Anda di halaman 1dari 16

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Lalu Lintas

Lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak


Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan, sedang yang dimaksud dengan Ruang Lalu
Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang,
dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. Pengertian transportasi itu sendiri
adalah Suatu usaha pemindahan atau pergerakanbarang dan atau orang dari lokasi asal ke
lokasi tujuan dengan memiliki nilai tertentu

2.2 MRLL

Dalam Keputusan Menteri Perubungan Republik Indonesia tentang Manajemen


Rekayasa Lalu Lintas no 14 tahun 2006, Manajemen dan rekayasa lalu lintas adalah kegiatan
yang dilakukan untuk mengoptimalkanpenggunaan seluruh jaringan jalan, guna peningkatan
keselamatan, ketertiban dan kelancaranlalu lintasManajemen dan rekayasa lalu lintas
dilaksanakan dengan tujuan untuk mengoptimalkan penggunaanjaringan jalan guna
meningkatkan keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan, denganruang
lingkup seluruh jaringan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota dan jalan desa
yangterintegrasi, dengan mengutamakan hirarki jalan yang lebih tinggi.Kegiatan Manajemen
Dan Rekayasa Lalu Lintas di jalan, dilaksanakan melalui tahapan :

a. perencanaan lalu lintas


b. pengaturan lalu lintas
c. rekayasa lalu lintas
d. pengendalian lalu lintas; dan
e. pengawasan lalu lintas

2.3 Tingkat Pelayanan Jalan


Tingkat Pelayanan (Tergantung Arus) adalah Ukuran kualitatif yang digunakan HCM
dan menerangkan kondisi operasional dalam arus LL dan penilainnya oleh pemakai jalan.
Terdapat 6 buah tingkat pelayanan, yaitu :

5
Tingkat Pelayanan A : arus bebas
Tingkat pelayanan B : arus stabil (untuk merancang jalan antar kota)
Tingkat pelayanan C : arus stabil (untuk merancang jalan perkotaan)
Tingkat pelayanan D : arus mulai tidak stabil
Tingkat pelayanan E : arus tidak stabil (tersendat-sendat)
Tingkat pelayanan F : arus terhambat (berhenti, antrian, macet)

6
Kecepatan operasi

B
C

NVK 1

Tingkat Pelayanan juga dipengaruhi fasilitas jalan (Tergantung Fasilitas), hal ini sangat
tergantung pada jenis fasilitas, bukan arusnya.Jalan bebas hambatan mempunyai tingkat
pelayanan yang tinggi.

Klasifikasi Jalan
Menurut UU 38 tahun 2004 :

Pasal 6

(1) Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus;
(2) Jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan menurut sistem,fungsi,
status, dan kelas;
(3) Jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan diperuntukkan bagi lalulintas
umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3)diatur
dalam peraturan pemerintah.

Pasal 7
(1) Sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringanjalan
sekunder;

7
(2) Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan system
jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan
semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi
yang berwujud pusat-pusat kegiatan;
(3) Sistem jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem
jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di
dalam kawasan perkotaan;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 8

(1) Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan
lokal, dan jalan lingkungan;
(2) Jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan ratarata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna;
(3) Jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang
berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi;
(4) Jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi;
(5) Jalan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang
berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan
rata-rata rendah;
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam
peraturan pemerintah.

Pasal 9

(1) Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi,
jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa;
(2) Jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan arteri dan jalan
kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan
jalan strategis nasional, serta jalan tol;
(3) Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan kolektor dalam
sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi;
(4) Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan lokal dalamsistem
jaringan jalan primer yang tidak termasuk pada ayat (2) dan ayat (3), yang menghubungkan
ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal,serta jalan umum dalam sistem
jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten;

8
(5) Jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jalan umum dalam system jaringan
jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota,menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, sertamenghubungkan antarpusat
permukiman yang berada di dalam kota;
(6) Jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang
menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan;
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai status jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah.

Menurut UU 22 tahun 2009


pasal 19
Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
1. Fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
2. Daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
3. Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:

a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan
ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua
ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling
tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500
(tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran
lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter,ukuran panjang melebihi 18.000
(delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter,
dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.

