Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat Hukum islam merupakan kajian filosofis tentang hakikat hukum
Islam, sumber asal-muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya serta fungsi
dan manfaat hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.
Untuk memahami lebih lenjut mengenai hukum islam perlu pengkajian yang
lebih dalam hingga ke akarnya supaya dapat terealisasi dengan baik dalam
kehidupan bermasyarkat guna mencapai kemaslahatan umat Islam. Dengan
demikian dalam kajian ini sangat di perlukan memahami sumber-sumber hukum
yang di gunakan dalam menentukan suatu hukum Islam.
Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah terhadap segala
masalah yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin
diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menentukan
ketentuan hukum. Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan
hukum Islam, yang pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh
Rasulullah SAW, bahkan Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan
pikiran falsafi itu sangat perlu memaham dalam berbagai persoalan.
Filsafat telah ada pada Zaman Rasulullah SAW, saat Muadz ditugaskan
sebagai Hakim sekaligus seorang guru ke Negeri Yaman Rasulullah SAW,
bertanya Dengan dasar apa kamu memutusakan perkara wahai Muadz? Mu'adz
r.a. menjawab, "Aku akan berijtihad mengoptimalkan akal pikiranku."
Rasulullah saw. pun membenarkan ucapan Mu'adz seraya berkata, "Segala
puji hanya bagi Allah yang telah memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-
Nya."

B. Rumusan Masalah
1. Apa sumber utama dalam menentukan hukum Islam?
2. Mengapa Al Quran, As Sunnah dan Urf di gunakan sebagai sumber hukum
Islam?

1
3. Bagaimana sumber-sumber hukum tersebut bisa dijadikan hujjah dalam
menentukan suatu hukum Islam?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui sumber-sumber hukum islam
2. Dapat mengetahui mengapa sumber hukum islam tersebut di jadikan hujjah
dalam menentukan suatu hukum
3. Memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Quran
1. Pengertian Al-Quran
Al-Quran berasal dari bahasa Arab,kata al-quran di gunakan untuk
maksud nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-
Quran secara erminologis juga dapat diartikan sebagai Lafaz yang berbahasa
Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dinukilkan secara
mutawatir. Tarif ini mengandung beberapa unsure pokok yang menjelaskan
hakikat daripada Al-Quran.
Pertama,bahwa Al-Quran itu berbrntuk lafaz yang mengandung arti
bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad
dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dan ibaratnya sendii tidaklah
disebut Al-Quran. Umpamanya hadis qudsi atau hadis qauli lainnya.
Karenanya tidak perlu berwudhu waktu membacanya.
Kedua, bahwa Al-Quran itu adalah berbahasa arab, yang mengandung arti
bahwa Al-Quran yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang di
ibaratkan dengan bahasa asing bukanlah Al-Quran.
Ketiga,Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad yang mengandung
arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan epada Nabi-nabi terdahulu
bukanah Al-Quran.
Keempat, bahwa Al-Quran itu dinuklikan secara mutawatir, mengandung
arti bahwa ayat-ayat yang tidak dinuklikan secara mutawatir bukanah disebut
Al-Quran.

2. Turunnya Al-Quran
Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nab Muhammad pada tanggal
17 Ramadhan tahhun ke-40 dari kelahiran Nabi. Hal ini dijelaskan dalam
surah Al-Baqarah ayat 185 :

3
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur..
Al-Quran diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Al-Quran
diturunkan secara bengangsur angsur dalam waktu itu. Al-Quran turun dalam
dua periode. Pertama, periode sebelum hijrah dalam jangka waktu 15 tahun,
ayat-ayat Al-Quran dalam periode itu disebut ayat-ayat makiyah. Kegiatan
pokok bagi risalah Nabi dalam periode ini adalah pembinaan kaidah islam.
Kedua, periode sesudah hijrah dalam jangka waktu 10 tahun. Ayat-ayat dalam
dalam periode ini disebut ayat madaniyah. Kegiatan pokok dari risalah Nabi
adalah pembinaan masyarakat islam, maka kebanyakan ayat-ayat yang turun
dalam periode ini berbentuk aturan-aturan atau ayat-ayat hukum.

4
3. Tujuan turunnya Al-Quran
Dengan menganalisis ayat-ayat Al-Quran terutama dari segi fungsinya
bagi kehidupan manusia maka terlihat bahwa Allah SWT menurunkan Al-
Quran dengan dua tujuan utama. Pertama bagi kepentingan Nabi dan kedua
bagi kepentingan umat manusia termauk Nabi.
Tujuan turunnya Al-Quran bagi kepentingan Nabi adalah sebagai bukti
yang paling kuat akibat kenabannya atau sebagai mujizat Nabi Muhamad.
Di tengah umat arab yang sedang mengagungkan kemampuan bersyair dan
keindahan bahasa munculah Nabi Muhammad dengan Al-Quran , baik dai
segi materi dan bahasa tidak dapat ditandingi oleh ahli bahasa manapun,
bahkan mereka tidak mampu berbuat sama meskipun mereka berhimpun
untuk itu (Al-Isra:88).

Tujuan turun Al-Quran bagi kepentingan umat adalah sebagai sumber


hidayah atau petunjuk yang akan membimbing umat untu mencapai
kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Kedudukan
Al-Quran sebagai sumber hidayat disampaikan Allah dalam Al-Quran secara
jelas dan dalam frekuensi yang banyak sekali. Ada dua bentuk sumber
hidayah yang penting dalam Al-Quran:

Pertama ,sumber ilmu pengethuan yang tersimpan di dalamnya yang


melingkupi segala bidang. Kandungan ilmu pengetahuan itu akan dapat
membawa manusia yang berhasil menggalinya untuk menguasai rahasia alam,
dapat hidup di dalamnya dan bahkan dapat menguasai alam itu sendiri. Ilmu
pengetahuan itu akan menunjiki-nya dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Kedua,dalam bentuk tata aturan dalam kehidupan manusia baik dalam


hubungannya dengan Allah Pencipta, maupun dalam hubungannya dengan
sesame manusia, yang akan menjamin kemaslahatan kehidupan umat baik di
dunia maupun untuk akhirat.

5
4. Penjelasan Al-Quran Terhadap Hukum
a. Ayat Al-Quran dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduannya
dijelakan sendiri oleh Allah dalam Al-Quran yaitu secara muhkam dan
secara mutasyabih ( Ali Imran:7).

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di


antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Ayat-ayat yang muhkam ialah ayat yang jelas maknanya tersingkap


secara terang yang menghindarkan keraguan arti dan menghilangkan
kemngkinan-kemungkinan pemahaman. Adapun yang mutasyabih adalah
kebalikannya yaitu lafaz yang tidak pasti artinya hingga dapat dipahami
daripadanya dengan beberapa kemungkinan.

Adanya kemungkinan berbagai pemahaman ini data dikarnakan oleh


dua hal. Pertama lafaz itu dapat di gunakan untuk dua maksud secara

6
pemahaman yang sama. Umpamanya lafaz quru dalam firman Allah(Al-
Baqarah 228) yang dapat berarti suci atau juga haid. Kedua, lafaz yang
menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan
keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaan sifat yang terdapat pada
manusia untuk Allah padahal diyakini bahwa Allah tidak akan sama
dengan makhluk. Umpamanya penggunaannya kata muka untuk Allah
(Ar-Rahman:27) dan penggunaan kata bersemayam untuk Allah
(Yunus:3). Ulama yang tidak menginginkan bentuk penyamaan Tuhan ini
berusaha menakwilkan atau mengalihkan arti dari lahir kepada arti lain,
seperti kata muka Allah diartikan zat Allah dan Allah bersemayam
diartikan Allah berkuasa.

b. Dari segi penjelasannya terhadap hokum terlihat ada beerapa cara.


Pertama, secara terperinci dengan arti Al-Quran memberikan penjelasan
secara sempurna sehingga dapat silaksanakan menurut apa adanya
walaupun tidk dijelaskan oleh Nabi dengan sunnahnya. Umpamanya ayat-
ayat kewarisan yang terdapat dalam surat An-NIsa ayat 11 dan 12, sanksi
terhadap kejahatan zina dalam surat An-Nur ayat 4. Penjelasan yang
tererinci ini sudah terang maksudnya dan tidak memberikan kemungkinan-
kemungkinan pemahaman, yang dari segi kejelasn artinya termasuk ke
dalam ayat-ayat yang muhkm.
Kedua, penjelasan Al-Quran terhadap hukm berlaku secara garis besar
yang masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling
berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang garis besar
itu adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan Nabi ada yang
berbentuk pasti hingga tidak memberikan kemungkinan pemahaman lain.
Di samping itu ada pula yang menjelaskan dalam bentuk yang maih
memerlukan perincian dan memberikan kemungkinan pemahaman.
Ketiga, memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir
disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat. Di sampan
itu memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan

7
dmikia satu ayat dapat memberikan beberapa maksud. Upamanya firman
Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233.

isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,


Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Ayat ayat Al-Quraan yang disampaikan dalm bentuk yang muhkam
secara penjelasan yang sempurna, penunjukannya terhadap hokum adalah
pasti (qathI dilalah). Tidak mungkin dipahami daripadanya maksud lain
dan tidak pula ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda-beda. Hokum
yang ditunjuk secara pasti ini berlaku universal dan tidak akan mengalami
perubahan walaupun waktu dan tempat sudah beruah. Penunjukan yang
pasti ini berlaku dalam bidang akidah seperti ibadah-ibadah pokok seperti
keharusan salat,serta dalam hal-hal yang norma baik dan buruk tidak akan
mengalami perubahan seperti keharusan beruat baik kepada orang tua.
Ayat-ayat Al-Quran yang disampaikan secara mutasyabih dalam
bentuk penjelasan yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang
mengandung isyarat, penunjukannya terhadap hokum bersifat zanni,
dengan arti tidak meyakinkan. Karenanya dapat diahami dalam beberapa
kemungkinan pemahaman . perbedaan pemahaman itu akan menghasilkan
versi hukumyang berbea-beda.
Penjelasan yan bersifat zanni ini pada umumnya berlaku dalam bidang
muamallat dalam arti luas yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamannya dalam kehidupan masyarakat. Karrena kehidupan masyarakat
itu selalu berkembang maka penerapan hukumpun akan mengalami
perubahan.

8
Namun Al-Quran itu sendiri bukanlah kitab undang-undang yang
menggunakan format dan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum. Al-
Quran itu adalah sumber hidayah yang di dalamnya terkandung norma dan
kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk undang-undang. Dalam
menjelaskan hukum, Al-Quran menggunakan beberapa cara dan ibarat yang
perama dalam bentuk tuntunan
5. Al-Quran sebagai sumber hukum
Atas dasar bahwa hukum syara itu adalah kehendak Allah tenteng
tindak tanduk manusia, maka dapat ditetapkan bahwa pembaruan hukum
(law-giver) adalah Allah SWT. Kehendaknya itu terdapat dalam kumpulan
wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian dapat ditetapkan
bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi ukum islam dan sekaligus juga berarti
sebagai dalil utama hukum islam, dengan arti Al-Quran dengan seluruh
ayatnya membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-
hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Kedudukan Al-Quran sebagai sumber pertama berarti bila
seseorang ingin menemukan hukum suatu kejadian, maka tindakan pertama ia
harus mencari jawab penyelesaiannya dari Al Quran dan selama hukumnya
dapat diselesaikan dengan A Quran, maka ia tidak boleh mencari jawaban
lain di luar sekolah. kemudian sebagai sumber utama atau pokok berarti
bahwa ia menjadi sumber dari segala sumber hukum. Kekuatan hujjah Al
Quran sebagai sumber dan dalil hukum dapat dikaji dari Al Quran itu sendiri
dan menyuruh umat manusia mematuhi Allah SWT. Dan Al Quran diinjau
dari segi lafaznya, keseluruhannya adalah qati dengan arti diyakini
kebenarannya dating dari Allah SWT.

B. Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sunnah Nabi ialah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi
SAW. Sunnah dilihat dari segi materi di bagi menjadi tiga yaitu : Sunnah

9
qauliyah (ucapan), Sunnah filiyah (perbuatan), Sunnah taqririyah
(ketetapan)1.
Sedangkan Hadits menurut bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu:
Jadid berarti baru; Qarib berarti dekat; Khabar berarti berita atau warta, dari
ketiga arti tersebut yang sesuai dengan pembahasan disini adalah hadits
dalam arti kabar 2, Allah memakai hadits dalam arti khabar dalam firmannya
maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya (al-
quran) jika mereka itu orang-orang yang benar(qs. Ath-thur : 34)
2. Derajat Dalil (Hujjiyyah)
Para ulama berssepakat bahwa sunnah merupakan sumber syariah
dan ketentuan ketentuannya mengenai halal dan haram berdirinya sejajar
dengan al-quran sunnah nabi adalah dalil (hujjah) bagi al-quran, member
kesaksian terhadap otoritasnya dan menyuruh umat islam untuk
mengikutinya, kata-kata nabi sebagaiman diungkapkan al-quran kepada kita,
merupakan wahyu Allah . perbuatan dan ajaran-ajarannya yang menjadi
sumber ketentuan syariah merupakandalil yang menikat. Sementara
menafsirkan ayat al-quran yang menegaskan bahwa nabi tidak berbicara
menurut kemauannya sendiri, tidak satupun selain wahyu yang diturunkan
kepadanya, tetapi al-Ghazali mengatakan bahwa beberapa wahyu Allah yang
diterima oleh Nabi memang menjadi bagian Al-Quran tetapi sisanya adalah
sunnah.
Kata-kata Nabi adalah hujjah bagi orang yang mendengar Nabi
mengatakannya. Bagi kita dan umumnya bagi umat Islam yang menerimanya
melalui riwayat-riwayat lisan dan tertulis dari para perawi, mengembalikan
putusan yang diperselisihkan kepada Allah berarti merujuk kepada Al-Quran
dan mengembalikannya kepada Rasul berarti menggunakan sunnah.3

1
Prof. Muhannad Abu Zahrah,1994, Ushul Fiqih, PT. Pustaka Firdaus,Jakarta :149
2
Drs. Syarmin Syukur. 1993. Sumber-sumber hokum islam, Al-Ikhlas. Surabaya : 59
3
Dr. Muhammad Hasyim Kamali. 1996. Prinsip dan teori-teori hokum Islam. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta :60-61

10
3. Pembagian Sunnah Dari Segi Periwayatannya
Sejak abad pertama kaum muslimin telah menaruh perhatian yang
besar terhadap sunnah dengan cara menukil segala ucapan, perbuatan, serta
ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Dilihat dari segi periwayatannya hadits-
hadits tersebut dibagi menjadi dua yaitu :
Hadits yang bersambung mata rantai perawinya (muttashil as-sanad),
dibagi menjadi :
a) Hadits Mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang yang tidak terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin
bersepakat bebohong, dengan perawi yang sama banyaknya hingga
sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. Jumhul ulama
berpendapat bahwa hadits mutawatir itu menghasilkan ilmu yang
yakin dan pasti (al-ilm al-yaqiny al-dharury) seperti ilmu dihasilkan
dari hasil penglihatan mata kepala (pandangan langsung), mereka
mengemukakan alasan bahwa semua orang sesuai dengan fitrahnya
telah sepakat tentang hal tersebut.
b) Hadits Masyhur, ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi, oleh
seorang, dua orang atau lebih sedikit dari kalangan sahabat atau
diriwayatkan dari sahabat, oleh seorang atau dua orang perawi,
kemudian setelah itu tersebar luas hingga diriwayatkan oleh orang
banyak yang tidak mungkin bersepakat berbohong. Kemasyhuran di
sini berada pada tingkatana generasi setelah masa sahabat atau masa
tabiin. maka tidak bisa dianggap Hadits Masyhur apabila
penyebarannya setelah generasi itu, karena setelah masa pembukuan
(tadwin) hadits semua hadits telah masyhur.
c) Hadits Ahad (Khabar Khasshah), menurut istilah imam SyafiI ialah
setiap hadits yang diriwayatkan diriwayatkan Rasulullah SAW oleh
seorang, dua oramg, atau sedikit lebih banyak, dan belum mencapai
syarat hadits masyhur. Ketiga imam madzhab yaitu, Abu Hanifah,
SyafiI dan Ahmad, menerima hadits-hadits ahad apabila telah
memenuhi syarat-syarat periwayatan yang shahih. Untuk menerima

11
hadits ahad, imam malik mensyaratkan hadits itu harus tidak
bertentangan dengan tradisi masyarakat madinah. Karena ia
berpandangan, bahwa tradisi masyarakat madinah yang menyangkut
soal agama merupakan riwayat yang masyhur dan menyebar luas.
Hadits Yang Tidak Bersambung Sanadnya
Hadits Ghair Muttashil, ialah hadits yang sanadnya tidak
bersambung kepada Nabi SAW. Sebagian ulama menamakannya Hadits
Mursal, sebagian yang lainnya menganggap Hadits Mursal adalah hadits
dimana seorang perawi tabii tidak menyebutkan nama sahabat yang
menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Imam SyafiI tidak memakainya kecuali apabila tabiI yang
meriwayatkan hadits itu telah terkenal dan banyak bertemu dengan
kalangan sahabat, seperti Said bin Musayyab di Madinah dan Hasan
Basri di Irak. Di samping itu, hadits Mursal tidak bisa diterima dari
mereka (para tabiI tersebut) kecuali apabila diperkuat dengan salah satu
dari empat hal sebagai berikut :
a) Hadits Mursal itu diperkuat dengan adanya Hadits Musnad yang
bersambung sanadnya dari segi maknanya. Akan tetapi dalam
keadaan seperti ini, yang diambil dan dapat berfungsi sebagai hujjah
adalah hadits Musnadnya, bukan Hadits Mursalnya.
b) Hadits Mursal itu diperkuat dengan Hadits Mursal lain yang telah
diterima dan dipakai oleh kalangan ulama. Dengan demikian
keduanya berfungsi saling menguatkan.
c) Hadits Mursal itu bersesuaian dengan perkataan sebagian sahabat.
Maka hal itu sama artinya dengan mengangkat status hadits Mursal
menjadi Marfu kepada Nabi SAW.
d) Apabila kalangan ulama telah menerima hadits mursal itu, dan
segolongan dari mereka mengeluarkan fatwa seperti apa yang
terkandung pada hadits itu.4

4
Prof. Muhammad Abu Zahrah. 1994. Ushul Fiqih. PT> Pustaka Firdaus. Jakarta: 154-160

12
4. Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Quran
Sunnah berfungsi menopang Al-Quran dalam menjelaskan
hokum-hukum Islam. Bentuk penopang dimaksud dapat dapat dirumuskan
kedalam tiga hal sebagai berikut :
Pertama. Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham;
merinci ayat yang mujmal; mentakhsis ayat yang umum, meski kekuatan
sunnah dalam mentakhsis ayat Al-Quran yang umum masih
diperselisihkan ulama; dan menjelaskan antara ayat yang nasikh dan yang
mansukh.
Kedua, Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara yang
ketentuan pokoknya telah ditetapkan dengan nash Al-Quran. Misalnya :
Sunnah dating dengan membawa hokum-hukum tambahan yang
menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut.
Ketiga, Sunnah membawa hokum yang tidak ada ketentuan-
ketentuannya di dalam Al-Quran; tidak pula merupakan tambahan
terhadap nash Al-Quran.
Perbuatan Rasul
Tidak diragukan lagi bahwa setiap perkataan dan pengakuan Nabi
termasuk ajaran dan hujjah dalam Agama. Para ulama telah membagi
perbuatan-perbuatan Nabi kepada tiga macam yaitu :
a. Perbuatan yang menyangkut penjelasan Syariat, seperti Shalat, puasa,
haji yang dilakukan Nabi. Perbuatan Nabi semacam Nabi semacam itu
merupakat syariat yang harus diikuti. Misalnya : praktek jual-beli
yang dilakukan Nabi bearti menunjukan bahwa jual-beli tersebut
hukumnya mubah, dan setiap perbuatan-perbuatan keagamaan (amal
diniyah) yang dilakukan Nabi tidak lainmerupakan rincian terhadap
ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal (global).
b. Perbuatan yang dilakukan Nabi, yang berdasarkan dalil dinyatakan
bahwa perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabi, seperti perkawinan
yang lebih dari empat isteri.

13
c. Perbuatan yang dikerjakan oleh Nabi yang merupakan tuntutan
tabiyat kemanusiaan atau adat kebiasaan yang berlaku di Negeri
Arab, seperti memakai pakaian , makan, dan barang-barang halah
yang diperoleh serta cara-cara memperolehnya dan sebagainya. Itu
semua merupakan perbuatn-perbuatan Nabi yang dilakukan sesuai
dengan tabiyat kemanusiaanya dan adat kebiasaan kaumnya.5

C. URF
1. Pengertian Urf
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam
arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran
yang sehat.6
Sedangkan urf dalam istilah Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf
memberikan definisi sebagai berikut :




Sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi
mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan atau keadaan meninggalkan.
Ia juga disebut adat.
Menurut kebanyakan ulama, urf dinamakan juga adat. Sebab
perkara yang sudah dikenal itu telah dilakukan berulang kali oleh manusia.
Tetapi dalam pemahamannya ada sebagian para ulama yang membedakannya,
yaitu :
a. Dilihat dari aspek materi, sebagian ulama menilai bahwa urf lebih
umum daripada adat, karena urf mencakup perbuatan sekaligus
perkataan. Sedangkan jika dilihat dari aspek pelaku, sebagian ulama
menilai bahwa adat lebih umum daripada urf, karena keberlakuannya
mencakup perorangan dan kelompok masyarakat, sedangkan urf berlaku
hanya untuk kelompok atau komunitas saja,

5
Ibid :164-165
6
Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Ushul Fiqh I,
hlm.118

14
b. urf terdiri dari urf sahih dan fasid, sedangkan adat tidak memperhatikan
pembagian adat baik dan adat buruk.
Dari perbedaan diatas, maka dapat disimpulkan definisi urf, sesuai
dengan pernyataan Muhammad Zakariya al-Bardisiy bahwa urf adalah
apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui dan
mengerjakannya baik dalam bentuk praktik ataupun perkataan yang tidak
bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Disini urf berperan sebagai
penentu masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat
setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-
aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

2. Macam-macam Urf
Urf terbentuk dari saling mengetahui dan menerima dintara manusia
walaupun berbeda-beda tingkatan mereka, rakyat umum dan golongan
khusus. Berbeda dengan ijma yang terbentuk karena kesepakatan ulama,
sedangkan rakyat umum tidak campur tangan dalam pembentukannya.
Pembagian urf yaitu dapat dilihat dari berbagai segi, dintaranya :
a. Ditinjau dari bentuknya, ada dua macam :
1) Al Urf al-Qauliy atau Lafzhy, adalah kebiasaan yang berupa
perkataan. Seperti penggunaan kata walad, menurut bahasa berarti
anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan perempuan. Tetapi
dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki
saja. Kata Lahmun, menurut bahasa berarti daging, seperti daging
binatang darat dan air. Tetapi dalam praktiknya kata daging tidak
termasuk daging ikan.
2) Al Urf al-Filiy atau Amali, adalah kebiasaan yang berupa
perbuatan. Seperti kebiasaan jual beli tanpa mengucapkan ijab-qabul,
kebiasaan jual beli dengan pesanan, dan memasuki pemandian
umum tanpa dibatasi oleh waktu tertentu.

15
b. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
1) Al Urf as-Sahih, adalah kebiasaan yang baik dan dapat diterima
karena tidak bertentangan dengan nash syara. Seperti mengadakan
pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, kebiasaan
memberi hadiah (perhiasan atau pakaian) dari pihak laki-laki sebagai
peminang kepada wanita yang dipinangnya tidak dihitung sebagai
mas kawin, dan kebiasaan indent atau pemesanan barang dengan
pembayaran di muka sebagian harganya dan dibayar lunas kemudian
bila barangnya sudah diterima.
2) Al Urf al-Fasid, adalah kebiasaan yang tidak dapat diterima karena
bertentangan dengan nash syara. Seperti kebiasaan membuat
sesajian untuk tempat-tempat atau benda yang dianggap keramat,
praktik riba yang telah mewabah, meminum minuman keras dan
berjudi, termasuk praktik suap menyuap dan korupsi.
c. Ditinjau dari segi luas berlakunya, ada dua macam :
1) Al Urf al-Am, adalah kebiasaan yang berlaku untuk seluruh tempat
sejak dahulu hingga sekarang. Seperti memberi hadiah (tip) kepada
orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan
terima kasih kepada orang yang telah membantu kita, menganggukan
kepala jika setuju dan menggeleng jika tidak setuju dan sebagainya.
2) Al Urf al-Khas, adalah kebiasaan yang berlaku atau hanya dikenal
di suatu tempat saja. Seperti di kalangan pedagang jika terdapat cacat
tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat
lainnya dalam barang itu konsumen tidak dapat mengembalikannya,
kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang
tertentu.

3. Kehujjahan Urf
Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa urf yang dapat
dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah urf yang tidak

16
bertentangan dengan dalil syara. Adapun ulama yang berhujjah dengan urf
dalam membina hukum Islam mengambil dalil dari beberapa dalil berikut :


Artinya : Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
maruf serta berpalinglah dari orang bodoh (Q.S Al- Araf :199).
Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk
mengerjakan yang maruf. Maruf sendiri ialah yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai
dengan nilai-nilai keislaman.

Ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Masud berkata :








Artinya : Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi
Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah dinilai
buruk di sisi Allah.
Ungkapan Abdullah bin Masud di atas, menunjukkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang
sejalan dengan tuntunan umum syariat Islam, merupakan sesuatu yang baik
pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam ini patut untuk dijaga
dan dipelihara.
Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan
memudahkan urusan manusia serta menghilangkan kesempitan.
Sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam surat Al- Hajj ayat 78:
Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal
banyak menampung dan mengakui adat yang baik dalam masyarakat selama
adat tersebut tidak bertentangan dengan dalil. Kedatangan Islam bukan
menghapuskan sama sekali adat yang telah menyatu dengan masyarakat,
tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang
dihapuskan.

17
Jumhur fuqaha telah banyak berhujjah dengan urf. Dan yang cukup
terkenal adalah golongan Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Malikiyah banyak
menetapkan hukum berdasarkan kebiasaan penduduk Madinah. Karena
dilihat dari segi kontinuitas historisnya bahwa penduduk Madinah pada masa
Malik dengan masa sebelumnya telah memberikan cirikhas tradisinya yang
belum jauh menyimpang dari tradisi Nabi dan Sahabat. Oleh karena itu Malik
menganggap tradisi penduduk Madinah (amal ahl al-Madinah) sebagai salah
satu dalil yang otoritatif dalam berijtihad. Demikian pula ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Imam Syafi'i pun terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya.
Melihat praktik yang berlaku di masyarakat Mekkah (qaul qadim) dengan
setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid) adalah berlainan, maka penetapan
hukumnya pun bisa jadi berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga
madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan
sebagai dasar hujjah.
Dan telah biasa terdengar perkataan para Ulama yang menyatakan
bahwa :7
Urf adalah syariat yang muhkamat
Hukum yang ditetapkan berdasarkan urf adalah seperti hukum yang
ditetapkan berdasarkan nash
Apa saja yang bisa dimengerti berdasarkan urf adalah seperti sesuatu
yang disyariatkan menurut syara
Hakekat itu bisa ditinggalkan berdasarkan dillah istimal (perbuatan
adat)

4. Syarat-syarat Urf
1. Urf harus tidak bertentangan dengan nash yang qathi. maka tidak
dibenarkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, seperti makan harta
riba. Sebab ia merupakan urf fasid dan bertentangan dengan Alquran,
dalam surat Al-Baqarah ayat 275.

7
Sarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, hlm.207

18
Apabila urf tersebut bertentangan dengan dalil yang bersifat
umum, maka dalam hal ini urf berfungsi sebagai takhsis daripada dalil
yang dzani. Para ahli hukum Islam telah menetapkan tentang sahnya
berjual beli dnegan cara pesanan karena disandarkan kepada urf yang
mereka anggap sebagai takhsis terhadap hadis yang melarang berjual
beli sesuatu yang tidak dimiliki si penjualnya.
2. Urf itu berlaku umum. Artinya urf itu dipahami oleh semua lapisan
masyarakat , baik di semua daerah maupun daerah tertentu. Oleh karena
itu, kalau hanya merupakan urf orang-orang tertentu saja maka tidak
bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran. Contohnya, jika seorang bapak
memberikan perkakas kepada anakanya dari hartanya sendiri, kemudian
anaknya membawa perkakas tersebut kepada suaminya, lalu terjadilah
persengketaan antara anak dan bapak tentang kepemilikan perkakas
tersebut. Bapaknya mengakui bahwa perkakas tersebut dipinjamkan,
sedangkan anak tersebut mengakui bahwa perkakas tadi merupakan
pemberian bukan pinjaman. Tapi keduanya tidak memiliki bukti atas
pengakuannya itu. Dalam hal ini, pengakuan yang diterima adalah
pengakuan yang selaras dengan urf yang berlaku umunya dan
dikuatkan dengan sumpahnya. Jika urf yang berlaku memberi petunjuk
bahwa perkakas tadi berarti pinjaman saja, maka dimenangkan oleh
bapaknya, begitu sebaliknya. Namun jika urf diantara manusai sama,
artinya menurut sebagian urf perkakas itu dianggap pinjaman dan
sebagian urf yang lain dianggap sebagai pemberian, maka dalam ha ini
hukum tidak ditetapkan berdasarkan urf. Oleh karena itu, dalam
keadaan demikian yang dimenangkan adalah pengakuan bapaknya,
berdasarkan sumpahnya. Sebab dialah yang memberikan, maka dialah
yang lebih mengetahui sifat dari pemberian tersebut, apakah ia benar-
benar meminjamkan atau tidak.
3. Urf harus berlaku selamanya, maka tidak dibenarkan urf yang datang
kemudian. Misalkan seseorang yang bersumpah untuk tidak memakan
daging selamanya, dan saat ia mengucapkan kata tersebut yang

19
dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi. Lalu 5 tahun
kemudian urf masyarakat berubah bahwa yang dimaksud daging
adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan
daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya
karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada urf yang muncul
belakangan.
4. Tidak berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah
masalah). Misalkan seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji
bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor mengatakan bahwa gaji ini
berlaku untuk bekerja setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur.
Maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk setiap hari meski urf
masyarakat memberlakukan kerja 5 hari.
5. Urf tidak berlaku untuk sesuatu yang telah disepakati. Hal ini
sangatlah penting karena bila urf yang bertentangan dengan apa yang
telah disepakati ulama (dalam hal ini ijma) maka urf menjadi tidak
berlaku, terlebih bila urf bertentangan dengan dalil syara.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang menjadi sumber utama dalam menentukan hukum islam yaitu :
Pertama Al Quran. Al- Quran merupakan Wahyu yang diturunkan oleh Allah
Swt langsung melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.Kebenaran
dalam Al Quran sudah menjadi kebenaran yang mutlak. Namun Al Quran dari
segi bahasanya masih sulit dipahami, maka Allah menyuruh utusannya yakni
baginda Rosulullah Nabi Muhammad saw. membawa sumber hukum yang kedua
yaitu di sebut dengan As Sunnah.
Sunnah Merupakan suatu perkataan, perbuatan serta ketetapan ketetapan
Rosulullah saw. Para ulama berssepakat bahwa sunnah merupakan sumber syariah
dan ketentuan ketentuannya mengenai halal dan haram berdirinya sejajar dengan
al-quran sunnah nabi adalah dalil (hujjah) bagi al-quran, member kesaksian
terhadap otoritasnya dan menyuruh umat islam untuk mengikutinya, kata-kata
nabi sebagaiman diungkapkan al-quran kepada kita, merupakan wahyu Allah .
perbuatan dan ajaran-ajarannya yang menjadi sumber ketentuan syariah
merupakandalil yang menikat. Sementara menafsirkan ayat al-quran yang
menegaskan bahwa nabi tidak berbicara menurut kemauannya sendiri, tidak
satupun selain wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi al-Ghazali mengatakan
bahwa beberapa wahyu Allah yang diterima oleh Nabi memang menjadi bagian
Al-Quran tetapi sisanya adalah sunnah.
Manusia merupakan makhluk social dimana harus berkehidupan dengan
masyarakat sekitar dan lingkungan. Setiap daerah memiliki leingkungan yang
berbeda-beda. Maka Islam juga mengarahkan dalam menentukan suatu hukum
atau peraturan dengan menggunakan Urf sebagai sumberr hukum Yang ketiga.
Urf merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka
menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktik ataupun perkataan
yang tidak bertentangan dengan Alquran dan Hadis.

21

Anda mungkin juga menyukai