Anda di halaman 1dari 11

KRIKOTIROTOMI EMERGENSI YANG DILAKUKAN OLEH PERSONIL MEDIS

YANG AWAM DALAM BEDAH SALURAN NAFAS


SEBUAH PENELITIAN RANDOMISASI CROSSOVER PADA KADAVER DENGAN
MEMBANDINGKAN TIGA TEKNIK YANG SERING DIGUNAKAN

ABSTRAK
Latar belakang: Ketika pendekatan konvensional gagal mencapai ventilasi efektif dan
mengembalikan pernapasan spontan secara efektif, bedah saluran napas jadi opsi
penyelamatan terakhir. Sebagian besar dokter memiliki pengalaman yang terbatas dalam
melakukan krikotomi sepanjang hidupnya, dan belum jelas metode apa yang harus diajarkan
untuk prosedur penyelamat nyawa ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan
kemampuan personil medis, awam dengan teknik bedah saluran napas, dalam melakukan
bedah saluran napas emergensi pada kadaver dengan menggunakan teknik krikotomi yang
sering digunakan.
Metode: Dua puluh mahasiswa, tanpa pengetahuan teknik bedah saluran napas sebelumnya,
dipilih secara acak dari kelas mereka. Setelah pelatihan, mereka melakukan krikotomi dengan
tiga teknik (bedah, Melker, dan QuickTrach II) dengan urutan acak pada 60 kadaver yang
biometriknya sebanding. Waktu menyelesaikan prosedur, angka keberhasilan, dan jumlah
komplikasi dicatat dengan seksama. Keberhasilan didefinisikan sebagai menempatkan kanula
dengan tepat didalam trakea dalam waktu 3 menit.
Hasil: Angka keberhasilan masing-masing 95, 55, dan 50% untuk krikotomi bedah,
QuickTrach, dan Melker (P = 0,025). Mayoritas kegagalan disebabkan oleh kesalahan dalam
menempatkan kanula (15 dari 20). Untuk prosedur yang berhasil, rata-rata waktu prosedurnya
94+35 detik di grup bedah, 77+34 di grup QuickTrach II, dan 149+24 di grup Melker P <
0,001). Komplikasi yang dijumpai pada prosedur yang berhasil tidak terlalu signifikan. Tidak
ada parameter biometrik kadaver yang berkorelasi dengan keberhasilan prosedur.
Kesimpulan: Personil medis yang awam bedah saluran napas melakukan krikotomi
emergensi dengan lebih efisien dan aman dengan prosedur bedah daripada dengan dua teknik
yang sering digunakan lainnya.
Apa Yang Sudah Kita Ketahui Tentang Topik Ini
Krikotirotomi emergensi direkomendasikan pada banyak pedoman manajemen
saluran napas ketika terjasi situasi tidak dapat diventilasi, tidak dapat diintubasi
Apakah krikotirotomi sebaiknya dilakukan secara bedah atau nonbedah masih
menjadi topik hangat

Apa Hal Baru Yang Diberitahu Artikel Ini


Penelitian randomisasi crossover prospektif ini membandingkan angka keberhasilan
dan komplikasi dari tiga teknik krikotirotomi berbeda yang dilakukan oleh 20 personil
media yang awam tentang bedah saluran napas pada 60 kadaver

Setiap dokter atau petugas layanan kesehatan mungkin saja menghadapi situasi emergensi
pasien yang terganggu saluran napasnya. Meskipun intubasi adalah manajemen saluran napas
standar, ada kalanya tindakan ini mustahil dilakukan, menyebabkan munculnya situasi mimpi
buruk tidka bisa diintubasi, tidak bisa ventilasi.1-4 Meskipun sejumlah alat intubasi oral
telah dikembangkan selama dua dekade terakhir, beberapa pasien tetap memerlukan akses
saluran napas melalui leher anterioryang disebut dengan bedah saluran napas.
Trakheotomi membuka akses ke saluran napas trakhea dibawah kartilago krikoid dan
dianggap sebagai prosedur yang lebih invasif dan lebih lama, biasanya dilakukan oleh dokter
bedah.5 Di situasi emergensi yang sesungguhnya, akses saluran napas sebaiknya dibuat
melalui area jaringan dan pembuluh darah dalam jumlah sedikit antara leher anterior dan
saluran napas. Secara anatomis, area yang paling disukai adalah ligamen krikotiroid,6 dan
prosedurnya disebut krikotirotomi.
Untuk alasan organisasional dan etika yang jelas, belum ada penelitian prospektif
yang membandingkan teknik krikotomi emergensi pada pasien hidup, dan sepertinya
penelitian tersebut hampir tidak mungkin dilakukan. Sebuah meta-analisis mengenai teknik
akses saluran napas diluar rumah sakit pada pasien merupakan penelitian terpublikasi dengan
kualitas yang rendah tetapi menyimpulkan bahwa krikotomi bedah berhubungan dengan
angka keberhasilan 90%, sedangkan krikotomi nonbedah memiliki angka keberhasilan yang
lebih rendah (65%).7 Penelitian tentang krikotomi pada kadaver manusia masih langka,8-13
dengan menggunakan kanula berbagai ukuran,9,12 dikerjakan oleh sekelompok dokter
khusus,9,12,13 atau dikerjakan oleh dokter yang bereksperimen.10,13 Selain itu, sebagian besar
penelitian tidak menentukan batas waktu untuk mempertimbangkan keberhasilan prosedur
yang dilakukan.14 Meskipun demikian, sepertinya teknik yang angka keberhasilannya tinggi
adalah teknik bedah,8 Melker,9,10,12, dan QuickTrach, dan ketiganya dipilih untuk penelitian
ini.
Aspek yang berkaitan dengan krikotomi emergensi yaitu, berkebalikan dengan
mayoritas prosedur bedah, tindakan ini tidak bisa diajarkan di situasi sesungguhnya: sebagian
besar mahasiswa kedokteran mendapatkan pelajaran teori tanpa praktik apapun; prosedur
jarang dikerjakan pada binatang (meskipun perbedaan anatomi membuat praktik ini jarang
berhasil15); dan terkecuali untuk program yang disediakan oleh pelatihan kadaver tunggal.
Belum jelas apakah program pelatihan, fakultas kedokteran, paramedis, atau angkatan darat
menyediakan pelatihan berulang untuk melakukan prosedur pada beberapa kadaver.16 Untuk
prosedur yang ditujukan untuk penyelamatan nyawa, sangat rentan terjadi penyimpangan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efisiensi dan keamanan tiga teknik yang
sering digunakan untuk krikotomiteknik Melker, teknik QuickTrach II, dan teknik bedah
ketika dilakukan pada kadaver oleh personil medis yang awam bedah saluran napas.

ALAT DAN METODE


Guna menilai praktik kedokteran saat ini dimana krikotirotom jarang sekali dilakukan,
subyek yang digunakan adalah mahasiswa kedokteran yang tidak memiliki pengetahuan
sebelumnya tentang bedah saluran napas. Subyek melakukan tiga teknik krikotirotomi dalam
urutan acak, dan oleh sebab itu penelitian ini bisa dianggap sebagai sebuah penelitian
randomisasi crossover. Bagan Consolidated Standards of Reporting Trials (gambar 1) dan
checklist (tambahan) ditelaah.

Subyek
Dengan tujuan untuk mengeksklusikan preferensi subyektif terkait dengan praktik pribadi,
dan juga pengalaman sebelumnya tentang saluran napas, kami memutuskan untuk merekrut
mahasiswa kedokteran dengan pengetahuan anatomi yang cukup tetapi tanpa pengalaman
bedah atau medis sebelumnya. Mahasiswa kedokteran tahun keempat (dari 6 tahun) dari
Universitas Graz (Graz, Austria) dipilih secara acak dari semua mahasiswa di kelas. Tidak
ada informasi yang diberikan mengenai eksperimen prosedur terkait saluran napas
sebelumnya. Beberapa menolak untuk berpartisipasi dan beberapa tidak dapat hadir pada hari
eksperimen (gambar 1). Semuanya hadir pada hari eksperimen dan tidak ada yang keluar.
Pelatihan
Pertama-tama subyek diberikan presentasi verbal dengan bantuan visual sekitar 80 menit.
Presentasi menjelaskan tujuan penelitian, mengulas anatomi yang relevan, dan mencontohkan
masing-masing teknik dengan skema, gambar, dan video. Masing-masing teknik
krikotirotomi diperbolehkan dengan kisaran waktu yang sama dalam presentasi skeitar 20
menit. Setelah tanya jawab, salah satu penulis mencontohkan prosedur individual pada tiga
grup subyek yang lebih kecil dan masing-masing subyek diperbolehkan untuk menyentuh,
melakukan, dan bertanya mengenai aspek apapun tentang teknik dan prosedur. Keseluruhan
proses memakan waktu sekitar 2 jam.

Teknih Bedah
Teknik Melker (Cook Medical, USA), berdasarkan teknik Seldinger yang populer,
dilakukan dengan urutan berikut: (1) insisi pada kulit; (2) tusukan jarum pada ligamen
krikotrakhea; (3) lokalisasi saluran napas dengan mengaspirasi gelembung udara dalam
suntikan terisi air; (4) menempatkan kawat pemandu melalui jarum kedalam trakhea; (5)
mencabut suntikan; (6) melebarkan jalan dengan kateter yang ditaruh pada kawat pemandu;
(7) memasukkan kanula ventilasi kedalam trakhea. Ujung dilator yang berbentuk kerucut
disesuaikan dengan lubang kanula dengan tujuan untuk membuka jalan melalui jaringan
dengan membuat ujung tepinya kaku selain untuk mencegah cedera dengan menumpulkan
tepu kanula yang relatif tajam.
Alat QuickTrach (VBM, Medizintechnik GmbH, Jerman) terbuat dari jarum inseri
mirip trokar solid yang diatasnya ditaruh kanula ventilasi. Keseluruhan sistem dimasukkan
bersamaan dalam satu gerakan ke dalam lumen trakhea, diikuti dengan pencabutan jarum,
meninggalkan kanula di tempat definitifnya. QuickTrach II merupakan evolusi dari model
terdahulu dengan menyertakan kanula bersungkup dan bagian pelindung untuk mencegah
masuknya jarum terlalu dalam dan melukai dinding trakhea posterior. Instruksi penggunaan
QuickTrach II mengkhususkan bahwa tidak diperlukan adanya insisi kulit sebelum
memasukkan, karena ujung pemotong yang sangat tajam dan trokar berbentuk kerucut lancip.
Teknik bedah terdiri dari insisi kulit vertikal dan jaringan subkutan. Ligamen
krikotiroid kemudian diraba dengan jari pada luka ini, dan dilakukan insisi horizontal pad
aligamen krikotiroid. Jika ligamen krikotiroid dapat dengan mudah diraba lewat kulit yang
intak, diperbolehkan melakukan insisi horizontal transfixing tunggal. Ujung jari masuk
kedalam lumen trakhea untuk melebarkan, memperkirakan ukuran jalan, dan membantu
menempatkan kait kedalam lumen trakhea. Kait digunakan untuk menangkap dan menarik
kartilagi krikoid ke anterior dan inferior. Kanula bersungkup Shiley 4-LPC (Covidien, USA)
kemudian dimasukkan kedalam lumen trakhea, dilanjutkan dengan menarik kait. Instrumen
bedah yang tersedia untuk penelitian hanya sebatas skalpel, sebuah kait, dan kanula.
Palpasi di tempat-tempat penting seperti tonjolan superior laring (apel Adam),
kartilago krikoid, dan ligamen krikotiroid perlu dilakukan sebelum memulai prosedur. Untuk
masing-masing teknik, subyek diajarkan untuk menjaga kepala kadaver pada posisi
hiperekstensi dengan satu tangan setidaknya saat langkah kritis prosedur.

Kanula
Untuk menghindari bias dari penelitian sebelumnya,9 digunakan kanula dengan ukuran yang
relatis sama: diameter luarnya 9,4 mm untuk Shiley 4-LPC (teknik bedah), 8,2 mm untuk
kanula pada teknik Melker, dan 7,6 mm untuk kanula QuickTrach. Kanula bersungkup dipilih
karena kemampuannya alat yang tak bersungkup kurang optimal untuk obstruksi saluran
napas.17 Pencocokan ukuran kanula yang lebih baik mungkin saja dilakukan tanpa merubah
perangkat alat yang ada, sehingga memunculkan masalah etodologi lain, seperti
mencocokkan jarum, dilator, dan ujung trokar ke kanula.
Persiapan Kadaver
Enam puluh kadaver manusia dengan kepala, leher, dan torso intak dipilih secara acak oleh
salah satu penulis (Dr. Feigl). Semua kadaver didonasikan ke Institute of Anatomy di
Medical University Graz dengan persetujuan Anatomical Donation Program dan diawetkan
dengan metode Thiel. Metode pengawetan ini membuatnya seperti kondisi hidup dan
prakondisi yang optimal untuk tujuan investigasi dari penelitian ini.19,20
Untuk masing-masing kadaver, dilakukan penilaian praoperasi berikut: lingkar leher
di tingkat kartilago krikoid, jarak sternomental, jarak tiromental, dan juga kemungkinan
untuk mempalpasi ligamen krikotiroid. Berdasarkan lingkar leher, kadaver dibagi menjadi
dua grup: besar dan kurus. Masing-masing kadaver hanya dipakai sekali, sehingga masing-
masing prosedur dilakukan pada leher yang intak. Masing-masing subyek mendapat tiga
kadaver dari grup yang memiliki lingkar leher yang sama.

Randomisasi
Randomisasi diproses secara terpisah pada masing-masing grup kadaver (30 kadaver dibagi
menjadi besar dan kurus). Subyek juga dipilih secara acak untuk masuk ke salah satu grup
kadaver. Kemudian, masing-masing kadaver dipilih secara acak untuk dilakukan satu
prosedur; yang terakhir, urutan eksekusi tiga teknik berbeda per subyek juga dipilih secara
acak. Prosedur randomisasi dilakukan dengan randomisasi online
(http://www.randomization.com) oleh salah satu penulis (Dr. Graber).
Prosedur randomisasi dibagi menjadi 20 penanda S1 sampai S10 (untuk kadaver
kecil) dan B1 sampai B10 (untuk kadaver besar). Penanda tersebut ditulis pada kertas, yang
dilipat dan ditaruh pada wadah buram. Sebelum memulai eksperimen, masing-masing subyek
mengambil satu kartu. Untuk masing-masing penanda, nomor dan urutan kadaver sudah
ditentukan, dan juga urutan prosedur. Identitas kadaver untuk masing-masing dari tiga sesi
dirahasiakan sampai dimulainya prosedur, ketika masing-masing subyek diarahkan ke
kadaver yang dimaksud.

Variabel Hasil
Keberhasilan prosedur didefinisikan dengan ujung kanula bisa masuk ke lumen trakhea
dalam waktu 3 menit. Waktu untuk melakukan prosedur dihitung dengan menggunakan
stopwatch dari membuka penutup kepala, leher, dan torso hingga selesai memasukkan kanula
oleh masing-masing subyek. Stopwatch dimulai dan dihentikan oleh subyek. Batas waktu 3
menit sudah paten karena dengan pertimbangan tentang durasi maksimal sebelum terjadinya
lesi hipoksia, selama tidak dilakukannya ventilasi, dan karena penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa krikotirotomi jangan terlalu lama.10 Faktor stress ditambahkan dengan
memberi subyek waktu di setiap menitnya.9 Subyek diperbolehkan untuk melanjutkan
prosedur hingga 6 menit, yang mana pada titik tersebut mereka akan diminta untuk berhenti
dengan alasan organisasional.
Di akhir prosedur, posisi kanula yang benar didalam trakhea dinilai dengan
pemeriksaan fiber optik dengan sebuah endoskopi fleksibel yang dimasukkan melalui lumen
kanula. Pada kasus yang sedikit meragukan, dilakukan laringoskopi langsung dengan pisau
intubasi dan dibarengi pemeriksaan subglotis endoskopik. Jika gagal dalma hal durasi dan
salah penempatan, kegagalan dalam menempatkan yang dihitung.
Kanula krikotomi kemudian dicabut dan luka, trakhea, dan laring diperiksa lebih
lanjut untuk kemungkinan lesi dan salah jalan dengan menggunakan endoskopi fleksibel dan
kaku. Yang terakhir, palpasi laring digunakan untuk mengevaluasi fraktur kartilagi yang
mungkin masih belum terdeteksi. Pada kasus yang meragukan, insisi leher diperluas dan
laring didiseksi.
Evaluasi komplikasi dilakukan dua penulis (Drs. Heymans dan Dulguerov), tanpa
pengetahuan sebelumnya mengenai teknik krikotirotomi yang digunakan, meskipun
perbedaan kanula yang dipakai dimaksudkan untuk memudahkan dalam mempelajari jenis
teknik krikotirotomi, dan oleh sebab itu tidak dpapat diklaim adanya pembutaan yang nyata
untuk evaluasi hasil.
Keseluruhan prosedur eksperimen dari ketiga prosedur krikotirotomi dan evaluasinya
memakan waktu 1 jam dan dilakukan di fasilitas diseksi di Departemen Anatomi, Universitas
Graz. Hasil dibiarkan apa adanya dan tidak diubah selama atau setelah eksperimen.

Kuesioner Preferensi
Setelah presentasi teknik bedah dan setelah menyelesaikan eksperimen, subyek mengisi
sebuah kuesioner yang berisi preferensi subyektif dari masing-masing teknik dan
kepercayaan diri mereka dalam melakukan prosedur di situasi yang sesungguhnya.

Analisis Statistik
Kami memakai angka keberhasilan krikotirotomi untuk menghitung ukuran sampel. Karena
tidak tersedianya taksiran angka keberhasilan untuk krikotirotomi emergensi dengan bedah
saluran napas oleh subyek awam, digunakan perbedaan angka keberhasilan krikotirotomi dari
teknik akses saluran napas pada pasien diluar rumah sakit yang telah terpublikasi7, dengan
taksiran konservatif perbedaan 20%. Untuk error 0,05 dan kekuatan 80%, didapatkan
ukuran sampel 15 orang per grup dengan menggunakan G*Power (Heinrich-Heine-
Universitat Dusseldorfhttp://www.gpower.hhu.de/)21 untuk perbandingan proporsi
multigrup dengan menggunakan statistik 2. Ukuran sampel dinaikkan menjadi 20 orang per
grup dengan alasan potensi pengunduran diri dan tidak menyelesaikan eksperimen.
Karakteristik kadaver dibandingkan dengan menggunakna uji t Student untuk variabel
kontinyu dan Pearson chi-square untuk variabel kategorik. Waktu prosedur antar teknik
dibandingkan untuk perbedaan signifikan dengann persamaan penaksiran generalisasi (GEE)
dengan identity link, sebuah matriks korelasi yang bisa ditukar, dan penaksir yang kuat untuk
menghadapi fakta bahwa waktu prosedur kemungkinan bergeser ke kanan. Model ini
digunakan untuk nonindependensi data dikarenakan adanya fakta bahwa masing-masing
subyek bekerja pada tiga kadaver. Proporsi keberhasilan antar teknik juga dibandingkan
dengan menggunakan persamaan penaksiran generalisasi tetapi dengan logit link. Karena
teknik dan urutan eksekusi dirandomisasi, semua model hanya memasukkan teknik sebagai
prediktor (tanpa penyesuaian). Nilai P untuk perbedaan signifikan diatuar pada 0,05 dan
memakai uji bilateral. Analisis dikerjakan dengan paket perangkat lunak IBM SPSS versi 22
(International Bussines Machines Corporation, USA).
HASIL
20 subyek yang berpartisipasi dalam penelitian (10 pria dan 10 wanita) berusia antara 22 dan
28 tahun (rata-rata usia 24,6 tahun). Mereka direkrut pada Desember 2013 dan tidak ada yang
hilang atau dieksklusikan setelah randomisasi; tidak ada masalah follow-up yang dihadapi
sejak eksperimen dilaksanakan dalam satu hari.
Data biometrik kadaver terangkum di tabel 1 dan perbedaan antar grup krikotirotomi
tidak signifikan. Leher dengan perimeter antara 28 dah 34,9 cm membentuk grup pertama
dengan sebutan leher kurus dan yang lainnya, antara 35 dan 48 cm, membentuk grup leher
besar. Ligamen krikotiroid mudha dipalpasi pada 51 kadaver, sulit dinilai pada 5 kadaver,
dan tak dapat dipalpasi pada 4 kadaver.
Sembilan puluh lima persen (19 dari 20) teknik bedah berhasil dilakukan,
dibandingkan dengan 55% (11 dari 20) untuk grup QuickTrach II dan 50% (10 dari 20) untuk
grup Melker (P = 0,025). Mayoritas kegagalan disebbakan oleh salah menempatkan kanula
dan bukannya waktu, kecuali untuk teknik Melker (tabel 2). Pada prosedur yang berhasil,
rata-rata waktu prosedur adalah 94+35 detik di grup bedah, 77+34 detik di grup QuickTrach
II, dan 149+24 detik di grup Melker (gambar 2).
Pada grup yang berhasil, hanya terjadi satu komplikasi di grup bedah dan Melker:
dinding trakhea posterior superfisial terluka; di grup QuickTrachII, dijumpai tiga luka
superfisial pada dinding trakhea posterior, sedangkan pada satu kasus, dijumpai perforasi
esofagus. Kegagalan terjadi akrena kanula ditempatkan diluar trakhea: satu kanula di grup
bedah dimasukkan kedalam esofagus; di grup QuickTrach II, empat kanula masuk ke
jaringan lunak pretrakhea, dua di esofagus, dan satu masuk laring kedalam laring supraglotis;
di grup Melker, tiga kanula masuk ke jairngan lunak pretrakhea: satu di esofagus dan dua
masuk laring kedalam laring supraglotis.
Empat ligamen krikotiroid tidak terpalpasi: tiga di grup bedah dan satu di grup
QuickTrach II. Dari tiga yang masuk di grup bedah, semua prosedur berhasil dilakukan,
sedangkan satu dari grup QuickTrach II mengalami kegagalan karena salah jalan di jaringan
pretrakhea. Tidak ada perbedaan yang signifikan untuk angka keberhasilan antara grup leher
kurus dan leher besar berdasarkan teknik krikotirotomi dan juga tidak ada pengukuran
leher apapun yang berkorelasi dengan keberhasilan krikotirotomi.
Meskipun preferensi pretest (tabel 3) sepertinya terbagi antara QuickTrach II dan
teknik bedah, mayoritas preferensi posttest lebih menyukai teknik bedah (P < 0,001).

PEMBAHASAN
Situasi tidak dapat diintubasi, tidak dapat diventilasi sepertinya terjadi pada 1 dari 25.000
prosedur bedah elektif2 dan 1 dari 150 intubasi emergensi.4 Karena perbaikan algoritma
manajemen saluran napas, alat intubasi, dan blokade neuromuskuler, kebutuhan untuk bedah
saluran napas semakin menurun,22 sehingga memunculkan pertanyaan untuk pelatihan yang
sesuai, bahkan untuk dokter IGD.23 Survey terbaru dari residen IGD yang sudah lulus
menemukan bahwa hanya 22% yang pernah melakukan krikotirotomi pada pasien.24
Meskipun angka keberhasilan personil yang sangat terlatih untuk krikotirotomi masih
tinggi (diatas 90%),25 pertanyaan pentingnya adalah bagaimana dan apa yang harus diajarkan
kepada mayoritas dokter. Satu-satunya penelitian kadaver dengan desain yang mirip dengan
punya kami dengan subyeknya adalah personil medis yang tak berpengalaman, membuktikan
bahwa teknik krikotirotomi dilakukan dengan lebih baik daripada teknik perkutaneus.8
Kemungkinan, teknik bedah lebih mudah diadaptasi dan dimaklumi karena 70% dokter
anestesi terlatih juga mengalami kesulitan dalam menunjuk tempat yang tepat untuk tusukan
krikotirotomi perkutaneus.26
Keengganan untuk menggunakan skalpel harus dilampaui. Berbagai teknik krikotomi
telah dikembangkan karena beberapa meyakini bahwa teknik ini kurang invasif dan lebih
mudah diakses oleh dokter nonbedah. Pada mahasiswa kedokteran yang tidak terlatih,
kemampuan dalam melakukan teknik tersebut inferior terhadap teknik bedah. Karena
kurangnya kemampuan dalam melakukan krikotirotomi oleh mayoritas dokter, kami
meyakini bahwa penelitian kami hampir menyerupai pengetahuan dan kompetensi dari
mayoritas personil medis. Oleh sebab itu, kami merekomendasikan bahwa teknik krikotomi
perkutaneus harus diganti dengan skalpel atau teknik krikotomi bedah.
Meskipun teknik yang menggunakan perangkat komersial seperti Melker dan
QuickTrach sepertinya terstandarisasi, masih ada variasi seperti apa tepatnya teknik bedah
itu.27 Setelah palpasi kulit yang intak pada struktur yang relevan (langkah 1), perlu dilakukan
insisi kulit garis tengah vertikal (langkah 2) karena cara ini dapat diperluas ke atas atau
kebawah jika penempatan tidak tepat dan karena pembuluh darah di garis tengah sedikit. 6
Meskipun jarang disarankan, kami merekomendasikan palpasi jari lewat jaringan subkutan
(langkah 3) dan bahkan di trakhea sebagai panduan, sebagai disektor, dan sebagai dilator;
palpasi jari bisa mendeteksi perdarahan dan memandu ke arah ligamen dengan lebih baik,
menjadi mata dokter bedah selama krikotirotomi.28 Insisi horizontal pada aspek bawah
ligamen krikotrakhea6 (langkah 4) bertujuan untuk melepaskan tekanan dan membantu dalam
membuka. Kait membantu menjaga kulit dan trakhea tetap terbuka. Traksi kaudal (langkah 5)
direkomendasikan karena kartilago krikoid lebih resisten dan bertujuan untuk mencegah
cedera laring. Kami tidak memakai dilator, forsep, atau retraktor selama eksperimen ini.
Yang terakhir, kanula bersungkup dimasukkan (langkah 6). Berbagai nama yang digunakan
di literatur seringkali sesuai dengan besarnya perbedaan langkah-langkah tindakan dan
bukannya variasi aktual, seperti pada teknik empat langkah cepat29 atau teknik tiga
langkah.30 Kemungkinan, pendekatan yang terstandarisasi dan kait yang lebih lebar dapat
mengurangi waktu prosedur.31
Beberapa kelemahan dari penelitian ini bisa diperkirakan. Pertama, meskipun anatomi
kadaver manusia membuat eksperimen ini lebih realistis, cara ini masih belum mewakili
situasi yang sesungguhnya, khususnya terkait perdarahan dan faktor stress lain. Kadaver tidak
berdarah dan ini bisa menimbulkan overestimasi terhadap keberhasilan krikotomi bedah pada
penelitian ini. Perdarahan yang lebih sedikit menjadi keuntungan teknik perkutaneus,10 tetapi
perdarahan dapat diminimasliasi jika teknik palpasi dilakukan pada krikotirotomi bedah.
Stress menjadi faktor utama saat tindakan krikotirotomi pada pasien hidup, tetapi belum ada
alasan yang jelas mengapa stress bisa mendukung salah satu teknik pada penelitian ini.
Karena mustahil untuk merealisasi penelitian randomisasi prospektif tentang krikotirotomi,
maka sulit untuk mempelajari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan lebih realistis.
Kedua, efek pelatihan (kurva pembelajaran) terhadap hasil belum ditelaah dalam
penelitian ini: jika kami telah membuktikan bahwa personil medis yang tidak terlatih
sebaiknya disarankan untuk melakukan krikotirotomi bedah, belum jelas apakah dengan
repetisi prosedur hasilnya akan berbeda, contohnya teknik perkutaneus bisa berhasil atau
lebih ebrhasil daripada krikotirotomi bedah. Namun, penelitian sebelumnya pada dokter IGD
sepertinya tidak mendukung ide tersebut: dengan mengulang krikotirotomi sebanyak tujuh
kali pada kadaver manusia, tidak dijumpai adanya kurva pembelajaran yang jelas.12
Pertanyaan yang berkaitan adalah krikotirotomi yang seperti apa yang harus dilatihkan pada
personil medis (dokter bedah, dokter anestesi, dokter IGD, atau paramedis). Penelitian
kadaver sebelumnya membuktikan kemampuan yang sama untuk krikotirotomi bedah dan
teknik Melker oleh dokter di perawatan intensif9 dan IGD10,12 dan oleh sebab itu kami
cenderung merekomendasikan krikotirotomi bedah untuk semua personil medis. Namun,
teknologi terbaru seperti panduan ultrasound untuk sistem perkutaneus mungkin dapat
memperbaiki angka keberhasilan di masa mendatang.32,33
Kesimpulannya, hasil kami mengindikasikan bahwa personil medis yang awam
dengan teknik bedah saluran napas melakukan bedah saluran napas dengan lebih efisien
ketika mengerjakan krikotiroidotomi bedah. Karena mayoritas dokter jarang melakukan
pembukaan saluran napas emergensi, temuan kami mungkin dapat diterapkan kepada mereka.
Apakah krikotirotomi bedah masih lebih superior pada personil medis yang sangat terlatih
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai