B. DEFINISI
Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atausklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada
orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL (>17 mol/L),
sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5 mg/dL (>86 mol/L).2,3
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah
ada hasil laboratorium yangmenunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetaptergolong non
patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan
sebagai hiperbilirubinemia
patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus > 95 % menurutNormogram Bhutani.2,3
Kadar bilirubin terhadap usia neonatus3
C. METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak
75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase, dan
heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang.
Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan.3
1. Transport bilirubin
2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Konjugasi
4. Sekresi bilirubin terkonjugasi
5. Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi
bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan
hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin
dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan heamoglobin
karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung
protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. Bayi baru lahir
akan memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari.
Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi
lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan
degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus
yang meningkat melalui sirkulasi enterohepatik.1
Transport bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan
kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang berikatan dengan albumin tidak dapat
memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai
afinitas tinggi terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-
obatan tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-
obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas
albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum
Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu bilirubin yang siap diekskresikan
melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, -bilirubin tidak akan tampak. Peningkatan kadar -bilirubin secara
signifikan dapat ditemukan pada bayi baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya
meningkat bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena berbagai kelainan
pada hati.
KLASIFIKASI
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Halini terjadi karena terdapatnya
proses fisiologis tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginyakadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit ya
ng lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2
3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5
7,kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 14. Kadar bilirubin pun biasanya
tidak > 10 mg/dL (171 mol/L)pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205 mol/L) pada
bayi cukup bulan.
Masalah timbul apabila produksibilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hepar
menurun sehingga terjadi akumulasi di dalam darah.Peningkatan kadar bilirubin yang
berlebihan
dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak yang a
kan mengakibatkan
gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya kematian. Karenaitu bayi ikterus sebaiknya
baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Berikut
adalah perbedaan ikterus fisiologi dan ikterus patologis:
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang bulan maupun cukup
bulan selama minggu pertama kehidupan. Ikterus jenis ini juga merupakan penyebab umum
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keadaan ini adalah diagnosis eksklusi yang dibuat setelah
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain yang lebih serius, seperti hemolisis, infeksi, dan penyakit
metabolik (Marcdante, Kliegman, Jenson, & Behrman, 2014). Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin
dan penurunanclearance bilirubin.1
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin mencapai
suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut:4
a) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b) Kadar puncak bilirubin melebihi 13 mg/dL pada neonatus cukup bulan, bilirubin direk lebih dari 1,5
mg/dL.
c) Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e) Hepatosplenomegali dan anemia
f) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
g) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
E. HIPERBILIRUBINEMIA
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI,
bayi kurang bulan, dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi
karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi
pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibandingkan
bayi yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain; frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat badan/dehidrasi
Asupan cairan:
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin
Pasase mekonium terlambat
Pembentukan urobilinoid bakteri
Beta-glukoronidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu
ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat
dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar
yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar
biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain. Selain itu, neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin intestinal karena
empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga lebih mudah
dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase dalam lumen intestinal yang
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu
neonatus kurang mengandung flora intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilid dan
mekonium. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (penyakit Hirschprung, ileus
mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium
berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih rendah.
PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan
sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan
darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa
oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air
bersama urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada
dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila
kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan
hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal.
Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.2
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase
(G6PD)
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia, deifisiensi alfa-1-
antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau
fibrosis kistik
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan inkompatibilitas
golongan darah ataubreast-milk jaundice
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau toksoplasma
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan bilirubin dengan
albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD
(sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau --hemolisis. Bayi
asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme
bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan
polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk berkepanjangan.
- Breast-milk jaundice dan breastfeeding jaundice.
a. Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul
pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai
masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi
dibekali cadangan lemak coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme
selama 72 jam. Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang
disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini
tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia
fisiologis.
b. Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens pada bayi
cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi
pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14
hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan
kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi
menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti
hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme
sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat
terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil
metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.
2. Pemeriksaan fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah dilakukan
penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan cahaya matahari. Ikterus
dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat
dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum.
Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisis:
- Prematuritas
- Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
- Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau penyakit hati
- Omfalitis
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
- Tanda hipotiroid
3. Pemeriksaan penunjang
- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus menetap sampai
usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit dan ada
tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung retikulosit.
- Golongan darah, Rhesus, dan --direct Coombs test dari ibu dan bayi untuk mencari penyakit
hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan golongan darah, Rhesus,
dan direct Coombs test segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk --mencari infeksi
saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis, defek metabolik, atau
hipotiroid.
- Untuk bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam diperlukan 2 kunjungan yaitu yang pertama antara 24-72
jam dan kedua antara 72-120 jam.
7) Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika
feses tidak keluar dalam 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan waktu
yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan frekuensi
jarang.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, BAK, dan BAB
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang
pengeluaran produk ASI dengan cara memompa, dan menggunakan fototerapi
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI,
sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus
menetap lebih dari 6 hari atau meningkat >20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi
sebelumnya terkena kuning.
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim-enzim
hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat
bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain:
- Immunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat dan inkompatibilitas
ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi ganti.
- Fenobarbital memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPGT dan
ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin. Namun secara umum tidak
direkomendasikan digunakan setelah lahir.
- Metalloprotoporphyrin untuk mencegah hiperbilirubinemia. Zat ini analog sintesis heme. Protoporphyrin
terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase. Enzim ini dibutuhkan untuk
katabolisme heme menjadi biliverdin. Dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan diekskresikan
secarah utuh dalam empedu.3,6
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu denganmembuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-
ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
Kedua mata ditutup namun gonad tidak
perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadarbilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL(<171 mol/L). Lamanya
penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam Penghentian atau peninjauan kembalipenyinar
an juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perludiperhatikan antara lain : enteritis,
hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas.
Efeksamping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat
diteruskan sementara keadaan yangmenyertainya diperbaiki.
a) Peningkatan insensible water loss pada bayi : Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag
bulan. Kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian
cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu diperhatikan dengan sebaiknya.
b) Frekuensi defekasi yang meningkat : Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain karena
meningkatnya peristaltik usus. Diare tersebut merupakan akibat efek sekunder yang terjadi pada
pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan
kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
c) Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di daerah muka, badan dan ekstremitas.
Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan
terjadinya bronze baby syndrome. Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera
hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh
kembang bayi.
d) Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percobaan Penelitain Dobson dkk
1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata pada umumnya. Walaupin demikian
penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.
e) Gangguan pertumbuhan : Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan. Lucey (1972)
dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang
mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi
yang tepat selama waktu yang diperlukan.
f) Kenaikan suhu : Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan
suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang
dipergunakan.
g) Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang ditemukan pada
penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang dengan sendirinya.
h) Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah kelainan gonad,
adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada
bayi. Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti.Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang
dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vitalbayi disertai dengan alat yang dapat
mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi
transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung. Untuk penatalaks
anaanhiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak memungkinkan
dilakukan terapi sinar atautransfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke pusat
rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (transportable) denganmemperhatikan syarat-
syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.
Induksi Enzim
Aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan bahwa
induksi BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam ini pada
neonatus dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin pada ibu
sebelum melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram)
memberikan respons terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan kebutuhan fototerapi.5
Optimalisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar
bilirubin meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan
interval 2 jam dan tidak memberikan makanan tambahan atau setidaknya 8-10x per 24 jam.
Ada hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi
hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake tetapi
akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi bilirubin.
Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan nyata dengan frekuensi pasase
mekonium.5
DAFTAR PUSTAKA