Anda di halaman 1dari 20

PORTOFOLIO KASUS GAWAT DARURAT

Borang Portofolio
No. ID dan Nama Peserta : dr. Kaharudin
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kab. Muna

Topik : AMI (Acute Miocard Infark)


Tanggal (kasus) : 02 Februari 2017
Pendamping : dr. La Ode Baynuddin

Obyektif Presentasi :

Keilmuan
Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi :
Pasien seorang laki-laki umur 48 tahun datang ke IGD dengan
keluhan nyeri pada dada kiri sejak 2 hari sebelum masuk RS, memberat sejak 30
menit sebelum masuk RS. Nyeri dada yang dialami terasa seperti tertindih beban
berat tidak menjalar, tidak membaik dengan istirahat. Nyeri berlangsung terus
menerus. Sesak (+), nyeri ulu hati (+). Mual (+), Muntah (-), Sakit kepala (-),
keringat dingin (+). BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan. Riwayat
Hipertensi (+) tidak terkontrol, Riwayat DM disangkal, Riwayat alergi disangkal.
Tujuan :
Menegakkan diagnosis, pertolongan gawat darurat dan menetapkan
manajemen Akut Miocard Infark.
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus
Audit
Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan Diskusi E-mail
Pos

Data Pasien
Nama : Tn. A
Usia : 48 Tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Paelangkuta
TanggalMasuk : 02 Februari 2017

Data utama untuk bahan diskusi :


1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Keluhan Utama : Nyeri dada yang sudah berlangsung sejak 2 hari sebelum
masuk RS, memburuk sejak 30 menit sebelum masuk RS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien seorang laki-laki umur 48 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada
dada kiri sejak 2 hari sebelum masuk RS, memberat sejak 30 menit sebelum
masuk RS. Nyeri dada yang dialami terasa seperti tertindih beban berat tidak
menjalar, tidak membaik dengan istirahat. Nyeri berlangsung terus menerus.
Sesak (+), nyeri ulu hati (+). Mual (+), Muntah (-), Sakit kepala (-), keringat
dingin (+). BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan. Riwayat Hipertensi
(+) tidak terkontrol, Riwayat DM disangkal, Riwayat alergi disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien langsung segera memeriksakan dirinya ke IGD
2. Riwayat kesehatan/penyakit :
Riwayat keluhan serupa (-), pernah nyeri dada namun berkurang dengan istirahat.
Riwayat penyakit Hipertensi (+) tidak terkontrol, riwayat DM disangkal, riwayat
Alergi disangkal
3. Riwayat keluarga :
Riwayat keluhan serupa (-), Riwayat Hipertensi dan DM disangkal
4. Riwayat pekerjaan :
Karyawan Swasta
5. Kondisi lingkungan sosial dan fisik :
Lingkungan sosial baik, status ekonomi cukup dan lingkungan rumah baik.

6. Riwayat Imunisasi :
Pasien tidak mengetahui
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis AMI (Acute Miocard Infark) melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
maupun pemeriksaan penunjang.
2.Penanganan gawat darurat serta Penatalaksanaan AMI (Acute Miocard Infark).
3. Prognosis AMI (Acute Miocard Infark) beserta komplikasinya.
4.Edukasi mengenai pencegahan dan komplikasi dari AMI (Acute Miocard
Infark).

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :


1. Subyektif
KeluhanUtama : Nyeri dada yang sudah berlangsung sejak 2 hari sebelum
masuk RS, memburuk sejak 30 menit sebelum masuk RS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien seorang laki-laki umur 48 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada
dada kiri sejak 2 hari sebelum masuk RS, memberat sejak 30 menit sebelum
masuk RS. Nyeri dada yang dialami terasa seperti tertindih beban berat tidak
menjalar, tidak membaik dengan istirahat. Nyeri berlangsung terus menerus.
Sesak (+), nyeri ulu hati (+). Mual (+), Muntah (-), Sakit kepala (-), keringat
dingin (+). BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan. Riwayat Hipertensi
(+) tidak terkontrol, Riwayat DM disangkal, Riwayat alergi disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien langsung segera memeriksakan dirinya ke IGD
2. Riwayat kesehatan/penyakit :
Riwayat keluhan serupa (-), pernah nyeri dada namun berkurang dengan istirahat.
Riwayat penyakit Hipertensi (+) tidak terkontrol, riwayat DM disangkal, riwayat
Alergi disangkal
3. Riwayat keluarga :
Riwayat keluhan serupa (-), Riwayat Hipertensi dan DM disangkal
Anamnesis Sistem :
Sister Neurologi : Demam (-)
Sistem Cerebrospinal : Pusing (-), Kejang (-)
Sistem Cardiovaskular : Keringat dingin (+), Nyeri dada (+)
Sistem Respirasi : Sesak nafas (+), batuk (-), pilek (-)
Sistem Gastrointestinal : Mual (+), Muntah (-), BAB (+) dbn
Sistem Genitourinari : BAK (+) dbn
Sistem Muskuloskeletal : deformitas (-)
Sistem Integumen : sianosis (-)

2. Obyektif
Keadaan Umum :Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS E M V
4 6 5

Tanda Vital
Tekanandarah : 100/80 mmhg
Nadi : 100 x/menit
Pernapasan : 32 x/menit
Suhu : 36.5 C 0

Pemeriksaan fisik :
Kepala : sianosis sentral (-), konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik-/-
Leher : JVP 5+2 cm H O, deviasi trakea (-), tiroid tidak teraba
2

Thorax
Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : P/ taktil fremitus kanan = kiri
C/ ictus cordis di SIC V 2 jari medial LMCS
Perkusi : P/ Sonor di seluruh lapangan paru
C/ batas jantung-paru dbn
Auskultasi : P/ vesikuler +/+, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
C/ S murni, murmur (-), gallop (-)
1>2

Abdomen
Inspeksi :Dinding perut datar
Auskultasi :Peristaltik (+) Normal
Perkusi : Timpani
Palpasi :Supel, Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium(-), nyeri lepas (-), defans muskuler (-), massa (-).

Ekstremitas :Akral hangat (+), nadi teraba kuat, perfusi jaringan baik,
CRT< 2 detik.

Pemeriksaan Penunjang :
EKG : irama sinus, HR 98x/m, normo aksis, interval PR dbn, ruang
jantung dbn, ST elevasi di lead II, III, aVF, serta ST depresi V1-V3
Kesan: AMI inferoposterior (infark jantung kanan)

3. Assesment (penalaran klinis)


DEFINISI
Sindroma klinis yang terjadi karena oklusi akut arteri koroner akibat
trombosis intrakoroner yang berkepanjangan sebagai akibat ruptur plak
aterosklerosis pada dinding koroner epikardial (Siswanto, 2009). Kerusakan
miokard tergantung pada:
1. Letak dan lama sumbatan aliran darah
2. Ada atau tidaknya kolateral
3. Luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat.

DIAGNOSA
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria
nyeri dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI
merupakan nyeri dada tipikal (angina). Faktor resiko seperti
hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit
jantung koroner di keluarga (Alwi, 2006).
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain
yang menyertai. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam,
tetapi variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur. Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien
gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat
dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat di
curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah
S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau
late sistolik apikal yang bersifat sementara (Alwi, 2006).
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya
elevasi ST kurang lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang
berdampingan atau kurang lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas.
Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,
memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).
Menurut Siswanto, 2009 secara garis besar ditegakkan berdasarkan:
1. Riwayat nyeri dada atau perasaan yang tidak nyaman bersifat substernal,
lamanya lebih dari 20 menit, tidak hilang dengan istirahat atau
pemeberian nitrat, disertai penjalaran, mual, muntah dan keringat dingin.
2. Elevasi segmen ST>1mm pada 2 sadapan prekordial atau ekstrimitas
yang berhubungan , LBBB yang dianggap baru
3. Peningkatan enzim jantung (CK-MB, troponin). Hasil tidak perlu
ditunggu untuk memulai terapi reperfusi

DIAGNOSA BANDING
Mengancam nyawa (Siswanto, 2009):
1. Diseksi aorta
2. Emboli paru
3. Perforasi ulkus
4. Tension penumothorax
5. Boerhaave syndrome (esofageal rupture mediastinitis)
Non iskemik ( kardiak-non kardial) (Siswanto, 2009):
1. Perikarditis
2. Angina atipikal
3. Early repolarizasion
4. Wolf parkinson white
5. LVH dengan strain
6. Sindroma brugada
7. Miokarditis
8. Hiperkalemia
9. Bundle branch block
10. Angina vasospastik
11. Kardiomiopati hipertrofi
Non kardiak lainnya (Siswanto, 2009):
1. Gastro esofageal refrux (GERD) dan spasme
2. Chest-wall pain
3. Pleurisy
4. Ulkus peptikum
5. Serangan panic
6. Nyeri billier dan pancreatic
7. Nyeri diskus cervikalis atau neuropati
8. Somatisasi dan gangguan psikogenik

FAKTOR RESIKO
Faktor risiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor
risiko konvensional dan faktor risiko yang baru diketahui berhubungan
dengan proses aterotrombosis (Braunwald, 2007). Faktor risiko yang sudah
kita kenal antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus,
aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan
mental, depresi. Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP,
Homocystein dan Lipoprotein(a) (Santoso, 2005).
Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis
yang tak dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.
Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan
lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik (Valenti,
2007). Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai
masa menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini
diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen (Verheugt, 2008). SKA
umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu,
usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut.
Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk
mendefenisikan pasien usia muda dengan penyakit jantung koroner atau
infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada usia
muda (Wiliam, 2007).
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan
kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet
tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori. .
PATOGENESIS
1. Ruptur Plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari
pembuluh koroner yang sebelunya mempunyai penyempitan yang
mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya
mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan
angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak
arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan
pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).Plak tidak stabil terdiri dari inti
yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima
yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang
keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya
enzim protease yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak (fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus
menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi
segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil
(Trisnohadi, 2006).
2. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu
dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak
terganggu di sebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot
polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan
ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan
dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk
memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan
trombin dan fibrin (Trisnohadi, 2006).
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada
angina tak stabil. Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam
tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang
terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak
stabil. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan
mempunyai peran dalam pembentukan trombus (Trisnohadi, 2006).
4. Erosi plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia (Trisnohadi, 2006).

PATOFISIOLOGI
Mekanisme utama adalah proses akut trombosis akibat rupturnya plak
ateroskelrosis , yang menyebabkan sumbatan aliran darah koroner mendadak.
Walaupun jarang penyebab non arteroskelrotik SKA bisa tromboemboli,
kelainan kongenital, kokain serta komplikasi tindakan kateterisasi jantung
(Siswanto, 2009).
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-
faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar
kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung
mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid
(lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin
rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang
poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIb/IIIa.Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi
yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen,
dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan
agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi
protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi
oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang
jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas
kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi,
2006).

