Anda di halaman 1dari 36

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

LAPORAN KASUS
TUBERKULOSIS PARU + DIABETES MELLITUS TIPE II

Oleh:
dr. Jasmine Ariesta Dwi Pratiwi
Pendamping:
dr. Ramdlani Yuliarti Abbas

RSUD PRAYA, LOMBOK TENGAH


PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
2017

0
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di


dunia ini. Laporan WHO tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat 8,6 juta kasus TB pada
tahun 2012, dimana 1,1 juta orang diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif.
Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Pada tahun 2012, diperkirakan
terdapat 450.000 orang yang menderita TB MDR dan 170.000 orang diantaranya
meninggal dunia. Jumlah kasus TB terbesar terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari
seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus
per 100.000 penduduk. Angka mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang
penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat
ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan China. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001, didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian
kedua setelah sistem sirkulasi. Tiga perempat dari kasus TB berusia 15 49 tahun
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 57 tahun
Alamat : Loang Sawah
Suku : Sasak
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
No. RM : 00 51 67
Tanggal MRS : 5 Mei 2017
Tanggal pemeriksaan : 9 Mei 2017

II. SUBJEKTIF
Keluhan Utama
Batuk darah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Praya dengan keluhan batuk darah sejak 2 hari sebelum
MRS. Pasien mengatakan batuk darah berupa bercak-bercak berwarna merah segar yang
bercampur dengan dahak, disertai dengan rasa panas di tenggorokan. Sebelumnya, pasien
mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dengan dahak berwarna putih
kental. Pasien juga mengeluhkan nyeri dada dan sesak napas yang terjadi bersamaan jika
pasien batuk. Nyeri dada yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk pada dada kiri dan kanan.
Pasien mengatakan sesak napas yang dialami sering hilang timbul dan memberat bila
pasien mulai batuk. Selain itu, pasien saat ini mengeluhkan sakit kepala dan panas di
bagian ulu hati. Riwayat demam hilang timbul, berkeringat pada malam hari, nafsu
makan menurun, dan mengalami penurunan berat badan juga dialami oleh pasien.
Buang air kecil normal dengan frekuensi 3-4x/hari, warna kuning jernih, tidak ada

2
riwayat kencing batu, nyeri saat BAK, dan darah pada air kencing. Buang air besar
normal dengan frekuensi 1x/hari, konsistensi lunak, berwarna coklat, tidak ada darah,dan
nyeri saat BAB.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit TB paru (-) dan tidak pernah mendapat pengobatan 6 bulan
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat trauma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat sakit jantung (-)

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan kadang-kadang bekerja sebagai petani di
sawah. Pasien masih menggunakan kayu bakar untuk memasak sehari-hari. Pasien
menyangkal ada anggota keluarga maupun orang-orang di sekitar rumah yang mengalami
batuk lama.

Riwayat Pengobatan

Pasien belum pernah berobat ke puskesmas, praktek dokter, atau rumah sakit
sebelumnya.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.

3
III. OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik (9 Mei 2017)
Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : (BB: 50 kg,TB: 155 cm), IMT= 20,8 (normoweight)
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 98 x/ menit, teratur
Pernapasan : 22 x/ menit
Temperatur : 36,9 Celcius

Status Lokalis
Kepala:
Ekspresi wajah : normal
Bentuk dan ukuran : normal
Rambut : tersebar merata, rontok (-)
Edema : (-)
Malar rash : (-)
Parese N. VII : (-)
Nyeri tekan kepala : (-)
Massa : (-)
Mata:
Simetris
Alis: normal
Exopthalmus (-/-)
Ptosis (-/-)
Edema palpebra (-/-)
Konjungtiva: anemis (-/-), hiperemia (-/-)
Sklera: ikterus (-/-)
Pupil: isokor, bulat, refleks pupil (+/+)

4
Kornea: normal
Lensa: katarak (-/-)
Pergerakan bola mata ke segala arah: normal
Nyeri tekan retroorbita (-)
Telinga:
Bentuk: normal simetris antara kiri dan kanan
Lubang telinga: normal, sekret (-/-)
Nyeri tekan tragus (-/-)
Peradangan pada telinga (-)
Pendengaran: kesan normal
Hidung:
Simetris, deviasi septum (-/-)
Napas cuping hidung (-/-)
Perdarahan (-/-), sekret (-/-)
Penghidu normal
Mulut:
Simetris
Bibir: sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-), kering (+)
Gusi: hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), oral kandidiasis (-), tremor (-)
Gigi: dalam batas normal
Mukosa: normal
Leher:
Simetris
Kaku kuduk (-)
Pembesaran KGB (-)
JVP: 5 + 2 (tidak meningkat)
Pembesaran otot SCM (-)
Otot bantu nafas SCM tidak aktif
Pembesaran kelenjar tiroid (-)

5
Thoraks:
Inspeksi
Bentuk & ukuran: normal, simetris, barrel chest (-)
Pergerakan dinding dada: simetris
Permukaan dada: ikterik (-), papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-),
spider naevi (-), vena kolateral (-), massa (-)
Penggunaan otot bantu nafas: SCM tidak aktif
Iga dan sela iga: simetris, pelebaran ICS (-)
Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis: tidak tampak deviasi
Tipe pernapasan: torakoabdominal
Ictus cordis : tidak terlihat
Palpasi:
Posisi mediastinum: deviasi trakea (-)
Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-)
Pergerakan dinding dada simetris, gerakan tertinggal (-)
Fremitus vocal:
Depan:
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
Belakang:
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
Ictus cordis teraba pada ICS V midclavicula line sinistra, thrill (-).

6
Perkusi

Depan:
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

Belakang
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

Batas paru-hepar:
Inspirasi : ICS VI
Ekspirasi : ICS IV
4. Auskultasi:
Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-).

Pulmo :
Vesikuler:
+ +
+ +
+ +
Rhonki:
+ +
+ +
+ +
Wheezing:
- -
- -
- -

Tes bisik: tidak dievaluasi


Tes percakapan: tidak dievaluasi

7
Abdomen:
Inspeksi
Distensi (-)
Umbilikus: masuk merata
Permukaan kulit: ikterik (-), vena collateral (-), massa (-), caput medusae
(-), spider naevi (-), scar (-), striae (-), ruam (-)
Auskultasi
Bising usus (+) normal, frekuensi 7 x/menit
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
Perkusi
Orientasi : normal
Organomegali : (-)
Nyeri ketok : (-)
Shifting dullness : (-)
Chestboard phenomenon : (-)
Palpasi
Nyeri tekan ringan (-) di semua regio, massa (-), defans muskular (-)
Hepar, ren, dan lien: normal, tidak terdapat pembesaran.
Nyeri kontralateral (-), nyeri tekan lepas (-)

Ekstremitas:
Akral hangat : + + Sianosis : - -
+ + - -

Edema : - - Clubbing finger : - -


- - - -

Deformitas : - - Ikterik : - -
- - - -

Genitourinaria: Tidak dievaluasi

8
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Sputum BTA S-P-S (08/05/2017)

Pemeriksaan Hasil
Sputum BTA I +1
Sputum BTA II +2
Sputum BTA III +1

Darah Lengkap (05/05/2017)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
HGB 11,9 11,5 16,5 g/dL
RBC 5,86 4,0 5,0 x 106 /L
HCT 35,9 37,0 45,0 %
MCV 82,5 82,0 92,0 fl
MCH 28,8 27,0 31,0 pg
MCHC 33,8 32,0 37,0 g/dL
WBC 14,83 4,0 11,0 x 103 /L
PLT 325 150 400 x 103

Kimia Klinik (05/05/2017)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
GDS 329 <160
Kreatinin 0,45 0,9 1,3
Ureum 43 10-50
SGOT 22,5 <40
SGPT 16,6 <41

9
IV. ASSESSMENT
Tuberkulosis Paru + Diabetes Melitus tipe II

V. PLANNING
Diagnostik:
Rontgen thoraks PA
Pemeriksaan GDP, GD2JPP

Terapi:
Non farmakologi
IVFD RL 16 tpm
Bed rest
Edukasi tentang DM tipe II, terapi nutrisi medis, aktivitas fisik
Farmakologi
OAT KDT kategori I (3 tab 0 0)
o Rifampicin 450 mg
o Isoniazid 300 mg
o Pyrazinamide 500 mg
o Ethambutol 250 mg
Novorapid 3 x 4 IU
Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12 jam IV
Injeksi Ranitidin 1 ampul/12 jam IV
Ambroxol tab 30 mg 3 x 1 PO

VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS PARU
A. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Apabila tidak ditangani dengan baik dalam
waktu 5 tahun maka 50-65% akibatnya akan menjadi fatal. Transmisi biasanya
melalui udara oleh droplet yang dihasilkan oleh pasien dengan tuberkulosis yang
infeksius (Fauci et al, 2005). Selain M. tuberculosis, terkadang disebabkan oleh M.
bovis dan africanum (Brooks, et al, 2008).

B. Etiologi
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh M. tuberculosis merupakan bakteri berbentuk
batang non motil dengan ukuran 0,2-0,6 x 1-10m (Brooks et al, 2010). Sifat dari
bakteri ini adalah aerob, sehingga lebih senang hidup pada jaringan yang memiliki
kandungan oksigen tinggi seperti apeks paru (Sudoyo, 2009).
Bakteri ini lebih dikenal dengan sebutan Basil Taham Asam (BTA), hal ini
dikarenakan komponen dinding sel bakteri ini sebagian besar terdiri atas asam lemak
(lipid) yang memberi karakteristik pertumbuhan yang lambat, sebagai antigen,
resisten terhadap detergen serta resisten terhadap beberapa antibiotik (Brooks et al,
2010).
BTA ini juga tahan terhadap rangsangan kimia maupun fisik, dan dapat bertahan
hidup pada udara kering maupun keadaan dorman yakni keadaan dingin selama
bertahun-tahun dan dapat menjadi aktif kembali (Sudoyo, 2009).

C. Epidemiologi
Tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang bersifat
global di seluruh dunia. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberkulosis. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%

11
kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga,
kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan,
persalinan dan nifas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Pada tahun
2010, terdapat estimasi sekita 8,8 juta kasus tuberkulosis baru yaitu sekitar 128 kasus
per 100.000 populasi penduduk. Sebagian besar kasus tersebut pada tahun 2011
terjadi di Asia (59%) dan Afrika (26%), sedangkan proporsi yang lebih kecil terjadi di
Mediterian Timur (7%), Eropa (5%), dan Amerika (3%). Dari estimasi jumlah kasus
tuberkulosis baru tersebut, 59% terjadi di benua Asia. Indonesia merupakan negara
dengan insidensi kasus tuberkulosis baru terbesar keempat di dunia pada tahun 2010
setelah India, China dan Afrika Selatan. Tercatat sekitar 450.000 kasus tuberkulosis
baru dan 64.000 kasus kematian akibat tuberkulosis di Indonesia (WHO, 2012).
Berdasarkan WHO report mengenai Global Tuberculosis Control (2011),
estimated epidemiological burden TB rate populasi pada tahun 2010 telah meningkat
secara signifikan apabila dibandingkan dengan tahun 2009. Pada tahun 2010, estimasi
mortalitas tuberkulosis sekitar 64 per 100.000 populasi, angka pravalensi tuberkulosis
sekitar 690 per 100.000 populasi, dan angka insidensi sekitar 450 per 100.000
populasi.

D. Patofisiologi
Menurut perjalanan penyakitnya, TB dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni
TB Paru Primer dan TB paru post-primer.
TB primer.
Dimulai dengan masuknya kuman M. tuberculosis secara aerogen kedalam
alveoli yang mempunyai tekanan oksigen tinggi atau melalui traktus
digestivus.Kuman yang masuk alveoli tidak selalu berada di apex, tapi bisa dimana
saja, baik paru kiri atau kanan.
Reaksi pertama atas adanya kuman dalam alveoli menurut Gohn adalah
pembentukan eksudat intraalveolar, suatu konsolidasi alveolar lokal yang berukuran
sebesar kacang sampai sebesar biji kenari. Eksudat lokal pertama disebut Kuess
sebagai fokus primer. Kuman ini kemudian akan menyebar melalui pembuluh limfe,
menyebabkan limfangitis dan kelainan-kelainan pada kelenjar limfe bronkial maupun

12
regional. Gambaran perubahan primer pada paru dan dalam saluran limfe serta
kelenjar limfe ini disebut kompleks primer TB (kompeks Ranke). Jadi kompleks
primer terdiri dari (Ghazali, 2007):
1. Kompeks gohn: merupakan bintik-bintik keci di suprahiler dan di sekelilingnya
ada infiltrar, sering tidak tampak kecuali bila ada kalsifikasi.
2. Limfangitis: cabang-cabang limfe keluar dari kompleks Gohn dan berjalan
sepanjang hilus
3. Limfadenitis: terjadi pembesaran limfonodi, sering terjadi di Lnn. Hilus seperti
gambaran perpadatan hilus, Lnn parabronkial, Lnn paratrakeal, tampak sebagai
gambaran cerobong asap
Pleura dapat terkena walaupun sedikit frekuensinya dan dapat menimbulkan
efusi ringan sampai berat.Pada umumnya lesi pleura ini fibrinous. Menurut Gohn,
pleuritis ini berasal dari kelenjar limfe atau fokus primer. Jika fokus primer ini
mengalami pengapuran, maka disebut epituberkulose.Kita dapat memanfaatkan
adanya perkapuran ini untuk menentukan lebih tepat lagi letak fokus primer tersebut
pada segmen yang bersangkutan dengan foto rontgen (Ghazali, 2007).
Fokus primer yang mengapur paling sering adalah pada lobus kanan atas
terutama pada subsegmen aksiler, kemudian disusul segmen 3.Pada paru kiri
sebaliknya, segmen 3 yang terbanyak, baru kemudian disusul subsegmen aksiler.
Pada lobus tengah kanan, segmen 4 dan 5 frekuensinya sama. Pada lobus tengah kiri,
segmen 4 lebih banyak dari segmen 5 (Ghazali, 2007).
Tuberkulosis post-primer.
Terjadi setelah periode laten setelah infeksi primer. Dapat terjadi reaktivasi
atau reinfeksi.Reaktivasi terjadi akibat kuman dorman yang berada pada jaringan
selama beberapa bulan/tahun setelah infeksi primer, mengalami multiplikasi.Hal ini
dapat terjadi akibat daya tahan tubuh yang lemah.Reinfeksi diartikan adanya infeksi
ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah mengalami infeksi primer. TB post
primer umumnya menyerang paru, tetapi dapat pula di tempat lain di seluruh tubuh.
Karakteristik TB post primer adalah adanya kerusakan paru yang luas dengan kavitas,
hapusan dahak BTA positif, pada lobus atas, umumnya tidak terdapat limfadenopati
intratoraks.

13
Tuberkulosis post primer dimulai dari sarang dini yang umumnya pada segmen
apokal lobus superior atau inferior. Awanya berbentuk sarang pneumonik
kecil.Bentuk tuberkulosis post-primer dapat sebagai tuberkulosis paru dan
ekstraparu.Patogenesis dan manifestasi patologi tuberkulosis paru merupakan hasil
respon imun seluler dan sebagai hasil reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap
antigen kuman tuberkulosis.

E. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pasien dapat dianggap curiga TB apabila ditemukan gejala-gejala berikut :


a. Respiratorik : batuk lebih dari tiga minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada,
sesak nafas
b. Sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan
menurun (Hasan, 2010).
Pemeriksaan fisik pasien TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk
membedakan TB dengan penyakit paru lainnya. Tanda fisik tergantung pada lokasi
kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Berdasarkan Sudoyo et al. (2009),
keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam dan ada juga
banyak pasien yang ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah sebagai berikut:
1. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41 C. Serangan demam pertama dapat sembuh
sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitu seterusnya hilang
timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas
dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
2. Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk

14
baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa sputum
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
3. Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimulkan pleuritis. Terjadi gesekan antara
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
5. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksi tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat
badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

Periksaan Laboraturium
BTA sputum
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan dalam menegakkan diagnosis.
Spesimen umumnya berupa dahak untuk menemukan BTA. Pemeriksaan ini
dilakukan tiga kali dengan minimal satu kali spesimen yang diambil pada pagi hari.
Hasil biakan diberi pewarnaan Ziel-Nielson atau kinyon Gabbet. Interpretasi
pembacaan hasil perwarnaan berdasarkan skala IUATLD (Alsagaff, Hood, et al.
2010).
Skala IU ATLD (International UnionAgaints Tuberculosis and Lung Diseases)
merupakan skala yang biasanya digunakan dalam menginterpretasikan hasil biakan
BTA dengan pewarnaan Ziel-Nielson.

15
Tabel 2. Skala IUALTD
Pembacaan dibawah mikroskop Pelaporan hasil
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang Negatif
1-9 BTA dalam 100 lapang pandang Sejumlah BTA yang ditemukan
10-99 BTA dalam 100 lapang pandang 1 (+)
1-10 BTA dalam 1 lapang pandang 2 (+)
>10 BTA dalam 1 lapang pandang 3 (+)

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen sputum dalam waktu 2 hari, yaitu


sewaktu - pagi -sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan sputum mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2007).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2014), pemeriksaan sputum
berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan sputum untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen sputum yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Apabila kasus pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi.
Namun pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto thoraks
apabila curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumothoraks), hemoptosis
berulang atau berat, dan didapatkan hanya 1 spesimen BTA +. Pemeriksaan lain yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan serologi, dan
pemeriksaan histopatologi jaringan (Sudoyo et al, 2009).
Menurut Sudoyo et al. (2009), diagnosis tuberkulosis paru masih banyak
ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis
dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek akibat pengobatan yang
sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru

16
sebaiknya dicantumkan status bakteriologis, status radiologis, dan status kemoterapi.
WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis sebagai berikut :

1. Pasien dengan sputum BTA positif :


(a) pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan
BTA, sekurang-kurangnya pada 1 dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS, atau
(b) satu sediaan sputum positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan
gambaran TB aktif, atau
(c) satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif.
2. Pasien dengan sputum BTA negatif :
(a) pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis
sesuai dengan TB aktif atau,
(b) pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakan positif.
Algoritma penegakan diagnosis TB paru berdasarkan menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (2007), sebagai berikut :

17
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu cara yang praktis yang dapat
membantu menemukan lesi TB. Selain itu, gambaran radiologis ini juga berperan
untuk membantu penegakan diagnosis, terutama jika hanya dijumpai satu spesimen
BTA (+), dan berguna mengetahui adanya komplikasi (Hasan, 2010).

Sesuai dengan patofisiologinya, gambaran TB paru dibagi menjadi (Rasad, 2005):

o TB Primer
TB primer terjadi karena infeksi melalui jalan pernapasan (inhalasi) oleh M.
tuberculosis, biasanya pada anak-anak. Kelainan Rontgen akibat penyakit ini dapat
berlokasi dimana saja dalam paru-paru. Dapat terlihat Ghon focus, limfadenopati
hilus, serta terbentuknya kompleks primer (Hasan, 2010; Rasad, 2005).

18
Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah pleuritis, karena perluasan
infiltrat primer ke pleura melalui penyebaran hematogen. Komplikasi lain adalah
atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi kelenjar dalam bronkus. Baik
pleuritis maupun atelektasis tuberkulosis pada anak-anak mungkin sedemikian luas
sehingga sarang primer tersembunyi di belakang (Rasad, 2005). Selain itu dapat pula
terjadi efusi pleura.

19
o TB sekunder (re-infeksi, dewasa)
TB yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa. Sarang-sarang yang
terlihat pada foto Roentgen biasanya berkedudukan dilapangan atas dan
segmen apikal lobi bawah, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi di
lapangan bawah, yang biasanya disertai dengan pleuritis. Pembesaran kelenjar
limfe pada tuberkulosis sekunder jarang ditemukan.

20
21
F. Penatalaksanaan
Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2014), pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanyapasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2014).
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2014).

Panduan Pengobatan OAT yang digunakan di Indonesia


Obat TB utama yang digunakan (first line, lini pertama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S).Rifampisin dan
isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol,
dan streptomisin(Sudoyo, 2009).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2014), OAT yang lazim digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis menurut jenis, sifat dan dosis tercantum dalam tabel
berikut :

22
Tabel 3. Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pirazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomisin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis


di Indonesia (2014) adalah :

- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Kategori 1 diberikan untuk pasien baru: pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis,


pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.

Tabel 4. OAT Kategori 1

23
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Kategori 2 diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang): pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan dengan panduan
OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
(lost to follow-up).

Tabel 4. OAT Kategori 2

- Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR


- Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
Pirazinamid dan Etambutol.

24
G. Prognosis
a. Penyembuhan
Penyembuhan tanpa bekas
Penyebuhan tanpa bekas sering terjadi pada anak-anak (tuberkulosis
primer), bahkan sering penderita tidak menyadari sama sekali bahwa ia
pernah diserang penyakit tuberkulosis. Pada orang dewasa (tuberkulosis
sekunder) penyembuhan tanpa bekaspun mungkin terjadi apabila
diberikan pengobatan yang baik (Rasad, 2005).

Penyembuhan dengan meninggalkan cacat

Penyembuhan ini berupa garis-garis berdensitas tinggi/sarang fibrotik atau


bintik-bintik kapur (sarang kalsiferus). Sarang-sarang fibrotik yang tebal
dan kalsiferus, disingkat sarang fibrokalsiferus, di kedua lapangan atas
dapat mengakibatkan penarikan pembuluh darah besar di kedua hili ke
atas. Keadaan ini dinamakan tuberkulosis fibrosis densa dan memberikan
gambaran yang cukup khas. Pembuluh-pembuluh darah besar di hili
terangkat ke atas, seakan-akan menyerupai kantong celana yang di angkat
dan disebut fenomena kantong celana terngkat (broekzak fenomeen)
(Rasad, 2005).

b. Perburukan (perluasan) penyakit


Pleuritis
Pleuritis terjadi karena perluasan infiltrat primer langsung ke pleura atau
melalui penyebaran hematogen; sering ditemukan pada remaja belasan
tahun tapi jarang pada anak balita.

Penyebaran miliar
Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sekecil 1-2 mm, atau
sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua belah paru.
Pada foto toraks, tuberkulosis miliar ini dapat menyerupai gambaran badai
kabut (snow storm appeareance). Penyebaran seperti ini juga dapat terjadi
ke ginjal, tulang, sendi, selaput otak, dan sebagainya.

25
Stenosis bronkus
Stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru yang
bersangkutan, sering menduduki lobus kanan (sindroma lobus medius).

Timbulnya lubang (kavitas)


Timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju. Dinding lubang
sering tipis, berbatas licin, tetapi mungkin pula tebal dan berbatas tidak
licin. Di dalamnya mungkin terlihat cairan, yang biasanya sedikit. Lubang
kecil di kelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat tidak berubah-ubah
(stationer) pada pemeriksaan berkala ulang (follow-up) dinamakan lubang
sisa (residual cavity) dan berarti suatu proses spesifik lama yang sudah
tenang.

H. Evaluasi Dan Monitoring


Kementrian kesehatan Republik Indonesia telah merancang program terpadu
dalam menanggulangi penyakit TB ini. Program DOTS (Directly Observred Treatment
Short-course) telah diadopsi dari WHO. Strategi ini telah terbukti sangat efektif.
Komponen yang termasuk ke dalamnya antara lain 1) komitmen politis, 2) pemeriksaan
dahak mikroskopis dengan mutu terjamin, 3) pengobatan jangka pendek terstandar bagi
semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung
pengobatan, 4) jaminan ketersediaan OAT yang bermutu, dan 5) sistem pencatatan dan
pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasi pengobatan pasien dan
kinerja program secara keseluruhan (Surya et al, 2011).
Di setiap langkah strategi tersebut, evaluasi dan monitoring penting untuk
dilakukan. Dimulai dari identifikasi, diagnosis, sampai pemberian obat TB. Agar dapat
tercapainya sasaran penanggulangan berupa kesembuhan yang sempurna. Evaluasi
dilakukan dalam konteks penanganan masalah klinis pasien. Sementara monitoring atau
pemantauan dilakukan dalam konteks penanganan masalah di komunitas. Diharapkan
pencatatan dan pelaporan dari setiap tidakan atau program dapat dinilai dan memberikan
umpan balik yang dapat digunakan untuk memperbaik program yang telah ada menjadi
lebih baik lagi. Evaluasi pada pasien yang mengalami tuberkulosis meliputi evaluasi
klinis, bakteriologi, radiologi, dan evaluasi pasien yang telah sembuh.

26
a. Evaluasi klinis
Poin evaluasi klinis yang penting untuk dinilai adalah:
- Pasien dievaluasi secara periodik.
- Evaluasi terhadap respon pengobatan dan efek samping yang muncul serta
komplikasi dari penyakit.
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik.
Evaluasi klinis yang perlu dilakukan meliputi keluhan, berat badan, dan
pemeriksaan fisik. Evaluasi bakteriologis sputum (BTA) bertujuan untuk mendeteksi
ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan BTA ini dilakukan pada 3 waktu yaitu,
padai akhir bulan ke tiga, pada satu bulan sebelum pengobatan berakhir dan pada
akhir pengobatan. Jika pada akhir bulan kedua fase intensif belum ada konversi
dahak, maka diberikan fase sisipan selama 1 bulan pemberian RHZE.
Evaluasi efek samping obat juga penting dilakukan selama pasien menjalani
pengobatan. Hal ini disebabkan obat-obat yang termasuk dalam OAT memiliki
banyak efek samping. Apabila memungkinkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati,
fungsi ginjal dan darah lengkap sejak awal pengobatan agar dapat digunakan sebagai
data dasar untuk melihat penyakit penyerta dan efek samping pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat. Bila efek samping ringan
dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
Efek samping ringan yang sering dikeluhkan adalah rasa terbakar dan nyeri otot
pada pemakaian isoniazid, yang dapat dikurangi dengan pemberian vitamin B
kompleks, sindrom flu, sindrom pada abdomen, serta sindrom pada kulit akibat
pemakaian rifampisin, serta nyeri sendi pada pemberian pirazinamid. Efek samping
berat yang sering terjadi adalah penurunan fungsi hati diakibatkan pirazinamid atau
isonoazid dan penurunan visus diakibatkan etambutol. Pasien juga harus
diberitahukan bahwa rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan pada pasien agar
mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.

27
Tabel 5. Efek Samping Minor OAT

Tabel 6. Efek Samping Mayor OAT

Evaluasi yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum/tidaknya obat tersebut. Ketidakteraturan dalam pengobatan akan
menyebabkan timbulnya resistensi. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan
atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan obat. Penyuluhan atau
pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkunganya.
Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas
Minum Obat (PMO). Syarat-syarat PMO antara lain:
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

28
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya.
PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. PMO memiliki
beberapa tugas penting yaitu:
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan (6 bulan)
Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat nasehat
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain
Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit TB
dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan
TB agar melakukan pemeriksaan.
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya:
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke pelayanan kesehatan.

b. Evaluasi bakteriologi
Poin evaluasi bakteriologi yang yang penting untuk dinilai adalah:
- Dilakukan untuk mendeteksi ada atau tidaknya konversi dahak.
- Dilakukan pada saat:
o Sebelum pengobatan dimulai.
o Setelah 2 bulan pengobatan

29
o Pada akhir pengobatan
- Lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan jika terdapat fasilitasnya.
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis
lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan
pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu
spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif.

Tabel 7. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

c. Evaluasi radiologi
Poin evaluasi radiologis dilakukan pada saat:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (pada kasus kecurigaan keganasan dilakukan setelah 1
bulan.
- Pada akhir pengobatan.

30
d. Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama masa
kesembuhan, guna mengetahui kekambuhan. Dievaluasi melalui pemeriksaan
mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.

Tabel 8. Definisi istilah yang digunakan dalam evaluasi dan monitor penyakit TB
Hasil Definisi
Sembuh - Pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif sebelum
pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur negatif
pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali pemerksaan sputum
sebelumnya negatif.
- Foto toraks atau gambaran radiologi serial menunjukkan perbaikan.
- Hasil biakan negatif (bila terdapat fasilitas biakan).
Pengobatan Pasien telah menyelesaikan pengobatan namun tidak atau belum
lengkap memiliki hasil pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir
pengobatan.
Gagal Hasil sputum atau kultur positif pada bulan kelima atau lebih dalam
pengobatan masa pengobatan.
Meninggal Pasien yang meninggal denan apapun penyebabnya selama
pengobatan.
Lalai berobat Pengobatan terputus dalam waktu dua bulan berturut turut atau lebih.
Pindah Pasien pindah ke unit berbeda dan hasil akhir pengobatan belum
diketahui.
Pengobatan Jumlah pasien yang sembuh ditambah pengobatan lengkap.
sukses /
berhasil

31
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan 57 tahun dengan keluhan batuk darah berupa bercak-bercak


berwarna merah segar yang bercampur dengan dahak, disertai dengan rasa panas di
tenggorokan sejak 2 hari yang lalu. Keluhan batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu,
dengan dahak putih kental; nyeri dada yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk pada dada
kiri dan kanan dan sesak napas hilang timbul yang memberat bila batuk. Riwayat demam
hilang timbul, berkeringat pada malam hari, nafsu makan menurun, dan mengalami
penurunan berat badan dialami oleh pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki
pada kedua lapang paru. Pasien ini dapat memenuhi kriteria TB paru klinis karena
ditemukan gejala respiratorik yaitu batuk lebih dari tiga minggu, berdahak, batuk darah,
nyeri dada, sesak nafas, serta gejala sistemik yaitu demam, keringat malam, nafsu makan
menurun, dan berat badan menurun. Selain itu pada riwayat penyakit dahulu, pasien
menyangkal pernah mengalami keluhan serupa, didiagnosa TB sebelumnya, atau
mengkonsumsi obat selama 6 bulan, sehingga didapatkan kesimpulan bahwa keluhan saat
ini merupakan keluhan yang pertama kali dialami oleh pasien.

Diagnosa TB paru BTA positif dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan sputum secara mikroskopis
ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 1 dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan sputum BTA S-P-S dan didapatkan hasil yaitu
sputum BTA I +1, BTA II +2, dan BTA III +1. Hasil sputum BTA ini dapat menegakkan
diagnosa TB paru kasus baru BTA positif pada pasien ini. Maka dari itu sesuai pedoman
nasional pengendalian tuberkulosis di Indonesia, pasien ini diberikan OAT Kategori 1
(2(HRZE)/4(HR)3). Pasien memiliki berat badan 50 kg sehingga rincian OAT yang
diberikan adalah sebagai berikut.

32
Selain itu, pada pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan peningkatan jumlah
leukosit (WBC) yang menunjukkan adanya proses infeksi pada pasien, sehingga perlu
diberikan antibiotik spektrum luas yaitu injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam.
Pada pemeriksaan penunjang kimia klinik, gula darah sewaktu (GDS) pasien juga
mengalami peningkatan yaitu 329 mg/dl, sehingga memenuhi salah satu kriteria diabetes
mellitus tipe II yaitu GDS 200 mg/dl. Pemeriksaan gula darah selanjutnya untuk pasien
adalah memeriksa GDP dan GD2JPP. Pengelolaan DM pada pasien antara lain gaya
hidup sehat serta pemberian insulin yaitu Novorapid 3 x 4 IU. Hal ini terkait dengan
indikasi pemberian insulin yaitu pasien DM tipe II yang disertain infeksi berat, salah
satunya TB. Selain itu, pemberian obat antihiperglikemik oral (OHO) yang diberikan
bersamaan dengan OAT, terutama rifampisin, akan menimbulkan interaksi obat yaitu
OHO dapat menurunkan efek kerja rifampisin karena sama-sama bekerja di sitokrom
P450. Edukasi terkait penyakit DM yang dapat diberikan pada pasien antara lain perilaku
hidup sehat, pemantauan glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia serta
cara mengatasi yang perlu dipahami oleh pasien. Terapi nutrisi medis yaitu pengaturan
diet pada pasien DM adalah menu seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi serta
pentingnya keteraturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan. Aktivitas fisik juga dianjurkan
untuk pasien DM yaitu kegiatan jasmani intensitas sedang seperti berjalan kaki selama
30-35 menit 3-5 x dalam seminggu.

33
BAB V
PENUTUP

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Transmisi biasanya melalui udara oleh droplet yang
dihasilkan oleh pasien dengan tuberkulosis yang infeksius. Pasien dapat dianggap curiga
TB apabila ditemukan gejala-gejala berikut : gejala respiratorik yaitu batuk lebih dari tiga
minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas dan gejala sistemik yaitu demam,
keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan menurun. Diagnosis TB
Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan sputum mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
Obat TB utama yang digunakan (first line, lini pertama) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). OAT harus
diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu
tahap intensif dan lanjutan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).

DAFTAR PUSTAKA

34
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman nasional
pengendalian tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
2. Brooks, et al, 2010. Medical Microbiology 25th edition. The Mc Graw-
Hillcompany: United State.
3. Dooley, Kelly & Chaisson, Richard. 2009. Tuberculosis And Diabetes Melitus:
Convergence of Two Epidemics. Availaible
from :http://xa.yimg.com/kq/groups/16063327/1692951348/name/TB+e+DM+(LI
D09).pdf. [Accessed : 10 Mei 2017]
4. Fauci, et al, 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th edition. The
Mc Graw-Hillcompany: United State.
5. Ghazali, R. Tuberkulosis in Radiologi Diagnostik. 2007. pp. 51-53.
6. Hasan, Helmia, 2010. Tuberkulosis Paru pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Dept. Ilmu Penyakit Paru FK Unair.
7. Rasad, Sjahrir, 2005. Radiologi Diagnostik, edisi 2. Penerbit FKUI: Jakarta.
8. Sudoyo et al, 2009. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam FKUI. Internal publishing:
jakarta
9. Supriyatno, Bambang et. al 2008. Pedomanan Nasional Tuberkulosis Anak.
IDAI : Jakarta.
10. World Health Organization, 2010. Treatment of Tuberculosis Guideline 4th
edition. Switzerland: WHO press.

35

Anda mungkin juga menyukai