2.4 Karakteristik Jalan


Kapasitas dan kinerja jalan dipengaruhi oleh karakteristik jalan itu sendiri seperti
geometrik jalan, komposisi arus dan pemisahan arah, pengaturan lalu-lintas, hambatan
samping, perilaku pengemudi dan populasi kendaraan. Setiap titik pada jalan tertentu dimana
terdapat perubahan penting dalam karakteristik utama jalan tersebut menjadi batas segmen
jalan.
1. Geometrik
a. Tipe jalan
Berbagai tipe jalan akan menunjukkan kinerja berbeda, misalnya jalan terbagi
dan tak terbagi atau jalan satu arah.
b. Lebar jalur lalu-lintas

9
Pelebaran jalur lalu-lintas dapat meningkatkan kecepatan arus bebas dan
kapasitas.

c. Kereb
Sebagai batas antara jalur lalu-lintas dan trotoar, menjadi hambatan samping
pada kapasitas dan kecepatan. Kapasitas jalan dengan kereb lebih kecil dari jalan
dengan bahu.
d. Bahu
Lebar dan kondisi permukaan pada bahu jalan akan mempengaruhi
penggunaannya, berupa penambahan kapasitas dan kecepatan pada arus tertentu.
e. Median
Median adalah jalur yang terletak ditengah jalan untuk membagi jalan dalam
masing-masing arah. Median yang direncanakan dengan baik akan meningkatkan
kapasitas suatu ruas jalan.
f. Alinyemen jalan
lengkungan horisontal dengan jari-jari kecil akan mengurangi kecepatan arus
bebas. Tanjakan yang curam juga mengurangi kecepatan arus bebas karena secara
umum kecepatan arus bebas di daerah perkotaan adalah rendah maka pengaruh ini
diabaikan.

2.5 Dimensi Jalan


Di Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 34 tahun 2006 tentang jalan

Pasal 18

(1) Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatanrencana paling rendah 20 (dua
puluh) kilometer per jamdengan lebar badan jalan paling sedikit 9 (sembilan) meter.

(2) Jalan kolektor sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu
lintas rata-rata.

(3) Pada jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak bolehterganggu oleh lalu lintas lambat.

(4) Persimpangan sebidang pada jalan kolektor sekunderdengan pengaturan tertentu harus
memenuhi ketentuansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Parkir di Badan Jalan

Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan
ditinggalkan pengemudinya. Parkir di badan jalan atau on-street parking adalah salah satu
jenis fasilitas parkir yang menggunakan tepi badan jalan sebagai lahan parkir.

Desan parkir di badan jalan adalah sebagai berikut :

a. Sudut parkir
Sudut parkir yang akan digunakan umumnya ditentukan berdasarkan pada tabel berikut ini.

10
Tabel 2.10. Penentuan sudut parkir di badan jalan

Pola Parkir

1. Pola Parkir Paralel

Gambar 2.6. Pola Parkir Paralel

2. Pola Parkir Menyudut

a. Sudut 30

11
Gambar 2.7. Pola Parkir Sudut 30

b. Sudut 45

Gambar 2.8. Pola Parkir Sudut 45

c. Sudut 60

Gambar 2.9. Pola Parkir Sudut 60

12
d. Sudut 90

Gambar 2.10. Pola Parkir Sudut 90

Hambatan Samping

Di Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997,Hambatan samping adalah dampak


terhadap kinerja lalu-lintas dari aktivitas samping segmen jalan, seperti :

Pejalan kaki (bobot=0,5)


Kendaraan umum/kendaraanlain berhenti (bobot=1,0),
Kendaraan masuk/keluar sisijalan (bobot=0,7)
Kendaraan lambat (bobot=0,4).

Tabel . 3

2.6 Volume Lalu Lintas

Volume lalu lintas merupakan jumlah kendaraan yang melalui satu titik tetap pada
satu ruas jalan tiap satuan waktu. Volume lalu lintas dihitung dengan rumus sebagai berikut :

()
() =
()

13
Volume lalu lintas dinyatakan dengan satuan kendaraan/jam. Tetapi dalam
kebutuhannya untuk penghitungan kapasitas, satuan yang digunakan adalah satuan mobil
penumpang (smp). Satuan mobil penumpang adalah satuan yang bertujuan untuk
menyamakan perbedaan karakteristik jenis kendaraan (dimensi, kecepatan, kemampuan
manuver). Konversi satuan dari kendaraan/jam menjadi smp/jam dengan mengkalikan jumlah
kendaraan dengan faktor smp yang sesuai dengan klasifikasi jenis kendaraan, yaitu kendaraan
ringan atau Light Vehicle (meliputi: mobil penumpang, minibus pick-up dan truk kecil),
kendaraan berat atau Heavy Vehicle (meliputi: bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi),
dan sepeda motor atau Motorcycle.

Satuan mobil penumpang didapatkan setelah jumlah kendaraan yang ada


dikalikan dengan ekivalen mobil penumpang (emp) dari masing-masing klasifikasi
kendaraan, dimana emp ditentukan dengan menggunakan tabel sebagai berikut:

Untuk jalan perkotaan tak terbagi :

Tabel 2.2. Emp jalan perkotaan tak-terbagi

Untuk jalan perkotaan terbagi dan satu arah :

Tabel 2.3. Emp untuk jalan perkotaan terbagi dan satu arah

14
S = S0 FCS FSF FG FP FRT FLT smp/jam hijau

FAKTOR-FAKTOR KOREKSI ARUS JENUH :

a. Faktor ukuran kota (Cs) ;


b. Faktor gesekan samping (Sf) ;
c. Faktor kelandaian (G) ;
d. Faktor kendaraan parkir (P) ;
e. Faktor kendaraan belok kanan (RT) ;
f. Faktor kendaraan belok kiri (LT).

Simpang bersinyal

Simpang-simpang bersinyal yang merupakan bagian dari sistem kendali waktu tetap
yang dirangkai atau 'sinyal aktuasi kendaraan' terisolir, biasanya memerlukan metoda dan
perangkat lunak khusus dalam analisanya. Walau demikian masukan untuk waktu sinyal dari
suatu simpang yang berdiri sendiri dapat diperoleh dengan menggunakan manual ini.
Pada umumnya sinyal lalu-lintas dipergunakan untuk satu atau lebih dari alasan
berikut:
- untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus lalu-lintas,
sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan, bahkan selama
kondisi lalu-lintas jam puncak;
- untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dan/atau pejalan kaki dari jalan
simpang (kecil)
- untuk /memotong jalan utama;
- untuk mengurangi jumlah kecelakaan Ialu-lintas akibat tabrakan antara
kendaraankendaraan
- dari arah yang bertentangan.
Penggunaan sinyal tidak selalu meningkatkan kapasitas dan keselamatan. Dengan
menerapkan metoda-metoda yang diuraikan dalam bab ini atau bab lainnya dari manual ini
adalah mungkin untuk memperkirakan pengaruh penggunaan sinyal terhadap kapasitas dan
perilaku lalu-lintas jika dibandingkan dengan pengaturan tanpa sinyal atau pengaturan
bundaran.

FASE
Bagian dari siklus-sinyal dengan lampu-hijau disediakan bagi kombinasi tertentu dari
gerakan lalu lintas (i =indeks untuk nomor fase). Periode antar hijau (IG = kuning + merah
semua) di antara dua fase yang berurutan adalah untuk:
1. memperingatkan lalu-lintas yang sedang bergerak bahwa fase sudah berakhir.
2. menjamin agar kendaraan terakhir pada fase hijau yang baru saja diakhiri memperoleh
waktu
yang cukup untuk ke luar dari daerah konflik sebelum kendaraan pertama dari fase
berikutnya memasuki daerah yang sama.

15
Fungsi yang pertama dipenuhi oleh waktu kuning, sedangkan yang kedua dipenuhi
oleh waktu merah semua yang berguna sebagai waktu pengosongan antara dua fase.

Berangkatnya arus lalu-lintas selama waktu hijau sangat dipengaruhi oleh rencana
fase yang memperhatikan gerakan belok kanan. Jika arus belok kanan dari suatu pendekat
yang ditinjau dan/atau dari arah berlawanan terjadi dalam fase yang sama dengan arus
berangkat lurus dan belok kiri dari pendekat maka arus berangkat tersebut dianggap sebagai
terlawan. Jika tidak ada arus belok kanan dari pendekat-pendekat tersebut, atau jika arus
belok kanan diberangkatkan ketika lalu-lintas lurus dari arah berlawanan sedang menghadapi
merah arus berangkat tersebut dianggap sebagai terlindung. Pada kasus 2 dan 3 arus
berangkat dari pendekat Utara adalah terlawan sebagian dan terlindung sebagian. Pada kasus
4 arus berangkat dari pendekat Utara dan Selatan adalah terlindung, sedangkan dari pendekat
Timur dan Barat adalah terlawan.

16
KAPASITAS PENDEKAT
Kapasitas pendekat simpang bersinyal dapat dinyatakan sebagai berikut:

C = S g/c (1)

di mana:
C = Kapasitas (smp/jam)
S = Arus Jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat selama sinyal
hijau (smp/jam hijau = smp per-jam hijau)
g = Waktu hijau (det).

17
c = Waktu siklus, yaitu selang waktu untuk urutan perubahan sinyal yang lengkap (yaitu
antara dua awal hijau yang berurutan pada fase yang sama)
Oleh karena itu perlu diketahui atau ditentukan waktu sinyal dari simpang agar dapat
menghitung kapasitas dan ukuran perilaku lalu-lintas lainnya.

WAKTU SIKLUS

C = (1,5 x LTI + 5) / (1 - FRcrit)

di mana:
C = Waktu siklus sinyal (detik)
LTI = Jumlah waktu hilang per siklus (detik)
FR = Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)
FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase sinyal.
E(FRcrit) = Rasio arus simpang = jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus tersebut.
Jika waktu siklus tersebut lebih kecil dari nilai ini maka ada risiko serius akan
terjadinya lewat jenuh pada simpang tersebut. Waktu siklus yang terlalu panjang akan
menyebabkan meningkatnya tundaan rata-rata. Jika nilai E(FRcrit) mendekati atau lebih dari
1 maka simpang tersebut adalah lewat jenuh dan rumus tersebut akan menghasilkan nilai
waktu siklus yang sangat tinggi atau negatif.

WAKTU HIJAU

gi = (c - LTI) x FRcrit, / L(FRCrit)

di mana:
gi = Tampilan waktu hijau pada fase i (detik)
Kinerja suatu simpang bersinyal pada umumnya lebih peka terhadap kesalahan-
kesalahan dalam pembagian waktu hijau daripada terhadap terlalu panjangnya waktu siklus.
Penyimpangan kecil pun dari rasio hijau (g/c) yang ditentukan dari rumus 5 dan 6 diatas
menghasilkan bertambah tingginya tundaan rata-rata pada simpang tersebut.
e) Kapasitas dan derajat kejenuhan
Kapasitas pendekat diperoleh dengan perkalian arus jenuh dengan rasio hijau (g/c)
pada masing-masing pendekat, lihat Rumus (1) di atas.
Derajat kejenuhan diperoleh sebagai:

DS = Q/C = (Qc) / (Sg)

f) Perilaku lalu-lintas (kualitas lalu-lintas)


Berbagai ukuran perilaku lalu-lintas dapat ditentukan berdasarkan pada arus lalu-
Iintas (Q), derajat kejenuhan (DS) dan waktu sinyal (c dan g) sebagaimana diuraikan di
bawah.

ARUS JENUH
Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (S0)
yaitu arus jenuh pada keadaan standar, dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan
dari kondisi sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan
sebelumnya

S = S0 F1 F2 F3 F4 . Fn (3)

18
Untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lehar efektif
pendekat (We):

So = 600 We (4)

Penyesuaian kemudian dilakukan untuk kondisi-kondisi berikut ini:


- Ukuran kota CS, jutaan penduduk
- Hambatan samping SF, kelas hambatan samping dari lingkungan jalan dan kendaraan tak
- Kelandaian bermotor G, % naik(+) atau turun (-)
- Parkir P, jarak garis henti - kendaraan parkir pertama.
- Gerakan membelok RT, % belok-kanan LT, % belok-kiri

PANJANG ANTRIAN
Jumlah rata-rata antrian smp pada awal sinyal hijau (NQ) dihitung sebagai jumlah
smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah smp yang datang selama
fase merah (NQ2).

NQ = NQ1 +NQ2

TUNDAAN
Tundaan pada suatu simpang dapat terjadi karena dua hal:
1) TUNDAAN LALU LINTAS (DT) karena interaksi lalu-lintas dengan gerakan lainnya
pada suatu simpang.

19
2) TUNDAAN GEOMETRI (DG) karena perlambatan dan percepatan saat membelok pada
suatu simpang dan/atau terhenti karena lampu merah.
Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat j dihitung sebagai:

Dj=DTj+DGj (12)

dimana:
Dj = Tundaan rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DTj = Tundaan lalu-lintas rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DGj = Tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j (det/smp)

Nilai normal 6 detik untuk kendaraan belok tidak berhenti dan 4 detik untuk yang
berhenti didasarkan anggapan-anggapan: 1) kecepatan = 40 km/jam; 2) kecepatan belok tidak
berhenti = 10 km/jam; 3) percepatan dan perlambatan = 1,5 m/det2; 4) kendaraan berhenti
melambat untuk meminimumkan tundaan, sehingga menimbulkan hanya tundaan
percepatan.

20

Anda mungkin juga menyukai