Anda di halaman 1dari 12

Pengelolaan Wakaf Tunai

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah

Manajemen Ziswaf

Dosen Pengampu :

Ahmad Syakur, M.EI.

Disusun Oleh :

Adimas Dreta P ( 931321714 )

Penggi Nur Hamzah ( 931313614 )

Adam Nugroho ( 931332814 )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI

JURUSAN SYARIAH

EKONOMI SYARIAH

2016
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT berkat rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan berhasil
dengan baik tanpa adanya bimbingan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dosen mata kuliah Manajemen Ziswaf yang telah memberi ilmu dan
pengarahan dalam makalah ini.
2. Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
3. Sahabat-sahabat yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sebagai
balasan atas amal baik dari semua pihak yang telah disebutkan di atas.Sadar akan
kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, kami mohon maaf jika ada penulisan
yang kurang berkenan di hati bapak dosen dan juga pembaca. Kritik dan saran sangat
kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Kediri, 18 Desember 2016

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada wakaf benda
tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur
untuk diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Di
antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang
dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai,
namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqf
diterjemahkan dengan wakaf uang.1

Praktik sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam dibuktikan dengan adanya


tempat-tempat ibadah yang dibangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan
hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang merawat tempat ibadah tersebut.
Masjid al-Haram di Mekkah dan masjid al-Aqsha misalnya telah dibangun di atas
tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik Allah. Kedua masjid itu
dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Pertanyaannya, kenapa masyarakat sebelum
Islam telah mempraktikkan sejenis wakaf? Di masyarakat sebelum Islam telah dikenal
praktik sosial dan di antara praktik-praktik sosial itu adalah praktik menderma sesuatu
dari seseorang demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua keluarga.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian dan hukum dari wakaf tunai?
2. Bagaimanakah pengelolaan dan perkembangan wakaf tunai di Indonesia ?

1
Kementerian Agama RI, Panduan Pengelolaan Wakaf Tunai, Jakarta :2013, Hal 1.
2
Ibid Hal 4.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf Tunai

Ditinjau dari segi bahasa, wakaf berasal dari kata al-waqf yang berarti radiah
(terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-manu (mencegah) dan
menahan al-habs (menahan). Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa pendapat,
di antaranya:

1. Menurut mazhab Syai dan Hanbali adalah tindakan seseorang yang


menahan hartanya agar dapat dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan
dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah
SWT.
2. Menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari
harta, di mana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi
manfaat tersebut walaupun sesaat.
3. Menurut mazhab Hana adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hak
milik Allah SWT, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia
melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah
untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan
kontinu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.

Namun pendapat yang dikeluarkan oleh imam Abu Hanifah berbeda dengan
para muridnya (Hanayah) termasuk Abu Yusuf dan Muhammad. Menurut beliau
wakaf adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan
bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-
orang yang dicintainya. Berdasarkan denisi dari Abu Hanifah ini, maka harta
tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup,
dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual
atau dihibahkan.

Adapun pengertian wakaf menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004, pasal 1


(1): Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Sedangkan wakaf uang (Cash Wakaf/Wagf al-
Nuqud), sebagaimana dijelaskan dalam fatwa MUI tanggai 11 Mei 2002 adalah
wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai atau surat-surat berharga.3

Di antara dasar pelaksanaan wakaf (uang), secara umum dapat dipahami dari
penjelasan beberapa ayat dan riwayat hadis di bawah ini:

1. Surat Al Imran ayat 92: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.(QS. Ali Imron/3:92).

Pada makna ayat di atas, terdapat redaksi harta yang kamu cintai. Redaksi
tersebut bermakna umum, tidak terbatas kepada harta tidak bergerak saja
(seperti tanah dan bangunan), akan tetapi juga menyangkut harta bergerak
seperti kendaraan dan juga uang.

2. QS. al-Baqarah ayat 261-262: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan


oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap
butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat gandakan (pahala) bagi
siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi
Maha Mengetahui. Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Pada makna ayat tersebut, terdapat kalimat orang yang menafkahkan


hartanya. Dalam hal ini, kata hartanya sama seperti yang terdapat

3
Mohammad Mualim dan Abdurrahman, Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat, Dalam Buku Jurnal Bimas Islam Vol 7 No 4, Jakarta, 2007, hal 732-733
dalam surat Ali Imran di atas, yaitu bermakna luas, termasuk juga harta
dalam bentuk uang.

3. Hadis Nabi s.a.w.: Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bin al-
Khatthab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang
kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia
berkata, Wahai Rasulullah. saya memperoleh tanah di Khaibar; yang
belum pernah saya peroleh harta yang lebih haik bagiku melebihi tanah
tersebut; apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya? Nabi saw.
menjawab: Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-
nya. Ibnu Umar berkata, Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut,
(dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan
tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada orang-orang fakir,
kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan
juga untuk tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk
memakan diri (hasil) tanah itu secara ma ruf (wajar) dan memberi makan
(kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. (H.R.
al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al-Nasai).

Hadis di atas lebih bersifat kasuistik tentang keinginan Umar bin Khatthab
ra untuk mewaqafkan hartanya yang berupa tanah. Dengan demikian,
riwayat ini tidak dapat diberlakukan secara umum berkaitan dengan
ketentuan bentuk harta yang diwakafkan, karena tanah hanyalah salah satu
bentuk harta yang dapat diwakafkan dan bukan satu-satunya.4

B. Manajemen dan Perkembangan Wakaf Tunai di Indonesia

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, wakaf dalam bentuk


uang atau wakaf tunai, dalam pelaksanaanya sangat erat hubungannya
dengan fungsi Lembaga Keuangan Syariah. Bukti penyerahan wakaf tunai
kepada pihak pengelola wakaf adalah berupa sertifikat wakaf uang. Kedudukan
Sertifikat Wakaf Uang ini secara hukum boleh jadi merupakan akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Sehingga manakala di kemudian hari

4
Ibid hal 733-736
terjadi sengketa di pengadilan, maka sertifikat tersebut menjadi bukti yang sah dan
mengikat.

Adapun prosedur mewakafkan uang, sesuai dengan ketentuan pasal 28 UU


No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu: wakif dapat mewakafkan benda bergerak
berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.

Selanjutnya dalam pasal 29 disebutkan:

1. Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28


dilaksanakan oleh Wakif dengan menyatakan kehendak wakif yang
dilakukan secara tertulis;
2. Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang;
3. Sertifikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dan
disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif dan Nadzir
sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.

Pasal 30 UU No 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa lembaga keuangan syariah


atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada
Menteri selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat
Wakaf Uang.

Meskipun wakaf tunai secara normative telah diatur dalam UU No. 41 Tahun
2004, namun dalam tataran operasional masih memerlukan peraturan pelaksanaanya.
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 31 yang menegaskan bahwa wakaf uang akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Tetapi tidak hanya masalah wakaf
uang yang perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. UU No. 41 Tahun
2004 tentang Wakaf mamuat beberapa ketentuan dalam pasal 14, pasal 21, pasal 31,
pasal 39, pasal 41, pasal 46, pasal 66 dan pasal 68 yang perlu diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Keseluruhan peraturan pelaksanaan tersebut, pada akhirnya, diintegrasikan ke


dalam satu Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No.
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan
pengaturan yang mudah dipahami oleh masyarakat, organisasi dan badan hukum,
serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, Badan Wakaf Indonesia
(BWI), dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS), sekaligus menghindari
berbagai kemungkinan perbedaan, penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku

Dalam hal wakaf benda bergerak berupa uang, menurut ketentuan Pasal 22
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf, menyebutkan sebagai berikut:

1. Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah;


2. Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang
asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah;
3. Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

a. hadir di lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang


(LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
b. menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang akan diwakafkan;
c. menenyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;
d. mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai
AIW.

4. Dalam hal Wakif tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a,maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
5. Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang
kepada Nadzir di hadapan PPAIW yang selanjutnya Nadzir menyerahkan
AIW tersebut kepada LKS-PWU.

Penjelasan Pasal 22 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006,
dimana Wakif diwajibkan untuk menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang
akan diwakafkan, ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin benda wakaf berasal
dari sumber halal, tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-
undangan, misalnya menghindari kemungkinan praktik pencucian uang (money
loundring) melalui wakaf.
Adapun format Sertifikat Wakaf Uang sebagaimana ketentuan pasal
26 Peraturan Pemerintah tersebut sekurang-kurangnya memuat :

a. Nama LKS-PWU;

b. Nama Wakif;

c. Alamat Wakif;

d. Jumlah wakaf uang;

e. Peruntukan wakaf;

f. Jangka waktu wakaf;

g. Nama Nazhir yang dipilih;

h. Alamat Nazhir yang dipilih; dan

i. Tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat Wakaf Uang.

Selanjutnya pasal 27 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa


dalam hal Wakif berkehendak melakukan perbuatan hukum wakaf uang untuk
jangka waktu tertentu, maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, Nazhir wajib
mengembalikan jumlah pokok wakaf uang kepada Wakif atau ahli waris/penerus
haknya melalui LKS-PWU. Ada satu hal lagi yang perlu kita ketahui, bahwa dalam
hukum positif Indonesia, wakaf dalam jangka waktu tertentu adalah sah, meskipun di
kalangan Ulama masih diperdebatkan. Diperbolehkannya keberlakuan wakaf dalam
jangka waktu tertentu tersebut lebih menitikberatkan kepada maqashid as
syariyah yang bertujuan pada kemaslahatan universal (al mashlahan al mursalah)5

5
J asmani Muzayin, SELUK BELUK WAKAF TUNAI DI INDONESIA, Jurnal
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ditinjau dari segi bahasa, wakaf berasal dari kata al-waqf yang berarti radiah
(terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-manu (mencegah) dan
menahan al-habs (menahan).

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, wakaf dalam bentuk


uang atau wakaf tunai, dalam pelaksanaanya sangat erat hubungannya
dengan fungsi Lembaga Keuangan Syariah. Bukti penyerahan wakaf tunai
kepada pihak pengelola wakaf adalah berupa sertifikat wakaf uang. Kedudukan
Sertifikat Wakaf Uang ini secara hukum boleh jadi merupakan akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Sehingga manakala di kemudian hari
terjadi sengketa di pengadilan, maka sertifikat tersebut menjadi bukti yang sah dan
mengikat.

Adapun prosedur mewakafkan uang, sesuai dengan ketentuan pasal 28 UU


No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu: wakif dapat mewakafkan benda bergerak
berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.

1. Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah;


2. Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang
asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah;
3. Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

a. hadir di lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang


(LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
b. menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang akan diwakafkan;
c. menenyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;
d. mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai
AIW.
4. Dalam hal Wakif tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a,maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
5. Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang
kepada Nadzir di hadapan PPAIW yang selanjutnya Nadzir menyerahkan
AIW tersebut kepada LKS-PWU.

Wakif diwajibkan untuk menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang
akan diwakafkan, ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin benda wakaf berasal
dari sumber halal, tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-
undangan, misalnya menghindari kemungkinan praktik pencucian uang (money
loundring) melalui wakaf.

Wakif berkehendak melakukan perbuatan hukum wakaf uang untuk jangka


waktu tertentu, maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, Nazhir wajib
mengembalikan jumlah pokok wakaf uang kepada Wakif atau ahli waris/penerus
haknya melalui LKS-PWU. Ada satu hal lagi yang perlu kita ketahui, bahwa dalam
hukum positif Indonesia, wakaf dalam jangka waktu tertentu adalah sah, meskipun di
kalangan Ulama masih diperdebatkan. Diperbolehkannya keberlakuan wakaf dalam
jangka waktu tertentu tersebut lebih menitikberatkan kepada maqashid as
syariyah yang bertujuan pada kemaslahatan universal (al mashlahan al mursalah)
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Agama RI, Panduan Pengelolaan Wakaf Tunai, 2013, Jakarta,

Mualim Mohammad dan Abdurrahman, Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Dalam Buku Jurnal Bimas Islam Vol 7
No 4, 2007, Jakarta,

Muzayin Jasmani, SELUK BELUK WAKAF TUNAI DI INDONESIA, Jurnal

Sambas Abas, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia: Potensi dan Tantangan,


Dalam Buku Jurnal Bimas Islam Vol 7 No 4, 2007, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai