Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN

PENYAKIT DIFTERI PADA ANAK

DISUSUN OLEH :

1. Dita Hayu K 470115048


2. Eva Septia W 470115056
3. Luqman Maruf R 470115064
4. Nashroul Nur W 470115068
5. Risma Putri A 470115076
6. Sidiq Aji P 470115081

AKADEMI KEPERAWATAN DR. SOEDONO MADIUN

TAHUN AJARAN 2016/2017


Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Asuhan
Keperawatan Penyakit Difteri Pada Anak. Dan juga kami berterima kasih kepada Bu
Nunung Handayani selaku Dosen mata kuliah Keperawatan Anak yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai penyakit. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Madiun, 21 Februari 2017

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagiousdisease).


Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacteriumdiphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) danlaring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udarayang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah tahun. Dilaporkan 10% kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.%elama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu,menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita.

B. Tujuan
B.1 Tujuan Umum

Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri

B.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami definisi difteri.

2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri.

3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri.

4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri.

5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan difteri.


7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari difteri.

8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan difteri.

C. Manfaat

Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus difteri.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit
dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius
bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin
yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau
kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan
Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane
pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin
yang diproduksi oleh basil ini. (Acang: 2008)

B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini
berbentuk batang Gram-positif. Bakteri dapat ditemukan pada sediaan langsung dari apusan
tenggorok atau hidung. Bakteri akan mati pada suhu 60C selama 10 menit, serta tahan hidup
beberapa minggu pada es, air, susu, dan lendir yang teah mengering. Sifat basil yaitu
membentuk psedomembran yang sulit diangkat, muda berdarah,berwarna putih keabu-buan
pada daerah yang terkena, yang terdiri dari fibrin, leukosit, nekrosis jaringan dan kuman,
serta mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan meracuni jaringan setelah beberapa
jam diserap, terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Hanya dengan sejumlah
1/50 mL, toksin sudah dapat membunuh kelinci (Ngastiyah, 2005 : 40 )
Penularan penyakit ini dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
secara langsung yaitu melalui udara dengan droplet infection serta kontak langsung dengan
pasien difteri. Penularan secara tidak langsung yaitu melalui benda-benda yang
terkontaminasi dengan kuman Corynebacterium diphtheriae, misalnya alat makan minum,
serta handuk. Berat ringannya penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya
virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Pada anak yang daya tahan tubuhnya
baik dan virulensinya ringan, maka anak akan mengeluh sakit ketika menelan dan dapat
sembuh dengan sendirinya. Pada umunya, tanda pada anak atau pasien yang mengalami
penyakit berat yaitu terdapat bullneck ( leher banteng ) atau terdapat stridor dan dispnea.

