Anda di halaman 1dari 10

JOURNAL READING

Azithromycin vs. Chloramphenicol for


Uncomplicated Typhoid Fever in Children
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO, Semarang

Disusun oleh :

Habibah Nur Laili

30101206637

Pembimbing :

dr. Neni Sumarni, Sp. A.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2017
Azithromycin vs. chloramphenicol untuk
demam tifoid tanpa komplikasi pada anak
Yulia Antolis, Tony Rampengan, Rocky Wilar, Novie Homenta
Rampengan

Abstrak

Latar belakang Munculnya berbagai obat yang resisten terhadap


Salmonella typhi sehingga perlu mengevaluasi agen baru untuk pengobatan
demam tifoid. Azitromisin memiliki aktivitas in vitro terhadap patogen enterik,
termasuk Salmonella spp. Namun, tidak ada bukti yang cukup untuk
membandingkan azitromisin dengan antibiotik lini pertama yang saat ini
digunakan.

Tujuan Untuk menganalisis efektivitas azitromisin dibandingkan dengan


kloramfenikol sebagai obat lini pertama dalam terapi demam tifoid tanpa
komplikasi pada anak-anak.

Metode Kami melakukan randomized open trial dari November 2011


sampai Maret 2012 pada 60 anak yang berumur 2-13 tahun dengan demam
tifoid tanpa komplikasi. Subyek secara acak menerima azitromisin (10
mg/kgBB/hari peroral 1x sehari) atau kloramfenikol ( 100 mg/kgBB/hari
peroral dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari. Efektifitas diukur dengan
mencatat penurunan gejala dan tanda klinis dan waktu penyembuhan
demam. Data dianalisis dengan Chi-square dan T-tes.

Hasil Dari 30 pasien dalam grup azitromisin dan 28 pasien dari 30 pasien
dalam grup kloramfenikol sembuh (P= 0.246). Waktu penyembuhan demam
lebih pendek pada grup azitromisin (mean 37,9 (SD 32,75) jam, 95 % CI
25,67 sampai 50,13) dibanding grup kloramfenikol (mean 49 (SD 45,83) jam,
95 % CI 31,89 sampai 66,11).
Kesimpulan Efektifitas azitromisin mirip dengan choramphenicol dalam
pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi pada anak-anak. Azitromisin
memiliki waktu penyembuhan demam lebih pendek dan tingkat kesembuhan
yang lebih tinggi dibandingkan kloramfenikol, meskipun hasil ini tidak
signifikan secara statistik.

Kata kunci: azitromisin, kloramfenikol, efektifitas, pengobatan, demam tifoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh


bakteri Salmonella typhi. Di Indonesia, demam tifoid masih merupakan
penyakit endemik dengan kejadian yang tinggi. Munculnya beberapa obat
yang resisten terhadap Salmonella typhi seperti kloramfenikol, ampisilin dan
trimethoprim-sulfametoxazole, sehingga perlu dilakukan evaluasi agen baru
untuk pengobatan demam tifoid. Kekambuhan dan carrier kronis ditemukan
setelah terapi kloramfenikol. Efek samping dari kloramfenikol seperti depresi
sumsum tulang dan anemia aplastik memaksa dokter dalam mencari
alternatif untuk terapi dengan kloramfenikol.

Azitromisin adalah turunan dari macrolide dasar dengan aktivitas yang


lebih baik daripada eritromisin terhadap bakteri Gram negatif. Azitromisin
memiliki aktivitas in vitro terhadap patogen enterik, termasuk Salmonella spp.
Namun, tidak ada cukup bukti untuk membandingkan azitromisin dengan
antibiotik lini pertama yang saat ini digunakan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis efektivitas azitromisin, sebuah makrolida baru,
dibandingkan dengan kloramfenikol, sebagai obat lini pertama untuk terapi
demam tifoid tanpa komplikasi pada anak-anak.

Metode

Kami melakukan randomized open trial dari November 2011 sampai


Maret 2012, di Departemen Kesehatan Anak, Universitas Sam Ratulangi/
Rumah sakit Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado. Penelitian ini disetujui oleh
Komite Etik dari Fakultas kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Rumah sakit
Prof. Dr. R. D. Kandou.
Subjek penelitian adalah anak usia 2-13 tahun dengan demam tifoid
tanpa komplikasi. Demam tifoid tanpa komplikasi didefinisikan sebagai
riwayat demam selama 7 hari dengan satu gambaran klinis sugestif demam
tifoid (perut sakit dan nyeri, diare atau sembelit, mual atau muntah, lidah
kotor dan hepatosplenomegali) dan tes tubex positif (4). ). Peneliti meminta
persetujuan semua orang tua subjek sebelum penelitian. Kita mengeklusi
anak dengan malnutrisi, riwayat reaksi hipersensitivitas untuk azitromisin atau
kloramfenikol, riwayat infeksi S.enteritidis, penyakit lain seperti demam
berdarah, malaria, pneumonia, tuberkulosis atau Infeksi saluran kencing,
serta mereka yang telah menerima azitromisin atau kloramfenikol selama 7
hari tetapi kita tidak mengeklusi anak yang menerima antibiotik lain.

Subyek secara acak berdasarkan pada daftar acak yang dihasilkan


oleh komputer untuk menerima baik azitromisin (oral 10 mg/kgBB/hari 1x
sehari) atau kloramfenikol (oral 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis)
selama 7 hari. Pemeriksaan darah lengkap, tes tubex dan urinalisa dilakukan
sebelum terapi. Kultur urin tambahan dilakukan pada pasien dengan hitung
sel darah putih lebih dari 5 sel per lapang pandang besar di urinalisa
mereka, untuk menyingkirkan Infeksi saluran kemih.

Pasien diuji setiap hari sampai pasien keluar dari rumah sakit, dengan
referensi khusus untuk gejala klinis, waktu penyembuhan demam , efek
samping obat, dan komplikasi dari penyakit. Respon terhadap pengobatan
dinilai dengan parameter klinis (resolusi dari tanda dan gejala klinis), waktu
penyembuhan demam (waktu awal pemberian antibiotik sampai suhu tubuh
turun menjadi kurang dari 37,5 dan tetap demikian selama 48 jam) dan
pengembangan komplikasi. pasien dianggap sembuh jika demam
menghilang, Semua tanda dan gejala demam tifoid teratasi, dan tidak ada
komplikasi atau efek samping yang parah hingga hari terakhir
pengobatan. Kegagalan pengobatan klinis didefinisikan sebagai demam dan
gejala yang menetap setelah menyelesaikan pengobatan atau berkembang
menjadi komplikasi berat (perdarahan gastrointestinal yang parah, perforasi
usus, syok, atau koma) selama pengobatan, membutuhkan perubahan dalam
terapi . pasien yang gagal diterapi ulang dengan ceftriaxon 80 mg/kgBB/hari
selama 7 hari.
Asumsi tingkat kegagalan dari azitromisin 5%, ukuran sample minimal
24 pasien per kelompok akan memberikan kekuatan 80% untuk mendeteksi
perbedaan 20% di tingkat kegagalan pada tingkat signifikansi 5%. Proporsi
kesembuhan klinis dibandingkan dengan uji Chi-square. Waktu
penyembuhan demam dibandingkan dengan menggunakan t-test
independent. Nilai p <0,05 menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
kedua kelompok.

Hasil

Dari november 2011 sampai maret 2012, 65 anak-anak dengan


demam tifoid tanpa komplikasi berusia 2-13 tahun direkrut ke dalam
penelitian kami. Tiga anak dari kelompok azitromisin dan dua anak-anak dari
kelompok kloramfenikol keluar dari penelitian. Enam puluh Anak
menyelesaikan studi, dengan 30 anak-anak di setiap kelompok Gambar 1
Tabel 1 menunjukkan epidemiologi, klinis, dan fitur laboratorium antar
kelompok penelitian.

Ada 17 dan 16 laki-laki di masing-masing kelompok azitromisin dan


kloramfenikol,. Usia rata-rata adalah 6,04 (SD 3,09) tahun pada kelompok
azithromycin dan 6.18 (SD 2,55) tahun pada kelompok kloramfenikol.
Anoreksia adalah yang paling umum muncul setelah demam, diikuti mual dan
muntah. Nilai laboratorium hitung darah lengkap dalam batas normal untuk
kedua kelompok studi.
Tabel 2 menunjukkan hasil pengobatan untuk kedua kelompok.

Waktu penyembuhan demam lebih pendek pada Kelompok azitromisin (rata-


rata 37,9 jam) dibandingkan dengan kelompok kloramfenikol (rata-rata 49
jam) tetapi hasilnya tidak signifikan secara statistik (p = 0,285). Semua pasien
yang diobati dengan azitromisin dan semua kecuali dua dari pasien yang
diobati dengan kloramfenikol sembuh. Dua pasien dengan kegagalan klinis
pada kelompok kloramfenikol yang dianggap tidak sembuh sebagai hasil dari
resolusi demam yang lambat tanpa gejala lainnya. Kedua subyek penelitian
menerima ceftriaxone untuk tambahan 7 hari setelah 7 hari pemberian
kloramfenikol. Keduanya kemudian mendapatkan penyembuhan tanpa
konsekuensi yang signifikan.

Efek samping terjadi pada dua pasien yang diobati dengan azitromisin,
dengan perkembangan ketidaknyamanan perut dan batuk, tapi tidak satu pun
dari pasien yang diobati dengan kloramfenikol. Efek samping yang tidak
parah dan tidak menimbulkan perubahan dalam pengobatan.

Diskusi

Hasil dari perbandingan , uji acak azitromisin dan kloramfenikol untuk


demam tifoid menunjukkan bahwa kedua perawatan yang sama efektif,
sehingga tingkat kesembuhan klinis dari 93-100% dalam waktu 7 hari.

Dalam penelitian kami, tingkat kesembuhan klinis 100% untuk subyek


yang menerima azitromisin dibandingkan dengan temuan dari percobaan
azitromisin masa lalu untuk pengobatan demam tifoid. Waktu penyembuhan
demam rata-rata 1,5-2,0 hari setelah awal pengobatan dalam dua kelompok
perlakuan menunjukkan bahwa sebagian besar pasien merespon segera
terapi yang diberikan. Hasil ini baik dibandingkan dengan agen antimikroba
lainnya yang diuji untuk demam tifoid, termasuk ceftriaxone, sefiksim, dan
fluoroquinolones, serta menegaskan temuan uji coba di Mesir, India dan
Vietnam azitromisin dianggap efektif melawan infeksi yang disebabkan
oleh S. typhi.

Sangat menarik bahwa dalam penelitian kami waktu penyembuhan


demam lebih pendek daripada penelitian terdahulu. Butler et al. melaporkan
bahwa uji acak pada pasien dewasa yang menerima azitromisin 500 mg oral
sekali sehari selama 7 hari atau kloramfenikol 2-3 g secara oral dalam empat
dosis terbagi selama 14 hari, waktu penyembuhan demam lebih pendek
pada kelompok azitromisin (rata-rata 98, 4 jam) dibandingkan pada kelompok
kloramfenikol (rata-rata 103,2 jam) tetapi hasilnya tidak signifikan secara
statistik. Ada tanda heterogenitas untuk waktu penyembuhan demam pada
anak-anak dan orang dewasa yang menggunakan azitromisin untuk tipus
dalam studi masa lalu oleh parry et al (139,2 jam), dolecek et al (106 jam),
Aggarwal et al (82,8 jam) dan Girgis et al (91,2 jam). Selanjutnya, frenck et al
menemukan bahwa waktu penyembuhan demam pada anak-anak dan
remaja dengan gejala klinis demam tifoid yang diobati dengan azitromisin oral
10 mg / kg / hari selama tujuh hari adalah 4,1 hari.

Perbedaan waktu penyembuhan demam antara beberapa penelitian


dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan metodologi,
lokasi geografis yang berbeda, usia kelompok penelitian, dosis obat yang
digunakan, tingkat keparahan penyakit atau kondisi klinis pasien, pengobatan
antibiotik sebelumnya dan status kekebalan seseorang . Uji coba terakhir
dilakukan di negara-negara Asia di mana MDR S. typhi telah dilaporkan,
termasuk Pakistan, India, dan Vietnam. Sebuah studi prospektif yang
dilakukan di Delhi pada interval tiga tahun (1999, 2002, dan 2005)
menemukan bahwa kejadian MDR S. typhi berurutan meningkat dari 34%
pada tahun 1999 menjadi 66% pada tahun 2005. Percobaan terdahulu yang
lain dilakukan di Southern Vietnam, daerah dengan proporsi MDR sangat
tinggi , 88%. Tidak seperti daerah lain di Asia Tenggara di mana MDR adalah
umum, dilaporkan tingkat resistensi antibiotik di S. typhi dari Indonesia, hanya
6,8% pada tahun 2007. Ia telah mengamati dalam beberapa studi ,
dibandingkan dengan anak yang terinfeksi oleh sensitif strain S. typhi, anak-
anak dengan MDR S.typhi lebih sakit dan terlihat lebih beracun . Ini bisa
menjelaskan waktu penyembuhan demam relatif singkat dalam penelitian
kami untuk kedua kelompok antibiotik. Dalam penelitian kami, 23 dari 60
subyek penelitian yang menerima antibiotik lain (selain kloramfenikol dan
azitromisin) sebelum penelitian. Ini juga bisa mempengaruhi waktu
penyembuhan demam , meskipun proporsi subjek dalam menerima
antibiotik sebelumnya antara kelompok penelitian adalah serupa.

Kedua obat dalam penelitian berbeda dalam hal penyerapan ,


farmakokinetik, prinsip terapi dan efek samping terapi. Azitromisin diberikan
satu hari dalam dosis 10 mg / kgbb per hari selama 7 hari, sedangkan
kloramfenikol diberikan empat kali sehari dalam dosis 100 mg / kgbb per hari
selama 7 hari. Kedua antibiotik menembus ke dalam sel secara efektif, dan
penetrasi intraseluler ini menjelaskan aktivitas terapi yang efektif terhadap
patogen intraseluler terutama S. typhi. Di sisi lain, konsentrasi serum
azitromisin yang telah dilaporkan di kisaran 0,04-0,4 mg / l selama
pengobatan kurang dari konsentrasi minimum penghambatan (MIC)
azitromisin terhadap S. typhi .lebih kecil konsentrasi serum 5,5-57 mg / l
dilaporkan untuk kloramfenikol selama pengobatan demam tifoid.
Kemampuan azitromisin untuk mencapai konsentrasi intraseluler di monosit
231 kali lebih besar dari konsentrasi serum, dan di polimorfonuklear leukosit
83 kali lebih besar dari konsentrasi serum, serta waktu paruh konsentrasi
intraseluler 2-3 hari , tampaknya menjadi penting untuk aktivitas terapeutik
azithromycin pada demam tifoid.

Efek samping, termasuk gejala gastrointestinal dan batuk, dilaporkan


oleh dua pasien yang diobati dengan azitromisin dalam penelitian kami, tapi
peristiwa ini tidak serius dan tidak memerlukan penghentian terapi. Peristiwa
ini terutama terjadi dalam 1-2 hari pertama pengobatan dan tidak
membutuhkan terapi atau perubahan rejimen pengobatan.Meskipun tidak
dapat dibuktikan, banyak peristiwa gastrointestinal kemungkinan besar terkait
dengan penyakit yang mendasari dan tidak dengan pengobatan.

Penelitian ini bukan uji buta, yang merupakan salah satu


keterbatasan. Keterbatasan lain adalah bahwa kita tidak melakukan kultur
darah sebagai gold standar untuk mendiagnosis demam tifoid, atau apakah
kita melakukan tes sensitivitas antimikroba pada bakteri.
Kesimpulannya, khasiat azitromisin adalah mirip dengan
choramphenicol dalam pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi pada
anak-anak. Azitromisin menunjukkan waktu yang lebih pendek pada waktu
penyembuhan demam dan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kloramfenikol, dalam terapi demam tifoid tanpa
komplikasi pada anak-anak, meskipun hasil ini tidak signifikan secara
statistik.

Anda mungkin juga menyukai