Anda di halaman 1dari 13

Nama : Dhimas Reyhan Putra Sayudha

NIM : FAA 112 028

Kelompk : 4 (Empat)

SINDROMA STEVEN JOHNSON

BAB I

I. Pendahuuan
Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma(kumpulan gejala) yang
mengenai kulit, selaput lendir di orificium dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat
dapat menyebabkan kematian, Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat
daruratan penyakit kulit. Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari Eritema Multiforme.
Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma
Eerosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe
Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eeritema Bulosa Maligna. Meskipun
demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.
Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, bahkan dikatakan
Multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik terhadap
obat. Sebagaimana kita ketahui hampir semua obat dapat dibeli bebas diluar apotik dan
adanya kecenderungan para pasien mengobati dirinya sendiri lebih dahulu sebelum
berobat ke dokter karena faktor biaya. Oleh karena itu penyakit ini makin sering
ditemukan. Penyakit ini perlu diketahui oleh para dokter karena dapat menyebabkan
kematian, tetapi dengan terapi yang tepat dan cepat,umumnya penderita dapat
diselamatkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan
gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai
macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih. Sindrom Stevens-Johnson
mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis,
kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa
stomatitis.

II. Etiologi
Etiologi sindrom Stevens Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan etiologi pasti
belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat
secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pasca
vaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen.
Obat-obatan tampaknya merupakan penyebab paling umum sindrom Stevens-
Johnson dan telah terlibat dalam sebanyak 60% kasus yang diteliti. Penggunaan jangka
pendek dari obat-obatan sulfonamide, aminopenicili, quinoloe, dan cephalosporin dapat
meningkatkan risiko dari sindrom Stevens-Johnson. Penggunaan agen anticonvulsant,
oxicam, nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAIDs), atau allopurinol dalam terapi
jangka panjang juga disebutkan sebagai penyebab dari sinrom Stevens-Johnson.
Sindrom Stevens-Johnson juga dikaitkan dengan herpes simplex virus,
mycoplasma bacterial species, dan vaksin campak. Penyakit kolagen dan neoplasma juga
disebutkan penyebab yang mungkin dapat menyebabkan sindrom ini. Tetapi, hampir
setengah dari kasus ini, tidak ada penyebab pasti yang dapat ditemukan.
III. Epidemiologi
Angka kejadian SSJ di dunia diperkirakan sebanyak 1,26 kasus/juta
penduduk/tahun. Dapat terjadi pada berbagai usi, tetapi lebih sering pada usia diatas 40
tahun. Perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan perbandingan 5:3. Anka
kematian pada sindrom ini yaitu 5-12%. Terdapat 5000 kasus rawat inap di Amerika
Serikat dengan diagnosis utama eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson dan NET,
dan 35% dari kejadian ini berhubungan dengan penggunaan obat.

IV. Klasifikasi
Klasifikasi sindrom Stevens-Johnson :
Sindrom Stevens-Johnson
Bentuk minor dengan kurang dari 10% permukan tubuh yang terkelupas
Overlapping Sindrom Stevens-Johnson
10-30% permukaan tubuh yang terkelupas
Toxic Epidermal Necrolysis
Permukan tubuh yang terkelupas lebih dari 30%
V. Faktor Risiko
Faktor risiko sindrom Stevens-Johnson, yaitu :
Infeksi virus
Infeksi virus seperti herpes, hepatitis, viral pneumonia, atau HIV.
Sistem imun yang menurun
Penurunan pada system imun sebagai akibat dari HIV atau AIDS, kondisi
autoimun seperti lupus, atau terapi tertentu seperti kemoterapi dan trasplantasi
organ.
Riwayat sindrom Stevens-Johnson sebelumnya
Jika sindrom sebelumnya diakibatkan oleh obat-obatan, seseorang akan berisiko
terkena sindrom ini kembali jika menggunakan obat-obatan yang sama, atau
obat-obatan dari jenis yang sama.
Riwayat Keluarga
Jika anggota keluarga terdekat pernah atau sedang terkena sindrom ini, maka akan
meningkatkan risiko terkena sindrom ini.
VI. Patoimunologi
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat terlibat dalam patofisiologi sindrom Stevens-
Johnson. Grup populasi tertentu menunjukan kerentanan untuk terkena sindrom Stevens-
Johnson dari pada populasi umumnya. Pasien dengan immunocompromised dan pasien
dengan tumor otak yang sedang menjalani radioterapi bersamaan dengan penggunaan
antiepileptics merupakan kelompok yang memiliki risiko paling besar terkena sindrom
ini.
Adanya antigen dan produksi tumor necrosis factor (TNF)-alpha oleh dendrosit
jaringan lokal mengakibatkan rekruitmen dan augmentasi dari proliferasi Limfosit T dan
meningkatkan sitotoksisitas dari sel efektor imun lainnya. Sebuah molekul efektor
pembunuh telah diidentifikasi berperan dalam aktivasi limfosit sitotoksik. Limfosit CD8+
yang telah diaktifkan pada gilirannya akan menginduksi proses apoptosis sel epidermal
melalui beberapa mekanisme, yang termasuk pelepasan granzyme B dan perforin.
Matinya keratinosit menyebabkan pemisahan epidermis dari dermis. Sekali
apoptosis terjadi, sel yang mati akan memicu pengerahan lebih banyak chemockines. Hal
ini dapat menyebabkan proses inflamasi secara terus menerus, yang akan mengakibatkan
necrolysisi epidermal yang luas.

