit namun tidak
menghilangkan parasit

Prebiotik
Prebiotik adalah non-digestible food ingredient yang berpengaruh baik terhadap host dengan memicu
aktifitas dan atau pertumbuhan selektif satu jenis atau lebih bakteri penghuni kolon. Mekanisme kerja
prebiotik dengan cara me-modulasi komposisi mikrobiota kolon yang menyebabkan kuman-kuman yang
menguntungkan (Bifidobacteria, lactobaccilus, dan lain-lain) tumbuh lebih dominan.
Cara memperoleh prebiotik, yakni (1) Ekstraksi langsung dari polisakarida alami dari tumbuhan, (2)
Hidrolisis dari polisakarida alami, dan (3) Sintesis enzimatik dengan menggunakan hidrolase dan glikosil
transferase. Contoh bahan prebiotik FOS (frukgto oligo sacharide), GOS, dan inulin. Syarat bahan makanan
yang dapat digolongkan sebagai prebiotik adalah (1) Tidak dihidrolisis dan tidak diserap GIT bagian atas, (2)
Substrat yang selektif untuk satu atau sejumlah mikroflora komensal yang menguntungkan dalam kolon,
sehinga memicu pertumbuhan bakteri, dan (3) Mampu merubah komposisi mikroflora kolon menjadi
komposisi yang menguntungkan bagi kesehatan manusia.
Keuntungan prebiotik dalam men-stimulasi Bifidobacteria, (1) Efek protektif terhadap Cancer
kolorektal dan infeksi usus dengan menghambat bakteri putrefactive (C. perfringen) dan bakteri patogen
lainnya (E. coli, Salmonella, Shigella, Listeria), (2) Memperbaiki metabolisme glisid dan lipid, (3)
Memperbaiki bioavailabilitas mineral esensial, (4) Faktor karsinogenik yang rendah

Probiotik
Probiotik merupakan mikrorganisme yang menguntungkan bagi tubuh (friendly microorganism,
friendly colonizer). Probiotik adalah bakteri hidup yang memiliki efek menguntungkan melalui
kemampuannya memperbaiki keseimbangan mikroflora usus. Keuntungan penggunaan probiotik (1)
Mencegah kolonisani bakteri patogen penyebab diare atau penyakit lainnya, (2) Memicu respon imun mukosa
sehingga memproduksi SIgA yang berperan dalam imunitas humoral lokal dan CMI (cell mediated immune)
mukosa. Syarat suatu kuman dikatakan probiotik adalah (1) Berasal dari manusia dan bakteri yang hidup, (2)
Tidak patogen secara alamiah, (3) Tahan terhadap kerusakan pada waktu proses, (3) Tahan terhadap asam
lambung dan empedu, (4) Dapat melekat pada epitel usus, (5) Mampu berkolonisasi di GIT, (6) mampu
memproduksi substansi antimikrobial, (7) Memodulasi respons imun, dan (8) Mempengaruhi aktivitas
metabolik.
Mekanisme kerja probiotik meliput aspek: (1) Aspek kompetisi, (2) Aspek stabilisasi barier mukosa,
(3) Aspek imunologis, (4) Memproduksi substansi antibakteri, dan (5) Meningkatkan penyerapan di kolon.
1. Aspek Kompetisi, (a) aspek kompetisi perlekatan, kemampuan probiotik mengadakan perlekatan dengan
enterosit sehingga enterosit tidak dapat berikatan dengan bakteri lain. Lactobacillus strain LA10 dan LA18
berkemampuan rendah mencegah perlekatan kuman EPEC, dan lain-lain kuman. Bifidobacteria mampu
melekat kuat pada epitel kolon melalui komponen lipotheichoic acid (LTA). Lactobacillus salivarius
CTC2197 dapat mencegah kolonisasi Salmonella enteritidis. (b) Aspek kompetisi bahan makanan,
kamampuan probiotik berkompetisi dengan bakteri patogen dalam mengambil makanan, sehingga bakteri
patogen kurang dapat tumbuh.
2. Aspek Stabilisasi Barier Mukosa. Dalam keadan normal, epitel mukosa usus dan mikroflora usus
merupakan barier terhadap bakteri patogen. Jika terdapat Ag atau bahan yang merusak, maka stabilitas barrier
mukosa terganggu, sehingga permeabilitas membran meningkat yang menyebabkan invasi atau translokasi

25
kuman patogen, Ag, dan bahan toksik. Probiotik (Lactobacillus GG) dapat menekan proses inflamasi dan me-
normalisasi permeabilitas mukosa dan flora usus
3. Aspek Immunologis. Lactobacillus GG bekerja dengan cara (1) Meningkatkan imunitas mukosa intestinal,
(2) meningkatan jumlah sel penghasil IgA dan sel penghasil Ig lain, (3) Menstimulus pelepasan INF lokal
yang memfasilitasi transport Ag dan meningkatkan ambilan Ag oleh Peyers patches. Bifidobacteria bekerja
dengan cara (1) Mempunyai afinitas pengikatan yang tinggi terhadap membran sel epitel mukosa, (2)
Bertindak sebagai pembawa Ag, yang akan mengikatkan ke jaringan target, sehingga mengaktivasi makrofag
untuk membangkitkan respon imun
4. Memproduksi substansi antibakteri. Beberapa bahan yang bersifat antibakteri dapat dihasilkan oleh
probiotik. Bahan-bahan tersebut, diantaranya asam-asam organik, bakteriosin, mikrosin, reuterin, volatille
fatty acid, hidrogen peroksida, ion hidrogen.
5. Meningkatkan kemampuan absorpsi kolon. Probiotik dapat menguraikan sisa-sisa makanan menjadi
asam-asam lemak rantaipendek (laktat, propionat, butirat) dalam komposisi tertentu sehingga meningkatkan
penyerapan kolon.
Mekanisme kerja probiotik dalam memperpendek diare, adalah (1) Menurunkan pH usus dengan
menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek, (2) Efek antagonis langsung terhadap patogen, (3) Kompetisi
perlekatan pada reseptor, (4) Perbaikan fungsi imun dan stimulasi sel imunomodulator, (5) Kompetisi nutrien
dan faktor pertumbuhan
Mekanisme kerja untuk pencegahan diare, adalah (1) Memodulasi sistem imun, meningkatkan
produksi Ab dan memobilisasi makrofag, limfosit, dan lain-lain, (2) Meningkatkan produksi musin mukosa
usus sehingga meningkatkan respon imun alamiah (innate immunity), (3) Menghambat pertumbuhan bakteri
patogen melalui kompetisi nutrisi dan meningkatkan fungsi barier, (4) Memproduksi substansi antibakteri, (5)
Menurunkan pH usus dengan memproduksi asam laktat, dan (6) Menekan aktivitas toksik dan enzim
karsinogenik amin oleh flora usus lain.

Seng (Zinc)
Zinc merupakan mikronutrien esensial bagi tubuh. Anak-anak di negara berkembang banyak
mengalami kekurangan cadangan zinc. Zinc berperan dalam proses pertumbuhan dan diferensiasi sel,
menjaga stabilitas dinding sel, serta ikut dalam proses ekspresi dari gen dan pengaturan ion intraseluler. Zinc
berperanan penting dalam sistem imun. Pada sistem imunitas non-spesifik, jika terjadi defisiensi zinc akan
menyebabkan kerusakan sel epidermal, mukosa GIT dan saluran nafas yang merupakan barier terhadap
mikroba. Defisiensi zinc juga akan mengganggu fungsi leukosit PMN, sel NK dan aktivitas komplemen. Pada
sistem imunitas spesifik, zinc berperan besar dalam sistem limfosit. Defisiensi zinc menyebabkan atrofi timus
dan berkurangnya kandungan limfositnya. Defisiensi zinc akan menurunkan prekursor limfosit di sumsum
tulang, sehingga jumlah limfosit dalam darah akan menurun, yang menyebabkan respons antibodi menurun
Hubungan seng dan GIT sangat erat. GIT memiliki kandungan limfosit terbanyak setelah timus,
sehingga defisiensi zinc menyebabkan anak rentan terhadap infeksi kuman penyebab gangguan GIT. Zinc
berperan dalam mempertahankan integritas mukosa usus melalui fungsi regenerasi sel dan stabilitas membran
sel. Zinc dapat menghalangi pembentukan NO yang mengaktivasi c-GMP yang menimbulkan diare sekresi.
Penelitian suplementasi zinc pada diare menunjukkan penurunan insidens diare akut dan persisten
antara 14-65%. Pemberian zinc pada penderita diare terbukti memperpendek durasi dan mengurangi proporsi
diare yang menjadi kronik. Pemberian zinc pada penderita diare tidak memandang status zinc tubuh, tetapi
dampaknya lebih jelas pada penderita dengan defisiensi zinc.
Sekarang sudah ada bentuk Zinc elemental, yakni zinkid dan diazinc, dengan setiap tablet
mengandung zinc elemental 20 mg. Dosisnya adalah untuk bayi berumur 6 bulan ke bawah diberikan 10 mg, untuk
yang di atas 6 bulan diberikan 20 mg, diberikan selama 14 hari. Sebelum ada preparat tersebut dipakai Zinc
sulfat, Zinc glukonat, Zinc asetat, Zinc pikolinat. Satu mg Zn elemental setara dengan 4,4 mg ZnSO4.7H2O
setara dengan 7 mg seng glukonat setara dengan 2,8 mg seng asetat setara dengan 2,1 mg ZnCl2
Obat-obat simptomatik

26
Obat-obat yang mempengaruhi feses
Obat pengental tinja. Kaolin-pektin. Obat ini tidak dianjurkan dipakai. Silikat aluminium terhidrasi dapat
mengabsorpsi toksin bakteri dan memberikan perlindungan mekanik bagi mukosa usus. Walaupun frekuensi
diare berkurang, tetapi tidak menghentikan keluarnya air dan elektrolit ke dalam lumen usus karena itu
kehilangan cairan tetap berlangsung. Kehilangan cairan akan sulit dipantau. Portoy 1980: penggunaan
campuran kaolin pektin menjadikan tinja bertambah keras namun jumlah air yang hilang tidak berubah. Mc
Clung: kaolin-pectin dapat meningkatkan kehilangan garam dalam tinja, terutama Na dan K
Obat antimotilitas. Loperamid. Dosis pada anak 0,04 mg/kg. Efek merugikan loperamid (Walia 1980) : (1).
Kehilangan cairan dan elektrolit dalam lumen sulit dinilai, (2). Multiplikasi abnormal flora bakteri kolon
sehingga dapat me-invasi ke darah, dan (3) Dapat menybabkan distensi abdomen sehingga menimbulkan Ileus
paralitik. Pemakaian obat antimotilitas pada diare akut dengan demam yang diperkirakan ada patogen invasif
dan disentri dapat mengakibatkan hambatan pembuangan organisme patogen yang menyebabkan diare
memanjang. Dapat menimbulkan ileus paralitik, dan dapat menimbulkan toksik megakolon (terutama pada
kasus disentri).
Obat anti sekretorik. Klorpromazin. Obat ini menghambat siklase intestin yang dipacu oleh toksin kolera
dan sekresi cairan (Rabbani 1979). Dosis 1 mg/kgBB/hari. Kerugiannya: menyebabkan sedasi, sehingga oralit
tidak dapat diberikan. Obat anti sekretorik lainnya adalah aspirin dan endometasin. Obat ini dapat mencegah
efek sekretori dari toksin kolera.
Kolesteramin. Berefek pada pengikatan asam empedu sehingga efek katartik akibat asam empedu dalam
jumlah besar yang mencapai kolon dikurangi. Berkemampuan mengikat endotoksin, sehingga efektif pada
diare intraktabel, walaupun patogenesisnya belum jelas.
Obat-obat anti muntah
WHO belum merokemendasikan penggunaan obat anti muntah. Obat anti muntah berdasarkan tempat
keranya dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yakni (1) berkerja di sistem syaraf pusat, dengan menekan pusat
muntah. Efek sampingnya adalah mengantuk. (2) bekerja di saluran cerna, dengan meningkatkan peristaltik.
Efek sampingnya adalah diare. Terdapat perdebatan mengenai penggunaan obat antimuntah pada diare.
Pendapat yang tidak setuju beralasan: (1) gejala muntah merupakan gejala penyakit yang seiring dengan
perjalanan penyakitnya hilang dengan sendirinya, misalnya pada infeksi rotavirus gejala muntah hanya
didapatkan pada awal perjalanan penyakitnya. (2) muntah bisa diakibatkan dari dehidrasi dan asidosis. Jadi
jika dehidrasi dan asidosisnya diobati maka muntah akan hilang dengan sendirinya. Pendapat yang setuju
berdasarkan EBM (evidence based medicine): penelitan multisenter memperlihatkan keuntungan penggunaan
obat anti muntah. Obat yang sering dipakai adalah Domperidone. Dosis 0,25-0,5/kgBB/kali 3-4 kali perhari.

VAKSINASI SALURAN CERNA


Vaksinasi saluran cerna dapat diberikan secara parenteral ataupun peroral. Vaksinasi parenteral hanya
meningkatkan AB dalam serum tetapi tidak dalam saluran cerna. Vaksinasi peroral dengan bakteri yang telah
mati menyebabkan pembentukan antibodi dalam serum dan intestinal tetapi tidak cukup tinggi. Imunisasi oral
dengan bakteri hidup menyebabkan pembentukan antibodi yang cukup tinggi dalam serum maupun lokal.
Cara kerja vaksin kolera adalah menghalangi proses perlekatan toksin kolera terutama sub unit B. Cara
pembuatan vaksin, vaksin shigella berasal dari mutasi bakteri Shigella yang dilemahkan, mutasi hibrida
Shigella dengan segmen E. coli, E. coli yang dimasukkan gen Shigella dan carrier yg mengandung gen
Shigella. Booster vaksin shigella dilakukan setiap 2 tahun. Vaksin E. coli dihasilkan dari inti (Ag LT dan ST),
kapsul (Ag K) dan dari silia (Ag P).
Vaksin rotavirus generasi kedua memiliki prospek yang lebih baik dibandingkan generasi pertama.
Vaksin generasi pertama telah terbukti menyebabkan invaginasi, sehingga ditarik. Pemakaiannya pada bayi di
bawah umur 6 bulan dengan dosis sebanyak 2 kali.

27

Anda mungkin juga menyukai