Sabrur Rohim
Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana
Kab. Gunungkidul
gusbroer@gmail.com
Abstrak
Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu,
kehidupan agamis identik dengan Indonesia, baik di dalam pikiran, sikap, ataupun tindakan.
Setiap ragam persoalan nasional sedikit banyak terkait dengan agama. Satu contoh kasus
dalam hal ini adalah program KB (Keluarga Berencana). Dalam sejarahnya sejak dicanangkan
pada 1970-an, kaum Muslim secara umum menentangnya, karena sekilas dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai agama yang suci. Ironisnya, arus penolakan berbasis agama
itu selepas runtuhnya Orde Baru, seperti mendapatkan momentum, karena memperoleh
tambahan amunisi besar berupa argumen HAM. Padahal, jika kita menilik ke sejumlah
teks atau nash, baik di al-Quran maupun hadis, ternyata tidak sedikit dalil yang mendukung
program KB. Sedangkan dari aspek nalar kenegaraan, hak asasi dalam soal reproduksi akan
berhadapan dengan kepentingan dan kewajiban dalam hal penyediaan sarana dan pra-
sarana untuk mensejahterakan seluruh rakyat yang menjadi tugas pemerintah (negara)
untuk mewujudkannya. Tulisan ini menjelaskan bahwa dalam konteks nation-state,
penolakan terhadap program KB dengan dalih HAM, adalah suatu sikap atau cara pandang
yang kurang relevan dan lemah secara argumentatif, baik dari sisi doktrin maupun logika.
Pengantar
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di seluruh dunia.
Kehidupan keagamaan di negeri ini begitu semarak mewarnai hampir semua lini
kehidupan: dari pengajian pagi di hampir setiap televisi dan radio sampai tablig akbar alun-
alun kabupaten/kota, dari menjamurnya bank syariah sampai antrean calon jemaah haji
148 Sabrur Rohim
yang mencapai 20-an tahun. Inilah potret girah Islam yang menyeruak di negeri ini dalam
beberapa dasawarsa terakhir.
Dalam konteks Indonesia, agama adalah faktor yang sangat signifikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Diskursus agama menyasar ke semua bidang: budaya,
sosial, politik, dan hukum. Persoalan nasional sedikit banyak terkait dengan (ajaran)
agama. Sebab, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis, yang cenderung
menempatkan setiap persoalan dalam perspektif agama. Hal ini lumrah dan masuk akal,
karena agama mayoritas adalah Islam. Agama Islam secara doktrin dan ideologi sangat
menekankan konsep syuml, yakni ajaran Islam meliputi semua persoalan hidup manusia
dengan segala seluk beluknya, lahir atau batin, profan maupun spiritual.
Maka dalam konteks Indonesia, suatu kebijakan atau program yang dicanangkan
negara, besar potensinya untuk menyedot apresiasi positif dan partisipasi aktif dari
masyarakat jika didukung dan dijustifikasi dengan doktrin Islam. Sebaliknya, suatu kebijakan
atau program, bisa saja rontok berantakan di tengah masyarakat manakala mengandung
unsur pencederaan terhadap nilai agama.
Salah satu contoh kasus dalam hal ini adalah program KB (Keluarga Berencana).
Begitu Orde Baru runtuh, di antara tantangan utamanya adalah sistem otonomi daerah
(Otda), yang membebaskan setiap daerah (tingkat I dan II) untuk mengatur sendiri bidang-
bidang pembangunan yang akan digarap, baik itu menyangkut soal anggaran, prioritas
program, dan sebagainya, termasuk di dalamnya program KB.
Ketika Orde Baru runtuh pada tahun 1998 dan diganti oleh Orde Reformasi,
segala sesuatu yang berbau Orde Baru yang identik dengan represi, absolutisme,
totalitarianisme, penekanan di semua lini mendapat resistensi dari masyarakat. Reformasi
seakan-akan menjadi momentum bagi masyarakat untuk bebas dalam berpikir, berekspresi,
berpendapat, berbuat, hal-hal yang selama ini mereka rasakan hilang dalam ruang publik.
Dalam menyikapi ajakan pemerintah untuk ikut program KB, sebagian kaum muslim
yang sekian lama ini diam atau setidaknya sembunyi-sembunyi dalam menentang program
tersebut, kini terang-terangan menunjukkan resistensinya. Jika dulu malu menentang
program KB, malu memiliki anak banyak, kini tidak lagi, dengan berlindung di balik dalil
agama an-sich, tetapi juga argumen HAM (Hak Asasi Manusia). Jadi, arus penolakan
berbasis agama yang diusung oleh sebagian kaum Muslim itu, selepas tumbangnya Orde
Baru, seperti mendapatkan momentumnya yang penting, karena memperoleh tambahan
amunisi berupa argumen demokrasi, kebebasan, dan HAM. Belum lagi, selepas berakhirnya
Orde Baru, pintu bagi masuknya ideologi-ideologi transnasional juga terbuka lebar, tak
terkecuali yang bercorak konservatif, bahkan garis keras.
Tulisan ini menjelaskan bahwa dalam konteks nation-state seperti sekarang,
penolakan terhadap program KB dengan dalih HAM adalah suatu sikap atau cara pandang
yang kurang relevan dan tidak signifikan. Sebab, hak asasi dalam soal reproduksi akan
berhadapan dengan kepentingan dan kewajiban dalam hal penyediaan sarana dan pra-
sarana untuk mensejahterakan seluruh rakyat yang menjadi tanggungjawab bersama,
atau setidak-tidaknya tanggungjawab pemerintah. Argumen dasarnya, bahwa jika terjadi
ketidakseimbangan antara beban dan kemampuan, maka secara perlahan tetapi pasti
negara akan menuju pusaran permasalahan sosial yang kompleks.
Tulisan ini memaparkan suatu sudut pandang syariyyah tentang keselarasan
Islam dengan program KB, untuk mendapatkan suatu wawasan keislaman yang progresif,
wawasan yang mendorong terwujudnya kemaslahatan dalam arti yang lebih luas, yakni
kemaslahatan bangsa dan negara. Dengan demikian, agama benar-benar memberi
makna bagi kehidupan, memberi spirit bagi terwujudnya peradaban yang lebih baik, lebih
berkualitas; bukan sebaliknya, agama malah menjadi penghalang bagi kemajuan umat
manusia, bagi perubahan menuju yang lebih baik.
Paul R. Ehrlich, Ledakan Penduduk, terj. oleh Inyo Fernandes dan Paul Soge, cet. 4, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1981), hlm. vii.
4
Tim BKKBN Provinsi DIY, Materi Latihan Dasar Umum bagi PKB, (Yogyakarta: BKKBN DIY, 2007),
hlm. 22.
5
Lies Marcoes-Natsir, Mencoba Mencari Titik Temu Islam dan Hak Reproduksi Perempuan, dalam Syafiq
Hasyim (ed.), Menakar Harga Perempuan; Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Cet.
1, (Bandung:Mizan, 1999), hlm. 15.
6
Tepatnya dalam Q.S al-Nisa ayat 9: Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan sesudah mereka
generasi yang lemah, yang mereka khawatir akan keadaan mereka itu....
7
Lihat, Kamaludiningrat, Peran dan Tantangan Orang tua., hlm. 25.
8
Lihat, Euneke Sri Tyas Suci, Keluarga: Sumber Warisan Nilai, Karakter, dan Kualitas Generasi Berikut,
makalah dalam rangka Hari Keluarga Nasional (Harganas), di situs Himpsi (Himpunan Psikologi Indonesia),
www.himpsi.or.id, 29 Juni 2015, akses 5 Oktober 2016.
9
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 dan PP 41 tahun 2007, kembali menegaskan bahwa program KB
merupakan kewenangan wajib kabupaten/kota.
10
Jika program KB berjalan stagnan seperti sekarang, tidak ada perubahan, maka dikalkulasikan pada 2020
jumlah penduduk Indonesia akan sebesar 271,1 juta jiwa, dan pada 2035 sebesar 305,6 juta jiwa. Lihat, Ini
Kenapa Program KB Berhasil di Zaman Soeharto dan Sekarang Diabaikan, berita situs detik.com, 18 Juni 2014,
13.11 WIB, akses 5 Oktober 2016.
11
Sahid Puspawarna, E-KTP Durung Tuntas, Desentralisasi Dadi Ganjelan, artikel dalam rubrik Wawasan
Jroning Negara, Tabloid Jaka Lodang, No. 19, 8 Oktober 2016/6 Sura 1950 Je, hlm.5.
12
Lihat,Soeroso Dasar, KB Mati Dikubur Berdiri; Bunga Rampai Tulisan Program Kependudukan dan KB, cet. 2,
(Bandung: Corleone Books, 2011), hlm. 3.
13 Nindia Destiani Aska, Perjalanan BKKBN Dulu dan Kini, artikel dalam
m.kompasiana.com, 17 Juni 2015, akses 5 Oktober 2016.
Oleh karena itu, di awal era Reformasi, BKKBN ditunjuk oleh pemerintah sebagai
leading sector program tersebut sedikit berubah paradigmanya. Ketika di zaman Orde
Baru secara tegas menekankan pada aspek kuantitas dengan slogannya, Dua Anak
Cukup, berubah lebih menekankan pada aspek kualitasnya, dengan visi barunya Keluarga
Berkualitas, dan slogannya menjadi, Dua Anak Lebih Baik. Barulah setelah lebih dari
satu dasawarsa berjalan, dan ternyata pendekatan ini justru kontraproduktif di tengah
masyarakat, belum lama ini BKKBN kembali pada slogan awalnya, yakni: Dua Anak Cukup.
14
Sabrur R Soenardi, Pesan KB dalam Sepotong Sinetron, majalah Gemari edisi Juni 2008, atau lihat di situs
www.gemari.or.id, posting tertanggal 27 Juni 2008.
15
Lihat, QS al-Thalaq: 2-3
16
Lihat, QS al-Araf: 96.
17
Lihat, QS Bani Israil: 31
18
Lihat, QS al-Anam: 151
19
Sabrur R Soenardi, Jangan Bunuh Anakmu Karena Takut Lapar, artikel dalam Majalah Rindang, No. 02, Th.
XXXIII, September 2007, hlm. 42.
20
HR Ahmad, 3/245, disahihkan oleh Ibnu Hibban, ada juga hadis pendukung lainnya dari Abu Dawud, al-Nasai,
dan Ibnu Hibban, dari Maqil Ibn Yasar. Muh. Sjarief Sukandy, Tarjamah Bulughul Maram, Fiqh Berdasarkan
Hadits, (Bandung: Almaarif, 1986), hlm. 357.
21
Sabrur R Soenardi, Sedikit Anak Banyak Rezeki, artikel di HU Bernas, edisi 4 September 2015, hlm. 4.
kesadaraan akan HAM, yang tentu saja bukan saja hak untuk berpikir dan bertindak
dalam ranah umum, tetapi termasuk di dalamnya hak untuk bebas menjalankan dan
meyakini ajaran agama tanpa rasa takut. Maka di dalam terang cita dan idealisme HAM,
banyak orang yang tidak ikut program KB.
Islam sebagai agama secara substansial telah menawarkan konsep HAM di dalam
ajarannya. Imam al-Ghazali, merumuskan bahwa ada 5 (lima) hak dasar yang melekat
dalam diri manusia yang disebut al-Kulliyyat al-Khamsah, lima hak dasar yang meliputi:
hak atas kesanggupan hidup (hifzh al-nafs), hak atas kepemilikan harta benda (hifzh al-
mal), hak atas kebebasan berpikir (hifzhal-alq), hak atas keberlajutan anak keturunan
(hifzh al-nasl), serta hak atas kebebasan beragama (hifzh al-din). Lima hak ini merupakan
penjabaran dari cita kemaslahatan (mashlahah). Jika lima hak ini terakomodasi dengan
baik dan layak, maka berarti kemaslahatan masyarakat telah terpenuhi. Sebaliknya,
jika belum, apalagi tidak ada sama sekali, berarti belum ada kemaslahatan dalam
kehidupan publik. Al-Ghazali menegaskan, setiap hal yang mengandung perlindungan
atas kelima hal ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menegasikannya adalah
kerusakan (mafsadah), dan menolak kemafsadatan adalah bentuk perwujudan dari cita
kemaslahatn itu sendiri.22
Dari paparan tersebut, tampak sekali betapa Islam secara tradisional begitu
menempatkan hak-hak individual pada kedudukan yang tinggi, sehingga dinamakan
sebagai hak dasar (asas) serta keharusan untuk memeliharanya, seperti pengertian
dalam konsep hak asasi manusia (HAM). Hifzh al-nasl dapat diartikan sebagai suatu cita
perlindungan atas hak personal seseorang (individu) dalam reproduksi atau regenerasi
(keberlangsungan anak turun). Penjabarannya, bahwa seseorang memiliki hak yang
tidak bisa diintervensi oleh siapa pun menyangkut reproduksi, baik itu berkaitan dengan
jumlah anak yang akan dimiliki atau jarak antar kelahiran. Islam memberi keberpihakan
kepada hak-hak individual setiap orang untuk bebas mengatur sendiri reproduksinya,
tanpa paksaan atau arahan dari siapapun. Hal ini kompatibel dengan kecenderungan
umum masyarakat sekarang yang menolak atau tidak tertarik dengan program KB dengan
alasan HAM.
22
Al-Ghazali, al-Mustashafa min Ilm al-Ushul, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 26.
23
Lihat, Masdar F. Masudi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan; Dilaog Fiqih Pemderdayaan, cet. 2, (Bandung:
kelahiran dikontrol atau dicegah, hal itu sama saja melawan atau menyalahi kodrat yang
sudah ditetapkan Allah kepada manusia, dan hal ini tentu saja merupakan dosa.
Selain itu, kedua, wawasan yang coba diketengahkan adalah bahwa alat
kontrasepsi bertentangan dengan kodrat penciptaan, sehingga bisa disebut sebagai
pembunuhan.24 Kata kontrasepsi dibentuk dari contra (anti) dan conception
(penciptaan). Kata penciptaan (conception) disini merujuk pada peristiwa pertemuan
antara sel telur (ovum) dan sel sperma; keduanya menyatu, membentuk sel yang akan
bertumbuh yang disebut zygote.25 Dalam pandangan ini, ketika sperma dan sel telur
menyatu, disitulah kehidupan sudah dimulai. Paham inilah, barangkali, yang kemudian
melahiran tuduhan pembunuhan itu.
Selain itu, ada dua alat kontrasepsi, persisnya mungkin disebut cara ber-KB, yang
metodenya dianggap sebagai bukan saja menyalahi kodrat, tetapi lebih dari itu adalah
merusak ciptaan Tuhan.Yang dimaksud tentu adalah tubektomi/MOW (metode operasi
wanita) dan vasektomi/MOP (metode operasi pria). Dianggap menyalahi kodratbahkan
dalam konotasi yang krusial, karena kedua cara ini menjadikan seseorang (perempuan
atau laki-laki) tidak akan punya anak lagi secara permanen, kecuali melalui kanalisasi.
Merusak ciptaan Tuhan, karena mekanisme kerjanya: MOW, mengoklusi tuba falopi,
yang salah satu pilihannya dengan dipotong (walaupun bisa juga diikat atau dipasangi
cincin saja); MOP, oklusi (umumnya dipotong) pada vasa deferensia (saluran sperma).26
Analisis Kritis
Dengan tawaran analisis dibawah ini, penulis menawarkan opini pembanding
terhadap argumen-argumen penolakan terhadap program KB, atau setidaknya bisa mengisi
ruang bagi lahirnya tawaran yang alternatif dan lebih progresif.
27
M Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-
Quran), (Tangerang: Lentera Hati, 2002), hlm. 17.
28
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran), (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol.
15, hlm. 377-9.
Dalam konteks negara, sistem yang dimaksud dalam konteks distribusi rezeki
tidak lain adalah sistem ekonomi. Jika sistem ekonomi dalam kehidupan suatu komunitas
(bangsa dan negara) itu baik (berkeadilan), otomatis Allah disertai peran manusia
didalam sistem tersebut menjamin setiap rezeki hamba-Nya secara adil, merata,
sehingga tercipta kesejahteraan (welfare). Sebaliknya, jika sistem ekonominya tidak
baik, tidak berkeadilan, maka jaminan rezeki tidak diperoleh secara optimal pula. Kerja
Tuhan dalam konteks ini tidaklah mandiri, dan itulah kenapa Dia menggunakan kami,
bukan aku, yang mengandung arti ada aktor atau subyek lain yang terlibat didalamnya,
misalnya manusia, sistem, atau mekanisme alamiah.
Yang tak kalah penting adalah ketika kita mencermati masalah-masalah sosial
dewasa ini dalam kerangka analisis kependudukan. Penduduk semakin hari kian
bertambah, semakin banyak, tetapi di sisi lain tanah atau bumi kita tidak bertambah satu
senti pun, sumber daya alam (SDA) kita juga semakin hari kian makin menipis. Faktanya,
pertumbuhan penduduk kita tidak diatur dengan baik pasca lahirnya reformasi, dari
sebelumnya 2,3% menjadi 2,7%, sehingga mengancam ketahanan kita dalam bidang
SDA, pangan, anggaran pendapatan. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada penanganan yang
serius, maka ke depan akan menjadi masalah sosial yang sangat serius di banyak bidang:
lingkungan, air bersih, pendidikan, kesehatan, udara bersih, kesempatan kerja, dan
sebagainya.29
Didalam wawasan teologi sebagaimana tecermin dalam kerangka berpikir diatas,
mestinya bukan dipahami bahwa Tuhan tidak menepati janji-Nya untuk menjamin rezeki
setiap hamba-Nya dimuka bumi. Yang sepatutnya dipahami adalah bahwa Allah SWT
dalam mengatur rezeki hamba-Nya memang tetap memberikan peran pada manusia
untuk berusaha dan berikhtiar, juga memberikan ruang bagi berjalannya sistem atau
mekanisme alam yang ada, baik itu sudah menjadi pilihan jalan hidup atau memang
sebagai kenyataan riil yang harus dihadapi oleh manusia.
Program KB, sejatinya tidak lain merupakan sebuah metode, sebuah cara atau
jalan, atau lebih tepatnya sebuah strategi budaya bagaimana menyiasati sistem
ataupun mekanisme alam. Maksudnya, bahwa karena disadari sistem ekonomi yang
berlaku masih belum mampu menciptakan keadilan dan pemerataan bagi masyarakat,
atau menyadari keadaan alamiah menyangkut kesenjangan antara daya tahan negara
dan populasi penduduk, maka perlu ada semacam sistem tandingdan strategi yang
bisa berpotensi mengantisispasinya. Program KB adalah sistem tandingataupun
strategi yang dimaksud itu, karena secara teoretis program tersebut potensial untuk
meningkatkan taraf perekonomian masyarakat, dengan berpangkal pada logika bahwa
semakin minimal anggota dalam sebuah keluarga, maka semakin sedikit living-cost,
29
Dasar, KB Mati, hlm. 4.
sehingga kesejahteraan keluarga juga akan bisa ditingkatkan. Rumusnya adalah GNP
dibagi jumlah penduduk, dan hasilnya adalah income per capita. Jika bilangan pembaginya
kecil, maka hasilnya income per capita-nya besar, dan akan berdampak pada peningkatan
kesejahteraan.30 Itulah kenapa di dalam program ini, dalam konteks Indonesia,
diteguhkan sebuah ideal tentang NKKBS, norma keluarga kecil bahagia sejahtera. Bahwa
kesejahteraan keluarga akan dicapai dengan pertama-tama meminimalkan besaran
keluarga. Jika kesejahteraan meningkat, maka otomatis segala kebutuhan setiap anggota
keluarga, baik itu menyangkut sandang, pangan, pendidikan, kesehatan bisa terpenuhi.
Secara nasional, ini merupakan modal bagi terciptanya SDM bangsa dan negara
yang berkualitas, yang akan berkontribusi terhadap peningkatan produksi ekonomi,
sehingga bisa mendorong kesejahteraan anak bangsa. Teks Tuhan menjamin rezeki
setiap hamba-Nya, ditujukan kepada mereka (keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara) yang memiliki sistem ketahanan sosial-ekonomi yang baik. Dengan demikian,
kemampuan Tuhan dalam memberi rezeki setiap hamba, tidaklah dipahami bersifat
absolut, akan tetapi juga dipengaruhi oleh kerja manusia.
30
Ibid.,hlm. 3.
31
Kata paradigma menurut Thomas Kuhn mengandung sesuatu yang dinamis, bahkan revolutif. Shindunata,
Kabut-Kabut Ketidakjelasan, majalah Basis, No. 11-12, Tahun ke 46, November-Desember, (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), hlm. 11-12.
32
Yusuf al-Qardlawi dalam Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyyah, mengatakan: Rumusan-rumusan para
ahli ushul al-fiqh tentang maqashid al-syariah dan mashlahah memperlihatkan bahwa perhatian mereka diarahkan
kepada manusia secara personal (al-fard/individu) dan tidak melihat dengan perhatian yang cukup memadai
pada persoalan-persoalan masyarakat dan umat (al-mujtama wal-ummah). Lihat, Ismail al-Hassani, Nazhariyyah
Dalam konteks era modern seperti sekarang, ketika person sudah hilang dan
mewujud dalam bentuk negara-bangsa (nation-state), sesungguhnya konsep perlindungan
mutlak atas setiap kepentingan individual menjadi tidak memiliki signifikansi yang
mutlak. Memang kepentingan setiap individu diakui, akan tetapi tidaklah bebas mutlak,
karena ada kepentingan umum yang diatur oleh negara. Tentu saja, kepentingan individu
juga diakui, dilindungi, diakomodasi oleh negara, tetapi tingkatannya jauh di bawah
kepentingan masyarakat secara umum. Negara jelas berproyeksi untuk mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi rakyatnya. Sebab, tujuan utama
dibentuknya negara-bangsa tidak lain adalah mencapai bersama seluruh individu yang
terikat dengannya.
Jika dikaitkan dengan program KB, maka perlu merubah paradigma masyarakat,
dari paradigma person ke paradigma negara. Memang benar bahwa ada hak dan
kepentingan setiap warga manyangkut reproduksi dan regenerasi yang musti diakui
dan dilindungi, bukan saja secara nasional, bahkan internasional (karena ada deklarasi
universal HAM). Akan tetapi harus diingat, bahwa di sisi yang lain negara sangat
berkepentingan, alias memiliki interest, untuk meminimalkan beban pembangunan demi
meningkatkan kesejahteraan dan derajat hidup seluruh warga negara, tanpa terkecuali,
baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, prasarana umum, dan seterusnya.
Dengan kata lain, hak dan kepentingan individual warga berhadapan dengan kewajiban
dan kepentingan negara untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan menyangkut
kesejahteraan warga bangsa dalam arti luas. Sebab, jika setiap warga dibebaskan secara
mutlak untuk beranak-pinak tanpa batas, tanpa pengaturan, tak peduli mereka mampu
menafkahi atau tidak, maka bayangkan betapa berat beban yang dipikul negara (sebagai
kewajibannya) untuk menyediakan anggaran yang memadai bagi program pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja, pinjaman modal bagi seluruh warga negaranya.33
Memang betul, pengaturan atau pengendalian kelahiran saja tidak cukup sebagai
salah satu kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan, jika tidak disertai dengan
keadilan dan pemerataan.34 Walaupun laju pertumbuhan penduduk nol persen sekalipun,
tetapi tidak ada pemerataan dan keadilan antara yang miskin dan si kaya35 dalam akses
ekonomi, kesehatan, pendidikan, maka upaya itu (KB) tidak akan berdampak apa-apa.
al-Maqashid Inda al-Imam Muhammad Thahir Ibn Asyur, cet. 1, (Virginia, AS: al-Mahad al-Alam al-Fikr al-Islami,
1995), hlm. 296.
33
Sabrur R. Soenardi, Pendekatan Agama Program KB, dalam HU Solopos, edisi Jumat 24 April 2009, hlm. 4.
34
Marcoes-Natsir, Mencoba, hlm. 16.
35
Dulu ada klasifikasi oleh BKKBN dalam pentahapan keluarga sejahtera.Untuk keluarga miskin, tahapannya
adalah Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1 (KS-1), sedangkan untuk kelompok menengah ke atas dan kaya
klasifikasinya KS-2, KS-3, dan KS-3 Plus. Lihat, Dinas Kependudukan dan KB Kab. Gunungkidul, Pedoman
Pemutakhiran Data Penduduk (Keluarga) Kab. Gunungkidul, Tahun Anggaran 2006, (Yogyakarta: DKKB,
2006), hlm. 19-22.
