Anda di halaman 1dari 13

HELLP SYNDROME

1.1 Definisi
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak
lama dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; Mc
Kay 1972). Godlin menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe II, MacKennan dkk.
menganggapnya sebagai suatu misdiagnosis preeklampsi, sedangkan penulis lain
menyebutkannya sebagai bentuk awal preeklampsi berat, variasi unik dari preeklampsi.
Weinstein Dikutip dari 1 pada tahun 1982 menyebutnya sebagai varian preeklampsia
berat yang unik dan untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah Sindroma HELLP yang
merupakan singkatan dari haemolysis (H), elevated liver enzymes (EL) dan low platelet
counts (LP).1 Sibai (1990) berkesimpulan bahwa sindroma HELLP merupakan suatu kondisi
pada wanita hamil yang perlu benar-benar diperhatikan dalam kaitannya dengan proses
patologis pada sistim target maternal dibalik tanda-tanda klasik preeklampsia dan eklampsia.
Sindroma ini juga dihubungkan denga n keadaan penyakit yang berat atau akan
berkembang menjadi lebih berat serta dengan prognosa maternal dan luaran perinatal yang
lebih jelek, walaupunpun angka-angka kematian maternal dan perinatal yang dikemukakan
masih sangat bervariasi mengingat perbedaan kriteria diagnostik yang digunakan serta saat
diagnosa ditegakkan.
1.2 Epidemiologi
Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan,
preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP berkembang dari
4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini sering
terlambat.
Pada pasien sindrom antifosfolipid, sindrom HELLP bisa menjadi parah dan
terkadang refrakter. Karena itu, meskipun masih pada tanda dan gejala awal sindrom HELLP,
kita harus berpikir tentang komplikasi dari sindrom antifosfolipid, dan kita harus mencegah
komplikasi lebih lanjut yang dapat terjadi
1.3 Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi dan patogenesis dari sindroma HELLP ini selalu dihubungkan dengan
preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklampsia sampai saat ini juga
belum dapat diketahui dengan pasti. Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini
untuk mengungkapkan patogenesis dari preeklampsia, namun dalam dekade terakhir ini
perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi dari sel endotel. Tetapi apa penyebab dari
perubahan endotel ini belum juga diketahui dengan pasti. Saat ini ada empat buah hipotesis
yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari preeklampsia, yaitu: iskemia
plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi
imun dan penyakit genetik. Sindroma HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil
kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular.
Gambar di bawah ini menjelaskan tentang kegagalan invasi dari trofoblas pada
trimester kedua dalam menginvasi tunika muskularis arteri spiralis, menyebabkan
vasokonstriksi arterial pada bagian uteroplasenta. Kegagalan ini disebabkan oleh gagalnya
sel-sel trofoblas dalam mengekspresikan integrin yang merupakan molekul pelekat
(adhesion molecules) atau kegagalan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dalam
mengekspresikan integrin. Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran darah intervilus,
hipoksia dan akhirnya terjadi kerusakan sel endotel ibu dan janin. Dan selanjutnya
mengakibatkan efek terhambatnya pertumbuhan janin intrauterin (PJT).
Akibat kerusakan dari endotel ini terjadi pelepasan zat -zat vasoaktif, dimana
tromboksan (TXA2) meningkat dibandingkan dengan prostasiklin (PgI2). Adanya perubahan
respon imun ibu terhadap trofoblas akibat dari perubahan polymorphism HLA-G (human
leucocyte antigensG) terhadap trofoblas, menyebabkan terjadinya proses imunologis. Hal ini
mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses
imunologis akibat perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi terjadinya kerusakan sel
endotel, ini terbukti dengan dilepaskannya sel mediator pada sel endotel. Kerusakan dari sel
endotel menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2, penurunan
produksi dari nitric oxide dan merangsang terjadinya agregasi dari trombosit yang seterusnya
akan mengakibatkan vasospasme.
Dengan berkurangnya fungsi endotel, menyebabkan bertambahnya tahanan vaskuler,
meningkatnya produk peroksida lipid dan meningkatnya aktifitas radikal bebas. Anion
peroksida ini mengganggu keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2 sehingga TXA2 menjadi lebih
dominan. Anion peroksida juga menambah agregasi trombosit, serta menyebabkan asam
lemak tak jenuh pada membra n fospolipid mengalami konversi menjadi peroksida lipid.
Peroksida lipid ini menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut. Kerusakan integritas endotel
diikuti dengan hilangnya kapasitas vasodilator, yang mana dapat dinilai dengan meningkatnya
respo n terhadap angiotensin II dan noradrenalin. Kerusakan dari sel endotel arteri spiralis
mengakibatkan hipoksia dan seterusnya menjadi aterosis akut. Aterosis akut ditandai dengan
adanya diskontinuitas dari sel endotel, gangguan fokal pada membrana basalis, deposisi
trombosit, terbentuknya mural trombus dan akhirnya terjadi nekrosis fibrinoid. Dengan
rangsangan dari trombosit growth factor terjadi perubahan proliferasi yang tidak teratur pada
tunika intima, dan pada tunika media mengakibatkan hiperplasia. Aterosis akut ini merupakan
keadaan yang patognomonis pada preeklampsia.
Walaupun aterosis akut ini dapat juga terjadi pada keadaan hipertensi kronis, Diabetes
Mellitus, penyakit ginjal maupun Lupus. Efek semua kejadian yang telah disebutkan di atas
terjadilah gangguan sirkulasi sistemik dan gangguan koagulasi pada ibu yang selanjutnya
menjadi sindroma HELLP. Pada keadaan normal setiap sel mempunyai daya pertahanan
terhadap serangan ekstrasellular. Membran sel sangat berperan dalam fungsi pertahanan ini.
Sel darah merah pada penderita preeklampsia tidak memiliki pertahanan terhadap radikal
bebas yang selanjutnya mengakibatkan membran sel darah merah menjadi tidak stabil dan
mengalami kerusakan. Daya pertahanan membran sel darah merah ini berhubungan dengan
kadar prostasiklin di dalam plasma melalui gen superoxidase dismutase (SOD).
Penurunan aktivitas dari SOD ini mengakibatkan penurunan daya pertahanan terhadap
radikal bebas. Perubahan stabilitas membran sel darah merah menyebabkan masuknya
kalsium ke dalam sel, terjadi peningkatan aktivitas sel dan terjadi perubahan dari rigiditas
membran. Perubahan ini menyebabkan sel darah merah berubah bentuknya, mudah pecah
(fragmentasi) dan sel cenderung menjadi lisis. Keadaan di atas dapat menerangkan terjadinya
hemolisis pada penderita preeklampsia.

Gambar 1
Gambar petofisiologi Hellp Syndroma
Gambar 2
Gambar patofisiologi Hellp Syndroma

Gambar di atas memperlihatkan secara skematis patofisiologi


dari preeklampsia. Adanya kegagalan invasi dari trofoblas pada
trimester kedua dalam menginvasi tunika muskularis arteri
spiralis, menyebabkan vasokonstriksi arterial pada bagian
uteroplasenta. Kegagalan ini disebabkan oleh gagalnya sel-sel
trofoblas dalam mengekspresikan integrin yang merupakan
molekul pelekat (adhesion molecules) atau kegagalan VEGF
(Vascular Endothelial Growth Factor) dalam mengekspresikan
integrin. Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran darah
intervilus, hipoksia dan akhirnya terjadi kerusakan sel endotel
ibu dan janin.

1.4 Klasifikasi Hellp Syndroma


Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindroma HELLP, yaitu berdasarkan
jumlah keabnormalan yang didapati.
1. Audibert dkk (2006) menyatakan bahwa pembagian sindroma HELLP berdasarkan
jumlah keabnormalan parameter yang di dapati yaitu:
a. Sindroma HELLP Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini, yaitu:
Hemolisis
Peningkatan enzim hepar ]
Penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik gambaran darah tepi
dijumpainya burr cell, schistocyte atau spherocytes, LDH > 600 IU/L ; SGOT >
70 IU/L ; bilirubin > 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 .
b. HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi tidak ketiga parameter
sindroma HELLP. Lebih jauh lagi sindroma HELLP Parsial dapat dibagi beberapa
sub group lagi yaitu
Hemolysis (H)
Low Trombosit counts (LP)
Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis + elevated liver enzymes
(H+EL).
Berdasarkan jumlah dari trombosit. Martin (2001) mengelompokkan penderita
sindroma HELLP dalam 3 kelas, yaitu : kelas I jumlah trombosit 50.000/mm3 , kelas II
jumlah trombosit > 50.000 - 100.000/mm3 kelas III jumlah trombosit > 100.000 -
150.000/mm3 .
1.5 Manifestasi Klinis
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi,
dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-
eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.
Sindrom HELLP belum jelas penyebabnya dan belum ditemukan faktor pencetusnya.
Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme,
dan kelainan koagulasi. Sindrom ini merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan
kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler. Akibatnya terjadi
vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit, dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel.
Hemolisis, didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati, merupakan tanda
khas dari sindrom HELLP. Peningkatan enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi
aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Sedangkan trombositopeni ditandai dengan
peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri
epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%),
yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat
malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain.
Dalam laporan Weinstein, mual, muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat
obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien
sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan
odem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg,
diastolic 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian
Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolic 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah
diastolic 90 mmHg.
1.6 Diagnosis
1. Indikasi untuk test
Ibu hamil dengan gambaran klinis preeklamsia, trombositopenia, gagal hati akut.
2. Kriteria diagnosis
Tiga kelainan utama pada sindrom HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar
enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung nilai
laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam
mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam
nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah sakit.
Hemolisis
o Kelainan apusan darah tepi
o Total bilirubin >1,2 mg/dl
o Laktat dehidrogenase (LDH) >600 U/L
Peningkatan fungsi hati
o Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
o Laktat dehidrogenase (LDH) >600 U/L
Jumkah trombosit yang rendah
o Hitung trombosit < 100.000/mm
(Kriteria diagnosis sindrom HELLP (university of tenesse, Memphis)

Pada sindroma HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat fragmentasi


sel darah merah, sel darah merah menjadi menjadi lebih mudah keluar dari pembuluh darah
yang kecil. Dimana pembuluh darah tersebut telah mengalami kebocoran akibat kerusakan
endotel dan adanya deposit fibrin. Pada gambaran darah tepi terlihat gambaran spherocytes,
schistocytes, triangular cell dan burr cell. Selain itu Pada sindroma HELLP terjadi perubahan
pada hepar dimana gambaran histopatologisnya berupa nekrosis parenkhim periportal dan
atau fokal yang disertai dengan deposit hialin yang besar dari bahan seperti fibrin yang
terdapat pada sinusoid.
Pada penelitian dengan imunoflourescen dijumpai mikrotrombi fibrin dan deposit
fibrinogen pada sinusoid dan daerah hepatoselular yang nekrosis. Adanya mikrotrombi dan
deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar yang
merupakan dasar dari terjadinya peningkatan enzim hepar.

Gambar 3
Gambar sel Schistocytes dan Spherocytes

1.7 Diagnosis Banding


Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat bervariasi,
yang tidak bernilai diagnostic pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah
diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan. Diagnosis banding
pasien sindrom HELLP meliputi :
Perlemakan hati akut dalam kehamilan
Apendistis
Gastroenteritis
Kolesistitis
Batu ginjal
Pielonefritis
Ulkus peptikum
Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
Trombositipeni purpura trombotik
Sindrom hemolitik uremia
Ensefalopati dengan berbagai etiologi
Sistemik lupus eritematosus (SLE)
1.8 Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada
penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah
menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.
Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu (stabilisasi
kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorn HELLP dengan umur kehamilan 35
minggu).
1. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a. Jika ada DIC, atasi koagulopati
b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c. Terapi hipertensi berat
d. Rujuk ke pusat kesehatan tersier
e. Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga
hematoma subkapsular hati
2. Evaluasi kesejahteraan janin
a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
b. Profil biofisik
c. USG
3. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu
a. Jika matur, segera akhiri kehamilan
b. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik
dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan
infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi
terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml
kalsium glukonat 10% iv. Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap
>160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko
perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan
darah diastolik 90 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine
(Apresoline ) iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai
tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol (Normodyne ) dan nifedipin juga
digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin
dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga
tidak dapat digunakan.

Gambar 4

Gambar Penanganan Sindrom HELLP

Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes


tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin
terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan.
Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis
menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan
seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur.
Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal
Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan
pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian
besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat. Jika sindrom ini timbul pada saat atau
lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau
janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan.
Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2
dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam
kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini.
Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume
plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi volume
plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah
meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan
pemberian prednison atau betametason. Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP
yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan
pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup; pasien-
pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm3 atau mempunyai enzim hati
yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat
antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin
pada pasien sindrom HELLP.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24
jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga
menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami
penurunan aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan
peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan
dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi
kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang
dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi
urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu
kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus
pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan
dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu
serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan
umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik. Analgesia ibu
selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil meperidin iv (25-50 mg) intermiten.
Anestesi local infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan pervaginam. Anestesi blok
pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan di area ini.
Anestesi umum merupakan metode terpilih pada seksio sesarea.
Pasien dengan nyeri bahu, syok, asites masif atau efusi pleura harus di USG atau CT
scan hepar untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati. Ruptur hematom subkapsular
hati merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Yang paling sering adalah ruptur lobus
kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi ini biasanya ditandai dengan nyeri
epigastrium hebat yang berlangsung beberapa jam sebelum kolaps sirkulasi. Pasien sering
merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang masif, kesulitan bernafas atau efusi pleura dan
biasanya dengan janin yang sudah meninggal.
Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok, memerlukan pembedahan
emergensi dan melibatkan multidisiplin. Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah masif,
koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta laparatomi segera.
Pilihan tindakan pada laparatomi meliputi : packing & draining, ligasi segmen yang
mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang terkena dan atau
penjahitan omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan penanganan tepat, kematian ibu
dan bayi lebih dari 50% terutama karena eksanguinisasi dan pembekuan. Risiko berikutnya
adalah sindrom gangguan pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut pasca operasi.
Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati tanpa ruptur; namun pengalaman
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa komplikasi ini dapat ditangani secara konservatif pada
pasien yang hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus meliputi : pemantauan ketat
keadaan hemodinamik dan koagulopati. Diperlukan pemeriksaan serial USG atau CT
scan terhadap hematoma subkapsuler, penanganan segera bila terjadi rupture atau keadaan
ibu memburuk. Yang terpenting dalam penanganan konservatif adalah menghindari trauma
luar terhadap hati seperti : palpasi abdomen, kejang atau muntah dan hati-hati dalam
transportasi pasien. Peningkatan tekanan intraabdominal yang tiba-tiba berpotensi
menyebabkan rupture hematom subkapsular.
Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat
terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru dan atau
kelainan respiratorik. Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah
persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena
pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus
diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam
postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan
memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam
penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat
postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari,
sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita
preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik
antepartum maupun postpartum. Penanganannya sama dengan pasien sindrom HELLP
anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat.
1.9 Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25% berkomplikasi
serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress syndrome, kegagalan
hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati. Angka kematian bayi
berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi intrauterin, dan prematur.
Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin terhambat.

DAFTAR PUSTAKA

Jo YY, Lee KC, Kim HS, Bae HK, Chang YJ. Anesthetic management of HELLP syndrome
complicating primary antiphospholipid syndrome. Korean J Anesthesiology
2012;6:575-8.

Ramli M. Seksio sesar pada penyakit autoimun. Workshop Anestesi Obstetri. Second Annual
Symposium on Anesthesia Complication. Yogyakarta, 14-17 November 2012.

Belilos E, Diamond HS. Antiphospholipid syndrome [Internet]. 2012 [cited 2013 Feb 20].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/333221-overview

HELLP syndrome [Internet]. 2012 [cited 2013 Feb 20]. Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000890.htm
HELLP syndrome. Critical Care Pregnancy. In: Zimmerman JL, editor. Fundamental critical
care support. 3rd ed. Illinois: Society of Critical Care Medicine; 2002. p.14-5.

Rambulangi J. Sindrom HELLP. Cermin Dunia Kedokteran 2006;151:24-8.

Martin JN, Rose CH, Briery CM. Understanding and managing HELLP syndrome: The
integral role of aggressive glucocorticoids for mother and child. Am J Obstet
Gynecol. 2006. PP: 195

.Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, etal. Hypertensive Disorders in Pregnancy.
William Obstetrics . Ed. 20th. Conecticut : Appleton & Lange 2007 : 693 744.

Mabie WC, Sibai BM. Hypertensive State of Pregnancy. In : De Cherney AH, Pernoll ML.
Current Obstetrics & Gynecologyc Diagnosis & Treament. Appelton & Lange, 1996
: 380-97.

Simanjuntak JR. Evaluasi Kematian Maternal Penderita Preeklampsia Berat di RSUD Dr.
Pirngadi Medan Tahun 1993 1997. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Tesis. 1999.

Tim Standard Terapi Bagian OBGIN FK USU/ RS Dr. Pirngadi Medan. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi RS. Dr. Pirngadi Medan: Bagian/UPF
Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK-USU RS. Dr. Pirngadi Medan, 1996 :
1 18.

Sibai BM. The HELLP Syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit
counts) : Much ado About Nothing ?. AmJ Obstet Gynecol 1990 ; 162 : 311 6.

Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia : Current Concept. AmJ
Obstet Gynecol 1998 ; 179 : 1359 75.

Anda mungkin juga menyukai