Anda di halaman 1dari 9

JANGAN MARAH, KAMU AKAN MASUK SURGA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

(( : (( :
.)) :







.))


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam : Berilah aku wasiat. Beliau menjawab, Engkau jangan marah! Orang itu
mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Engkau jangan marah! [HR al-Bukhri].

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi
(no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Talqtul Hisn), ath-Thabrani dalam al-Mujamul-
Kabr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769),
Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syuabul-mn (no. 7924, 7926), al-
Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).

SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu anhu. Ia
meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan
berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat
kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang
Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai
kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.

Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi,
dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan
tindakannya tidak masuk akal.

DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi
atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.

Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang
pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan
seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan,
bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi
pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut
syari, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqlani rahimahullah berkata, Adapun hakikat marah tidaklah dilarang
karena merupakan perkara tabiat yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.[1]

Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan
menimbulkan kerusakan.

Di dalam Al-Qur`n Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang dinisbatkan
kepada Allah Taala Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik,
munafik, dan orang-orang yang melewati batas-Nya. Allah Taala berfirman:










Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik
laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran
(adzab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan
neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali. [al-
Fath/48 : 6][2].

Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah sangat marah yang belum
pernah marah seperti kemarahan saat itu baik sebelum maupun sesudahnya.[3]

Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh
ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Taala berfirman:




Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. [asy-
Syr/42 : 11].

Sifat marah bagi Allah merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan
ini merupakan manhaj Salaf yang wajib ditempuh oleh setiap muslim.

Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji
apabila dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalladengan
ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , beliau marah karena ada hukum-hukum Allah dan syariat-
Nya yang dilanggar, maka beliau marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa Alaihissallam [4] dan
marahnya Nabi Yunus Alaihissallam [5] . Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela diri,
kepentingan duniawi, dan melewati batas.

Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu
yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.

Jafar bin Muhammad rahimahullah mengatakan, Marah adalah pintu segala kejelekan. Dikatakan
kepada Ibnu Mubarak rahimahullah , Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!
Beliau menjawab, Meninggalkan amarah. Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq
rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.

Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , Engkau jangan marah kepada orang yang meminta
wasiat kepada beliau mengandung dua hal.

Pertama : Maksud dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki sebab-sebab yang
menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah hati, penyantun, malu, tawadhu, sabar,
menahan diri dari mengganggu orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-
akhlak baik yang semisalnya.

Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia
mampu menahan amarah, pada saat timbul berbagai sebabnya.

Kedua : Maksud sabda Nabi ialah, Engkau jangan melakukan tuntutan marahmu apabila marah
terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang
diperintahnya. Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang
memerintah dan yang melarangnya.
Makna ini tercermin dalam firman Allah Taala:




Dan setelah amarah Musa mereda [al-Arf/7 : 154].

Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk
itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan
cepat hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah.

Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`n dengan firman-Nya Azza wa Jalla :



Dan apabila mereka marah segera memberi maaf. [asy-Syr/42 : 37].

Juga dengan firman-Nya Taala:

Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah
mencintai orang yang berbuat kebaikan. [Ali Imrn/3 : 134].

Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai sebab yang dapat
menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya
ketika marah.

Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam meredam amarah adalah
dengan mengucapkan:
.

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu anhu, ia berkata:


Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling
mencaci di hadapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya
sambil marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah
darinya apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,

(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Para sahabat berkata, Tidakkah
engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah? Laki-laki itu menjawab, Aku bukan orang
gila.[6]

Allah Taala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada
Allah. Allah Taala berfirman:

Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha
Mendengar, Maha Mengetahui. [al-Arf/7 : 200].

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk atau berbaring.
Beliau Shallallahu alaihi wa sallambersabda:




.

Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah
pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring.[7]

Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang orang duduk tidak siap
untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.

Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam dirinya dan tidak
menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam,
Beliau Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

.

Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam. [8]

Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang sedang marah maka keluarlah
darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji, melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak
negatifnya besar dan ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua
keburukan itu hilang darinya.

Menurut syariat Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu melawan dan mengekang
hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



.


Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat
mengendalikan dirinya ketika marah.[9]

Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada
melawan musuh.[10]

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan
amarahnya, Beliau Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah k akan
memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari
yang ia sukai.[11]

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,



.
Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.[12]

Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu sebatas untuk mencari apa
yang dibolehkan oleh Allah Taala baginya, bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang
baik sehingga ia diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak gangguan
terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap orang-orang yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah Taala berfirman:




Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia
akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati
orang-orang yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin) [at-
Taubah/9 : 14-15].

Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , beliau tidak balas dendam untuk dirinya
sendiri. Namun jika ada hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang
sanggup menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan wanita
dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau ketika berjihad di jalan Allah.

Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka ia
menjawab, Akhlak beliau adalah Al-Qur`n.[13] Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-
Qur`n, berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`n dan marah karena
kemarahan Al-Qur`n.

Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak menghadapi siapa pun dengan
sesuatu yang beliau benci, bahkan ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana
diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri , ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam lebih
pemalu daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang dibencinya, kami
mengetahuinya di wajah beliau.[14]

Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Masud Radhiyallahu anhu tentang ucapan
seseorang, Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah. Maka ucapan itu terasa
berat bagi beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan Beliau Shallallahu alaihi wa sallamhanya
bersabda:


.

Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar.[15]

Apabila Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melihat atau mendengar sesuatu yang membuat
Allah murka, maka beliau marah karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki
rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup
padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya lalu bersabda, Sesungguhnya orang
yang paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar ini.[16]

Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang imam yang shalat lama dengan
manusia hingga sebagian mereka terlambat, beliau marah, bahkan sangat marah, menasihati
manusia, dan menyuruh meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17]

Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melihat dahak di kiblat masjid, beliau marah, mengeruknya,
dan bersabda, Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah ada di
depan wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan wajahnya ketika
shalat.[18]

Diantara doa yang Beliau Shallallahu alaihi wa sallambaca ialah:



.
Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha.[19]

Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah atau ridha, karena sebagian
manusia jika mereka marah , mereka tidak bisa berhenti dari apa yang mereka katakan.
Dari Jabir , ia berkata, Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada satu
peperangan, dan ada seorang laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat
kemudian orang Anshar itu berkata, Berjalanlah semoga Allah melaknatmu. Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu, Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan
menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan mendoakan kejelekan bagi diri
kalian. kalian jangan mendoakan kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian jangan mendoakan
kejelekan bagi harta kalian. Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu tersebut permintaan
diajukan, melainkan Allah akan mengabulkan bagi kalian.[20]

Ini semua menunjukkan bahwa doa orang yang marah akan dikabulkan jika bertepatan dengan
waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang berdoa bagi kejelekan dirinya, keluarganya,
dan hartanya.

Seorang ulama Salaf rahimahullah berkata, Orang yang marah jika penyebab marahnya adalah
sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan
seperti puasa, ia tidak boleh dicela karenanya, maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa jika
yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung hardik, caci-maki, dan lain
sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , Sesungguhnya aku hanyalah
manusia, aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang
Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku cambuk, maka aku menjadikannya sebagai penebus
(dosa) baginya.[21]

Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa,
mengambil harta tanpa alasan yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu
bahwa orang marah tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar dari
orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah, ia dihukum karena itu
semua tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.[22]

Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, Aku mentalaq istriku
dengan talak tiga ketika aku marah. Maka Ibnu Abbas berkata, Sesungguhnya Ibnu Abbas tidak
bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah mendurhakai
kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri.[23]

Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa sesungguhnya sumpah
orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat kaffarat.

Al-Hasan rahimahullah berkata, Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami mentalaq istrinya dengan
talaq satu dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut
dengan istrinya selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak melakukannya.
Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali haidh atau tiga bulan jika ia tidak haidh agar marahnya
hilang. Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal
dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan Allah. Diriwayatkan oleh al-Qadhi Ismail.[24]

BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?


Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:



Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam
keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.

Wallhu alam.

FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, Engkau jangan marah! Sebab, amarah dapat
menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa
nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah berakhlak
yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabiat manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk membela kebenaran,
dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,
dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang obat meredam amarah.

Maraaji:
1. Al-Qur`n dan terjemahnya.
2. Al-Mujamul Ausath lith-Thabrani.
3. Al-Wfi f Syarhil Arban an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. As-Sunanul Kubra lin-Nas`i.
5. Bahjatun-Nzhirn Syarh Riydhish-Shlihn, karya Syaikh Salim bin Id al-Hilali.
6. Jmiul Ulm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syuaib al-Arnauth dan Ibrhim
Bjis.
7. Kutubus Sabah.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Mustadrak al-Hakim.
10. Qawid wa Faw`id minal-Arban an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
11. Shahiih al-Jmiish Shaghr.
12. Shahh Ibni Hibban dengan at-Taliqtul-Hisn ala Shahh Ibni Hibban.
13. Shahh at-Targhb wat-Tarhb.
14. Silsilah al-Ahdts ash-Shahhah.
15. Sunan ad-Darimi.
16. Sunan al-Baihaqi.
17. Syarhul Arban an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shlih al-Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Bri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhri (no. 3162, 4435), Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu
Hibban (no. 6431 at-Talqtul Hisn), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nas`i dalam As-
Sunanul-Kubra (no. 11222).
[4]. Lihat Qs. al-Arf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiy` ayat 87.
[6]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 3282, 6048, 6115), Muslim (no. 2610). Penafsiran ucapan Aku bukan
orang gila silakan lihat Fat-hul Bri (X/467).
[7]. Shahh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu
Dzarr Radhiyallahu anhu.
[8]. Shahh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhri dalam al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), al-
Bazzar (no. 152- Kasyful Astr) dari Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma. Hadits ini
dishahhkan oleh Syaikh al-Albni dalam Shahh al-Jmiish-Shaghr (no. 693) dan Silsilah al-Ahdts
ash-Shahhah (no. 1375).
[9]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), dan Ibnu Majah (no.
4286) dari Sahabat Muadz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albni
dalam Shahh al-Jmiish Shaghr (no. 6522).
[12]. Shahh. HR ath-Thabrani dalam al-Mujamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda
Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albni dalam Shahh al-Jmiish Shaghr (no. 7374)
dan Shahh at-Targhb wat-Tarhb (no. 2749).
[13]. Shahh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188, 216), an-Nas`i (III/199-200), Ibnu
Majah (no. 2333), dan ad-Darimi (I/345-346).
[14]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Masud al-Anshari Radhiyallahu anhu.
[18]. Shahh. HR Mlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhri (no. 406, 753, 1213, 6111), Muslim
(no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan an-Nas`i (II/51) dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma.
Diriwayatkan pula oleh al-Bukhri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin Mlik
Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhri (no. 408, 409) dan Muslim (no. 548) dari Abu
Said dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[19]. Shahh. HR Ahmad (IV/264), an-Nas`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban (no. 1968 at-Talqtul
Hisn) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhuma
[20]. Shahh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahh. HR al-Bukhri (no. 6361), Muslim (no. 2601), dan Ibnu Hibban (no. 6481-6482 at-
Talqtul Hisn) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[23]. Lihat Jmiul Ulm wal-Hikam (I/375).
[24]. Shahh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[25]. Lihat Jmiul Ulm wal-Hikam, I/377.
Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dhaif.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3518-jangan-marah-kamu-akan-masuk-surga.html

Anda mungkin juga menyukai