Namun demikian, menurut hemat penulis, sistem yang berkeadilan dan merata itu
berjalan bukan lantas menjadi andalan untuk membiarkan populasi penduduk melaju
tanpa kendali. Masalah populasi ini adalah urgens dan signifikan, karena menjadi akar
dari masalah-masalah pembangunan lainnya. Beban membengkak dalam pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja, krisis lingkungan, adalah sebagai dampak nyata dari populasi
yang tinggi. Angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, tanpa diimbangi dengan
peningkatan pelayanan kesehatan dasar, pendidikan dasar dan pendapatan ekonomi
keluarga yang memadai, jelas akan menimbulkan pelbagai permasalahan.
Selain itu, yang layak dicermati pula, sesungguhnya program KB tidak bisa lagi
hanya dikaitkan dengan kepentingan negara dalam masalah pengendalian penduduk
dengan dalih meminimalisir beban pembangunan. Lebih mendasar dari itu, orientasi
program KB sekarang coba bergeser ke isu kesetaraan gender36 dan kesehatan
reproduksi.37 Benar memang, bahwa di satu sisi program KB, justru menjadi instrumen
yang ikut menguatkan sistem patriarkis dan memposisikan kaum perempuan sebagai
objek (pembangunan). Namun, di sisi lain, program KB itu sendiri juga bisa menjadi
penunjang bagi terwujudnya kondisi yang mengarah pada kesetaraan gender. Dengan
membatasi kelahiran, atau setidaknya mengatur kelahiran, maka kaum perempuan bisa
memiliki dan atau mengatur kesempatan berperan di lingkup publik secara lebih luas.
Sebaliknya, jika anak banyak maka perempuan tidak punya waktu untuk berperan di
ruang publik secara lebih luas, ia akan lebih banyak disibukkan dengan kegiatan mengurus
anak dan melayani suami.
Terkait dengan isu kesehatan reproduksi, program KB justru menempati
keselarasannya. Dengan pengaturan dan pembatasan kelahiran, kesehatan organ
atau alat reproduksi jelas akan terjaga, sehingga terhindar dari aneka jenis penyakit
berbahaya, akan tetapi terutama penyakit kanker leher rahim (kanker serviks). Dengan
pembatasan atau pengaturan kehamilan, para wanita usia subur akan terhindar dari (1)
kehamilan di usia dini; (2) kehamilan dan persalinan yang terlalu dekat jaraknya dengan
yang berikutnya; (3) kehamilan dan persalinan yang terlalu sering (multiparitas, lebih
dari 4 kali); serta (4) kehamilan dan persalinan di usia yang terlalu tua (antara 35-40
tahun), hal mana keempat hal ini secara umum dimengerti sebagai faktor-faktor utama
pemicu menjangkitnya penyakit kanker serviks (leher rahim). Selain itu, keempat hal ini
berpotensi menyebabkan kehamilan berisiko tinggi,38 yang bukan cuma membahayakan
36
Gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis
lainnya. Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, cet. 1, (Jakarta: Paramadina,
1999), hlm. 35.
37
Sesuai UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, pasal 71, kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai keadaan sehat
secara fisik, mental, dan sosial yang utuh, bebas dari segala penyakit dan kecacatan, dalam segala hal yang
berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi. Lihat, BKKBN, Siklus Hidup, hlm. 1
38
BKKBN, Siklus Hidup Kesehatan, hlm. 38.
39
Dasar, KB Mati, hlm. 4.
diri untuk memiliki banyak anak, berarti seseorang menahan diri untuk mengambil
lebih banyak atas hak-hak dasariahnya. Dengan cara seperti itu, secara tidak langsung
berarti dia memberi kesempatan kepada orang lain untuk mendapatkan hak yang sama
sebagaimana diperoleh oleh orang-orang pada umumnya. Jika ini menjadi gerakan yang
masif, maka dengan sendirinya pada tataran lanjut kesejahteraan sosial yang merata itu
akan terwujud. Memang butuh waktu panjang untuk sampai pada kondisi seperti itu.
Tetapi, program KB sendiri memang bersifat jangka panjang.40
40
Sabrur R Soenardi, Gepeng dan Dosa Kelas Menengah, artikel opini HU Bernas, tanggal 23 dan 24 Maret
2015, hlm. 4.
41
E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, cet. 8, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 23.
42
Ibid., hlm. 29.
43
Ibid., hlm. 34.
44
Nurun Najwah, Ilmu Maanil Hadis; Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Cahaya
Pustaka, 2008), hlm. 17.
Pertama, harus dilihat terlebih dulu konteks historis hadis tersebut. Pada zaman Nabi,
umat Islam masih sedikit secara kuantitas. Padahal, untuk meneguhkan eksistensi Islam
dan kaum Muslim secara geopolitik di Jazirah Arab dan sekitarnya kala itu (abad VII H),
aspek kuantitas, populasi, menjadi sesuatu yang mutlak. Maka dari itulah, Nabi merasa
perlu memberi dorongan, perintah, untuk menggenjot reproduksi umat Islam, sehingga
populasinya semakin bertambah secara signifikan.45
Kedua, dari logika kalimatnya, tampak jelas bahwa perintah Nabi dalam hal
ini bukan sesuatu yang sifatnya doktrinal dan tidak terlampau prinsipil dalam ranah
keberagamaan. Nabi tidak mengaitkan perintahnya itu dengan soal pahala atau dosa,
dengan surga atau neraka, tetapi lebih pada soal kepentingan pribadi beliau, yakni
soal gengsi eskatologis. Nabi tidak mengatakan bahwa yang banyak anak itu Muslim
yang taat dan akan masuk surga, atau sebaliknya: yang sedikit anak berarti tidak taat dan
akan dimasukkan neraka. Kompensasi dari anjuran banyak anak itu justru untuk beliau
sendiri, yakni kebanggaan akan banyaknya jumlah umat di hadapan nabi-nabi yang lain
kelak di hari kiamat. Jadi, njuran banyak anak itu tidak seyogianya diposisikan sebagai
sesuatu yang qathiy (pasti) atau absolut, apalagi seakan-akan sebagai paramter untuk
menentukan kadar iman Islam-nya seseorang.46
Ketiga, wacana yang dicanangkan al-Quran secara umum justru tidak sejalan
dengan anjuran atau perintah memperbanyak anak. Dalam banyak ayat al-Quran
disebutkan celaan atau kecaman kepada orang-orang yang membanggakan banyaknya
jumlah anak bersamaan dengan cercaan kepada mereka yang membangga-banggakan
banyaknya harta.47 Nurcholish Madjid menyatakan bahwa meskipun perilaku membangga-
banggakan harta dan anak seperti itu bukan karakter yang pasti melekat pada diri
seseorang (orangtua), tetapi apa yang diujarkan al-Quran itu menunjukkan bahwa
potensi itu ada ketika seseorang memiliki anak dalam jumlah banyak. Dalam wacana
al-Quran pula, anak disejajarkan dengan wanita, perhiasan, hewan-hewan piaraan,
kendaraan, dan semacamnya, yang dikategorikan sebagai unsur-unsur kehidupan yang
rendah (al-hayah al-dunya), dan bersamaan dengan itu al-Quran mengajurkan manusia
untuk mentransendentalisasi orientasi hidupnya pada sesuatu yang lebih kualitatif,
yakni amal lestari yang berkebaikan (al-baqiyat al-shalihat).48 Adanya kecaman seperti
itu, meskipun bukan bermakna bahwa kesenangan dunia (dalam hal harta dan anak)
itu sesuatu yang terlarang, namun setidaknya ada dua pesan penting di sini, yakni: (1)
45
Sabrur R Soenardi, Sedikit Anak Banyak Rezeki, artikel opini dalam HU Bernas, edisi Jumat, 4 September
2015, hlm. 4.
46
Ibid.
47
Lihat, misalnya: QS al-Hadid (57): 20.
48
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, cet. 3, (Jakarta:
Paramadina, 2004), hlm. 115.
bahwa berbangga-bangga atau perlombaan dalam hal banyaknya anak49 adalah sesuatu
yang tercela; (2) setidaknya secara tidak langsung mengekspresikan dukungan kepada
kehidupan berpola keluarga kecil.50
Keempat, ada riwayat lain, meski kurang populer, yang justru bertentangan
dengan anjuran untuk memperbanyak keturunan (anak) dalam hadis di atas.
Riwayat ini terkait dengan terminologi Jahd al-Bala (cobaan yang meletihkan).
Matan dalam riwayat adalah ajaran Nabi SAW agar kita berdoa: Allahumma inni
audzubika min jahd al-bala, wa dark al-syaqa, wa syamatat al-ada, wa su al-qadla
(Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari cobaan yang meletihkan, dari tertimpa celaka, dari serangan
musuh, dan dari ketentuan yang buruk).51 Riwayat ini pada intinya meneguhkan sebuah
poin prinsip, bahwa banyaknya anak tanpa dibarengi dengan nafkah yang memadai
adalah sesuatu yang harus dihindari, bahkan kita perlu meminta perlindungan kepada
Allah agar terhindar dari hal demikian. Riwayat ini tentu akan menjadi takhshish
(pengecualian) atas hadis di atas, sehingga dengan jelas bisa ditegaskan sekali lagi,
bahwa anjuran Nabi tentang memperbanyak anak bukan perintah yang qathiy dan
mutlak (absolut) serta harus dipahami dalam kerangka yang lebih komprehensif.52
49
Lihat, misalnya: QS Saba (34): 35.
50
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius..., hlm. 118.
51
Hadis dari Abu Hurairah Ra., diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadis no: 6616) dan Muslim (hadis no: 7052).
Penjelasan tentang definisinya bisa kita lihat dalam hadis-hadis lain. Di antara hadis tersebut adalah riwayat
Imam al-Hakim, dalam kitab Tarikh dan Shahih-nya. Disebutkan oleh al-Hakim, dari Abdullah bin Umar
Ra, dari Rasul Saw, beliau bersabda: Cobaan yang meletihkan (jahd al-bala) adalah banyak anak (katsrah al-iyal)
sementara nafkahnya kurang (qillah al-syai). Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya banyak anak itu satu dari dua
kefakiran, sedangkan sedikit anak adalah satu dari dua kemudahan .
Lihat, al-Munawi, Faidl al-Qadir, no. 3606, jilid 3, hlm. 352. Ali bin Abi Thalib juga menyatakan hal yang sama:
(Sedikit anak adalah satu dari dua kemudahan). Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah;
Min Mukhtarat al-Syarif al-Radli min Kalam Sayyidina al-Imam Ali Ibn Abi Thalib, (Mesir: Maktabah Mishr, 2006),
hlm. 353.
52
Soenardi, Sedikit Anak.
53
Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, (Surabaya: Kalam Mulia, 1996), hlm. 61-62.
syariah).54
Terkait program KB, apa yang hendak dicapai sesungguhnya adalah bagaimana
menciptakan kondisi yang sejahtera, kondisi maslahat, bagi seluruh warga negara.
Pangaturan dan pengendalian populasi dalam program KB adalah suatu cara yang
penting menciptakan kondisi maslahat bagi warga negara. Sebab, masalah populasi
adalah mendasar, karena masalah-masalah lain hanya merupakan dampak atau akibat
saja dari masalah populasi. Ibaratnya, soal kependudukan adalah hulu, sedang masalah-
masalah lain adalah hilirnya.
Benar sekali, bahwa baik di dalam al-Quran maupun hadis tidak ada teks yang
secara jelas dan terang menyebut soal pengaturan atau kontrol kelahiran, atau tepatnya
yang menyinggung program KB. Akan tetapi, jika dicermati, setidaknya jelas ada
beberapa teks yang secara substansial mengindikasikan ke arah program KB. Misalnya
dalam QS al-Baqarah, disebutkan tentang keharusan para ibu untuk memberikan ASI
sampai bayi berumur dua tahun,55 yang berarti jelas secara tidak langsung menekankan
pentingnya mengatur jarak kelahiran. Ada juga hadis yang sangat termasyhur, yakni
berkaitan dengan metode azl, yakni cara kontrasepsi menumpahkan air mani ataupun
sperma di luar liang senggama (di luar vagina),56 jelas menyiratkan kemungkinan upaya
atau ikhtiar alamiah manusia untuk tidak menjadikan setiap hubungan seksualnya,
sebagai wahana untuk reproduksi.
Bahwa sekarang ada metode kontrasepsi yang canggih, itu hanyalah karena
soal konteks, yakni bahwa perkembangan sains dan teknologi modern terus berjalan
sedemikian rupa, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat
modern dalam pelayanan kontrasepsi yang praktis, canggih, efektif, dan efisien.
Dalam merespons permasalahan ini, penulis mengajukan beberapa wawasan
argumentatif: Pertama, sampai hari ini tidak ada kesepakatan mutlak di antara para
ulama, dari dulu sampai sekarang, perihal kapan kehidupan dimulai: apakah ketika
masih berwujud sel sperma dan sel telur, apakah ketika menjadi zygote (setelah
keduanya menyatu), ataukah setelah ditiupkannya ruh ilahiah saat janin berusia
16 minggu? Ini adalah masalah khilafiah (perbedaan pendapat). Dengan demikian,
siapa pun, bahkan ulama sekali pun, jelas tidak punya kapasitas untuk mengklaimkan
54
Tujuan syariah Islam (maqashid al-syariah) tidak lain adalah kemaslahatan manusia (mashlahah). Muhammad
Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, alih bahasa: Ahsin
Muhammad, cet. 1, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), hlm. 205.
55
QS al-Baqarah: 233: Para ibu sebaiknya menyusui bayinya selama dua tahun penuh, bagi siapa saja yang ingin
menyempurnakan susuannya (wal-walidatu yurdli na auladahunna haulaini kamilaini liman arada an-yutimmar-radlaah).
56
Hadis muttafaq alaih, dari Jabir Ra, katanya: Kami biasa melakukan azl di zaman Rasul SAW, sedangkan al-
Quran masih turun. Kalaulah ada sesuatu yang dilarang berkenaan dengan itu, tentu al-Quran akan melarang
kami melakukan itu. Dalam riwayat Muslim, ada tambahan keterangan: dan perbuatan itu sampai kepada
Nabi SAW, dan beliau tidak melarang kami berbuat begitu. Sukandy, Tarjamah Bulughul Maram, hlm. 379.
sebuah kebenaran, bahwa kontrasepsi apa pun yang cara kerjanya memotong saluran
jalan sel sperma dan sel telor, atau mencegah pertemuan keduanya, atau mencegah
penempelan di dinding rahim, sebagai suatu cara kerja yang melawan kodrat, apalagi
dengan menuduhnya sebagai suatu tindakan pembunuhan dan karenanya terlarang
secara agama. Dalam suatu masalah khilafiah, jelas tidak memungkinkan suatu klaim
kebenaran. Kebenaran suatu pendapat keagamaan bersifat relasional, artinya bahwa
bahwa apa yang dianggap benar bagi sekelompok orang, tidak bsa diberlakukan bagi
kelompok lain secara umum.57
Yang menarik untuk disampaikan di sini, secara umum ulama justru berijmak
bahwa janin dapat disebut sebagai manusia dalam arti sempurna ketika usianya sudah
4 bulan alias 120 hari.58 Jika kita merujuk ke ijmak ulama ini, maka andaipun, katakanlah,
kita menoleransi pendapat yang mempersepsi pemakaian kontrasepsi sebagai
pembunuhan, justru pendapat seperti itu menjadi cacat secara ontologis. Sebab, alih-
alih soal pemakaian kontrasepsi, hal mana yang menjadi sasaran kerja dari alat atau
obatnya adalah pada fase pra atau saat pembuahan, bahkan pada kasus pengguguran
atau aborsi (isqath al-haml atau al-ijhadl) pun beberapa ulama membolehkannya, baik
karena pertimbangan medis ataupun non-medis, dengan syarat usia bayi kurang dari
120 hari (4 bulan).59
Kedua, seringkali para penolak program KB dengan dalih kontrasepsi melawan
kodrat ini melakukan generalisasi, pukul rata, bahwa pokoknya segala bentuk
kontrasepsi itu haram, karena melawan kodrat, tanpa mengetahui dan memahami
secara detil, kasus per kasus, cara kerja masing-masing metode kontrasepsi. Misalnya
saja, ada kontrasepsi kondom. Diketahui bahwa cara kerja kondom adalah tak ubahnya
metode azal yang pernah dipraktikkan di zaman Nabi Saw. Maka, sangat naif kalau
sampai dianggap terlarang, hanya karena ia metode kontrasepsi zaman modern.
Selain itu harus dilihat pula, bahwa ada juga beberapa metode kontrasepsi yang
pemakaiannya berdasar pertimbangan darurat. Misalnya, metode steril (pemotongan
saluran ovum dan sperma), di mana untuk perempuan disebut MOW (medis operasi
wanita, umumnya disebut tubektomi), untuk laki-laki disebut MOP (medis operasi pria,
lazim disebut vasektomi). Metode ini memang terkesan krusial sekali, karena bersifat
permanen. Akan tetapi, justru karena itu ia hanya dilakukan ketika keadaan darurat.
Dalam konteks Islam, hal-hal yang bersifat darurat jelas ada rukhshah atau kompensasi.
Ada kaidah di dalam fikih bahwa keadaan darurat bisa menjadi alasan dibolehkannya
57
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1996),
hlm. 8.
58
Masudi, Islam dan Hak-hak, hlm. 138.
59
Mahmud Syaltut, Al-Islam; Aqidah wa Syariah, cet. 3, (tt. ; Dar al-Qalam, 1996), hlm. 212.
Penutup
Dari paparan pembahasan di atas, bahwa dari aneka perspektif keislaman: semantik,
epistemologis, hermeneutika hadis, filsafat hukum, agama memberi legitimasi teologis
terhadap program KB. Dukungan terhadap program KB seyogyanya juga bukan semata-
mata dipersepsikan sebagai wujud ketaatan sebagai warga negara, akan tetapi lebih dari
60
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazahir, (Jakarta: Nur al-Tsaqafah al-Islamiyyah, tt.), hlm. 60.
61
Hadis Aisyah Ra, riwayat Imam Muslim Jilid 4/1836, hadis no. 2363.
62
Ulil Abshar-Abdalla, Pengantar; Menegaskan Kembali Maslahat, dalam Ibid., hlm. xi.
63
Lihat Najm al-Din al-Thufi, al-Arbain, dalam Mushthafa Zayd, al-Mashlahah fi al-Tasyri al-Islami wa Najm al-Din
al-Thufi, edisi II, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1384 H/1964 M), hlm. 227.
itu dalam skala makro, sebagai suatu kewajiban religius untuk ikut berkontribusi dalam
mewujudkan kemaslahatan umum dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
BKKBN, 2007, Kurikulum dan Modul Pelatihan Pemberian Informasi Kesehatan Reproduksi
Remaja oleh Pendidik Sebaya, Jakarta, BKKBN
BKKBN, 2013, Siklus Hidup Kesehatan Reproduksi Manusia; Panduan Materi Bagi Pengelola
Program KB, Jakarta, BKKBN.
BKKBN, 2014, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Budiman, Arief, 1996, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Cet. 3, Jakarta, Gramedia.
Dasar, Soeroso, 2011, KB Mati Dikubur Berdiri; Bunga Rampai Tulisan Program Kependudukan
dan KB, Cet. 2, Bandung, Corleone Books.
Dinas Kependudukan dan KB Kab. Gunungkidul, 2006, Pedoman Pemutakhiran Data
Penduduk (Keluarga) Kab. Gunungkidul, Tahun Anggaran 2006, Yogyakarta, DKKB.
Ehrlich, Paul R, 1981, Ledakan Penduduk, terj. oleh Inyo Fernandes dan Paul Soge, Cet. 4,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Ghazali, Al, tt, al-Mustashafa min Ilm al-Ushul, Juz I, Beirut, Dar al-Fikr.
HAM, Mushadi, 2000, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang, Aneka Ilmu.
Hasb Allah, Ali, 1959, Ushul al-Tasyri al-Islami, Cet. 3, Mesir, Dar al-Maarif.
Hasyim, Syafiq [ed.], 1992, Menakar Harga Perempuan; Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak
Reproduksi Perempuan dalam Islam, Cet. 1, Bandung, Mizan.
Hassani, Ismail al, 1995, Nazhariyyah al-Maqashid Inda al-Imam Muhammad Thahir Ibn
Asyur, Cet. 1, Virginia, AS, al-Mahad al-Alam al-Fikr al-Islami.
Hidayat, Komaruddin, 1996, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Cet.
1, Jakarta, Paramadina.
Kamaludiningrat, 2014, Peran dan Tantangan Orangtua dalam Mendidik Anak Shaleh,
Berakhlak dan Berkarakter di Era Globalisasi, Cet. 1, Yogyakarta, Fapsedu DIY, MUI
DIY, dan Perwakilan BKKBN DIY.
Madjid, Nurcholish, 2004, Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat, Cet. 3, Jakarta, Paramadina.
Masud, Muhammad Khalid, 1996, Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran
Abu Ishaq al-Syathibi, alih bahasa: Ahsin Muhammad, Cet. 1, Bandung, Penerbit
Pustaka.
Masudi, Masdar F., 1997, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan; Dilaog Fiqih
Pemderdayaan, Cet. 2, Bandung, Mizan.
Misrawi, Zuhairi, &Novriantoni, 2004, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam sebagai
Ajaran Rahmat, Jakarta, LSIP.
Mudjib, Abdul, 1996, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Surabaya, Kalam Mulia.
Najwah, Nurun, 2008, Ilmu Maanil Hadis; Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan
Aplikasi, Yogyakarta, Cahaya Pustaka.
Umar Nasaruddin, 1999, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, Cet. 1, Jakarta,
Paramadina.
Sukandy, Muh. Sjarief, 1986, Tarjamah Bulughul Maram, Fiqh Berdasarkan Hadits, Bandung,
Almaarif.
Shihab, M Quraish, 2002, Kaidah Tafsir (Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Quran), Tangerang, Lentera Hati.
Shihab, M Quraish, 2002, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran), Vol.
15, Jakarta: Lentera Hati.
Sumaryono, E, 2006, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Cet. 8, Yogyakarta, Kanisius
Suyuthi, Jalal al-Din al, al-Asybah wa al-Nazahir, Jakarta, Nur al-Tsaqafah al-Islamiyyah.
Syaltut, Mahmud, 1996, Al-Islam; Aqidah wa Syariah, Cet. 3, Dar al-Qalam.
Tim BKKBN Provinsi DIY, 2007, Materi Latihan Dasar Umum bagi PKB, Yogyakarta, BKKBN
DIY.
Umran, Abd al-Rahim, 1992, Islam dan KB, Jakarta, Penerbit Lentera.
Zayd, Mushthafa, 1964, al-Mashlahah fi al-Tasyri al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, Edisi II,
Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi.
Jurnal/Majalah/Tabloid:
Gemari, 2008, Sukses KB Tanggung Jawab Bersama, edisi 89/Th IX/Juni.
Puspawarna, Sahid, 2016, E-KTP Durung Tuntas, Desentralisasi Dadi Ganjelan, artikel
Wawasan Jroning Negara, Tabloid Jaka Lodang, No. 19.
Syafruddin, Alfaruq Ayip, 2008, Apa Itu Hak Asasi Manusia (HAM)? artikel dalam rubrik
Kajian Utama majalah Asy-Syirah, No. 42/IV.
Shindunata, 1997, Kabut-Kabut Ketidakjelasan, majalah Basis, No. 11-12, Tahunke 46,
November-Desember, Yogyakarta, Kanisius.
Masudi, Masdar F., 1995, Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syariah, Jurnal
Ulumul Quran, No. 3, Vol. VI.
Koran/Surat Kabar:
Soenardi, Sabrur R, 2007, Jangan Bunuh Anakmu Karena Takut Lapar, artikel Majalah
Rindang, No. 02, Th. XXXIII.
Soenardi, Sabrur R, 2008, Pesan KB dalam Sepotong Sinetron, majalah Gemari edisi Juni
2008.
Soenardi, Sabrur R, 2009, Pendekatan Agama Program KB, HU Solopos, edisi Jumat 24
April.
Soenardi, Sabrur R, 2015, Gepeng dan Dosa Kelas Menengah, HU Bernas, tanggal 23 dan
24 Maret.
Soenardi, Sabrur R, 2015, Sedikit Anak Banyak Rezeki, artikel HU Bernas, edisi 4 September.
Situs/Website:
Aska, Nindia Destiani, 2015, Perjalanan BKKBN Dulu dan Kini, artikel dalam m.kompasiana.
com, akses 5 Oktober 2016.
Detik.com, 2014, Ini Kenapa Program KB Berhasil di Zaman Soeharto dan Sekarang
Diabaikan, berita situs detik.com, akses 5 Oktober 2016.
Sri Tyas Suci, Euneke, 2015, Keluarga: Sumber Warisan Nilai, Karakter, dan Kualitas Generasi
Berikut, www.himpsi.or.id, akses 5 Oktober 2016.