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas penjamu terhadap toksin difteria, virulensi serta
toksigenitas Corynebacterium diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin ), dan
loaksi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sisitemik penyerta dan
penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya.
Masa inkubasi umumnya antara 2-5 hari, walaupun dapat lebih singkat ( hanya satu
hari ) dan bisa mencapai 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak
terselubung, misalnya hanya sakit tenggorok yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar
antara 37,8-38,9C. Pada mulanya ternggorok hanya hiperemis tetapi kebanyakan sudah
terjadi membran putih/keabu-abuan.
Dalam 24 jam membaran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula.
Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu / hitam
tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya eksudat. Membran mempunyai
batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya sehungga sukar untuk diangkat. Bila
diangkat secara paksa dapat menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran
biasanya tidak membengkak.
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan menghilang. Dan
perubahan ini akan lebih cepat bila diberikan antitoksin. Pada difteria sedang biasanya proses
yang terjadi akan menurun pada hari ke-5 sampai hari ke-6, walaupun antitoksin tidak
diberikan. Difteria berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri ini
disetai adanya bullneck. Difteria berat timbul dengan gejala yang lebih berat dan membran
yang menyebar secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Edema tonsil dan
uvula dapat pula timbul. Kadang0kadang edema disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjar
leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga lain dan mengisi
dibawah mandibula sehingga memberi gambaran bullneck.
Difteria tonsil dan faring
Gejala biasanya tidak khas, berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok
dan panas subfebris. Dalam 24 jam timbul eksudat / membran di daerah
fausial. Membran dapat menutup satu tonsil atau kedua tonsil, uvula,
palatum molle dan faring.
Difteria tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adeniitis /
periadenitis sevikal. Kasus yang berat disertai dengan bullneck. Beratnya
penyakit sangat bergantung pada beratnya toksemia. Suhu dapat nomal
atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat.
Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari
dan penderita tapak sehat. Pada kasus sangat berat ditadai dengan gejala-
gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma
dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat
disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
Difteria hidung
Kira-kira 2% dar kasus difteria dan gejalanya paling ringan. Timbulnya
difteria hidung sulit dibedakan dengan pilek. Biasanya ditandai dengan
adaya sekret hidung dan khas. Panas hanya subfebris, sekret hidung mula-
mula serous kemudian menjadi epitaksis. Sekret ini dapat unilateral atau
bilateral, dapat menjadi mukopurulen disertai ekskoriasi hidung anterior
dan bibir atas yang memberi gambaran seperti impetigo. Sekret ini
biasanya menempel pada sputum nasi. Absorpsi toksin dari tempat ini
sangat kecil sehingga difteria hidung tergolong ringan. Infeksi ini cepat
menghilang dengan pemberian antitoskin. Adan bila tidak diobati, sekret
akan berlangsung berminggu-minggu dan merupakan sumber utama
penularan.
Difteria laring
Kebanyakan merupakan penjalaran difetria faring. Akan tetapi, kadang-
kadang dapat berdiri sendiri. Gambaran klinis sulit dibedakan dengan
obstruksi laringitis akut yang disebabkan oleh infeksi lain. Penyakit ini
disertai panas dan batuk serta suara serak.
Gejala obstruksi dapat berupa stridor inspiratioar, retraksi suprasternal,
supraklavikular dan subkostal. Perjalanan penyakit bergnatung pada
beratna penyakit dan derajat obstruksi. Pada kasus ringan, pemberian
antitoksin akan menghilangkan gejala obstruksi dan membran hilang pada
hari ke-6 sampai ke-10. Pada kasus sangat berat, penyumbatan diikuti
anoksemia yang ditandai dengan gelisah, sianosi, lemah, koma, dan
meninggal. Suatiu obstruksi akut dan kematian mendadak dapat terjadi
pada kasus ringan dengan sebagian membran terlepas dan menyumbat
saluran napas.
Jakson membagi derajat dispnu larng progesif menjadi 4 stadium :
Stadium 1 : terdapat cekungan ringan suprasternal
keadaan ini tidak mengganggu dan penderita tetap
tenang
Stadium 2 : cekungan suprasternal menjadi lebih dalam ditambah
cekungan epigastrium
penderita mulai tampak gelisah
Stadium 3: tampak cekungan suprasternal, supraklavikular,
infraklavikular epigastrium dan interkostal
penderita sangat gelisah dan tampak sukar untuk
bernapas.
Stadium 4 : gejala di atas semaki berat
penderita sangat gelisah dan berusaha sekuat tenaga
untuk bernapas
tampak seperti ketakutan dan pucat / sianosis
Stadium 2 dan 3 mempunyai mempunyai indikasi trakeostomi. Gambaran
klinis difteria laring, terutama karena obstruksi jalan napas yang
disebabkan oleh membran, kongesti dan edema.
Pada difetria laring murni, gejala toksemia minimal karena absorbsi toksin
pada mukosa laring jelek. Kira-kira 35 % dari difteria laring adalah murni /
primer. Sebagian besar difteria laring ( 65 % ) merupakan kelanjutan dari
difteria tonsil dan faring sehingga gejalanya berupa toksemia dan
obstruksi.
Difteria lain
Difteria dapat terjadi di luar saluran napas, seperti kulit, konjungtiva,
telinga dan vulvovaginal. Difteria kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan
telinga meruakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit
ditandai ulkus berbatas jelas dengan dasar membran putih/abu-abu.
Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata mengenai
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan adanya membran di
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengn sekret
mukopurulen dan berbau. Difteria vulvovaginal ditandai adanya ulkus
dengan batas jelas.

D. Patofisiologi
Bakteri Corynebacterium diphtheriae masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung
dan tidak langsung. Kuman masuk dan berkembang biak di saluran pernapasan, kemudian
masuk ke seluruh tubuh melalui alira sistemik. Setelah melewati masa inkubasi selama 2-5
hari, kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran
timbul lokal, kemudian menjalar ke faring, laring dan saluran pernapasan bagian atas.
Kelenjar getah bening akan membengkak dan mengandung toksin. Jika mengenai otot
jantung, maka dapat menyebabkan miokarditis toksik, dan akan menyebabkan paralisis otot
pernapasan jika mengenai jaringan saraf parifer. Toksin tersebut juga dapat menyebabkan
nekrosis pada hati dan ginjal, yang daoat menyebabkan nefritis interstisialis. Eksotoksin ini
akan meyerang nasal, tonsil, dan faring. Pada nasal, akan memyebabkan terjadinya
peradangan mukosa hidung, pilek, flu, dan sekret hidung. Pada tonsil dan faring akan terjadi
gangguan berupa sakit tenggorokan, stidor, sesak napas, membran berwarna putih keabu-
abuan, toksemia, dan syok septik, sedamgkan pada faring akan menyebabkan terjadinya
demam, suara serak, batuk,obstruksi jalan napas, dan adanya sianosis. Sumbatan jalan napas
terjadi karena adanya pseudomembran pada laring dan trake, yang dapat mengakibatkan
kematian. Selain itu, kematian dapat terjadi karena kompliaksi berupa miokarditis yang
menyebabkan gagal jantung dan bronkopneumonia yang menyebabkan gagal napas.
E. Pathway
nasal
Bakteri Corynebacterium
diphtheriae

1. Peradangan mukosa
Masuk ke dalam tubuh 2. Pilek
3. Flu
4. Sekret hidung

Berkembang biak disaluran


pernapasan

tonsil
Masuk keseluruh tubuh
melalui aliran sistemik

Masa inkubasi 1. Sakit


2-5 hari tenggorokan
2. Stridor
Membentuk
3. Sesak napas
pseudomembran dan
4. Membran
melepaskan eksotoksin
berwarna putih
keabu-abuan
Menjalar ke faring, laring, 5. Toksemia
dan saluran pernapasan 6. Syok septik
bagian atas
faring

Kelenjar getah bening


membengkak dan 1. Demam
mengandung toksin 2. Suara serak
3. Batuk
4. Obstruksi jalan
napas
Otot Jaringan Nekrosis
5. sianosis
jantung saraf pada hati
perifer dan ginjal

Miokarditis Paralisis Nefritis


Toksik otot Interstisialis
Pernapasan
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa
hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
7. Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per
millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk
pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada
seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada
bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang
mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas
suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick
dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap
protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita
selekta)
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-
kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan
sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin
difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain
disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada
hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya
10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya
antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh
reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi
eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan
yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.
8. Tes hapusan spesimen:
Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain,
berguna untuk identifikasi tempat spesies,uji toksigenitas dan kerentanan
anti mikroba sebagai medikasi

G. Diagnosis Banding
1. Difteria Hidung
Benda asing dalam hidung
Adanya benda asing dalam hidung sering membuat gejala yang sama
dengan difteria hidung. Benda asing dalam hidung khas ditandai infeksi
sekunder dengan sekret hidung yang banyak dan kadang-kadang disertai
darah. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan spekulum hidung dengan
ditemukannya benda asing dalam hidung.
Rinore
Keadaan ini dapat disebabkan oleh common cold, sinusitis atau infeksi
adenoid. Pada penyakit-penyakit ini tidak ditemukan adanya membran dan
biasanya sekret tidak mengandung darah.
Lues konginetal
Keadaan ini sudah jarang dijumpai.

2. Difteria Tonsil dan Faring (Difteri Fausial)


Tonsilitis folikularis atau lakunaris
Biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak
terlalu lemah. Faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih
kekuningan yang rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah bila diangkat
dan hanya terbatas pada tonsil saja. Penyebabnya adalah kuman streptokokus.
Pada penyakit ini respon terhadap penisilin sangat baik dan membran akan
hilang dalam 24 jam.
Angina plaut vincent
Penyakit ini juga membentukmembran yang rapuh, tebal, berbau dan
berwarna keabu-abuan. Sediaaan langsung akan menunjukakan kuman
fusiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif). Dibawah membran
terdapat ulserasi. Biasanya terdapat pada anak dengan gizi buruk.
Mononukleus infeksiosa
Penyakit ini khas ditandai adanya membran ditonsil disertai
pembengkakan kelenjar umum dan pembesaran limpa. Pada darah tepi
ditemukan limfosit abnormal dalam jumlah banyak.
Diskrasia darah
Diskrasia darah, seperti agranulositosis dan leukimia, dapat
memberikan komplikasi lesi oral yang menyerupai difteria.
Membran pascatonsilektomi
Membran disini terbatas dan tidak menyebar.

3. Difteria Laring
Laringitis akuta
Pada laringitis akut didapatkan gejala peningkatan suhu, batuk, suara
serak sampai afoni, sesak nafas dan stridor. Gejala laringitis akut pada anak
lebih berat daripada orang dewasa karena glotis anak relatif lebih kecil
dibandingkan orang dewasa dan ikatan mukosa dengan jaringan dibawahnya
masih renggang. Kuman penyebab adalah Streptokokus, Pneumokokus,
Stafilokokus dan Haemophilus influenzae. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan pemeriksaan laringoskopi direk. Pada pemeriksaan tersebut,
mukosa laring tampak merah dan edema tanpa membran.
Edema angioneurotik dari laring
Akibat respon alergi terhadap makanan atau obat. Ditandai dengan
sesak, sianosis, retraksi suprasternal yang tiba-tiba dan respon sangat drastis
terhadap pengobatan adrenalin.
Benda asing laring
Diagnosis tidak sukar karena dapat diketahui dari anamnesis. Pada
laringoskopi nampak benda asing.
H. Pengobatan

Difteria tanpa komplikasi

A. Pengobatan umum
Meliputi perawatan yang baik,istirahat,total di tempattidur,isolasi penderita dan
makanan lunak yang mudah dicerna,cukup mengandung protrin dan kalori.Penderita diawasi
ketat terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi,antara lain dengan pemeriksaan EKG pada
hari ke-0,ke-3,ke-7,dan setiap minggu selama 5 minggu.

B. Pengobatan khusus

1. Antidifteria toksin
Selama infeksi difteri terdapat 3 bentuk toksin :
Toksin bebas dalam darah.
Toksin bergabung dengan jaringan secara tidak erat
Toksin bergabung erat dengan jaringan.
Yang dapat dinetralisasi oleh antitoksin adalah bentuk 1 dan 2,sedangkan yang
bergabung erat dengan jaringan,antitoksin sudah tidak berefek lagi.Secara ideal bila
penderita tidak alergi,antitoksin sebaiknya diberikan secara intravena.
Beberapa keuntungan pemberian antitoksin intravena:
Peak level serum antitoksin akan dicapai dalam waktu 30 menit setelah pemberian
intravena,sedangkan secara intramuskular akan dicapai dalam waktu 4 hari.
Ekskresi antitoksinsecara intravena sama dengan intramuskular.
Antitoksin mencapai saliva segera setelah pemberian intravena,sedangkan
intramuskular akan dicapai dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
Pada binatang percobaan ternyata padapemberian intravena,angkakematian,miokrditis
dan neuritis jauh lebih rendah dibandingkan pemberian intramuskular.
Sebelum pemberiaan antitoksin harus dilakukan:

Anamnesis apakah ada riwayat alergi.


Tes kulit dan mata.
Harus selalu tersedia adrenalin 1:1000.
Tes kulit
Penyuntikan 0,1 mL larutan 1/1000 antitoksin difteria dalam larutan gara faal secara
intrakutan.Reaksi positif bila dalam 20 menit tampak indurasi lebi dari 10 mm.

Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah ditetesi 1 tetes larutan antitoksin 1:10 dalam larutan
garam faal.positif bila dalam 20 menit tampak kemerahan pada konjungtiva.

Bila tes kulit dan mata positif,antitoksin diberikn secara bertahap bila
negatif,antitoksin dapat langsung diberikan baik secara intramuskular maupun intravena.

Di indonesia,pemberian ADS secara intravena telah dilakukan di beberapa


tempat.Cara pemberian intravena ada beberapa macam dan semuanya memberikan hasil yang
cukup baik,yaitu;

Dengan melarutkan ADS dalam larutan garam faal 1:20 dengan tetesan 15
tetes/menit.
Dengan cara di atas tetapi kecepataan tetesan 20 tetes/menit.
ADS dalam 200 cc larutan Dextrose5% in 0,22,5% saline.

2. Antibiotika
Penisilin prokain
Obat ini masih cukup efektif untuk mengobati difteria sampai sekarang,dan dosis
yang digunakan ialah 50.000 unit/kgBB/hari selama 10 hari.
Eritromisin
Diberikan bila penderita alerfi terhadap Penisilin.Dosis yang dianjurkan
50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosisi sehari,dengan dosis maksimal 1
gram.Eritromisin memiliki efektifitas yang sama dengan penisilin,walaupun ada yang
menganjurkan pemilihan eritomisin perlu ditinjau kembali karena kepekaannya
terhadap infeksi 28%.
Linkomisin
Merupakan obat barisan ketiga yang dapat yang dapat diberikan secara intravena
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis atau 10mg/kgBB/hari
intramuskular sekali sehari.Untuk pemberian oral dosis yang dianjurkan 30-50
mg/kgBB/hari.
Tetrasiklin
Obat ini tidak efektif
3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mngenai kegunaan obat ini pada


difteria.Dianjurkan kortikosteroid diberikan pada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran napas bagian atas (dapat atau tidak disertai bullneck) dan bila terdapat
penyulit miokarditis.Dapat diberikan predison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu,kemudian
dihentikan secara bertahap.Pemberian kortikostiroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti.

Difteri dengan komplikasi

Pengobatan difteria dengan kompliksi,selain pengobatan umum hadap difteria juga


pengobatan khusus terhadap komplikasinya.

Pengobatan terhadap obstruksi laring

Mengurangi sumbatan jalan napas.


Pengipasan lendir.
Trakeostomi,bila sumbatan bertambah hebat dan sebelum penderita menjadi
sianosis dan lemah.
Pengobatan terhadap miokarditis

Istirahat total,tidak boleh ada aktivitas.


Diet lunak dan mudah dicerna.
Digitalis,masih kontrovesial kecuali bila ada tanda-tanda dekompensasi
jantung.
Gangguan konduksi berat misalnya AV block komplit,disosiasi AV umumnya
berakhir fatal,walaupuntelah dicoba obat antiaritmia.Akhir-akhir ini telah di
gunakan alat pacu jantung intrakardial.Bila pemasangan alat pacu jantung
tidak memungkinkan,dapat di berikan Alupen secara titrasi yaitu mula-mula
diberikan 1 ampul Alupent dalam 500 mL Glukosa 10%dan tetesan
disesuaikan dengan respons,yaitu dijaga agar denyut jantung menjadi 60-100
kali/menit. Bila respons kurang,tetesan dinaikkan atau dosis Alupen ditambah.
Pengobatan terhadap neuritis
Perlu pemasangan sonde lambung untuk mencegah aspirasi.
Bila terjadi paralisis otot pernapasan dilakukan respirasi artifisisal dengan menggunakan
intermittent positve pressurerespiratordan jalan napas harus selalu dijag.
Paresis/paralisis anggota gerak dapat diobati dengan fisioterapi.
Hasil pengobatan terhadap neuritis difteria umumnya sangat baik karena kerusakan/kelumpuhan
saraf bersifat reversibel.

Pengobatan kontak
Pada anak yang mengalami konyak dengan penderita sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana,yaitu:
Biarkan hidung dan tenggorok
Seyogyanya dilakukan uji Schick(uji kerentaan terhadap difteria)
Gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlewati
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukan keluhan,mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.pengobatan yang dapat diberikan
adalah.Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/Adenoidektomi.

TABEL 1.PENGOBATAN TERHADAP KONTAK DIFTERIA


penisilin 100mg/kgBB/hari oral/50.000 u/kgBB/hari suntikan,atau eritromisin
50mg/kgBB/hari selama 1 minggu
Biakan Uji Schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi:anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster
toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier: penisilin 100mg/kgBB/hari oral/50.000 u/kgBB/hari


suntikan,atau eritromisin 50mg/kgBB/hari selama 1 minggu

(+) (+) penisilin 100m g/kgBB/hari oral/50.000 u/kgBB/hari suntikan,atau


eritromisin 50mg/kgBB/hari selama 1 minggu + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif),sesuaikan dengan status imunisasi.


I. Komplikasi
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri sering kali memengaruhi
gejala klinisnya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun
pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan
Stafilokokus. Panas tinggi terutama didapati pada penderita dengan infeksi
tumpangan dengan kuman Streptokokus. Setelah era penggunaan
antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat jarang terjadi. Namun,
mengingat adanya infeksi tumpangan ini kita harus lebih awal waspada
dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak.
2. Lokal : obstruksi jalan napas akibat membran atau edema jalan napas
Obstruksi ini adap terjadi akibat tertutupnya jalan napas oleh membran
difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submadibular
dan servikal.
3. Sistemik : karena efek eksotoksin
Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difetria berat juga terjadi pada
bentukyang ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan
10-20 %. Makin luas lesi lokal dan makin terlambat pemberian antitoksin,
makin sering terjadi miokarditis. Faktor lain yang memengaruhi terjadinya
miokarditis adalah virulensi kuman. Makin virulen makin tinggi
komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat, yaitu pada minggu
pertama ata lambat pada minggu keenam.
Melemahnya suara jantugn pertama atau adanya aritmia pada penderita
biasanya menunjukkan gejala-gejala miokarditis. Pada EKG dapat terlihat
interval PR yang memanjang, depresi atau elevasi segmen ST yang
bermakna atau adanya blok.
Maimunah dkk. Membagi kelainan EKG pada miokarditis difteria atas :
o Gangguan konduksi : LBBB, RBBB, dan AV block derajat 1-3.
o Kerusakan miokardium : perubahan gelombang T yang disertai
dengan atau tanpa deviasi segmen ST.
o Aritmia : sinus takikardia atau brakikardia.
Miokarditis ini dapat diikuti gagal jantung yang ditandai dengan
pembesaran hati dan kongesti paru. Adanya AV block komplit
menyebabkan angka kematian mencapai 100 %.
Neuritis
Neuritis terjadi 5-10% dari penderita difteria yang biasanya merupakan
komplikasi dari difteria berat. Manifestasi klinisnya ditandai dengan :
o Timbul setelah masa laten.
o Lesi biasanya bilateral dan motorik lebih dominan daripada
sensorik.
o Biasanya sembuh sempurna.
Parasis / paralisis palatum molle
o Merupakan manifestasi saraf yang paling sering.
o Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara hidung
dan regurgitasi hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
kelainan ini timbul pada minggu pertam-kedua.
o Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
Ocular palsy
o Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai dengan
paralisis dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan
menjadi kabur. Otot yang terkena ialah muskulus rektus eksternus.
Paralisis diafragma
o Terjadi pada minggu ke-5 sampai ke-7. Paralisis ini terjadi akibat
paralisis nervus frenikus. Bila tidak segera diatasi, penderita akan
meninggal.
Paresis / paralisis anggota gerak
o Dapat terjadi pada minggu ke-6 sampai ke-10.
o Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendo menghilang,
cairan serebrospinal menunjukkan peningkatan protein yang
mengandung yang mirip dengan cairan Sindrom Guillain Barre.
Nefritis
J. Pencegahan
1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
kuma difteria 2 kali berturut-turut negatif.
2. Pencegahan terhadap kontak
Anak yang kontak dengan penderita difteria harus diisolasi selama 7 ahri.
Bila dlam pengamatan terdapat gejla-gejala klinis, penderita tersebut harus
diobati. Bila tidak ada gejala klinis, beri imunisasi terhadap difteria.
3. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas difteria terjadi sejak dilakukan pemberian
imunisasi. Iminusasi DPT diberikan pasa usia 2, 4, dan 6 bulan, sedangkan
imunisasi ulangan dilakukan pada usia 1 tahun dan 4-5 tahun. Di Indonesia
imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usia 2, 3, dan 4 bulan dan imunisasi
ulangna dilakukan pada usia 1-2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah
vaksinasi 1 pada usia 2 bulan, harus dilakukan vaksinasi ulang pada bula
berikutnya karena imunitas yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak
mempunyai kekebalan yang cukup protektif. Dosis yang diberikan setelah
0,5 mL tip kali pemberian. Reaksi imunisasi yag mungkin terjadi biasanya
demam ringan, pembengkakan, kemerahan dan nyeri di tempat suntikan
selama 1-2 hari. Efek samping dapat berupa demam tinggi,krjang dan
abses. Pada umumnya setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu diimunisasi. Imunisasi
diberikan setelah 1 bulan pemberian ADS.
K. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

a. Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada
bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara miskin
c. Tempat tinggal :Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang
rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
d. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia,
lemah
e. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia.
Difteria Tonsil dan Faring: Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual, muntah, nafas
berbau, Bullneck.
Difteria Laring dan Trachea: Sesak nafas hebat, stridor inspirator, terdapat retraksi
otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret,
permukaan tertutup oleh pseudomembran.
f. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas
atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
g. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan yang menderita penyakit Difteria
h. Riwayat Tumbuh Kembang
Pertumbuhan dan perkembangan motorik, sensorik klien dengan difteri biasanya
terganggu pernapasan sehingga sulit menelan.
i. Riwayat kehamilan dan persalinan
1) Riwayat kehamilan
Apakah selama hamil ibu klien selalu memeriksa kehamilanya kebidan.
2) Riwayat persalinan
Kaji dimana klien dilahirkan, berat badan, panjang badan.
j. Riwayat Imunisasi
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang memadai
k. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
2) Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
3) Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
4) Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia
l. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan umum
B1 : Breating

Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bulls neck), timbul peradangan pada


laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.
B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan
miokarditis dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-
kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung
menurun, pucat.
B6 : Bone
Bedrest.

2) Pemeriksaan fisik
a) Pada diptheria tonsil - faring
Malaise
Suhu tubuh < 38,9 c
Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
dinding faring
Bulneck
b) Diptheriae laring
Stridor
Suara parau
Batuk kering
Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub costal dan
supraclavicular
c) Diptheriae hidung
Pilek ringan
Sekret hidung serosanguinus mukopurulen
Lecet pada nares dan bibir atas
Membran putih pada septum nasi.
3) Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium Bakteriologi : Hapusan tenggorokan di temukan kuman
corinebakterium difteria
Darah : Penurunan kadar HB dan leukosit polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit dan kadar albumin.
Skin test : Test kulit untuk menentukan status imunitas
m. Penatalaksanaan dan Therapy
Therapi atau penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan konsep dasar:
1) Pengobatan umum
a) Isolasi
b) Pengawasan EKG
2) Pengobatan spesifik
a) ADS
b) Anti biotik
c) Kortikosteroid
d) Pada pasien yang di lakukan trakheostomi ditambahkan kloramphenikol 75
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

2. Diagnosa keperawatan

1. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus berlebih


2. Hipertermiaberhubungan dengan terlepasnya eksotoksin
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan menelan
No Diagnosa Tujuan/batasan Intervensi Rasional
karakteristik
1 jalan nafas tidak Setelah dilakukan 1. Monitor 1. Mengetahui
efektif berhubungan tindakan keperawatan perubahan tingkat
1x24 jam pasien frekuensi gangguan
dengan mukus
Menunjukkan bersihan napas, yang terjadi
berlebih jalan napas yang kedalaman, 2. Untuk
efektif. dan tipe meningkatka
pernapasan n ekspansi
Kriteria Hasil : 2. Atur posisi paru
1. Tidak ada suara dengan semi 3. Untuk
napas abnormal fowler / fowler mengeluarka
2. Ttv dakam batas 3. Ajarkan untuk n sekret
normal (RR : 16- batuk efektif 4. Sebagai
24x/menit) 4. Kolaborasikan vasodilator
untuk
pemberian
bronkodilator
2. Hipertermia Setelah dilakukan 1. Pantau suhu 1. Untuk
berhubungan tindakan keperawatan pada pasien mengidentifi
1x24 jam suhu tubuh 2. Berikan kasi pola
dengan
pasien dalam batas kompres demam
terlepasnya normal hangat pada klien.
eksotoksin Kriteria Hasil : daerah dahi, 2. Vasodilatasi
1. Tidak ada axila, lipatan pembuluh
peningkatan paha. darah akan
suhu tubuh 3. Berikan melepaskan
2. Tidak pengetahuan panas tubuh.
mengalami tentang 3. Peningkatan
dehidrasi akibat minum yang suhu tubuh
peningkatan banyak meningkat
suhu seseuai sehingga
3. Ttv dalam batas toleransi klien. perlu
normal (Suhu : 4. Kolaborasikan diimbangi
37,2-37,5C ) dengan tim dengan
medis untuk asupan
pemberian cairan yang
antipiretik banyak.
4. Obat
antipiretik
membantu
klien
menurunkan
suhu tubuh.

3. Nutrisi kurang Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Untuk


dari kebutuhan tindakan keperawatan LilA, BB mengetahui
2x24 jam nutrisi pasien 2. Berikan nutrisi ada / tidaknya
tubuh
terpenuhi selagi masih penurunan
berhubungan hangat dan BB
Kriteria Hasil : sedikita tapi 2. Tindakan ini
dengan
1. Berat badan ideal sering dapat
gangguan
sesuai dengan 3. Jelaskan pada meningkatkan
menelan tinggi badan keluarga masukan
2. Tidak ada tanda tentang meskipun
tanda malnutrisi pentingnya nafsu makan
3. Tidak terjadi
menjaga mungkin
penurunan berat
badan yang asupan nutrisi lambat untuk
berarti 4. Kolaborasikan kembali
dengan ahli 3. Menjaga
gizi untuk asupan nutrisi
pemberian diet yang adekuat
yang sesuai 4. Untuk
pemberian
diet yang
sesuai
PENUTUP
A. Kesimpulan
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit
dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini
berbentuk batang Gram-positif. Bakteri dapat ditemukan pada sediaan langsung dari apusan
tenggorok atau hidung.
Manifestasi klinis bergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas penjamu terhadap toksin difteria, virulensi serta
toksigenitas Corynebacterium diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin ), dan
loaksi penyakit secara anatomis.

B. Saran

Anda mungkin juga menyukai