TERAPI
Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama saat
kedatangan) (siswanto, 2009).
1. Tirah baring
2. Oksigen 4 liter per menit (Saturasi O2 dipertahankan >90%).
3. Aspirin 160-325 mg
4. Nitrat diberikan 5 mg Sub Lingual (dapat diulang 3x) lalu drip jika
masih perlu
5. Clopidigrel 300 mg per oral
6. Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat
7. Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner)
dan reperfusi miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut
dengan presentasi 12 jam.
Tatalaksana di ruang perawatan intensif (24 jam pertama saat datang)
(Siswanto, 2009):
1. Monitor kontinu 24 jam
2. Nitrogliserin
a. Nitrat oral short acting SL tiap 5 menit untuk mengatasi nyeri
dada
b. Pemberian intravena kontinu pada keadaan gagal jantung,
hipertensi atau tanda-tanda iskemik yang menetap.
3. Aspirin
Aspirin kunyah 162-325 mg diberi jika belum pernah diberikan,
selanjutnya 75-162mg sehari
4. Clopidogrel
a. Loading clopidogrel 300 mg per oral dilanjutkan 75 mg sehari
b. Pasien pasca PCI, clopidogrel diberikan berdasarkan jenis stent;
stent bare metal minimum 1 bulan, dan stent drug eluting diberi
minimal 12 bulan.
5. Beta-blocker
a. Diberiakan bila tidak ada kontraindikasi dan dilanjutkan hingga
dosis optimal
b. Kontraindikasi pemberian beta-blocker adalah:
1) Terdapat tanda tanda gagal jantung akut
2) Hipotensi
3) Meningkatkan risiko syok kardiogenik
4) Kontraindikasi relatif lain:
- PR interval >0.24 detik
- Blok AV derajat 2 atau 3
- Asma bronkial aktif atau kelainan saluran nafas reaktif
6. ACE inhibitor
ACE inhibitor oral diberikan pada pasien dengan infark anterior,
kongesti paru, atau EF <40% jika tidak terdapat tanda-tanda hipotensi
(TD sistolik <100 mmHg atau <30mmHg dari baseline) atau terdapat
kontraindikasi
7. Angitensi Receptor Blocker (ARB)
ARB diberikan bila pasien intoleran ACE inhibitor
8. Heparinisasi
Diberikan pada keadaab infark anterior luas, risiko tinggi thrombosis,
LV fungsi buruk , fibrilisasi atrium, curiga trombus intrakardiak, onset
STEMI>12jam tanpa revaskularisasi.
9. Pengoabatn nyeri
Morfin sulfat intravena dapat diberi dengan dosis 2 samapi 4 mg
dengan interval 5-15 menit untuk mengatasi nyeri
Penggunaan oabt anti inflamasi non steroid (NSAID) harus dihentikan
dan dihindari.
10. Anti ansietas (anxiolitik)
11. Pencahar
12. Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan biometer kardiak, darah lengkap, elektrolit
ureum dan kreatinin.
Pilihan revaskularisasi, fibrinolitik vs Percutaneus Coronary
Intervantion (PCI) dilakukan pada pasien STEMI dengan presentasi 12
jam (Siswanto, 2009).

1. Terapi fibrinolitik
Direkomendasikan pada keadaan
a. Presentasi 3 jam
b. Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat
c. Waktu antara pasien tiba samapai dengan inflasi balon > 90 menit
d. Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon dikurangi
waktu anatara pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik >1jam
2. Intervensi koroner perkutaneus primer (primary PCI)
Direkomendasikan pada keadaan:
a. Presentasi > 3jam
b. Tersedia fasilitas PCI
c. Waktu kontak antara pasien tiba samapi dengan inflasi balon <90
menit
d. Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon dikurangi
waktu anatara pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik <1jam
e. Terdapat kontra indikasi fibrinolitik
f. Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, killip klas 3)
g. Diagnosa infark miokard dengan ST elevasi masih diragukan.
Regimen fibrinolotik
Jenis sediaan Terapi awal Antitrombin Kontraindikasi
kombinasi terapi spesifik
Streptokinase (SK) 1,5 juta Dengan atau tanpa Riwayat SK atau
unit/100ml D5% heparin iv selama anistreplase
atau NaCl ).(% 24-48 jam
selama 30-60
menit
Attleplase (tPA) 15 mg iv bolus Heparin iv selama
0.75 mg/kgBB 24-48 jam
selama 30 menit
kemudian 0.5
mg/kgBB selama
60 menit iv
Dosis total tidak
melebihi 100mg

Kontraindikasi Fibrinolitik (Siswanto, 2009)


a. Kontraindikasi absolut
1) Riwayat perdarahan intrakranial kapanpun
2) Lesi struktural cerebrovaskular (contoh: arterio venous malformation)
3) Tumor intracranial (primer maupun metastase)
4) Stroke iskemik dalam 3 bulan
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Adanya trauma/ pembedahan/trauma kepala dalam waktu 3 bulan
terakhir
7) Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)
b. Kontraindikasi relative (Siswanto, 2009).
1) Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol
2) Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik
>180mmHg atau diastolik >110 mmHg)
3) Riwayat stroke iskemik 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial
selain yang telah disebutkan dikontraindikasi absolut.
4) Resusitasi jantung paru traumatic atau lama> 10 menit atau operasi
besar < 3minggu
5) Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir
6) Terapi antikoagulan oral
7) Kehamilan
8) Non- compressible punture
9) Ulkus peptikum aktif
10) Khusus untuk streptokinase/anistreplase: riwayat pemaparan
sebelumnya (> 5 hari) atau riwayat alergi terhadap zat tersebut
Cara penggunaan heparin (Siswanto, 2009).
a. Dosis Unfractionated heparin (UFH) sebagai ko-terapi: Bolus iv 60u/kgBB
maksimal 4000 U dosis pemeliharaan per drip 12u/kgBB selaama 24-48
jam dengan maksimal 1000 U/jam dengan target aPTT 50-70 detik
b. Monitoring aPTT 3,6,12,24 jam setelah terapi UFH dimulai
c. LMWH dapat digunakan sebagai alternatif UFH pada pasien berusia <75
tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin <2.5 mg/dL pada laki-laki atau
<2.0 mg ?dL pada wanita)
PCI kombinasi dengan fibrinolitik
Dapat dilakukan pada pasien resiko tinggi jika tindakan PCI tidak dapat dilakukan
segera serta pasien dengan resiko rendah peradarahan. Pada tindakan ini tidak
dianjurkan menggunakan penghambat reseptor GP II/IIIa dengan dosis penuh
(Siswanto, 2009).
Rescue PCI
Dilakukan bila terdapat kegagalan fibrinolitik pada pasien infark luas, disertai:
a. Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia
b. Keluahan iskemik berkepanjangan
c. Syok kardigenik
Pada pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi dimana rescue
PCI tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa harus
dipertimbangkan denagn fibrinolitik ulang atau pemberian tirofiban
Pemilihan stent pada PCI primer atau rescue PCI : Bare Metal Stent

PREVENTIF (Siswanto, 2009; Farissa 2012)


1. Berhenti merokok
2. Kontrol tekanan darah
Target : <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg (pada penderita DM atau
gagal ginjal kronik)
3. Manajemen lipid
Target: LDL <100 mg/dL, trigliserid < 150 mg/dL, HDL >40mg/dL.
4. Aktifitas fisik
Target: minimal 3-4x/minggu selama 30 menit
5. Manajemen berat badan
Target: IMT 18.5-24.9kg/m2, lingkar pinggang <35 inci(wanita) dan <40
inci (pria)

6. Manajemen diabetes
Target: HbA1C< 7%
7. Antiplatelet/antikoagulan
a. Aspirin 75-162mg/hari seumur hidup
b. Clopidogrel 75mg/hari selama 9-12 bulan terutama setelah
pemasangan drug eluting stent, serat sebagai alternatif bila
kontraindikasi aspirin
c. Warfarin (INR 2.5-3.5) bila terdapat indikasi atau kontraindikasi
aspirin dan clopidogrel
8. Penghambat sistem Renin Angiotensi Aldesteron
a. Ace inhibitor diberi seumur hidup pada pasien infark anterior, riwayat
infark sebelumnya, killip klas 2, EF <40%
b. ARB: pasien dengan gagal jantung yang intoleran terhadap ACE
inhibitor
c. Penghambat aldosteron: pasien tanpa gangguan fungsi ginjal yang
signifikan dan hiperkalemia yang sudah mendapat ACE inhibitor
dengan dosis optimal, EF=40% dengan Dm atau gagal jantung.
9. Beta blocker
Diberi pada semua pasien, bila tidak terdapat kontraindikasi. Pada pasien
dengan gagal jantung pilihannya carvedilol, metoprolol dan bisoprolol
10. Nitrat
Nitrat kerja jangka pendek diberi pada tiap pasien untuk digunakan bila
terdapat neyri dada. Obat anti iskemik yang diberi selama perawatan
dirumah sakit hendaknya tetap diberikan setelah pasien pulang, pada
pasien:
a. Tanpa tindakan revaskularisasi koroner
b. Dengan tindkaan revaskularisasi koroner yang tidak berhasil
c. Dengan keluhan berulang meskipun telah menjalani tindkaan
revaskularisasi

11. ICD (implantable cardiac defibrillators)


Dipertimbangkan dipasang pada pasien yang meskipun dengan terapi
medikamentosa yang optimal, memiliki fungsi ventrikel kiri yang buruk
(EF<30%).

KOMPLIKASI
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran,
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses ini disebut remodelling ventricular yang sering mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau
tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang
terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan
penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung
dan prognosis lebih buruk (Sudoyo, 2010)
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik
pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya (Sudoyo, 2010).
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan
90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang
menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel
(Sudoyo, 2010).
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan
yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali)
dengan atau tanpa hipotensi (Sudoyo, 2010).

5. Aritmia paska STEMI


Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan
sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan
konduksi di zona iskemi miokard (Sudoyo, 2010).
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta
efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI
(Sudoyo, 2010).
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama (Sudoyo, 2010).
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventrikular
10. Asistol ventrikel
11. Bradiaritmia dan Blok
12. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel (Sudoyo, 2010).
PROGNOSIS
1. Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik (Morrow, 2000).
Kelas Gambaran Klinis Mortalitas di
Rumah Sakit
Kelas I Tidak ada tanda disfungsi LV / gagal jantung, tidak 0-6 %
ada tanda dekompensasi cordis.
Kelas II Ada gagal jantung. Kriteria diagnosis termasuk ronki, 30 %
S3 gallop, hipertensi vena pulmonal. Kongesti paru
dengan ronki basah pada setengah lapangan paru
bawah.
Kelas III Gagal jantung yang berat. Oedem paru Frank dengan 40 %
ronki yang menyebar di seluruh lapangan paru.
Kelas IV Syok kardiogenik. Tanda meliputi hipotensi (tekanan > 80 %
darah sistolik 90 mmgHg) dan ada vasokonstriksi
perifer seperti oliguria, sianosis dan diaphoresis.
4. Plan :
Diagnosis :
Acute Miocard Infark Anteroinferior
Pengobatan :
O2 4Lpm NK

IVFD RL loading 1000 cc 20 tpm bila TD sudah membaik

PO Asetosal 300mg , selanjutnya 1 x tab 100 mg

Clopidogrel 300 mg, selanjutnya 1 x tab 75 mg

Konsul dr Wahid, Sp.PD

Pro Rawat ICU

RENCANA
Rawat inap pro ICU, observasi ketat ttv dan klinis.
Pendidikan :
Kepada pasien dan keluarganya dijelaskan penyebab timbulnya
penyakit yang dideritanya serta bahaya akibat komplikasi yang
ditimbulkannya bila tidak di managemen dengan baik, berikut
khususnya pencegahan agar tidak berulang / agar tidak terjadi pada
anggota keluarga lain / sesama lainnya.
Konsultasi :
Konsultasi ditujukan kepada dokter Sp.PD untuk mendapatkan
terapi lebih lanjut serta management kontrol yang baik, guna mencegah
komplikasi dari Acute Miocard Infark.
Kontrol :

Hasil yang
Kegiatan Periode
Diharapkan

Kontrol post- 3 hari setelah rawat inap agar pasien control Klinis baik, Nyeri
rawat inap ke poli penyakit dalam untuk memeriksakan dada (-), TTV dbn.
kondisinya.

Nasihat Setiap kali kunjungan Kualitas hidup pasien


membaik

Raha, 02 Februari 2017


DOKTER INTERNSHIP DOKTER PENDAMPING

dr. Kaharudin dr. La Ode Baynuddin


DAFTAR PUSTAKA

Alwi Idrus, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo
AW,Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006.
Ilmu penyakit dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1615-1625
Anwar, T.B. 2004. Dislpidemia sebagai faktor resiko penyakit jantung koroner. E-
USU Repository; Universitas Sumatera Utara,1-10.
Avanzas, P., Espliguero, A., Sales, JC., Aldama, G., Pizzi, C., Quiles, P., and
Kaski, J.C. 2004. Markers of inflammation and multiple complex stenoses
(pancoronary plaque vulnerability) in patients with non-ST segment
elevation acute coronary syndromes. Heart;90:847-52.
Buffon, A., Biasucci, L.M., Liuzzo, G., Donofrio, G., Crea, F., and Maseri, A.
2002. Widespread coronary inflammation in unstable angina. N Eng J
Med, 347:5-12.
Hansson, G.K. 2005. Inflammation, Atherosclerosis abd Coronary Artery Disease.
N Engl J Med,352:1685-95.
Libby, P., and Theroux, P. Pathophysiology of Coronary Artery Disease. 2005.
Circulation,111:3481-8.
Malarstig, A., Eriksson, P., Hamsten, A., Lindah, B., Wallentin, L., and Siegbahn,
A. 2008. Raised interleukin-10 is an indicator of poor outcome and
enhanced systemic inflammation in patients with acute coronary
syndrome. Heart, 94:742-29.
Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al. TIMI score for ST-elevation
myocardial infaction: a convenient, a bedsite, clinical score for risk
assessment at presentation; an intravenous n PA for treatment of infacting
myocardium early II trial substudy. Circulation. 2000. 102 (17): 2031-7
Ozben, B., and Erdogan, O. 2008. The Role of Inflammation and Allergy in Acute
Coronary Syndromes. Inflammation & Allergy - Drug Targets,7:136-44.
Packard, R., Libby, P. 2008. Inflammation in Atheroslerosis: From Vascular
Biology to Biomarker Discovery and Risk Prediction. Clinical
Chemistry,54:24-38.
Prasad, A., Mathew, V., Holmes, D.R., Gersh, B.J. 2003. Current management of
non-ST-segment-elevation acute coronary syndrome: reconciling the
results of randomized controlled trials. European Heart Journal,24:1544-
53..
Rodriguez, A., Gonzales, P.A., and Kaski, J.C.2009. Inflammatory Systemic
Bomarkers in Setting Acute Coronary Syncromes Effects of the Diurnal
Variation. Current Drug Targets,10:1001-8.
Ross, R. 1999. Atherosclerosis-An Inflammation Disease. N Eng J Med,340:115-
26.
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2005.
Diagnosis dan Tatalaksana Praktis Gagal Jantung Akut
Siswanto B.B. et al. 2009. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di
Indonesia.PDSKI : Jakarta
Sudoyo AW,Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006.
Ilmu penyakit dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Trisnohadi Hanafi B, 2006. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam: Sudoyo AW,
Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu
penyakit dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1606-1609
Welsh, P., Whincup, P.H., Papacosta, O., Wannamethee, S.G., Lennon, L.,
Thomson, A. 2008. Serum matrix metalloproteinase-9 and coronary heart
disease: a prospective study in middle-aged men. Q J Med,101:785-91.
Xu, Z., Zhao, S., Zhou, H., Ye, H., and Li, J. 2004. Atorvastatin Lowers Plasma
Matrix Metalloproteinase-9 in Patients With Acute Coronary Syndrome. Clinical
Chemistry,4:750-3.

Anda mungkin juga menyukai