Obat Infeksi Nekrolisis epidermal

Dendrosit Inflamasi berulang

Antigen TNF-alpha Chemokine meningkat

Limfosit T

Limfosit CD8+

Pelepasan granzyme B dan perforin

Apoptosis Keratinosit
VII. Gejala Klinis
Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat di sertai gejala prodromal dapat
berlangsung 2 minggu berupa :
Demam tinggi ( 30 C - 40 C),
Nyeri kepala,
Batuk,
Pilek,
Nyeri tenggorokan.
Gejala gejala diatas dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya
kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta
menurunnya kesadaran. Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikel, dan bulla. Eritema
berbentuk cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi ) yang
berkembang menjadi urtikari atau lesi papuler berbentuk target dengan pusat ungu
atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan Bulla kemudian pecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping tiu dapat juga terjadi Erupsi
Hemorrhagis berupa Ptechiae atau Purpura. Bila disertai Purpura prognosisnya
menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi Generalisata.
Kelainan selaput lendir dan orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa
mulut / bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan dilubang alat genetalia
(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masingmasing 8%-4%).
Kelainan yang terjadi berupa Stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa
mulut bagian buccal. Stomatitis merupakan gejala yang dini dan mencolok.
Stomatitis ini kemudian menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla
sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan terbentuk krusta
kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar menelan.
Kelainan Dimukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius
bagian atas dan esophagus. Terbentuknya pseudo membrane di faring dapat
memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan dan minum.
Kelainan mata
Kelainan pada mata merupakan 80% diantar semua kasus, yang sering
terjadi ialah Conjunctivitis Kataralis. Selain itu dapat terjadi Conjunctivitis
Purulen, Pendarahan, Ulcus Cornea, Iritis/Iridosiklitis yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan kebutaan sehingga dikenal trias yaitu Stomatitis, Conjuntivitis,
Balanitis, Uretritis.
Pernah dilaporkan pada beberapa kasus dapat tanpa disertai kelainan kulit,
Pada hampir semua kasus diikuti kelainan kulit berupa Vesiko Bulosa atau Erupsi
Hemorrhagis, khususnya pada wajah, tangan dan kuku.

Gambar 1 Kelainan pada mukosa bibir

Gambar 2 Pengelupasan parah di bagian wajah


Gambar 3 Pengelupasan parah di bagian punggung

VIII. Penegakan Diagnosa


Anamnesa
Pada anamnesa hendaknya ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan
alergi obat secara sistemik. Pada kasus kasus dimana telah mengalami dua kali reaksi
alergi dengan obat yang sama membuktikan bahwa memang obat tersebutlah yang
menjadi penyebabnya.
Pemeriksaan Fisik
Pemerikaan tanda-tanda vital
Kulit (lesi)
o Macula yang berkembang menjadi papul, vesicle, bulla, plaq urticaria,
erytema, bulluea, rapture, infeksi sekunder.
o Center : vesicular, purpura, atau nekrosis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah dapat membantu memperkirakan kemungkinan
penyebab meskipun tidak khas.
Pemeriksaan darah lengkap
Jika terdapat lekositosis menunjukkan penyebabnya kemungkinan karena infeksi.
Bila terdapat Eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya
karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.
Kultur darah dan jaringan
Biopsi KUlit
Histopatologi
Gambaran Histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa :
o Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh pembuluh darah dermis
superfisial. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papular.
o Degenerasi hidrofik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
o Nekrosis sel epidermal dan kadang kadang di adnexa.
o Spongiosis dan edema interasel di epidermis.

IX. Penatalaksanaan
Penanganan terhadap penderita sindrom Stevens-Johnson memerlukan tindakan yang
tepat dan cepat. Penanganan yang perlu dilakukan meliputi:
Pemberian kortikosteroid
Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada sindrom
Stevens Johnson yang ringan cukup diobati dengan Prednison dengan dosis 30-
40mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai dengan kesadaran yang menurun dan
kelainan yang menyeluruh, digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-
6x5 mg/hari.
Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis
telah teratasi),ditandai dengan keadaan umum yang membaik, lesi kulit yang baru
tidak timbul sedangkan lesi yang lama mengalami involusi. Pada saat ini dosis
Dexametason diturunkan, setiap hari diturunkan sebanyak 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet Prednison yang diberikan pada
keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan
menjadi 10 mg, kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira
10 hari.
Pemberian antibiotic
Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat
efek Imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinggi. Antibiotika yang
dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakterisidal. Di RS Cipto mangunkusumo dahulu biasa digunakan Gentamisin
dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari. Sekarang dipakai Netilmisin Sulfat dengan dosis 6
mg/kg BB/hari,dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa
kasus mulai resisten terhadap Gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil
dibandingkan Gentamisin.
Menjaga keseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan
tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan serta kesadaran yang
menurun. Untuk ini dapat diberikan infuse berupa Glukosa 5% atau larutan Darrow.
Pada pemberian kortikosteroid terjadi retensi Natrium, kehilangan Kalium dan
efek Katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi
protein dan rendah garam, KCl 3 x 500mg/ hari dan obatobat Anabolik. Untuk
mencegah penekanan korteks kelenjar ddrenal diberikan ACTH (Synacthen depot)
dengan dosis 1 mg/ hari setiap minggu dimulai setelah pemberian Kortikosteroid.
Transfusi darah
Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari,
maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2 hari
berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum dan
menggantikan kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus
Purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari
intravena dan obat-obat Hemostatik.
Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosive dapat diberikan Sofratulle yang bersifat sebagai
protektif dan antiseptic atau Krem Sulfadiazin Perak. Sedangkan untuk lesi
dimulut/bibir dapat diolesi dengan Kenalog in Orabase. Selain pengobatan diatas,
perlu dilakukan konsultasi pada beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk
mengetahui apakah ada kelainan di Faring,karena kadang-kadang terbentuk
pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita bernafas dan sebagaian penyakit
dalam. Pemeriksaan sinar X Thoraks perlu dilakukan untuk mengetahui apakah ada
kelainan pada paru, misalnya tuberculosis atau bronchopneumonia.
X. Pencegahan
Jika disebabkan oleh reaksi yang merugikan dari pengobatan, maka perlu
menghindari pengobatan yang dapat menyebabkan reaksi tersebut. Anggota keluarga
lainnya juga disaranan untuk menghindari penggunaan pengobatan tersebut untuk
berjaga-jaga seandainya terdapat genetic susceptibility dalam keluarga tersebut.
Mengetahui tanda dan gejalanya
Pemeriksaan Allergological

XI. Komplikasi
Komplikasi yang biasanya terjadi ialah
Bronchopneumonia.
Hypo/Hyperpigmentation.
Kehilangan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan
shock.
Oftalmologi (ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan).
Esophageal strictures.
Nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina.
Kutaneus (timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi sekunder).
Infeksi sistemik, sepsis.

XII. Diagnosis Banding


Beberapa penyakit yang dapat merupakan diagnosa banding Sindrom Stevens-Johnson
ialah:
Nekrolisisi Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens-Johnson. Pada NET terdapat
epidemolisis (epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan umum
penderita biasanya lebih buruk/berat.
Pemfigus Vulgaris
Sering dijumpai pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal, bula
berdinding kendor dan biasanya generalisata.
Pemfigoid Bulosa
Pada penyakit ini keadaan umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya
subepidermal.
Dermatitis Herpertiformis
Didapatkan keadaan umum yang baik, keluhan dengan gatal dan dinding vesikel/bula
tegang dan berkelompok.
Staphylococcal scalded skin syndrome
Irradiation
Trauma
Scleroderma
Erythroderma ichthyosiform congenital
Prophyria cutanea tarda

XIII. Prognosis
Kebanyakan sembuh dalam waktu 2 minggu.
Mortality rate : 1-5 %
Angka kematian berdasarkan SCORTEN :

Tabel 1 : Parameter SCORTEN


BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma yang bersifat akut, yang
bila berat dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini merupakan salah satu kegawat
daruratan penyakit kulit. Penyebab yang pasti belum diketahui dan dapat dikatakan
multifaktorial.yang diduga sebagai penyebab tersering ialah alergi sistemik terhadap obat
dan infeksi. Pada Sindrom Stevens-Johnson ini ditemukan adanya trias kelainan berupa
kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orificium dan kelainan mata. Penggunaan obat
kortikosteroid untuk tindakan live saving merupakan pilihan utama. Komplikasi yang
tersering adalah bronchopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Dengan
penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens-Johnson sangat baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Matthew, Smelik. 2002. Stevens-Johnson Syndrome: A Case Study . The Permanente
Journal, Vol. 6, No.1. https://www.thepermanentejournal.org/files/.../casestudy.pdf .
2. Ramayanti, Sri. 2011. Manifestasi Oral Dan Penatalaksanaan Pada Penderita Sindrom
Stevens-Johnson. Majalah Kedokteran Andalas Vol. 35, No.2.
jurnalmka.fk.unand.ac.id/index.php/art/article/download/96/92.
3. Rahmawati YW, Indramaya DM. 2016. Studi Retrospektif: Sindrom Stevens-Johnson
dan Nekrolisis Epidermal Toksik.
4. Natcha Levi, Sylvie Bastuji-Garin, dkk. 2009. Medications as Risk Factors of Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in Children: A Pooled Analysis.
PEDIATRICS, Vol. 123, No.2. AAP News and Journal.
http://pediatrics.aappublications.org/content/123/2/e297.long
5. Baratawidjaya, Karnen Garna, Rengganis, Iris. 2014. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai