Kes
IMUNOHEMATOLOGI
OLEH :
PO.71.4.203.15.1.023
2017
HIPERSENSITIVITAS
Definisi
Hipersensitivitas adalah suatu reaksi respon imun yang menyebabkan kerusakan sel dan
bahkan dapat menyebabkan kematian. Antigen yang dapat memprovokasi respon
hipersensitif pada seseorang disebut alergen. (Kamus Dorland, 2006). Reaksi hipersensitivitas
dapat terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologis
seseorang, baik seluler maupun humoral meningkat. Reaksi ini tidak pernah timbul pada
pajanan pertama. Reaksi hipersensitivitas menimbulkan manifestasi klinik dan patologik yang
heterogen di mana hal tersebut ditentukan oleh (1) jenis respon imun yang menyebabkan
kerusakan jaringan dan (2) sifat serta lokasi antigen yang menginduksi atau yang menjadi
sasaran dari respon imun. Hipersensitivitas terbagi dalam 4 kategori, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Klasifikasi tersebut didasarkan pada mekanisme
patologis utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel atau jaringan. (Guntur, 2007)
Reaksi hipersensitivitas dapat dibedakan berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk beraksi
pada tubuh manusia. Selain itu, ada juga pembagian menurut ilmuan Robert Coombs dan
Philips HH Gell, yang membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 macam. Berikut
penjelasannya.
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Reaksi ini
melibatkan ikatan silang antara alergen dan IgE. Manifestasi dari reaksi ini dapat berupa
reaksi anafilaksis.
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini
melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan oleh sel NK.
Manifestasi dari reaksi ini dapat berupa reaksi transfusi darah, anemia hemolitik,
eritroblastosis fetalis, reaksi arthus, vaskulitis, glomerulonefritis, AR, dan Lupus
c. Reaksi Lambat
Reaksi lambat terjadi setelah terpajan antigen dan masih terlihat dalam 48 jam. Reaksi ini
melibatkan sitokin yang dikeluarkan oleh sel T untuk mengaktifkan makrofag yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi dari reaksi ini dapat berupa dermatitis kontak,
reaksi M.Tuberkulosis, dan reaksi penolakan transplantasi organ.
- Hipersensitivitas Tipe I Hipersensitivitas tipe I ditandai dengan reaksi alergi yang terjadi
segera (15-30 menit) setelah kontak dengan antigen (alergen). Terjadinya reaksi alergi
diawali oleh kontak suatu alergen yang diikuti oleh sederetan peristiwa kompleks yang
menghasilkan IgE. Respon IgE merupakan respon lokal yang terjadi pada tempat masuknya
alergen ke dalam tubuh. Produksi IgE oleh sel B tergantung pada penyajian antigen oleh APC
(Antigen Presenting Cell) dan kerjasama antara sel B dengan sel T helper-2 (Th-2). Reaksi
hipersensitivitas tipe I terjadi dalam 3 fase berurutan, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan
fase efektor (memunculkan respon). (Lauralee Sherwood, 2001)
Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan masuknya alergen ke dalam tubuh
melalui membran mukosa yang diproses dan dipresentasikan oleh APC pada sel T-helper. Sel
Th-2 mensekresi sitokin yang menginduksi proliferasi sel B dan menghasilkan respon IgE
spesifik. IgE, melalui reseptor FCR1, berikatan dan mensensitisasi sel mast. Bila akhirnya
alergen bertemu dengan sel mast, alergen akan (1) membuat ikatan silang antar-IgE pada
permukaan sel mast, (2) menimbulkan influks ion kalsium ke intraseluler yang mampu
memicu degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, seperti histamin dan golongan
protease, serta (3) menginduksi pembentukan dan pelepasan mediator dari asam arakhidonat,
seperti golongan leukotrien dan prostaglandin. Mediator-mediator inilah yang akan
menimbulkan gejala klinis alergi. Sitokin yang juga dilepaskan pada saat degranulasi sel mast
akan memperberat respon radang dan IgE yang terjadi. (Ivan M. Roitt, 1985)
Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat melibatkan reaksi pada kulit (urtikaria, ekzem), pada
mata (konjungtivitas), nasofaring (rinitis, rinorea), bronkopulmonari (asma), dan saluran
pencernakan (gastroenteritis). (Darmono, 2007)
- Hipersensitivitas Tipe II Reaksi hipersensitivitas tipe II dimediasi oleh antibodi IgG dan
IgM yang berikatan pada sel atau jaringan tertentu. Pada tipe ini, antibodi yang diarahkan
pada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai sel
efektor untuk menimbulkan kerusakan sel sasaran. Setelah melekat pada permukaan sel atau
jaringan, antibodi akan mengaktifkan komponen komplemen C1. Akibat dari aktivasi ini
adalah sebagai berikut :
1) Fragmen-fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen
akan menarik makrofag dan sel polimorfonuklear ke lokasi reaksi dan merangsang sel
mast/basofil untuk menghasilkan molekul yang menarik dan mengaktifkan sel efektor lain.
2) Jalur komplemen klasik dan lengkung aktivasi mengakibatkan pengendapan C3b, C3bi,
dan C3d pada membran sel sasaran.
3) Jalur komplemen klasik dan jalur litik memproduksi kompleks serangan membran C5b-9
dan menyelipkan kompleks tersebut ke dalam membran sel sasaran. (Wahab, 2002)
Beberapa contoh tentang reaksi tipe II ini ditemukan pada reaksi terhadap eritrosit, di
antaranya tranfusi darah yang incompatible, penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir
(HDNB), dan anemia hemolitik autoimun. Reaksi terhadap trombosit dapat menimbulkan
trombositopenia, sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan limfosit diduga mengakibatkan
lupus eritematosus sistemik (SLE). (Baratawidjaja, 2006)
- Hipersensitivitas Tipe III ini diperantarai oleh adanya kompleks imun. