Anda di halaman 1dari 2

uji klinik pada penderita osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS baik yang non-selektif

(naproxen) maupun selektif menghambat aktivitas COX-2 (celecoxib) berkhasiat dalam


mengurangi nyeri rematik (Bensen dkk, 1999). Kedua AINS ini efektif dalam menanggulangi
nyeri dan inflamasi pada penderita rheumatoid arthritis. Namun lebih selektif suatu AINS
menghambat COX-1 makin berkurang khasiatnya sebagai antiinflamasi, dan sebaliknya
dengan sediaan yang makin lebih selektif menghambat COX-2. Pada celecoxib, dimana
dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik yang tidak lebih besar daripada
dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih rendah daripada dosis 200 mg per-
hari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek mengatap (ceiling effect) yang akan
membatasi khasiatnya pada penanggulangan nyeri rematik yang makin meningkat parah,
sehingga penggunaan dosis yang lebih besar dari yang semestinya tidak dianjurkan.

AINS sebagai antinyeri paling bermanfaat bila nyeri disertai dengan adanya proses
inflamasi. Secara farmakologis, AINS yang diinginkan sebagai antinyeri rematik adalah
sediaan yang sudah terbukti :

1. Terdistribusi ke sinovium
organ sasaran AINS adalam membran sinovium. Tangkapan ion AINS (yang
umumnya bersifat asam lemah) di lingkungan intraseluler yang lebih alkalis akan
memacu ambilannya di sendi yang mengalami peradangan.
Borenstein (1995) berhasil memantau keberadaan AINS yang bersifat asam lemah
(naproxen, oxaprozin dan piraoxicam) di sinovium.
Berdasarkan telusuran kepustakaan yang telah dilakukan, sangat terbatas ragam AINS
yang terbukti mampu merembes ke sinovium, diantaranya diclofenac, ketoprofen,
meloxicam, naproxen. Cukup banyak sediaan AINS yang diberikan secara topikal
dalam penanggulangan nyeri inflamasi sendi. Beberapa sediaan AINS diklofenak,
ketoprofen, meloxicam ternyata mampu merembes ke dalam kulit dan sampai ke
sinovium. Secara farmakologis sediaan AINS seperti inilah yang diharapkan akan
memberikan khasiat antinyeri rematik yang nyata.
2. Mula kerja AINS yang segera (dini)
Mula kerja obat berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar
puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul.
kerja suatu AINS sangat dipengaruhi oleh distribusinya ke cairan sinovium. Suatu hal
yang perlu menjadi catatan bahwa distribusi AINS ke cairan sinovium akan
meningkat pada fase inflamasi.
3. Masa kerja AINS yang lama (panjang)
makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS. Sebaiknya suatu
AINS bekerja lama lebih dari 24 jam diberikan satu kali dalam satu minggu. Namun
di sisi lain makin panjang waktu paruh AINS (misalnya t piroxicam = 50 jam atau
lebih dari 2 hari 2 malam ) makin mudah terjadi akumulasi (penumpukan) AINS di
dalam tubuh penderita. Apa bila AINS tersebut diberikan lebih sering, akibatnya
makin mudah terjadi efek toksik AINS dengan segala resiko. Upaya memperpanjang
masa kerja AINS dengan waktu paruh singkat (misalnya ibuprofen dan diklofenak)
dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi sediaan lepas lambat. Upaya untuk
memperpanjang masa kerja AINS dengan waktu paruh singkat (misalnya ibuprofen
dan diklofenak) dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi sediaan lepas lambat.
Dalam pengembangan analgetika AINS dari derivate asam propionate akan selalu
dalam bentuk racemik, campuran S-enantiomer dan R-enantiomer. Dari banyak kajian
diketahui bahwa bentuk S-enantiomer memiliki aktivitas biologic AINS yang nyata
dibandingkan bentuk R-enantiomer, misalnya pada ketorolac (Jett dkk, 1999) dan
ketoprofen (Verde dkk, 2001).

Anda mungkin juga menyukai