Anda di halaman 1dari 12

SOAL

1. Jelaskan secara detail gejala antinomi hukum lalu jelaskan pula secara mendetail apa yang dapat
dilakukan untuk meminimalisir gagalnya pembentukan aturan akibat dari adanya antinomi
hukum ?
2. Carilah salah satu Putusan Mahkamah Konstitusi yang isi putusannya adalah menerima
permohonan pemohon, lalu analisislah secara keseluruhan penemuan hukum apa yang dilakukan
Hakim MK pada Putusan tersebut. Analisislah secara lengkap dan mendetail ?

JAWABAN
1. GEJALA ANTINOMI HUKUM
Pengertian Antinomi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan sebagai :1
a. Kenyataan yang kontroversial
b. Huk, pertentangan antara dua ayat di undang-undang.

Salah satu unsur pokok dalam proses penemuan hukum adalah masalah antinomi yang
terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang menjadi sumber penemuan hukum.2
terminologi antinomi diartikan oleh Fockema Aandreae sebagai pertentangan antara dua aturan
hukum atau lebih, yang pemecahannya harus dicari dengan jalan tafsir.3 W. Friedman
mengemukakan teori pertentangan hukum dengan uraian bahwa teori hukum berada antara filsafat
dan teori politik, sehingga timbul berbagai antinomi diantaranya teori hukum mengambil kategori-
kategori intelektualnya dari filsafat dan cita-cita keadilannya dari teori politik. kontibusi khas dari teori
hukum adalah merumuskan cita-cita politik yang berkenaan dengan prinsip-prinsip hukum.4 Black
Law Dictionary menyebut pengertian antinomi sebagai a term used in logic and law to denote a real
or apparent inconsistency or conflict between two authorities or propositions (antinomi adalah istilah
yang digunakan dalam logika dan hukum untuk menunjukan ketakkonsistenan yang nyata atau yang
terlihat atau pertentangan antara dua kewenangan atau usulan).5 Pengertian antinomi dapat

1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta,
2005, hlm 57.
2
H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum dalam sistem peradilan Indonesia, analisis pengembanan ilmu hukum
sistematik yang responsive untuk penanganan case law (hukum kasus) yang terjadi akhir-akhir ini, Alumni, Bandung, 2014,
hlm 225.
3
Fockema Aandreae dalam H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum dalam sistem peradilan Indonesia, Loc.Cit.,
4
W. Friedman dalam H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum dalam sistem peradilan Indonesia ,Loc.Cit.,
5
Black Law Dictionary dalam H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum dalam sistem peradilan Indonesia Loc.Cit.,
disimpulkan adalah konflik kepentingan hukum yang di dasari prinsip keadilan dari masing-masing
pihak yang merasa di rugikan.6
Antinomi yang lahir dari sebuah pertentangan klasik cara berpikir Immanuel Kant yang
dituliskan dalam Critique of Pure Reason, tentang pertentangan fundamental antara akal dan alam.
Pertentangan itu kemudian memberikan pengaruh yang besar kepada cara berpikir hukum yang
mencari keseimbangan di antara berbagai hal yang berlawanan, tetapi harus tetap dijaga. Dari situlah
konsep antinomi dalam hukum lahir, sebagai sebuah konsep pertentangan yang menjadi pijakan
dalam melakukan proses analitis terhadap norma-norma dan nilai-nilai di dalam suatu aturan hukum.7
Secara garis besar, W. Friedman menampilkan berbagai bentuk antinomi sebagai berikut :8
1. Individu dan alam semesta, suatu pertentangan fundamental apakah alam semesta merupakan
ciptaan ego intelektual atau ego merupakan partikel dalam alam semesta.
2. Kesukarelaan dan pengetahuan objektif, suatu pertentangan tentang dualisme kehendak dan
ilmu pengetahuan.
3. Akal dan institusi, yang mempertentangkan akal dengan naluri, refleksi dan kenyataan.
4. Stabilitas dan perubahan, suatu ketegangan yang timbul dari kecenderungan pemeliharaan
stabilitas daripada perubahan.
5. Positivism dan idealism suatu pertentangan antara positivism analitik yang menerima norma-
norma hukum dasar sebagai sesuatu yang harus diterima, dihadapkan dengan teori hukum
idealistic yang mengacu pada pendirian bahwa manusia sebagai mahluk yang memenuhi rasio
dan etika.
6. Kolektivisme dan individualism, pertentangan dasar dari pemikiran politik dalam sejarah
peradaban barat adalah pertentangan antara ide-ide kaum kolektivis dan kaum individualis.
Teori hukum mengambil satu dari tiga sikap : apakah ia menempatkan individu di bawah
masyarakat atau menempatkan masyarakat di bawah individu atau berusaha mengabungkan
kedua tuntutan yang berlawanan tersebut.
7. Demokrasi atau otokrasi, teori-teori hukum jarang gagal untuk mencapai satu sisi baik itu
merupakan prinsip-prinsip pemerintahan demokrasi atau otokrasi. Kalau demokrasi dan
individualism ada dalam perjuangan saat ini biasanya diletakan bertentangan dengan gagasan
otokrasi dan kolektivis.

6
Loc.Cit.,
7
Zainal Arifin Mochtar, Antinomi Hukum, http:// regional.kompas.com/ read/ 2011/01/12/03295076/ Antinomi.Hukum., di
akses 15 Januari 2015.
8
W. Friedman dalam H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum dalam sistem peradilan Indonesia.., Op.Cit, hlm 228.
2
8. Internasionalisme dan nasionalisme, teori-teori hukum individualism sering bersifat
cosmopolitan, teori-teori kolektivis bersifat nasionalis. Secara politis, persoalan antara
nasionalisme dan internasionalisme merupakan suatu persoalan dan pertentangan cita-cita
politik.

Wolfgang Friedmann menjelaskan, pertentangan-pertentangan antinomi dalam pembentukan


peraturan perundang-undangan terjadi sebagai akibat dari posisi alamiah hukum itu sendiri, yang
berdiri di antara nalar filsafati dan kebutuhan praktis politik yang penat kepentingan. Kategori-kategori
intelektual hukum dibangun dari penalaran filsafat yang panjang dan holistik, sedangkan cita-cita
keadilan di dalam hukum dikonstruksikan melalui sebuah mekanisme politik yang cenderung
transaksional. Akibatnya, menurut Friedmann, hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah,
melainkan merupakan resultan dari beraneka ragam proses internalisasi, intrusi, dan negosiasi berbagai
kepentingan di antara faksi-faksi dan aktor-aktor dalam masyarakat.9 Penyakitpenyakit hukum
bawaan, semisal doktrin antinomi.
Bahwa secara sederhana dapat dikatakan gejala antinomi hukum diawali dengan adanya
kekosongan hukum akibat dari adanya konflik norma atau putusan hakim, dimana terdapat suatu
permasalahan hukum yang tidak dapat dijawab oleh sistem hukum itu sendiri. Dengan sedikit
mengunakan moralitas publik diatas aturan hukum itu sendiri pertentangan antara tujuan hukum yakni
kepatian hukum, kemanfaatan dan keadilan dalam suatu keteraturan alur pemikiran yang benar
membuat suatu keputusan atau kebijakan hukum yang lebih bermakna, adalah suatu pencarian.
ketegangan-ketegangan diantara berbagi kepentingan secara lebih teknis dan konkrit sebenarnya dapat
ditarik dari suatu nilai-nilai yang lebih umum dan tinggi yang melandasi semua aturan hukum itu
sendiri termasuk kebijakan hukum dalam arti luas, yaitu menggali konsep-konsep yang sesuai dengan
nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai suatu jawaban pencarian terhadap tidak adanya kesepakatan
nasional konsep Negara hukum Pancasila yang ideal.

UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MEMINIMALISIR GAGALNYA


PEMBENTUKAN ATURAN AKIBAT DARI ADANYA ANTINOMI HUKUM.

Penegakan hukum seharusnya mau menghindari keterjebakan pada posisi antinomi yang
berpotensi saling mengunci dan tanpa kesudahan. Ruang kosong akibat tidak diatur dalam UU malah
dijadikan alasan untuk mengatakan UU memperbolehkan. Malah seharusnya, dicarikan terobosan

9
Zainal Arifin Mochtar, Antinomi Hukum, Op.Cit.,
3
hukum demi penegakan hukum yang lebih bermakna dan tentunya jauh lebih luas dibanding sekadar
diterjemahkan sebagai UU. Sayangnya, terobosan hukum yang seringnya diberi label diskresi malah
tidak dilakukan.10 Tentu saja, sulit untuk memetakan solusi hukum yang dimungkinkan ketika model
antinomi hukum telah dihadapi. Antinomi ialah pertentangan yang mendera hukum oleh karena
adanya dua hal yang bertentangan, tetapi harus dijaga hukum secara bersamaan. Moral publik yang
dalam konsepsi hukum Grotius dikatakan sebagai sesuatu yang harus dijaga, sedangkan pada saat
yang sama kepastian hukum harus dilaksanakan. Posisi itu tentu tidak sederhana. Moral menghendaki
keidealan, sedangkan hukum dengan berbagai kepentingan dalam prosesi pembuatannya seringkali
gagal menghadirkan hal tersebut. Karena itu, makna pasti yang dibutuh kan dalam kondisi tarik
menarik di antara dua atau lebih kepentingan hukum memaksa pengambil kebijakan untuk melakukan
langkah berani berupa terobosan. Terobosan yang harus didorong untuk menjaga moral publik agar
tidak terganggu, sedangkan pada saat yang sama menciptakan kepastian yang tidak mengganggu.11
Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas
penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan
melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan
yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan
peraturan yang lama.
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa praktik peradilan juga menghadapi Antinomi
(atau konflik) yang terjadi antara Undang-Undang dengan Undang-Undang, dengan uraian :
a. konflik antara undang-undang yang lama dengan yang baru dan undang-undang yang baru
tidak mencabut undang-undang yang lama, maka yang berlaku adalah undang-undang yang
baru (lex posteriori derogate legi priori).
b. konflik antara undang-undang yang berbeda tingkatannya, maka yang berlaku adalah undang-
undang yang tingkatannya lebih tinggi (lex superior derogate legi inferiori).
c. konflik antara undang-undang dengan putusan pengadilan, yang berlaku adalah putusan
pengadilan (asas res judicata pro veritate habetur atau putusan hakim harus dianggap benar).

10
Zainal Arifin Mochtar, Antinomi Hukum,Op.Cit.,
11
Zainal Arifin Mochtar, Ketegasan (tidak) melantik tersangka korupsi, MEDIA INDONESIA, 30 Desember 2013,
http://budisansblog.blogspot.com/2013_12_01_archive.html, diakses 15 Januari 2015.
4
konflik antara undang-undang dengan hukum kebiasaan, maka hukum kebiasaan yang
didahulukan.12
Di samping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain
pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy). Menurut
P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antar norma
hukum, dapat dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu:13
a. Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradoks dengan mempertahankan tidak ada konflik
norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam konflik
pragmatis atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang lazim,
yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat dan hukum publik dengan
berargumentasi bahwa 2 (dua) hukum tersebut diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan
bahwa antara kedua ketentuan tersebut terdapat konflik norma.
b. Penafsiran ulang (reinterpretation)
Dalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan yang pertama adalah
reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi, menginterpretasikan kembali norma
yang utama dengan cara yang lebih fleksibel.
c. Pembatalan (invalidation)
Ada 2 macam, yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak normal dilakukan
misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan peraturan pemerintah (PP)
ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal yaitu tidak
menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret.Di Indonesia, dalam praktik peradilan,
dikenal dengan mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah Tempo, hakim
mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena bertentangan dengan Undang-
Undang Pers.
d. Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misalnya dalam hal satu
norma yang unggul dalam overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai
ganti membatalkan norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi.

12
Sudikno Mertokusumo dalam H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum dalam sistem peradilan Indonesia.., Op.Cit,
hlm 229.
13
Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2009, halaman 31.
5
2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014, yang mengadili uji
materi terhadap Pasal 335 ayat (1) sepanjang frasa kata sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan
yang tak menyenangkan dan sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Pasal 21 ayat (4) huruf b sepanjang frasa kata Pasal 335 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertentangan terhadap Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang dimohonkan oleh Oei Alimin Sukamto Wijaya.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya memutuskan :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian :
a. Menyatakan frasa, Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan
dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Menyatakan frasa, Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan
dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
c. Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana

6
Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660 Tahun1958) menjadi
menyatakan, Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan,
atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun
orang lain;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;

ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XI/2013.


Dalam pertimbangan hukumnya dengan mendasarkan kepada sistem norma dalam pasal yang
saling berkaitan dihubungkan dengan menggunakan metode penemuan hukum penafsiran. sesuai
dengan pendapat dari Prof. Sudikno Mertokusomo mengenai kapan metode interpretasi digunakan di
jelaskan secara singkat yaitu dalam hal peraturan perundang-undangan tidak jelas, tersedialah
metode interpretasi atau metode penafsiran.14 Penemuan hukum dalam bentuk penafsiran yang
bersifat teleologis atau sosiologis, disini hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
pembentuk undang-undang, daripada kata-kata saja. disini hakim mencari tujuan peraturan perundang-
undangan. Tujuan ini berbeda dengan penafsiran historis menurut undang-undang yang subjektif
ditentukan secara objektif. Interpretasi teleologis terjadi apabila makna Undang-Undang itu ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan Perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan
situasi sosial yang baru. ketentuan undang-undang yang sudah using digunakan sebagai sarana untuk
memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang. metode ini baru digunakan apabila
kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.15
Selaras dengan hal tersebut diatas, hal tersebut dipergunakan atau digunakan oleh Mahkamah
Konstitusi yang tercermin dalam Pertimbangan Putusannya yang menjelaskan bahwa :16
1. Pasal 335 ayat 1 butir 1 sebagai suatu rumusan delik kualifikasi, yang tercermin dari kata-kata
Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan yang tidak dapat diukur
secara objektif. Seandainya pun dapat diukur maka ukuran tersebut sangatlah subjektif dan

14
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm 73.
15
Loc.Cit.,
16
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014.
7
hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata. Selain itu,
hal tidak menyenangkan tersebut secara umum merupakan dampak dari semua tindak pidana.
Setiap tindak pidana jelas tidak menyenangkan dan tidak ada dampak tindak pidana yang
menyenangkan. Dengan demikian, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang dapat
membedakan secara tegas (distinctive) dari tindak pidana yang lain.
2. Menimbang bahwa sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian tersebut, dapat
juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum untuk berbuat sewenang-wenang
terhadap orang lain berdasarkan suatu laporan. Meskipun harus diakui bahwa pada akhirnya hal
demikian harus dibuktikan dipengadilan, akan tetapi apabila laporan tersebut terbukti, maka hal
tersebut menjadi wajar dan tidak ada kesewenang-wenangan. Sebaliknya, apabila tidak terbukti
maka pihak yang dilaporkan jelas telah menderita kerugian karena harus berurusan dengan
penyidik dan penuntut umum dan terlebih lagi apabila yang bersangkutan ditahan (vide Pasal
21 ayat (4) huruf b KUHAP). Dengan demikian berarti seseorang telah kehilangan
kemerdekaan sebagai hak asasinya, padahal hukum pidana dan hukum acara pidana justru
untuk melindungi hak asasi dari kesewenang-wenangan penegak hukum. Selain itu, yang
bersangkutan secara moral dan sosial telah dirugikan karena telah mengalami stigmatisasi
sebagai orang yang tercela sebagai akibat laporan tersebut.
3. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah frasaSesuatu perbuatan lain
maupun perlakuan yang tak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena memberikan peluang terjadinya
kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum dalam implementasinya terutama bagi
pihak yang dilaporkan, sehingga justru bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin
perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam proses penegakan
hukum (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). Oleh karena itu, permohonan Pemohon dalam
pengujian konstitusionalitas Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP sepanjang frasa, Sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan beralasan menurut hukum.
4. Menimbang bahwa apakah Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP sepanjang frasa, "Pasal 335 ayat
(1)" bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal
335 ayat (1) butir 1 KUHP tidak hanya mengandung materi muatan yang terkait dengan norma
dalam frasa, Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, sehingga
apabila Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 berarti
keseluruhan norma dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP akan menjadi tidak mengikat secara

8
hukum. Hal demikian tidaklah tepat menurut hukum. Selain itu, dengan dinyatakannya
permohonan pengujian konstitusionalitas frasa, Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan
yang tak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP beralasan menurut hukum
maka pengujian Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP menurut Mahkamah, ketentuan tersebut
tetap diperlukan,karena tidak seluruh norma yang terdapat dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1
KUHP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah pengujian
konstitusionalitas Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP sepanjang frasa, "Pasal 335 ayat (1)" tidak
beralasan menurut hukum. Adapun mengenai Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP yang merujuk
kepada Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP cukuplah dalam implementasinya merujuk materi
norma setelah putusan Mahkamah yang menyatakan sebagian normanya tidak mengikat secara
hukum.
Dari pertimbangan Putusan tersebut telihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi telah
mengunakan suatu bentuk metode penemuan hukum dengan cara menafsirkan secara Taleologis atau
Sosiologis dalam memutus pengujian Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP. Melalui interpretasi ini hakim
dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari hukum
(rechtspositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid), sehingga jenis interpretasi
sosiologis dan teleologis menjadi sangat penting.17 Mengingat dalam prakteknya penerapan hukum
terkait Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP dianggap meresahkan masyarakat. Unsur Pasal 335 ayat (1) ke-
1 KUHP pada frasanya yang berbunyi, Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan sering dipandang terlalu subyektif. Sehingga, tolak ukur apakah suatu perbuatan
dikatakan tidak menyenangkan atau tidak sangat bergantung pada pemahaman penyidik, yang dalam
tahap implementasi dari ketentuan tersebut dapat memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan
penyidik atau penuntut umum atau hakim, terutama kepada pihak yang dilaporkan.
Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi berbunyi
Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Pemohon uji materi dalam Perkara
Nomor 1/ PUU-XI/2013 beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum dengan berlakunya Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP sepanjang frasa Sesuatu perbuatan
17
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum upaya mewujudkan hukum yang pasti dan berkeadilan, UII Press,
Yogyakarta, 2006, hlm 85.
9
lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP sepanjang
frasa,Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP. Menurut Pemohon, kedua pasal a quo telah merugikan hak-hak
konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
karena memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, menimbulkan multi tafsir, menimbulkan
ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan
diskriminatif.18
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya pada Perkara Nomor: 1/PUU-XI/2013
menyatakan : Dalam praktik hukum, seorang tersangka dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan
umumnya sering dilakukan penahanan seperti yang dialami oleh Pemohon. Kepentingan untuk
melakukan penahanan merupakan sifat yang sangat subjektif yang diukur berdasarkan kewenangan
yang bersifat subjektif pula, karena bersifat subjektif pada akhirnya banyak perintah penahanan yang
dikeluarkan tidak sesuai dengan alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4)
huruf b KUHAP. Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP memberikan kekuasaan penuh terhadap
penyidik, penuntut umum dan hakim untuk melakukan penahanan, padahal ancamannya hanya satu
tahun dan pasal ini jelas tidak mengandung perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada
Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks penahanan yang
dialami oleh Pemohon sangat subyektif dan diskriminatif. Norma hukum delik perbuatan tidak
menyenangkan sangat luas maknanya seperti karet, dapat ditarik kemana-mana. Seharusnya dalam
hukum pidana, delik pidana harus jelas makna pengertiannya.19
Khusus untuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi Point 4 sebagaimana tersebut diatas,
khususnya yang menyatakan pengujian konstitusionalitas Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP sepanjang
frasa, "Pasal 335 ayat (1)" tidak beralasan menurut hukum. Adapun mengenai Pasal 21 ayat (4) huruf
b KUHAP yang merujuk kepada Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP cukuplah dalam implementasinya
merujuk materi norma setelah putusan Mahkamah yang menyatakan sebagian normanya tidak
mengikat secara hukum. Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah mengunakan metode penemuan
hukum berbentuk interpretasi sistematis (logis). Makna atau penegertian interpretasi sistematis (logis)
adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan
peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum. Hukum dilihat
sebagai satu kesatuan atau sebagai sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan

18
Setyawati Fitri Anggraeni, Frasa Perbuatan Tidak Menyenangkan Dicabut Dari Unsur Pasal 335 Ayat (1) Ke-1 KUHP,
https://www.linkedin.com/pulse/20140809050412-68566951-frasa-perbuatan-tidak-menyenangkan-dicabut-dari-unsur-
pasal-335-ayat-1-ke-1-kuhp, di akses 15 Januari 2015.
19
Loc.Cit.,
10
yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari sistem. Undang-undang merupakan bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan. artinya tidak satupun dari peraturan perundang-undangan
tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri, tetapi ia harus selalu dipahami dalam
kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkan peraturan perundang-undangan tidak
boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan suatu Negara.20
Dengan berpijak pada hal tersebut Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan Undang-
Undang sebagai bagian dari sistem perundang-undangan, dimana KUHP tidak terlepas dari Hukum
Acara penegakannya yaitu KUHAP, sehingga sinergitas dan harmoni antara keduanya harus tetap
terjaga dan konsisten. Dengan begitu Mahkamah Konstitusi menilai pengujian Pasal 21 ayat (4) huruf
b KUHAP, bahwa ketentuan tersebut tetap diperlukan, karena tidak seluruh norma yang terdapat
dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah
Konstitusi pengujian konstitusionalitas Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP sepanjang frasa, "Pasal 335
ayat (1)" tidak beralasan menurut hukum. Adapun mengenai Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP yang
merujuk kepada Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP cukuplah dalam implementasinya merujuk materi
norma setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagian normanya tidak mengikat
secara hukum.

20
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Op.Cit., hlm 82-83.
11
DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Mertokusomo, Penemuan hukum sebuah pengantar, Cahaya Atma Pustaka,


Yogyakarta, 2014.
H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum dalam sistem peradilan Indonesia, analisis
pengembanan ilmu hukum sistematik yang responsive untuk penanganan case law (hukum
kasus) yang terjadi akhir-akhir ini, Alumni, Bandung, 2014.
Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2009.
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum upaya mewujudkan hukum yang pasti dan
berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
Balai Pustaka, Jakarta, 2005.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014.
Setyawati Fitri Anggraeni, Frasa Perbuatan Tidak Menyenangkan Dicabut Dari Unsur Pasal
335 Ayat (1) Ke-1 KUHP, https://www.linkedin.com/pulse/20140809050412-68566951-frasa-
perbuatan-tidak-menyenangkan-dicabut-dari-unsur-pasal-335-ayat-1-ke-1-kuhp, di akses 15
Januari 2015.
Zainal Arifin Mochtar, Ketegasan (tidak) melantik tersangka korupsi, MEDIA INDONESIA,
30 Desember 2013, http://budisansblog.blogspot.com/2013_12_01_archive.html, diakses 15
Januari 2015.
Zainal Arifin Mochtar, Antinomi Hukum, http:// regional.kompas.com/ read/
2011/01/12/03295076/ Antinomi.Hukum., di akses 15 Januari 2015

12

Anda mungkin juga menyukai