Anda di halaman 1dari 28

2

SENYAWA KIMIA PENCIRI JERNANG UNTUK


PEMBARUAN PARAMETER
STANDAR NASIONAL INDONESIA

UMAR TORIQ

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
2

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Senyawa Kimia Penciri
Jernang untuk Pembaharuan Parameter Standar Nasioanl Indonesia adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Umar Toriq
NIM G44080094
2

ABSTRAK

UMAR TORIQ. Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaruan Parameter


Standar Nasional Indonesia. Dibimbing oleh SUMINAR S ACHMADI dan
TOTOK K WALUYO.

Jernang merupakan resin yang dihasilkan rotan jernang (Daemonorops draco)


yang memiliki banyak manfaat sehingga harga dan permintaan akan getah jernang selalu
tinggi. Badan Standardisasi Nasional telah menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
untuk jernang berdasarkan parameter ciri fisik dan visual. Tiga mutu jernang tersebut dari
mutu tertinggi ke rendah ialah super, A, dan B. Namun, parameter-parameter tersebut
rentan dimanipulasi oleh pedagang untuk menambah bobot dan kebersihan jernang.
Dalam penelitian ini diketahui semua parameter tersebut tidak saling berkorelasi erat
dalam menentukan mutu kelas jernang. Kelas mutu menurut pedagang tidak selalu sama
dengan penggolongan berdasarkan SNI. Analisis dengan spektrofotometer sinar tampak
pada panjang gelombang 473.5 nm menunjukkan bahwa secara kuantitatif, kelas mutu
jernang menurut SNI berkorelasi positif dengan kadar resin dan absorbans. Usulan
perbaikan metode analisis dengan SNI ialah ekstraksi dengan maserasi menggunakan
pelarut aseton. Identifikasi senyawa menggunakan kromatograf gas-spektrometer massa
menunjukkan keberadaan senyawa drakorhodin di semua sampel jernang. Dengan
demikian, drakorhodin dapat dijadikan sebagai senyawa penciri dalam komoditas jernang.

Kata kunci: drakorhodin, jernang, spektrofotometer UV-Vis, Standar Nasional Indonesia

ABSTRACT

UMAR TORIQ. Marker Compound of Dragons Blood for Revision of Indonesia


National Standard Parameter. Supervised by SUMINAR S ACHMADI and
TOTOK K WALUYO.

Dragons blood, a resin exudated from rattan (Daemonorops draco) fruits has
many benefits so that prices and demand are always high. The National Standardization
Agency has issued Indonesia National Standard (SNI) for dragons blood based on
physical characteristics and visual parameters. Three qualities of this commodity from
the highest to the low quality are super , A , and B. However, these parameters are
prone to be manipulated by traders to add weight and purity of the resin. In this study, it
was discovered that all SNI parameters are not always correlated in determining the
classification of dragons blood. Analysis by ultraviolet-visible spectrophotometer at a
wavelength of 473.5 nm showed that the classification according to SNI was positively
correlated with the resin content and the absorbance. A quantitative analytical method
proposed for SNI revision is extraction through maceration using acetone. Compound
identification using gas chromatography-mass spectrometer showed the presence of
dracorhodin compounds in all resins samples was. Therefore, dracorhodin can be used as
a marker in dragons blood commodity.

Keywords: dracorhodin, dragons blood, Indonesia National Standard, UV-vis


spectrophotometer
2

SENYAWA KIMIA PENCIRI JERNANG UNTUK


PEMBARUAN PARAMETER
STANDAR NASIONAL INDONESIA

UMAR TORIQ

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
2

Judul Skripsi : Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaruan Parameter


Standar Nasional Indonesia
Nama : Umar Toriq
NIM : G440080094

Disetujui oleh

Prof Ir Suminar S. Achmadi, PhD Ir Totok K Waluyo, MSi


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS


Ketua Departemen Kimia

Tanggal lulus:
2

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah yang berjudul Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaruan
Parameter Standar Nasional Indonesia. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2012 di
Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih atas semua bimbingan, dukungan, dan
kerjasama yang telah diberikan oleh Ibu Prof Ir Suminar S Achmadi, PhD selaku
pembimbing I dan Bapak Ir Totok K Waluyo, MSi selaku pembimbing II. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Budi Arifin, MSi, Fadli A
Muntaqo, SSi, dan Fanindra atas segala diskusi dan saran berkaitan dengan
penelitian. Terima kasih juga kepada Bapak Sabur, Ibu Yenni Karmila, Dumas,
Ani, dan Dwi atas bantuan yang telah diberikan selama penulis melakukan
penelitian di Laboratorium Kimia Organik. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, keluarga serta Aida atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Penelitian ini disponsori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
melalui Hibah Kerja Sama Antarlembaga dan Perguruan Tinggi yang diraih oleh
Prof Ir Suminar S Achmadi, PhD.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Terima kasih.

Bogor, Januari 2013

Umar Toriq
3

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
METODE 2
Uji Klasifikasi Jernang 2
Ekstraksi Resin Jernang 4
Identifikasi Senyawa 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 4
Klasifikasi Mutu SNI 4
Ekstrak Resin Jernang 8
Identitas Senyawa Berdasarkan GCMS 10
SIMPULAN DAN SARAN 13
Simpulan 13
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN 16
RIWAYAT HIDUP 20
4

DAFTAR TABEL

1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang (SNI 1671:2010) 2


2 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar air jernang 5
3 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar resin jernang 5
4 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar pengotor jernang 6
5 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar abu jernang 6
6 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
titik leleh jernang 7
7 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
warna jernang 7
8 Mutu warna jernang berdasarkan UV-Vis pada 473.5 nm 8
9 Perbandingan hasil ektraksi soksletasi dengan pelarut dietil eter
dengan ekstraksi maserasi dengan pelarut aseton 9
10 Korelasi kandungan resin ekstrak aseton jernang dengan mutu SNI 9
11 Senyawa yang sering terdeteksi GCMS 11
12 Korelasi kadar drakorhodin dan 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-
fenil-2H-1- benzopiran-7-ol 13

DAFTAR GAMBAR

1 Korelasi kadar resin dengan absorbans jernang 10


2 Struktur 2,6,10,14-tetrametilpentadekana 11
3 Struktur asam linoleat dan trendiona 11
4 Struktur Struktur 7-pentadekuna dan 4-(4-etilsikloheksil)-1-pentil-
sikloheksena 11
5 Struktur 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol dan
drakorhodin 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rekapitulasi sifat fisis-kimia jernang 16


2 Senyawa dan kadarnya dalam berbagai mutu jernang berdasarkan
analisis GCMS 17
1

PENDAHULUAN

Jernang adalah resin hasil sekresi buah rotan jernang (Daemonorops draco)
yang endemik di Asia Tenggara. Resin tersebut menempel dan menutupi bagian
luar buah rotan, dan untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi. Getah ini
merupakan hasil hutan bukan kayu yang cukup penting bagi masyarakat di sekitar
hutan di Kabupaten Jambi, Aceh, dan Medan di Sumatra. Jernang memberikan
sumbangan yang cukup nyata pada pendapatan rumah tangga tradisional yang
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Meskipun pada mulanya digunakan untuk
keperluan sendiri, tetapi sekarang jernang banyak diperjualbelikan dengan harga
cukup mahal, yaitu Rp700 ribu sampai Rp1 juta per kg. Hasil ekstraksi getah
jernang menjadi penting karena merupakan bahan komoditas ekspor.
Masyarakat memanfaatkan getah jernang sebagai bahan obat tradisional
seperti untuk pengobatan diare dan gangguan pencernaan, sebagai bahan pewarna
untuk memperindah peralatan rumah tangga dan kerajinan. Di samping itu, juga
sebagai bahan pewarna vernis, keramik, alat dari batu, kayu, rotan, bambu, kertas,
dan cat. Jernang juga digunakan sebagai serbuk untuk gigi, asma, sifilis, dan
berkhasiat afrodisiak (Grieve 2006).
Jernang termasuk kelompok resin keras, yaitu padatan yang mengilat,
bening sampai kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan, dan mudah terbakar
dengan mengeluarkan asap dan bau yang khas (Sumadiwangsa 2000).
Sumadiwangsa (1973) dan Coppen (1995) juga memasukkan jernang ke dalam
kelompok resin keras, berwarna merah, berbentuk amorf, bobot jenis 1.181.20;
bilangan asam rendah, bilangan ester sekitar 140, titik cair sekitar 120 C, larut
dalam alkohol, eter, minyak lemak, dan minyak atsiri, sebagian larut dalam
kloroform, etil asetat, metanol, karbon disulfida, dan tidak larut air.
Komponen kimia utama pada resin yang dihasilkan buah jernang adalah
resin ester dan drakoresino tanol (5782%). Selain itu, resin berwarna merah
tersebut juga mengandung berbagai senyawa seperti drakoresena (14%),
drakoalban (hingga 2.5%), resin taklarut (0.3%), residu (18.4%), asam
benzoilasetat, drakorhodin, dan beberapa pigmen terutama nordrakorhodin dan
nordrakorubin (Purwanto et al. 2005). Di perdagangan, jernang dikelompokkan
berdasarkan tingkat kebersihannya.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) membedakan dan mengelompokkan
jernang dalam 3 jenis mutu, yaitu Mutu Super, Mutu A, dan Mutu B (Tabel 1).
Parameter mutu suatu jernang didasarkan pada kadar air, kadar abu, kadar resin,
titik leleh, kadar pengotor, dan warna. Tidak jarang jernang yang diperdagangkan
dicampur dengan resin lain bahkan batu bata merah untuk meningkatkan
bobotnya. Pada dasarnya, parameter yang digunakan berdasarkan sifat fisis dan
tidak kuantitatif, sehingga cenderung banyak penyimpangan dalam penetapan
mutu. Parameter lainnya didasarkan pada pengamatan visual dan kekasaran resin
sehingga mutu ditetapkan secara subjektif. Rao et al. (1982) melaporkan bahwa
drakorhodin dan turunannya adalah senyawa aktif dari jernang dan merupakan
komponen utama. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menemukan
senyawa kimia penciri yang bersifat kuantitatif sehingga diperoleh kepastian dan
objektivitas dalam penentuan mutu jernang.
2

Tabel 1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang (SNI 1671:2010)


Persyaratan Mutu
Jenis Uji Satuan
Mutu Super Mutu A Mutu B
Kadar resin (b/b) % Min. 80 Min. 60 Min. 25
Kadar air (b/b) % Maks. 6 Maks. 8 Maks. 10
Kadar pengotor (b/b) % Maks. 14 Maks. 39 Maks. 50
Kadar abu (b/b) % Maks. 4 Maks. 8 Maks. 20
Titik leleh C Min. 80 Min. 80 -
Warna - Merah tua Merah muda Merah pudar

METODE

Penelitian ini terbagi dalam 3 tahap, yaitu tahap penentuan mutu sampel
jernang berdasarkan parameter SNI, tahap ekstraksi, serta identifikasi senyawa.
Senyawa diidentifikasi menggunakan kromatograf gas-spektrometer massa
(GCMS) Shimadzu. Bahan yang digunakan adalah jernang yang sudah diolah
dalam bentuk serbuk dan batangan yang didapat dari penjual di 3 kota.
Sampel jernang didapatkan dari pedagang yang tersebar di Provinsi Jambi
sebanyak 5 jenis, yakni daerah penghasil jernang terbaik. Sampel juga didapat dari
Aceh sebanyak 3 jenis dan Medan 1 jenis. Pemberian kode sampel pada penelitian
ini berdasarkan asal kota didapatkannya. Untuk sampel dari Jambi diberi kode
Sarolangun serbuk (Jambi 1), Sarolangun murni (Jambi 2), Sarolangun kota
(Jambi 3), Muarabungo (Jambi 4), dan Merangin (Jambi 5). Sampel dari Aceh
didapatkan dari pedagang yang berasal dari Jagakarsa (Aceh 1 dan Aceh 3) dan
Kranji (Aceh 2) serta sampel dari Medan (Medan). Semua sampel berasal dari
spesies D. draco.

Uji Klasifikasi Jernang

Kadar Resin (SNI 1671: 2010)


Sebanyak 5 g getah jernang yang telah dihaluskan ditimbang dan
dimasukkan ke dalam timbel, selanjutnya dimasukkan ke dalam radas soxhlet.
Sebanyak 200 mL dietil eter dimasukkan ke dalam labu didih dan radas soxhlet
dirangkaikan. Sampel disoxhletasi selama 7 jam, kemudian dietil eter diuapkan
hingga diperoleh resin. Sebanyak 50 mL air suling ditambahkan ke dalam resin
dan dipindahkan ke dalam corong pisah. Resin pada fraksi dietil eter dipisahkan
dari air suling dan dikeringudarakan. Ekstrak dikeringkan di dalam eksikator
sampai diperoleh bobot tetap. Uji kadar resin dilakukan duplo.

Kadar Air (AOAC 950.46 (B) 2005)


Cawan petri kosong dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 C selama 3
jam lalu dinginkan di dalam desikator. Cawan petri kosong ditimbang. Sebanyak
3 g sampel ditimbang dan ditempatkan pada cawan petri, kemudian diratakan di
atas cawan menggunakan spatula. Cawan beserta sampel dimasukkan ke dalam
3

desikator hingga dingin. Bobot sampel ditimbang kembali sebagai bobot kering.
Uji ini dilakukan duplo.

Penetapan Kadar Pengotor (SNI 5009: 2001)


Sebanyak 2 g contoh jernang dilarutkan ke dalam 10 mL toluena, kemudian
disaring dengan kertas saring bebas air. Kertas saring yang digunakan sebelumnya
dikeringkan di dalam oven sehingga didapatkan bobot konstan. Kertas saring yang
sudah digunakan, dikeringkan bersama residu yang tidak tersaring, kemudian
ditimbang hingga mendapatkan bobot konstan. Uji kadar pengotor dilakukan
duplo.

Penetapan Kadar Abu (SNI 1671: 2010)


Contoh sebanyak 5 g ditimbang di dalam cawan porselen yang sebelumnya
sudah diketahui bobotnya. Cawan yang berisi contoh dipanaskan di atas pembakar
bunsen. Cawan dipanaskan sampai senyawa organik di dalamnya terbakar semua
hingga berkurangnya asap. Cawan tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tanur
bersuhu 600 C untuk menyempurnakan pengabuan selama 2 jam. Abu yang
didapat kemudian dilarutkan dengan air suling dan dilanjutkan dengan
penyaringan menggunakan kertas saring bebas abu. Kertas saring kemudian
dipindahkan ke dalam cawan porselen dan dibakar kembali dengan pembakar
bunsen. Cawan yang sudah dipanaskan kemudian didinginkan di dalam eksikator
hingga diperoleh bobot tetap. Uji kadar abu ini dilakukan duplo.

Penetapan Titik Leleh (AOAC 920.156 2005)


Contoh jernang 50100 mg digerus di dalam mortar. Tabung kapiler diisi
dengan jernang, dengan ditekan bagian ujung terbuka pada contoh. Tabung
kapiler diketuk-ketukkan dengan dasar tertutup bagian bawah agar padatan yang
menyumbat turun ke dasar tabung. Cara ini diulangi sampai didapatkan contoh
padat dalam tabung setinggi 12 mm. Sebelumnya, pemanas listrik dinyalakan
lalu suhunya dinaikkan dengan cepat sampai 65 C. Tabung tersebut dimasukkan
ke dalam pemanas listrik untuk penetapan titik leleh. Setelah itu, diturunkan laju
kenaikan suhunya 23 C/menit. Penetapan titik leleh dilakukan duplo.

Penentuan Warna (SNI 1671: 2010)


Contoh getah jernang ditumbuk hingga halus dengan mortar. Contoh yang
sudah dihaluskan ditimbang sebanyak 1 g kemudian dilarutkan ke dalam etanol 20
mL di dalam gelas piala. Larutan tersebut dituangkan perlahan-lahan di atas kertas
putih (HVS) kemudian dikering-udarakan. Hasil tersebut diamati secara visual.

Penentuan Warna dengan Spektrofotometri UV-Vis


Uji ini bukan merupakan parameter uji dalam SNI. Contoh getah jernang
ditumbuk hingga halus dengan mortar. Serbuk halus ditimbang sebanyak 1 g
kemudian dilarutkan ke dalam etanol 20 mL di dalam gelas piala. Larutan
kemudian diencerkan 200 kali. Hasil pengenceran tersebut dianalisis dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 473.5 nm berdasarkan hasil
pemayaran.
4

Ekstraksi Resin Jernang

Sebanyak 5 g serbuk jernang yang telah dihaluskan dimasukkan ke gelas


piala, kemudian dimaserasi dengan aseton sebanyak 50 mL. Ekstraksi dilakukan
sebanyak triplo kemudian disaring. Hasil penyaringan digabungkan. Ekstrak
gabungan kemudian dipekatkan dengan penguap putar hingga semua pelarutnya
menguap. Ekstrak pekat yang diperoleh merupakan resin jernang yang berwarna
merah. Bobot akhir ekstrak ditimbang dan dihitung rendemennya.

Identifikasi Senyawa

Komponen kimia ekstrak pekat dianalisis dengan GCMS. Analisis GCMS


dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri. Proses
analisis menggunakan metode ionisasi serangan elektron (EI) pada kromatograf
gas GC-17A (Shimadzu) yang ditandem dengan spektrometer massa MS QP
5050A; kolom kapiler DB-5 ms (J&W) (silika 30 m 250 m 0.25 m); suhu
kolom 50 C (0 menit) hingga 290 C pada laju 15 C/menit; gas pembawa
helium pada tekanan tetap 7.6411 psi, dan pangkalan data yang digunakan adalah
Wiley 7N tahun 2008.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi Mutu SNI

Dalam penelitian ini mutu sampel ditetapkan berdasarkan parameter SNI


dan dicocokkan dengan mutu yang dinyatakan oleh pedagang. Berdasarkan
informasi yang didapat dari pedagang, kelas mutu untuk sampel Jambi 2 termasuk
super karena jernang tidak dicampur dengan resin lain. Sampel Jambi 3 dan Jambi
4 juga termasuk super, tetapi tidak diketahui pasti apakah resin tersebut dicampur
dengan resin lain. Sampel Jambi 5 termasuk kelas mutu A dan Jambi 1 termasuk
kelas B. Sampel Aceh 2 termasuk kelas mutu B dan Aceh 1 termasuk kelas mutu
A. Sampel Aceh 3 memiliki mutu super tetapi tidak diuji parameter SNI-nya
karena keterbatasan bahan. Sampel jernang Medan tidak diketahui kelas mutunya
oleh pedagang; sampel ini ditentukan mutunya berdasarkan uji SNI dan absorbans
serta dilihat kemiripan hasilnya dengan jernang yang sudah diketahui mutunya
baik oleh pedagang dan SNI.

Kadar Air
Kadar air sampel ditentukan untuk mengevaluasi tingkat kekeringan
jernang. Tabel 2 menunjukkan rerata kadar air dari 2 penetapan. Jika menurut
standar SNI, informasi yang didapatkan dari pedagang mengenai kelas mutunya
berbeda. Hasil menunjukkan kecenderungan kelas mutu yang dihasilkan
berdasarkan SNI lebih rendah dibandingkan dengan informasi pedagang.
5

Kecocokan antara standar SNI berdasarkan parameter kadar air dengan informasi
pedagang sebesar 14%. Nilai kecocokan ditetapkan berdasarkan perbandingan
jumlah mutu yang sesuai antara SNI dan pedagang dengan 7 jumlah sampel yang
diketahui mutunya menurut pedagang.

Tabel 2 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar air jernang
Kelas mutu Kelas mutu menurut
Sampel Kadar air (%)
menurut SNI pedagang
Jambi 1 17.00 B* B
Jambi 2 9.33 B Super
Jambi 3 4.67 Super Super
Jambi 4 12.67 B* Super
Jambi 5 9.00 B A
Aceh 1 11.59 B* A
Aceh 2 2.29 Super B
Medan 4.53 Super -
Keterangan: B* tidak memenuhi syarat kelas mutu B

Kadar Resin
Kadar resin ditetapkan dengan ekstraksi panas menggunakan soxhlet. Kadar
resin digunakan untuk mengetahui kemurnian jernang. Tabel 3 menunjukkan
rerata kadar resin dari 2 penetapan. Hasilnya menunjukkan bahwa informasi yang
diberikan oleh pedagang 71% cocok. Rendahnya kadar resin karena pada
umumnya pengolahan masih secara tradisional sehingga masih tercampur dengan
kulit buahnya (Waluyo 2008).

Tabel 3 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar resin jernang
Kelas mutu Kelas mutu menurut
Sampel Kadar resin (%)
menurut SNI pedagang
Jambi 1 37.01 B B
Jambi 2 99.56 Super Super
Jambi 3 95.23 Super Super
Jambi 4 92.60 Super Super
Jambi 5 61.42 A A
Aceh 1 8.11 B* A
Aceh 2 81.67 Super B
Medan 50.9 B -
Keterangan: B* tidak memenuhi syarat kelas mutu B

Kadar Pengotor
Kadar pengotor mengindikasikan banyaknya campuran dalam jernang.
Tabel 4 menunjukkan hasil rerata penentuan kadar pengotor dari 2 penetapan.
Hasil analisis kembali menunjukkan perbedaan kelas mutu antara pedagang dan
standar SNI pada 2 jernang, yaitu Jambi 4 dan Aceh 1. Informasi yang diberikan
pedagang 42% cocok. Tingginya kadar pengotor yang dihasilkan diduga karena
proses pemisahan jernang dari buahnya tidak sempurna sehingga banyak kulit
buah ikut terbawa. Jernang memang masih diolah secara tradisional dengan cara
menumbuk buah rotan dan kemungkinan besar bagian kulit ikut terbawa. Bahkan
6

bila terlalu kuat menumbuk, buah rotan jernang akan pecah sehingga jernang
bercampur dengan buah rotan yang hancur (Waluyo 2008).

Tabel 4 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar pengotor jernang
Kadar pengotor Kelas mutu Kelas mutu menurut
Sampel
(%) menurut SNI pedagang
Jambi 1 55.16 B* B
Jambi 2 12.64 Super Super
Jambi 3 9.75 Super Super
Jambi 4 20.09 A Super
Jambi 5 38.09 A A
Aceh 1 89.59 B* A
Aceh 2 76.67 B* B
Medan 57.82 B* -
Keterangan: B* tidak memenuhi syarat kelas mutu B

Kadar Abu
Penetapan kadar abu bertujuan mengukur kadar bahan anorganik yang ada
di dalam jernang. Parameter ini berkorelasi dengan banyaknya pengotor pada
parameter sebelumnya. Tabel 5 menunjukkan hasil rerata penetapan kadar abu
dari 2 penetapan. Jika menurut SNI, kelas mutu yang dihasilkan berdasarkan SNI
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan informasi pedagang. Kecocokan
standar SNI berdasarkan parameter kadar abu dengan informasi pedagang hampir
60%.

Tabel 5 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar abu jernang
Kelas mutu Kelas mutu menurut
Sampel Kadar abu (%)
menurut SNI pedagang
Jambi 1 6.08 A B
Jambi 2 0.83 Super Super
Jambi 3 0.67 Super Super
Jambi 4 2.73 Super Super
Jambi 5 4.52 A A
Aceh 1 9.48 B A
Aceh 2 0.73 Super B
Medan 8.21 B -

Kelas mutu jernang berdasarkan kadar abu tidak memiliki perbedaan yang
nyata dengan kelas mutu berdasarkan parameter kadar pengotor. Menurut Waluyo
(2008), kadar abu berkorelasi positif dengan kadar pengotor, semakin tinggi kadar
pengotor, semakin tinggi pula kadar abunya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4
dan 5.

Titik Leleh
Titik leleh mengisyaratkan kemurnian senyawa yang ada dalam jernang.
Tabel 6 menunjukkan hasil penetapan titik leleh pada semua jernang. Hasil
penetapan titik leleh menunjukkan kesesuaian antara informasi dari pedagang dan
standar SNI. Namun, yang perlu diperhatikan adalah standar ambigu yang
7

tercantum SNI jernang, yaitu untuk mutu super titik leleh minimum 80 C dan
untuk mutu A minimum 80 C. Pernyataan ini membingungkan produsen
maupun konsumen. Pada jernang Jambi 1, Aceh 1, dan Aceh 2 titik leleh tidak
dicantumkan, karena sampai suhu 120 C sampel tidak juga meleleh sehingga
masuk kelas B seperti yang dinyatakan pada SNI. Perbedaan mutu antara SNI dan
pedagang terjadi pada jernang Aceh 1. Selain itu, kecocokan antara mutu menurut
pedagang dan SNI sebesar 85%. Titik leleh jernang juga berkorelasi positif
dengan kadar pengotor.

Tabel 6 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
titik leleh jernang
Rata-rata titik Kelas mutu Kelas mutu menurut
Sampel
leleh (C) menurut SNI pedagang
Jambi 1 - B B
Jambi 2 71-73 Super Super
Jambi 3 82-91 Super/A Super
Jambi 4 80-83 Super/A Super
Jambi 5 81-84 Super/A A
Aceh 1 - B A
Aceh 2 - B B
Medan 75-80 Super/A -

Warna
Warna ditetapkan secara visual. Tabel 7 menunjukkan perbedaan mutu
jernang berdasarkan SNI dengan pedagang untuk jernang Aceh 1. Selain itu,
kecocokan antara mutu pedagang dan SNI sebesar 85%. Menurut Winarni et al.
(2005), jernang dengan mutu yang baik harus jernih dan bila ditumbuk akan
diperoleh bubuk berwarna merah terang tembaga yang larut dalam metanol.
Namun, pengamatan warna sebagai salah satu parameter SNI masih diragukan
karena cara visual sifatnya subjektif. Oleh karena itu, warna dianalisis dengan
spektrofotometer UV-Vis dengan konsentrasi yang sama.

Tabel 7 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
warna jernang
Kelas mutu Kelas mutu menurut
Sampel Warna
menurut SNI pedagang
Jambi 1 Merah pudar B B
Jambi 2 Merah tua Super Super
Jambi 3 Merah tua Super Super
Jambi 4 Merah tua Super Super
Jambi 5 Merah muda A A
Aceh 1 Merah tua Super A
Aceh 2 Merah pudar B B
Medan Merah muda A -

Larutan sisa hasil penentuan uji warna diencerkan sebesar 200 kali agar
larutan jernang dapat terbaca oleh detektor spektrofotometer UV-Vis mengingat
tingkat kepekatan larutan yang sangat tinggi. Hasil pemayaran menunjukkan
panjang gelombang maksimum 473.5 nm. Tabel 8 menunjukkan hasil penetapan
intensitas warna dengan spektrofotometer UV-Vis. Hasil tersebut menunjukkan
8

pola korelasi positif antara absorbans dan kelas mutu SNI. Semakin tinggi kelas
mutu jernang, semakin tinggi pula absorbans yang dihasilkan. Dari data tersebut,
dapat diusulkan rentang absorbans berdasarkan mutu, yaitu untuk mutu super
absorbans > 0.50, mutu A absorbans sebesar 0.300.43, dan mutu B absorbans
<0.26.

Tabel 8 Mutu warna jernang berdasarkan UV-Vis pada 473.5 nm


Sampel Absorbans Kelas mutu menurut SNI
Aceh 1 0.13 B
Medan 0.20 B
Jambi 1 0.23 B
Aceh 2 0.26 B
Jambi 5 0.43 A
Jambi 4 0.50 Super
Jambi 3 0.54 Super
Jambi 2 0.72 Super

Pengujian sifat fisis-kimia bertujuan menentukan mutu jernang berdasarkan


SNI dan selanjutnya dicocokkan dengan pernyataan pedagang. Hasil rekapitulasi
pengujian standar SNI jernang (Lampiran 1) menunjukkan hasil yang tidak
konsisten di tiap parameternya. Ada yang sesuai dengan informasi pedagang dan
ada pula yang berlainan. Oleh karena itu, mutu SNI ditetapkan berdasarkan mutu
yang paling sering muncul di tiap parameternya. Kesesuaian hasil yang diperoleh
dari pengujian parameter SNI dengan informasi dari pedagang sebesar 85%.
Hampir semua sampel memiliki mutu yang sesuai antara SNI dan pernyataan
pedagang, kecuali untuk sampel Aceh 1. Pedagang menyatakan sampel Aceh 1
termasuk kelas mutu A, namun menurut hasil pengujian parameter SNI, termasuk
kelas mutu B.
Berdasarkan hasil rekapitulasi, jernang Medan yang tidak diketahui kelas
mutunya oleh pedagang, termasuk kelas mutu B. Hal tersebut juga dibuktikan
dengan hasil absorbans 0.20, yaitu di bawah nilai absorbans jernang Jambi 1 yang
memiliki mutu B. Pada dunia perdagangan umumnya, ciri yang diperhatikan
dalam penentuan mutu jernang ialah kadar pengotor dan kadar resin (Puspitasari
2011). Namun, dalam praktiknya pedagang kadang menambahkan resin lain dan
membersihkan jernang sehingga pembeli dapat terkecoh.

Ekstrak Resin Jernang

Rendemen resin dapat diperoleh dari proses ekstraksi dengan pelarut aseton.
Aseton adalah pelarut terbaik dibandingkan dengan dietil eter dan metanol
(Suwardi et al. 2003). Dalam penelitian ini, ekstrak aseton adalah 52.79%,
sementara ekstrak eter 33.62%, sedangkan menurut Suwardi et al. yang
menggunakan metanol, hanya 31.5%. Penentuan rendemen resin dengan ekstraksi
sangat penting karena salah satu parameter mutu dalam SNI adalah kadar resin.
Penentuan kadar resin pada SNI menggunakan cara soxhlet dengan pelarut
dietil eter, sedangkan ekstrak resin yang digunakan untuk analisis GCMS
menggunakan metode maserasi dengan pelarut aseton pada suhu kamar. Hasilnya
9

memperlihatkan bahwa kadar resin dari cara maserasi dengan aseton lebih tinggi
dibandingkan dengan cara yang tercantum pada SNI (Tabel 9). Penggunaan panas
pada cara soxhlet dikhawatirkan merusak senyawa-senyawa yang tidak tahan
panas (Gafar 2010); kelemahan lain cara soxhlet ialah pelarut dietil eter yang
sangat mudah menguap.

Tabel 9 Perbandingan hasil ektraksi soxhletasi dengan pelarut dietil eter


dengan ekstraksi maserasi dengan pelarut aseton
Sampel Ekstrak dietil eter Ekstrak aseton
Aceh 1 8.11 21.97
Jambi 1 37.01 52.79
Medan 50.90 60.34
Aceh 2 81.67 80.17
Jambi 5 61.42 91.07
Jambi 3 95.23 95.56
Jambi 4 92.60 97.86
Aceh 3 - 99.40
Jambi 2 99.56 99.59

Pada dasarnya setiap parameter mutu SNI tidak memperlihatkan korelasi


yang konsisten. Bagaimanapun, yang paling dapat menunjukkan kelas mutu suatu
jernang adalah pada kadar resinnya yang diakui oleh pedagang maupun peneliti.
Hal tersebut terbukti dari semakin baik mutu suatu jernang, semakin tinggi pula
kadar resinnya (Tabel 10). Namun, aspek kadar resin ini juga harus dibuktikan
dengan analisis GCMS untuk membuktikan kemurnian jernang karena tidak
jarang pedagang yang memanipulasi komoditasnya dengan resin atau bahan lain
agar bobotnya bertambah. Kandungan resin tertinggi didapatkan pada jernang
Jambi 2 sebesar 99.59% yang berdasarkan informasi pedagang, jernang tersebut
murni.

Tabel 10 Korelasi kandungan resin ekstrak aseton jernang dengan mutu SNI
Sampel Mutu jernang uji SNI Kadar resin (%)
Aceh 1 B 21.97
Jambi 1 B 52.79
Medan B 60.34
Aceh 2 B 80.17
Jambi 5 A 91.07
Jambi 3 Super 95.56
Jambi 4 Super 97.86
Aceh 3 Super 99.40
Jambi 2 Super 99.59

Berdasarkan hasil rekapitulasi pengujian parameter SNI, parameter-


parameter yang dapat dijadikan standar mutu yang paling tepat untuk perdagangan
jernang adalah kadar resin dan warna dengan modifikasi analisis spektrofotometer
UV-Vis. Hal itu juga diperkuat dengan hasil analisis UV-Vis yang telah dilakukan
(Tabel 8). Semakin tinggi kadar resin jernang, semakin tinggi pula absorbansnya
(Gambar 1). Namun, terjadi penyimpangan pada sampel jernang Jambi 4 dan
Jambi 3. Kadar resin Jambi 4 seharusnya lebih tinggi daripada Jambi 3, yang
absorbansnya lebih kecil daripada Jambi 4. Sampel Jambi 4 memiliki absorbans
10

0.50, sedangkan Jambi 3 memiliki absorbans 0.54 yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan Jambi 4. Selain sampel jernang Jambi 4 dan Jambi 3, sampel
jernang lainnya memiliki korelasi positif antara kadar resin dan absorbansnya.
Apabila diurutkan berdasarkan kelas mutunya, dapat ditentukan kisaran kadar
ekstrak dan absorbans tiap kelas mutu (Gambar 1).
1.2

0.8
Kadar

0.6

0.4

0.2

0
<B B B B A Super Super Super* Super
Kelas mutu
Keterangan: * tidak diuji parameter SNI karena keterbatasan sampel

Gambar 1 Korelasi kadar resin ( ) dengan absorbans ( ) jernang

Jika ditarik garis lurus perbandingan antara kadar resin dan absorbansnya,
terjadi kecenderungan positif. Terlihat peningkatan kadar resin dari sampel Aceh
1 sampai Jambi 2 pada grafik kadar resin. Namun, jika dibandingkan dengan
grafik absorbans yang dikaitkan dengan pola kenaikan kadar resin terjadi pola
tidak teratur pada titik jernang Jambi 4. Hasil korelasi kadar resin dengan
absorbans membuktikan adanya pola korelasi positif dengan kelas mutu. Semakin
tinggi kelas mutu suatu jernang, semakin tinggi pula kadar resin dan
absorbansnya.

Identitas Senyawa Berdasarkan GCMS

Analisis GCMS menunjukkan keberadaan senyawa golongan fenolik sesuai


dengan laporan Gonzales et al. (2009), seskuiterpena, turunan asam benzoat
sesuai dengan laporan Edwards et al. (2003), turunan terpenoid sesuai dengan
laporan Piozzi et al. (1974), dan flavilium pada jernang. Setidaknya ada 7
senyawa dari 59 senyawa dengan kemiripan lebih dari 80% (Lampiran 2) dari
pangkalan data hasil analisis GCMS yang sering muncul pada semua jenis sampel
(Tabel 11). Senyawa itu diantaranya ialah asam linoleat (Gambar 3) ditemukan
pada jernang Jambi 1, Medan, Aceh 1, Aceh 3, dan Aceh 2. Senyawa trendiona
(Gambar 3) ditemukan pada jernang Medan, Jambi 3, Aceh 1, Jambi 4, dan Aceh
3. Senyawa 7-pentadekuna (Gambar 4) ditemukan pada jernang Aceh 1, Medan,
Aceh 2, dan Aceh 3. Senyawa 4-(4-etilsikloheksil)-1-pentilsikloheksena (Gambar
4) ditemukan pada jernang Aceh 1, Medan, Aceh 2, dan Aceh 3. Senyawa 3,4-
dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol (Gambar 5) ditemukan
11

pada hampir semua sampel jernang. Hal ini menunjukkan bahwa resin jernang
yang berasal dari pohon yang berbeda memiliki beberapa senyawa yang sama.

Tabel 11 Senyawa yang sering terdeteksi GCMS


Jernang
Senyawa Jambi Jambi Jambi Jambi Jambi Aceh Aceh Aceh
Medan
1 2 3 4 5 1 2 3
2,6,10,14-
Tetrametil- - - - - -
pentadekana
3,4-Dihidro-5-
metoksi-6-metil-2-
-
fenil-2H-1-
benzopiran-7-ol
4-(4-
Etilsikloheksil)-1- - - - - -
pentil-sikloheksena
7-Pentadekuna - - - - -
Asam linoleat - - -
Drakorhodin -
Trendiona - - - -

2,6,10,14-Tetrametilpentadekana
Gambar 2 Struktur 2,6,10,14-tetrametil-pentadekana

Asam linoleat
trendiona
Gambar 3 Struktur asam linoleat dan trendiona

7-pentadekuna 4-(4-etilsikloheksil)-1-
pentilsikloheksena
Gambar 4 Struktur 7-pentadekuna dan 4-(4-etilsikloheksil)-1-pentil-
sikloheksena
12

3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-
fenil-2H-1-benzopiran-7-ol drakorhodin
Gambar 5 Struktur 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-
ol dan drakorhodin

Senyawa drakorhodin juga ditemukan oleh Brockman dan Junge (1943),


Xia et al. (2005), dan Gupta et al. (2008). Pada penelitian sebelumnya juga
dilaporkan drakorhodin dan turunannya digunakan sebagai pigmen pewarna untuk
benda-benda seni dari abad ke-15 (Baumer dan Dietemann 2010). Menurut Melo
et al. (2007), drakorhodin merupakan turunan antosianin, yaitu warna alami dari
jernang. Senyawa 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol
sebenarnya juga muncul di semua jernang yang mengandung drakorhodin.
Namun, belum ada penelitian yang menyatakan senyawa ini sebagai senyawa
penciri jernang, maka dalam penelitian ini ditetapkan drakorhodin sebagai
senyawa penciri.
Resin D. draco terdiri atas drakoresinotanol, drakorubin, drakorhodin dan
asam abietat (Purwanto et al. 2005). Sifat medis beberapa resin jernang, terutama
jenis Daemoronops, berasal dari keberadaan asam benzoat, yang bersifat
antiseptik guna penyembuhan secara alami dalam beberapa kebudayaan modern
(Edwards et al. 2003). Drakorhodin merupakan komponen utama yang ditemukan
di dalam jernang D. draco. Senyawa flavilium alami ini memiliki potensi bahan
obat secara biologis dan aktivitas farmakologis seperti antimikrob, antivirus,
antitumor, dan aktivitas sitotoksik (Shi et al. 2009; Gupta D dan Gupta R 2011).
Senyawa drakorhodin merupakan senyawa kunci pigmen warna dari
jernang, yang dalam penelitian ini berhasil diidentifikasi pada hampir semua
sampel kecuali Aceh 2. Ada dugaan bahwa resin dalam jernang Aceh 2
mengandung pigmen lain yang juga berwarna merah. Hal itu berdasarkan hasil
deteksi dengan GCMS yang menunjukkan bahwa hampir semua senyawa pada
jernang Aceh 2 tidak terdeteksi pada jernang lainnya, kecuali senyawa 7-
pentadekuna, asam linoleat, 4-(4-etilsikloheksil)-1-pentilsikloheksena, dan asam
(E)-9-oktadekenoat. Sisanya 13 dari 17 senyawa tidak muncul pada sampel
jernang lainnya. Kadar tertinggi hasil identifikasi jernang Aceh 2 ialah senyawa 1-
metoksi-2-(2-metoksikarboniletil)-3,8-dimetildipirin-9-karbaldehida.
Kadar senyawa drakorhodin semua jenis jernang (Tabel 12) memperlihatkan
pola yang tidak konsisten pada setiap mutu kelas jernang. Ekstrak Jambi 4 yang
memiliki kualitas mutu super, memiliki kadar drakorhodin yang lebih rendah
daripada Jambi 1 dan Jambi 5 yang memiliki kualitas B dan A. Ekstrak sampel
Jambi 5 yang memiliki mutu A, mengandung drakohodin tertinggi dibandingkan
dengan semua sampel yang memiliki mutu super. Hal ini dapat membuktikan
bahwa tingginya kandungan resin pada jernang kemungkinan karena adanya
penambahan resin selain jernang. Hal tersebut terbukti karena tingginya kadar
13

resin suatu jernang tidak sebanding dengan kandungan senyawa drakorhodin


sebagai senyawa penciri pada jernang.

Tabel 12 Korelasi kadar drakorhodin dan 3,4-dihidro-5-metoksi-6-


metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol
Mutu Mutu 3,4-Dihidro-5-metoksi-6-metil-2-
Sampel Drakorhodin
SNI pedagang fenil-2H-1-benzopiran-7-ol
Aceh 2 B B - -
Aceh 1 B A 1.38 1.16
Medan B - 1.84 2.24
Jambi 4 Super Super 2.42 2.78
Jambi 1 B B 3.08 5.86
Jambi 2 Super Super 3.99 6.50
Jambi 3 Super Super 4.05 4.87
Aceh 3 - Super 5.83 5.15
Jambi 5 A A 6.54 2.86

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penentuan kelas mutu jernang berdasarkan parameter SNI bersifat fisis dan
subjektif. Tidak ada kecocokan 100% antara parameter SNI dan mutu jernang
menurut pedagang. Hal tersebut terbukti karena tidak adanya pola yang jelas di
setiap mutu serta korelasi antara satu kelas mutu dan kelas mutu lainnya. Salah
satu parameter SNI, yaitu kadar resin berkorelasi positif dengan mutu jernang.
Semakin tinggi kadar resin semakin tinggi pula mutu jernang. Hal tersebut
dibuktikan juga dengan korelasi absorbans sampel dengan kadar resinnya.
Semakin tinggi kadar resin jernang, semakin tinggi pula absorbansnya. Cara
ekstraksi resin yang baik ialah dengan maserasi dalam aseton pada suhu kamar.
Senyawa penciri yang dapat dijadikan parameter mutu jernang adalah
drakorhodin dan turunannya. Selain itu, hasil analisis kandungan senyawa dengan
GCMS dapat membuktikan kemurnian suatu jernang. Akan tetapi, tinggi
rendahnya kadar resin jernang tidak berkorelasi positif dengan kandungan
drakorhodin.

Saran

Analisis sampel jernang mengggunakan spektrofotometer UV-Vis pada


panjang gelombang 473.5 nm merupakan cara yang cepat dan sederhana untuk
menentukan parameter mutu jernang. Meskipun drakorhodin dapat dijadikan
sebagai senyawa penciri jernang sebagai parameter mutu SNI, perlu dilakukan
penelitian lanjutan pada setiap mutu agar diketahui batas-batas kadar drakorhodin
untuk setiap kelas mutu. Guna menetapkan kadar drakorhodin secara kuantitatif,
14

diperlukan senyawa murni sebagai senyawa standar. Selain itu, temuan dalam
penelitian ini masih perlu dimantapkan untuk mutu jernang dari seluruh
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Methods of


Analysis of AOAC International. AOAC 920.156 2005. Maryland (US): AOAC.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Methods of
Analysis of AOAC International. AOAC 950.46 (B) 2005. Maryland (US):
AOAC.
Baumer U, Dietemann P. 2010. Identification and differentiation of dragons
blood in works orf art using gas chromatography/mass spectrometry. Anal
Bioanal Chem. 397(3):1363-1376. doi: 10.1007/s00216-010-3620.
Brockman H, Junge H. 1943. Constitution of dracorhodin, a new pigment from
dragons blood. Berichte der Deutschen Chemiscen Gesellshaft. 76:751-763.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2001. Gondorukem. Standar Nasional
Indonesia 01-5009.12:2001. Jakarta (ID): BSN. hlm 1-10.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. Jernang. Standar Nasional Indonesia
1671-2010. Jakarta (ID): BSN. Hlm1-7.
Coppen JJW. 1995. Gum, Resin, and Latexes of Plant Origin: non Wood
Products. Roma (IT): FAO of The United Nations.
Edwards HGM, Oliveira LFC, Prendergast HDV. 2003. Raman spectroscopic
analysis of dragons blood resins-basis for distinguishing between Dracaena
(Convallariaceae), Daemonorops (Palmae) and Croton (Euphorbiaceae).
Analyst. 129(2):134-138.
Gafar PA. 2010. Performa teknologi dan mutu jernang produksi Indonesia. J Ris
Indust. 4(3):37-44.
Gonzales AG, Len F, Snchez-Pinto L, Padrn JI, Bermejo J. 2000. Phenolic
compound of dragons blood from Dracaena draco. J Nat Prod. 63(9):1297-
1299. doi: 10.1021/np000085h.
Grieve M. 2006. Dragons Blood [Internet]. [diunduh 2012 Mar 21]. Tersedia
pada: http//www.botanical.com/botanical/mgmh/d/dragon20.html.
Gupta D, Bleakley B, Gupta RK. 2008. Dragons blood: botany, chemistry, and
therapeutic uses. J Ethnopharmacol. 115(3):361-380.
Gupta D, Gupta RK. 2011. Bioprotective properties of dragons blood resin: in
vitro evaluating of antioxidant activity and antimicrobial activity. Gupta and
Gupta BMC Complementary and Alternative Medicine [internet]. [diunduh
2012 Des 20]; 11(13):1-9. Tersedia pada: http://www.biomedcentral.com/
1472-6882/11/13.
Melo JM, Sousa M, Parola AJ, Melo JSS, Catarino F, Marcalo J, Pina F. 2007.
Identification of 7,4-dihydroxy-5-methoxyflavylium in dragon's blood: To
be or not to be an anthocyanin. J Eur Chem. 13(5):1417-1422. doi:
10.1002/chem.200600837.
15

Piozzi F, Passannanti, Paternostro MP. 1974. Diterpenoid resin acids of


Daemonorops draco. J Phytochemistry. 13(10):2231-2233.
Purwanto Y, Polosakan Y, Susiarti S, Walujo EB. 2005. Ekstraktivisme jernang
(Daemonorops spp.) dan kemungkinan pengembangannya: studi kasus di
Jambi, Sumatra, Indonesia. Laporan Teknik Bidang Botani Puslitbang LIPI.
Bogor (ID): LIPI.
Puspitasari L. 2011. Pemanenan dan pengolahan buah rotan jernang
(Daemonorops draco (Wills.) Blume)dalam upaya peningkatan produksi serta
mutu jernang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rao GSR, Gerhart MA, Lee RT, Mitscher LA, Drake S. 1982. Antimicrobial
agents from higher plants: Dragons blood resin. J Nat Prod. 45(5):646-648.
doi: 10.1021/np50023a024
Shi J, Hu R, Lu Y, Sun C, Wu T. 2009. Single-step purification of dracorhodin
from dragons blood resin of Daemonorops draco using high-speed counter-
current chromatography combined with pH modulation. J Sep Sci. 32(23-
24):4040-4047. doi: 10.1002/jssc.200900392.
Sumadiwangsa S. 1973. Klasifikasi dan sifat beberapa hasil hutan bukan kayu.
Laporan No. 28 Departemen Pertanian. Bogor: Direktorat Jenderal Kehutanan.
Sumadiwangsa S. 2000. Usulan Kerja Peneliti (UKP). Bogor (ID): Pusat Litbang
Hasil Hutan. Tidak diterbitkan.
Suwardi SE, Zulnely, Yusnita E. 2003. Peningkatan efisiensi dan teknik isolasi
jernang. Laporan Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Bogor (ID): Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan
Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan. hlm 1-12.
Waluyo TK. 2008. Teknik ekstraksi tradisional dan analisis sifat-sifat jernang asal
Jambi. JPHH. 26(1):30-40.
Winarni I, Waluyo TK, Hastoeti P. 2005. Sekilas tentang jernang sebagai
komoditi yang layak dikembangkan. Di dalam: Penguatan Industri Kehutanan
Melalui Peningkatan Efisiensi, Mutu, dan Diversifikasi Produk Hasil Hutan.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 14 Desember
2004. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. hlm 173-
177.
Xia M, Wang D, Wang M, Tashiro S, Onodera S, Minami M, Ikejima T. 2005.
Dracorhodin perchlorate induces apoptosis via actrivation of caspases and
generation of reactive oxygen species. J Pharm Sci. 95(2): 273-283.
16

16
Lampiran 1 Rekapitulasi sifat fisis-kimia jernang

Kadar resin Kadar air Kadar abu Kadar Titik leleh Mutu menurut
Sampel Warna Abs SNI
(%) (%) (%) pengotor (%) (C) pedagang
Jambi 1 37.01 17.00 6.08 55.16 - Merah pudar 0.23 B B
Jambi 2 99.56 9.33 0.83 12.64 71-73 Merah tua 0.72 Super Super
Jambi 3 95.23 4.67 0.67 9.75 82-91 Merah tua 0.54 Super Super
Jambi 4 92.60 12.67 2.73 20.09 80-83 Merah tua 0.50 Super Super
Jambi 5 61.42 9.00 4.52 38.09 81-84 Merah muda 0.43 A A
Aceh 1 8.11 11.59 9.48 89.59 - Merah tua 0.13 B A
Aceh 2 81.67 2.29 0.73 76.67 - Merah pudar 0.26 B B
Medan 50.9 4.53 8.21 57.82 75-80 Merah muda 0.20 B -

Keterangan : W1 : Bobot sampel awal (g) Keterangan: W1 : bobot kertas dan sampel dikeringkan
W2: Bobot sampel kering (g) W2 : bobot kertas
W : bobot sampel

Keterangan : a: bobot sampel (g)


b: bobot cawan kosong (g)
c: bobot cawan dan abu (g)

Keterangan: W1: bobot vial dan isinya (g)


W2: bobot vial kosong (g)
W : bobot sampel (g)
Lampiran 2 Senyawa dan kadarnya dalam berbagai mutu jernang berdasarkan analisis GCMS

Jenis Jernang
Rt
Senyawa Jambi Jambi Jambi Jambi Jambi Aceh Aceh Aceh Medan Jumlah Senyawa
(menit)
1 2 3 4 5 1 2 3 yang sama
(+)-spatulenol 8.235 0.05 1
(3a-,4,8a-)-(+)-3,3a,4,5,8,8a-Heksahidro-3a,4- 14.820 1.65 1.79 1.58 3
dihidroksi-8a-metil-7-(4-metilfenil)-1-(2H)-
azulenona
(4a-,7,8a-)-oktahidro-4a-metil-7-(1-metiletil)- 10.458 0.01 1
2(1H)-naftalenon
(E)- dan (Z)-15-n-Propil-7,13-labdadiena dan (E)- 10.643 0.01 1
dan (Z)-15-n-propil-8,13-labdadiena
(E)-9-Asam oktadekenoat 11.767 0.10 1.87 2
(R)-(-)-14-Metil-8-heksadekun-1-ol 13.243 0.32 1
(Z)-9,17-Oktadekadienal 13.629 1.50 0.09 2
[1aR-(1a- ,7- ,7a- ,7b- )]-1a,2,3,5,6,7,7a,7b- 7.229 0.01 1
Oktahidro-1,1,4,7-tetrametil-1H-sikloprop[e]azulena
[1S-(1, 2, 4)]-1-etenil-1-metil-2,4-bis(1- 6.725 0.01 1
metiletenil)sikloheksana
1,3-Difenilisobenzofuran 12.916 0.13 1
1,8-Dihidroksi-3-metoksi-6-metilantrakuinon 13.855 0.74 1
10,10-Dimetil-6-metilen-1-oksa-2- 13.688 0.43 1
fenilspiro(4.5)dekana
1-Metoksi-2-(2-metoksikarboniletil)-3,8- 16.188 23.15 1
dimetildipirin-9-karbaldehida
2,6,10,14-Tetrametilpentadekana 15.424 1.36 1.20 1.03 1.17 4
17

17
18

18
lanjutan lampiran 2

2-[(E)-4-Kloro-3-metil-2-butenil]-1,4-dimetoksi-6- 14.015 1.75 2.01 2


metilbenzena
2-Hidroksisiklopentadekanon 11.473 0.09 1
2-Metil-3-(3-metilbut-2-il)-2-(4-metil-pent-3-eil)- 11.557 0.02 1
oksetana
2-Metoksi-5-(2',3'-dimetoksifenil)siklohepta-2,4,6- 15.517 3.98 1
trien-1-on
2-Monooleilgliserol 13.369 0.57 1
2-Oktil-siklopropaneoktanal 12.631 0.18 1
3,4-Dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H-1- 13.520 11.26 6.53 5.10 2.84 7.19 5.30 5.19 3.71 8
benzopiran-7-ol
4-(4-Etilsikloheksil)-1-pentilsikloheksena 14.099 0.01 1.18 0.24 1.18 4
4a,8-Dimetil-2-isopropilperhidronaftalena 12.622 0.07 1
4-Dehidroksi-N-(4,5-metilenadioksi-2- 25.725 1.29 1
nitrobenzilidena)tiramina
4-Hidroksi-3,3',4-trimetoksistilbena 14.913 3.16 1
4-Vinil-2-metoksifenol 6.038 0.09 1
5-Metoksi-4-metil-1,3-benzenadiol 8.638 0.03 1
7-Pentadekuna 12.983 0.09 0.63 1.01 1.06 4
9,10-Dideutero asam oktadekanoat 14.904 1.56 1.83 2
9,10-Dihidro-9,10,11-trimetil-9,10-metanoantrasena- 19.032 0.28 1
11-ol
9,12-Oktadekadien-1-ol 14.787 3.78 1
3-(Dodekenil)-dihidro-2,5-furandiona 12.849 0.22 1
Aromadendrena 11.028 0.01 1
Asam 4-metoksi-6-metil-2-(3',5'- 17.236 0.84 1
dimetoksibenzil)benzoat
Asam 9-oktadekenoat 11.742 0.77 1
lanjutan lampiran 2

Asam-(1)-heptadekena-(8)-karbonat 12.245 0.07 1


Asam linoleat 13.168 0.04 0.70 1.19 0.80 0.56 5
Asam linoleat etil ester 11.784 0.05 1
Asam metil ester 16-oktadekenoat 11.465 0.13 1
Asam metil ester (E)-8-oktadekenoat 11.465 0.06 1
Asam n-heksadekanoat 10.651 0.08 1
Dekahidro-1,4a-dimetil-7-(1-metiletil)-[1S- 12.362 0.21 0.02 2
(1,4a-,7,8a-)]-naftalena
Dekahidro-3,3,4,7a-tetrametil-1H- 10.441 0.01 0.01 2
siklopenta[a]pentalen-7-ol
Diepisedrena-1-oksida 12.128 0.01 1
Dietil ftalat 8.034 0.10 0.03 0.04 0.10 4
Drakorhodin 15.785 5.93 4.03 4.24 2.47 3.14 6.29 5.87 3.05 8
Isopiperitenon 7.053 0.03 1
Koiganal II 10.139 0.01 1
Metil ester asam palmitat 10.332 0.05 0.03 0.02 3
Olealdehida 12.631 0.41 1
p-Vinilguaiakol 5.794 0.23 1
Trendiona 14.267 4.50 3.10 5.23 4.38 3.71 5
Trifenil fosfat 13.269 0.08 1
Vianol 7.313 0.02 0.01 2
Viridiflorena 10.416 0.01 0.02 2
-Amorfena 7.170 0.02 1
-Kopaena 6.255 0.07 1
-Kubebena 5.995 0.01 1
-Kadinena 7.480 0.01 1
19

19
20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1989 dari Ayah Candri
Rusja dan Ibu Munisah (Almh). Penulis merupakan anak kelima dari lima
bersaudara. Penulis menyelesaikan studi di SMAN 55 Jakarta pada tahun 2007.
Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
SNMPTN pada Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti masa perkuliahan penulis pernah aktif dalam organisasi
kemahasiswaan Ikatan Mahasiswa Kimia (Imasika) pada tahun 20102011, Bina
Desa BEM KM IPB 20092010, dan Agrifarma IPB pada tahun 2009. Penulis
merupakan salah satu penyusun dari 2 karya tulis yang didanai oleh Dikti dalam
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2012 yang berjudul Isolasi
dan identifikasi proanthocyanidin ekstrak biji anggur (Vitis vinifera) berpotensi
antioksidan dan Rekayasa proses produksi selulosa asetat dari limbah kulit
nanas menggunakan Acetobacter xylinum sebagai bahan baku plastik ramah
lingkungan. Judul PKM kedua berhasil lolos dan dipresentasikan di Pimnas ke-
25 tahun 2012 yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain itu, penulis pernah mengajar di Bimbel Quantum Bogor pada tahun
2009-2012, dan pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia TPB pada
tahun 2011-2012, mata kuliah Kimia Organik Layanan pada tahun 2011-2012,
Praktikum Kimia Organik Berbasis Kompetensi pada tahun 2012, dan mata kuliah
Kimia Pangan D3 Analisis Kimia pada tahun 2012. Penulis juga berkesempatan
menjalani praktik lapangan (PL) di PT Cisadane Raya Chemicals, Tangerang
dengan judul laporan Fraksinasi Crude Palm Oil Menjadi Fraksi Olein dan Fraksi
Stearin.

Anda mungkin juga menyukai