Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah yang
menonjol atau cembung yang ditandai dengan kemerahan pada kulit dan
telangiektasi disertai episode peradangan ditandai erupsi papul, pustul, dan edema.
Selain itu, pada periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas
terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing).
Rosasea lebih sering terjadi pada populasi kulit putih, namun dapat terjadi
pada populasi Afrika dan Asia. Berdasarkan National Rosacea Society (NRS)
diperkirakan terjadi pada 14 juta orang Amerika. Rosasea dapat terjadi pada
perempuan maupun laki-laki, dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali
lebih besar dibandingkan laki-laki. Rosasea sering terjadi pada usia 30 sampai 50
tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Terapi
rosasea dikatakan berhasil jika tanda dan gejala klinis berkurang serta angka
kejadian kekambuhan menurun. Diagnosis awal serta kombinasi terapi tabir surya
dan topikal yang cepat dan tepat dapat mengurangi risiko terapi oral dan biaya
untuk terapi laser dan sinar.
Referat ini membahas mengenai rosasea meliputi epidemiologi, etiologi,
patogenesis, gejala klinis, klasifikasi, diagnosis banding, gambaran histopatologis,
diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis sehingga diharapkan mendapat
pemahaman tentang rosasea secara menyeluruh.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit,
berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah
dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada
bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Penyakit ini ditandai juga dengan adanya
eritema yang berkepanjangan dan telangiektasis disertai dengan papul atau pustul.
Selain itu, pada periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas
terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing).
Pada kenyataannya tidak semua kasus sesuai dengan gambaran ini, di
mana tidak semua ciri-ciri selalu muncul. Penelitian terbaru ini untuk menentukan
kriteria diagnosis menyimpulkan bahwa adanya satu atau lebih dari tanda-tanda
berikut pada bagian sentral wajah dipikirkan sebagai rosasea yaitu flushing (kulit
kemerahan dan terasa panas terbakar), eritema non transient, papul, pustul, dan
telangiektasis.

B. EPIDEMIOLOGI
Rosasea lebih sering terjadi pada ras kulit putih. Walaupun demikian, tidak
menutup kemungkinan ras Afrika dan ras Asia juga dapat menderita rosasea.
Insiden terjadinya pada usia 30-50 tahun, dengan insiden puncak antara 40-50
tahun. Namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda.
Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi
pada perempuan dibanding laki-laki dimana perempuan berisiko dua sampai tiga
kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Data insiden rosasea pada kelompok etnik
yang berbeda sangat bervariasi ras Asia dan insiden terendah pada populasi
berkulit hitam. Survei yang dilakukan oleh National Rosasea Society (NRS)
melaporkan bahwa sampai 70% pasien rosasea menyatakan penyakit tersebut
berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan kehidupan sosial mereka.

2
C. ETIOLOGI
Etiologi rosasea tidak diketahui secara pasti. Ada berbagai hipotesis
mengenai faktor penyebab, yaitu:
1. Makanan dan minuman
Alkohol dan makanan berbumbu pedas diduga merupakan penyebab rosasea.
Bahkan konstipasi, penyakit gastrointestinal dan penyakit kelenjar empedu
telah pula dianggap sebagai faktor penyebab terjadi rosasea.
2. Psikis/ emosional
Belum banyak penelitian mengenai hubungan psikis dengan insiden terjadinya
rosasea tetapi diduga terjadi akibat stres berlebihan sehingga mengganggu
fungsi kerja hormon yang memicu reaksi inflamasi.
3. Obat-obatan
Adanya peningkatan bradikinin yang dilepaskan oleh adrenalin pada saat kulit
kemerahan diduga peran disebabkan berbagai obat, baik sebagai penyebab
maupun yang dapat digunakan sebagai terapi rosasea. Obat-obat yang berperan
untuk kulit kemerahan adalah seperti calcium channel blockers, nicotinic acid
(niacin), morphine, amyl dan butyl nitrate, cholinergic drugs, bromocriptine,
thynoid releasing hormone, tamoxifen, cyproterone acetate, systemic steroids
dan cyclosporine. Obat-obat yang berkombinasi dengan alkohol yang berperan
untuk kulit kemerahan adalah cephalosporins, phentolamine, disulfiram dan
chlorpropamide. Amiodarone juga menyebabkan kulit kemarahan.
4. Infeksi
Organisme comensal seperti Propionibacterium acnes dan Demodex
follicurolum, yang berada di folikel rambut dan kelenjar sebasea, memicu
inflamasi papul folliculocentric pada pasien rosasea masih belum jelas tetapi
reaksi hipersensitivitas mungkin dipicu oleh mikroba atau oleh bakteri tungau
terkait seperti Bacillus Oleronius.
5. Musim/ iklim
Peran musim panas atau musim dingin, termasuk di dalamnya peran sinar
ultraviolet matahari yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit
penyebab eritema persisten.

3
6. Imunologi
Pada pemeriksaan histopatologi kulit penderita rosasea, pada lapisan dermo-
epidermal ditemukan deposit imunoglobulin sedangkan di kolagen papiler
ditemukan antibodi antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada dugaan
faktor imunologi pada rosasea.

D. PATOGENESIS
Patogenesis rosasea adalah multifaktorial, tetapi sangat jelas hubungannya
dengan hiperaktivitas vaskular. Eritema pada rosasea ini disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah superfisial wajah. Diduga terjadi atrofi pars papilare dermis yang
menyebabkan visualisasi kapiler kulit menjadi lebih jelas. Pasien rosasea
memberikan riwayat wajah yang mudah memerah dan mengeluhkan warna kulit
yang memerah sedikit demi sedikit. Makanan dan obat-obatan yang menginduksi
vasodilatasi wajah terlihat sejalan dengan perkembangan rosasea. Pasien dengan
rosasea memiliki kulit yang mudah teriritasi. Sebagai contoh, pasien sering
mengeluh mengalami rasa perih dan terbakar jika menggunakan kosmetik dan
obat-obatan topikal. Vasodilatasi pasien rosasea lebih besar dan persisten
dibandingkan yang terlihat pada orang normal. Stimulasi suhu adalah penyebab
dari food-induced flushing pada kebanyakan pasien, misalnya suhu kopi dan teh
yang panas dapat menyebabkan wajah kemerahan. Walaupun rosasea tidak secara
umum dianggap sebagai penyakit neurokutaneus, penting diketahui bahwa
flushing atau wajah kemerahan dimediasi oleh suatu fungsi neural dan dengan
demikian rosasea pun memiliki dasar neurologi.
Didapatkan adanya hubungan yang erat antara sistem vaskular dan sistem
imun, sama seperti pemberian anti inflamasi yang pada kenyataan cukup efektif
sebagai terapi rosasea. Hal ini memberi kesan bahwa sel-sel radang seperti
neutrofil dan mediator inflamasi lainnya merupakan faktor utama patofisiologi
terjadinya rosasea. Ketidakstabilan pembuluh darah (vascular instability/vascular
lability) terjadi karena faktor hormon, stres emosional, makanan, paparan sinar
matahari, pelepasan substansi vasoaktif dan infestasi Demodex folliculorum. Hal

4
ini mengakibatkan terjadi pelepasan mediator inflamasi, di antaranya yaitu sitokin
yang akan menginduksi terjadinya proses inflamasi.
Flushing atau rasa panas pada rosasea lebih sering dimediasi oleh
pelepasan substansi vasoaktif daripada mekanisme refleks saraf, tetapi hal ini
belum dapat ditetapkan sebagai dasar patofisiologi dan kedua mekanisme ini pun
dapat berperan penting. Mediator inflamasi yang dimaksud termasuk serotonin,
bradikinin, prostaglandin, substansi P, peptida opiod dan gastrin. Kadar substansi
P dalam darah meningkat pada beberapa pasien tetapi tidak selalu terjadi. Peptida
opiod dikemukakan sebagai mediator dari flushing pada rosasea berdasarkan aksi
supresi dari antagonis opiod, nalokson. Sering pula dianggap bahwa rosasea
berhubungan dengan gejala-gejala pada gastrointestinal, walaupun hanya sedikit
bukti nyata yang mendukung pendapat ini.
Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel pustul yang
meradang pada hidung penderita rosasea. Demodex folliculorum merupakan suatu
tungau yang hidup dalam lumen folikel glandula sebasea pada kepala yang diduga
sebagai penyebab rosasea pada usia pertengahan. Spesies Demodex (tungau yang
secara normal hidup pada folikel rambut manusia) mungkin berperan dalam
patogenesis rosasea. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Demodex
folliculorum menyukai daerah kulit yang merupakan predileksi rosasea seperti
hidung dan pipi. Demodex folliculorum ini terlihat lebih banyak pada pasien
rosasea papulopustular dibandingkan dengan individu normal. Selain itu, folikel
yang didiami oleh tungau ini dapat memberikan respon inflamasi lokal.
Banyak peneliti juga mengemukakan bahwa terjadi infiltrasi respon imun
sel T-helper yang mengelilingi antigen Demodex folliculorum pada pasien rosasea.
Walaupun demikian, penelitian lain menunjukkan pula hal yang sebaliknya.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa Demodex folliculorum tidak menyebabkan
respon inflamasi pada rosasea. Oleh sebab itu, diperlukan lebih banyak penelitian
dan studi untuk menentukan apakah Demodex folliculorum bersifat patogen.
Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh photoaging/solar aging akibat paparan
sinar matahari juga berperan dalam patogenesis rosasea karena terjadi aktivasi
sistem imun yang dapat mengakibatkan inflamasi. Seperti yang telah dijelaskan

5
sebelumnya, paparan sinar matahari juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan
vaskular yang akhirnya menginduksi pelepasan mediator-mediator inflamasi.
Degradasi aktinik pada vaskular dan kolagen perivaskular serta jaringan elastis
secara langsung menurunkan integritas mekanik pembuluh darah dan
meningkatkan hiperesponsif pembuluh darah kecil di wajah.
Angiogenesis yang dicetuskan oleh inflamasi dapat pula dihubungkan
dengan timbulnya telangiektasis. Faktor angiogenik disimpan dalam matriks
ekstraselular dilepaskan oleh protease neutrofil atau dilepaskan dan diaktivasi oleh
makrofag. Proses inflamasi selanjutnya berperan dalam patogenesis eritema dan
telangiektasis. Enzim-enzim degradasi, termasuk protease seperti elastase yang
dilepaskan dari neutrofil yang teraktivasi akan merusak jaringan ikat yang
mengelilingi pembuluh darah.
Solar elastosis dapat pula menyebabkan kegagalan sistem limfatik. Ketika
volume eksudat protein berlebih dalam drainase sistem limfatik, cairan
ekstraseluler terakumulasi pada kulit bagian superfisial. Hal ini mengakibatkan
terjadinya edema pada kulit dan peradangan, dimana seringkali didahului dengan
hipertrofi jaringan ikat. Neutrofil ini melepaskan protein yang mendegradasi
protein matriks, menyebabkan fibroplasias, suatu proses awal terjadinya
rhinophyma.

E. GEJALA KLINIS
Predileksi rosasea pada sentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu, kening,
dan alis. Dapat meluas ke leher dan pergelangan tangan atau kaki. Lesi umumnya
simetris.
Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiektasia, papul, edema, dan
pustul. Komedo tidak ditemukan dan jika ada mungkin kombinasi dengan akne.
Adanya eritema dan telangiektasia adalah persisten pada setiap episode dan
merupakan gejala khas rosasea. Papul kemerahan pada rosasea tidak nyeri,
berbeda dengan akne vulgaris. Pustul hanya ditemukan pada 20% penderita,
edema dapat menghilang atau menetap antara episode rosasea.
Rosasea terdiri atas stadium I-III berdasarkan Plewig-Kligman. Pada tahap
awal (stadium I) rosasea dimulai dengan timbulnya eritema tanpa sebab atau akiba

6
sengatan matahari. Eritema ini menetap lalu diikuti timbulnya beberapa
telangektasia. Pada tahap kemudian (stadium II) dengan diselingi episode akut
yang menyebabkan timbulnya papul, pustul dan edema, terjadilah eritema
persisten dan banyak telengietasia, papul dan pustul. Pada tahap lanjut (stadium
III) terlihat eritema persisten yang dalam banyak telangektasia, papul, pustul,
nodul, dan edema.

F. KLASIFIKASI
National Rosacea Expert (NRS) Commitee, pada tahun 2002 menetapkan
klasifikasi rosasea ke dalam 4 tipe, yaitu eritematotelangiektasis, papulopustular,
phymatous dan okular.
1. Tipe eritematotelangiektasis (ETR)
Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR) ditandai oleh rasa perih
pada bagian sentral wajah dan sering disertai dengan rasa panas dan
terbakar. Kulit kemerahan biasanya terdapat di sekitar mata. Pasien dengan
rosasea tipe ini memiliki kulit bertekstur baik dengan penurunan kualitas
kelenjar sebasea. Area eritem pada wajah terlihat kasar dan berbatas yang
merupakan suatu proses yang kronik, seperti dermatitis ringan. Faktor
pencetus yang paling sering menyebabkan rasa panas atau terbakar ini
termasuk stres emosional, minuman panas, alkohol, makanan berbumbu
pedas, cuaca dingin atau panas.

Gambar 1. Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR)

2. Tipe papulopustular (PPR)

7
Rosasea tipe papulopustular (PPR) merupakan bentuk klasik rosasea.
Kebanyakan pasien adalah wanita berusia pertengahan dengan keluhan
papul dan pustul pada bagian sentral wajah (central portion). Telangiektasis
yang terjadi agak sulit dibedakan dengan eritema.

Gambar 2. Rosasea tipe papulopustular (PPR)

3. Rosasea phymatous
Rosasea tipe phymatous merupakan rosasea dengan penebalan pada
kulit dan permukaan terdapat nodul iregular di daerah hidung, dagu, dahi,
satu atau kedua telinga, dan kelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe
rinofima (suatu perubahan pada hidung) secara histologis yaitu tipe glandula
(akibat hiperplasia kelenjar sebasea) dan merupakan tipe yang lebih
dominan, tipe fibrosa (akibat hiperplasia jaringan konektif), tipe
fibroangiomatosis (hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh darah),
dan tipe aktinik (akibat massa nodular jaringan elastis).

Gambar 3. Rosasea tipe phymatous

4. Rosasea okular
Manifestasi okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan pada
kelopak mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva interpalpebra
dan telangiektasis konjungtiva. Pasien mungkin mengeluh mata terasa perih

8
atau terbakar, kering, dan seperti ada sensasi benda asing atau sensasi
cahaya. Rosasea okular hampir mirip dengan rosasea phymatous, tetapi
memiliki manajemen terapi yang berbeda. Oleh karena itu, harus ditanyakan
pada pasien tentang keluhan dan gejala okular dan dilakukan pemeriksaan
fisik untuk menentukan tipe rosasea.

Gambar 4. Rosasea tipe okular

Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan stadium


sebagai berikut :
1. Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis
2. Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil
3. Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang tebal,
papul, pustul, nodul, jarang ada edema padat/keras pada bagian sentral
wajah.

Pada klasifikasi ini, stadium I analog dengan tipe


eritematotelangiektasis, stadium II dengan tipe papulopustular, dan stadium
III analog dengan tipe phymatous. Progresi dari satu stadium ke stadium lain
tidak selalu terjadi. Rosasea dapat dimulai dengan stadium II atau III dan
stadium-stadium itu dapat terjadi bersamaan.

G. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea
yaitu papul/pustul wajah dan flushing atau eritema.
1. Papul atau pustul pada wajah
a. Akne vulgaris
Akne vulgaris dapat terjadi pada remaja dengan kulit seborhoe, klinis
komedo, papul, pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu,

9
dada, dan punggung bagian atas. Tidak ada telangiektasis. Sedangkan pada
rosasea, tidak terdapat komedo, ditemukan dilatasi vaskular, terjadi pada usia
pertengahan, dan umumnya terbatas pada 2/3 wajah.

Gambar 5. Akne vulgaris

b. Dermatitis perioral
Dermatitis perioral terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar
mulut dan dagu, lesi polimorfik tanpa telangiektasis dan keluhan gatal.
Berbeda dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak terdapat telangiektasis
dan flushing. Dermatitis perioral biasanya disebabkan oleh penggunaan
steroid topikal.

Gambar 6. Dermatitis perioral

2. Flushing atau eritema pada wajah


a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea, tetapi
yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama

10
berminyak dan agak gatal. Tempat predileksi di area seboroik yaitu :
retroaurikular, alis mata, dan sulkus nasolabialis.

Gambar 7. Dermatitis seboroik


b. Acute Cutaneous Lupus Eritematous (ACLE)
Meskipun ACLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis
terlihat eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan
berbentuk kupu-kupu. Lesi pada ACLE tidak mengenai sulkus nasolabialis,
biasanya lebih fotosensitif.

Gambar 8. Lupus eritematosus sistemik

c. Dermatomiositis
Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang
menyerang kulit dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai oleh adanya
edema dan inflamasi periorbita, eritema pada wajah, leher, dan bagian atas
tubuh.

11
Gambar 9. Dermatomiositis

H. HISTOPATOLOGI
Perubahan histopatologi tergantung stadium dari proses yang terjadi.
Biasanya terdapat ketidakteraturan pada jaringan ikat kulit bagian atas, ditandai
dengan adanya edema dan kerusakan serabut otot. Fase inflamasi ditandai adanya
sel limfosit, histiosit, polimorfonuklear, sel plasma, dan giant cell. Demodex
folliculorum seringkali ditemukan pada folikel rambut di daerah yang mengalami
gangguan.
Gambaran histopatologis yang paling sering ditemukan pada rosasea
adalah infiltrasi sel radang limfohistiosit dalam jumlah besar yang letaknya agak
berjauhan satu dengan yang lain di sekitar pembuluh darah kulit, telangiektasis,
edema, elastosis, dan terdapat gangguan struktur kulit bagian atas.

1. Rosasea eritomatotelangiektasis, kapiler dan venul terlihat membesar dan


melebar pada dermis bagian atas biasanya memiliki bentuk yang aneh, tungau
Demodex biasanya ada, udem pada bagian atas dermis, berbagai derajat
inflamasi limfositik, spongiosis (secara umum, tidak spesifik untuk rosasea),
dan tidak terdapat perubahan pada dermio epidermal junction.

12
Gambar 10. Biopsi rosasea eritematotelangiektasis, menunjukkan dilatasi pembuluh
superfisial dengan sel-sel endotel yang menonjol dan edema dari dermis atas. Yang
juga menunjukkan spongiosis dan limfosit eksositosis dalam epidermis.

Gambar 11. Berbentuk aneh, Gambar 12. Kasus rosasea


venul dan kapiler membesar eritematotelangiektasis (ETR)
pada biopsi rosasea vaskuler dengan Demodex.

2. Rosasea papulopustular, inflamasi yang mencolok pada bagian superficial dan


dalam disertai berbagai macam infiltrat dan eosinofil ditambah sel plasma,
tungau Demodex biasanya ada, secara umum terdapat spongiosis, eksositosis,
dan folikulitis akut, solar elastosis, tidak ada unsur penahan seperti kista
infundibular pada kulit.

13
Gambar 13. Biopsi rosasea papulopustular (PPR) dengan kumpulan besar neutrofil di
samping folikel di sebelah kiri, edema superfisial, radang limfositik padat dan pembuluh
darah melebar

Gambar 14. Kumpulan neutrofil di Gambar 15. Biopsi dengan pustul


superfisial, puing-puing eosinofilik dan yang menonjol
infundibulum yang pecah pada gambaran
biopsi rosasea pustulosa.

Gambar 16. Pustule dengan kumpulan neutrofil dan Demodex terletak di luar folikel

3. Rosasea granulomatosa, granuloma besar di lapisan superfisial dan tengah


dermis disertai ruang kosong ditengah dan bisa juga menjadi pagar,

14
elastolitik, atau menyebar, terdapat tungau Demodex dan kadang kadang
sisa sisa tungau, dan tidak ada kaseasi.

Gambar 17. Rosasea granulomatosa

4. Rinofima ditandai dengan peningkatan volume kelenjar sebasea dan fibrosis.


Lobulus sebasea yang sangat besar, seperti hiperplasia sebasea senilis, tetapi
struktur kelenjar normal. Infundibulum membesar dan penuh dengan keratin
pipih, puing-puing eosinofilik dan mikroorganisme. Tungau Demodex yang
umum. Pembesaran infundibulum dikaitkan dengan pembentukan kista
epidermal yang bisa pecah dan menyebabkan peradangan. Peradangan selalu
hadir, tetapi pada umumnya kurang mencolok daripada di PPR. Infiltrat ini
terutama limfosit dan neutrofil sekitar infundibulum membesar. Granuloma
kecil mungkin juga ada.

Gambar 18. Pembesaran kelenjar Gambar 19. Biopsi rhinopyma


sebasea dan fibrosis perifer pada biopsi dengan ruang kistik besar
rinofima (hipertrofi rosasea)

15
Gambar 20. Rinofima dengan fibrosis dan pembuluh melebar di bagian atas

I. DIAGNOSIS
Tidak ada uji diagnostik yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
rosesa. Penegakan diagnosis dilakukan dengan melihat gejala primer dan sekunder
dari rosasea. Biopsi kulit dapat dilakukan hanya untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
a. Gambaran primer
Diagnosis rosasea ditegakkan bila pada wajah bagian sentral ditemui satu
atau lebih tanda-tanda di bawah ini:
Kemerahan kulit (eritema transien)
Eritema nontransien
Papul dan pustul. Papul merah berbentuk kubah dengan atau tanpa
disertai pustul, dapat pula disertai dengan nodul.
Telangiektasis.
b. Gambaran sekunder
Tanda dan gejala di bawah sering muncul dengan satu atau lebih gambaran
primer, tapi beberapa pasien dapat mengalaminya secara terpisah.
Rasa terbakar dan pedih
Plak
Kulit kering.
Edema.

16
Manifestasi okular.
Lokasi perifer.
Perubahan fimatous.

J. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rosasea meliputi tatalaksana umum, obat topikal, obat


sistemik dan tambahan. Tatalaksana umum dapat berupa menyarankan kepada
pasien untuk menghindari faktor pencetus dan iritan, seperti sabun yang kuat dan
pembersih kosmetik berbasis alkohol, menggunakan tabir surya sebagai pelindung
terhadap sinar ultraviolet A dan ultraviolet B. Bila pasien mengalami
intoleransi/sensitif terhadap bahan-bahan kosmetik dapat digunakan light liquid
foundation. Selain itu, penggunaan green tinted make up pada lesi sebelum
aplikasi alas bedak dapat dilakukan untuk memudarkan area merah. Pada pasien
yang sensitive digunakan pembersih wajah bebas sabun dan mengandung sodium
sulfacetamide atau sulfur untuk mengurangi rasa terbakar dan perih akibat
penggunaan obat topikal (azelaic acid) serta pelembab wajah yang lembut satu
sampai dua kali sehari sebelum penggunaan produk kosmetik lain.

Obat topikal
Biasanya antibiotik efektif pada pasien dengan akne. Tetracycline,
Eritromycin dan Klindamycin dengan konsentrasi 0,5% - 2% sering diberikan.
Metronidazole adalah derivate synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari
peneitian klinis, metronidazole 0,75% gel tropikal atau krim 1% dapat
menyembuhkan lesi hingga 68% 91%. Bentuk gel adalah yang paling efektif
untuk papul dan pustul rosasea.
Imidazole juga biasa digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya
adalah sebagai anti inflamasi dan imunosupresan dan bactericidal. Efek toksin
imidazole sangat rendah dan bisa mentoleransi kulit pasien yang sensitif.
Adapalene Neftoic acid derivate terbaru dengan poten retinoid acid reseptor
agonis dan anti inflamasi. Adapalene terbukti aman sebagai penatalaksanaan

17
topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalene gel 0,1% berefek kuat pada
papul dan pustul tapi kurang signifikan pada eritem dan telangiektasis.
Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang
mengurangi iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal
kortikosteroid bisa digunakan kecuali untuk rosasea fulminant.

Obat sistemik
Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromisin oral
biasanya efektif namun tetrasiklin yang paling efektif. Tetrasiklin-HCL,
oksitetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin biasanya efektif dalam mengontrol
papul dan pustul dari rosasea dan mengurangi eritem. Antibiotik tersebut dapat
dimulai dengan dosis 11,5 g tetracyclin-HCL dan oksitetrasiklin per hari, serta
50 g minosiklin dan doksisiklin diberikan dua kali sehari. Tetrasiklin oral efektif
pada rosasea okular.
Isotretinoin juga efektif meskipun mempunyai efek samping yang lebih
banyak. Obat ini digunakan pada rosasea yang resisten dan tidak berespon
terhadap antibiotik seperti rosasea lupoid, rosasea stage III, rosasea gram negatif,
rosasea konglobat, rosasea fulminan. Dosis isotretinoin 0,51 mg/kg/hari. Efek
samping obat pada mata paling sering terjadi.
Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan hanya pada rosasea fulminan
berupa prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.
Terapi Tambahan

Terapi secara topikal dan oral terkadang tidak berhasil mengurangi eritema
pada rosasea tipe tertentu. Perawatan dengan intense-pulsed ligth dan long-pulsed
dye lasers memberikan hasil efektif dalam mengurangi eritema dan telangiektasis
pada rosasea. Namun, terapi tersebut mahal dan tidak dapat menghilangkan
eritema atau telangiektasis secara permanen.

K. PROGNOSIS

Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode


akut. Namun adapula yang remisi secara spontan. Durasi penyakit dan hasil akhir
yang sangat bervariasi dan sulit diprediksi. Ketika berlanjut, rosacea biasanya

18
hanya berfluktuasi saja. Pada laki-laki dan perempuan lebih jarang, kegigihan
rosacea dapat menyebabkan penebalan kronis dan indurasi wajah (leonine facies)
dan rinofima. Keterlibatan mata biasanya ringan dan reversibel, meskipun kadang-
kadang keratitis mata dapat menyebabkan jaringan parut yang parah dan bahkan
perforasi kornea. Kebanyakan gejala rosacea biasanya dapat berhasil
dikendalikan.

19
BAB III
KESIMPULAN

Rosasea adalah suatu penyakit peradangan kronik pada kulit yang umumnya
terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah
sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan
dahi. Klinis terdapat eritema, papul, pustul, telangiektasis dan hipertrofi kelenjar
sebasea dan atau manifestasi okular yang persisten selama berbulan-bulan atau
lebih. Perbandingan antara wanita dan laki-laki 3:1, sering terjadi pada usia 30
sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda. Rosasea terdiri atas subtipe eritematotelangiektasis, papulpustul,
phymatous, dan okular. Diagnosis pada rosasea dilakukan dengan melihat gejala
primer dan sekunder dari rosasea itu sendiri. Pengobatan dengan menghindari
faktor pencetus rosasea, pemberian obat topikal, obat sistemik, dan terapi
tambahan lain berupa terapi dengan menggunakan laser pada kondisi tertentu.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Pelle MT. Rosacea. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.
8th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2012. P 918-925.
2. Wolf K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2009. P 8-10.
3. Jones JB. Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses, Flushing
and Flushing Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffths C,
editors. Rooks Text Book of Dermatology. 7 th ed. Blackwell Publishing
Company; 2004. P 2199-2217.
4. Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea,
Rinofima. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
P 260-262.
5. James MD, Berger TG, Gilston DM, editors. Connective Tissue Disease.
Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Philadelphia:
Saunders Company; 2011. P 241-244.
6. Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, et al. Standard
grading system for rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert
Committee on the Classification and Staging of Rosacea. J Am Acad
Dermatol. 2004;50:907.
7. Crawford GH, Pelle MT, James WD. Rosacea: I. Etiology, pathogenesis,
and subtype classification. J Am Acad Dermatol. 2004;51:327-41.
8. Q James, Rosso D, et al. Comprehensive Medical Management of Rosacea.
An Interim Study Report and Literature Review. J Clin Aesthetic Derm.
2008;1(1):20-25.
9. Diamantis S, Waldorf HA. Rosacea : Clinical Presentation and
Pathophysiology. J Drugs Dermatol. 2006.
10. Bikowski J, Torok L, Torok H. Rosacea Management: A Three-Pronged
Approach. Practical Dermatology. 2007:60-3.
11. Altinyazar HC, Koca R, Tekin NS, Esturk E. Adapalene vs. metronidazole
gel for the treatment of rosacea. Int J Dermatol. 2005;44:252-5.
12. Powell FC. Rosacea. N Engl J Med. 2005;352:793-803.

21

Anda mungkin juga menyukai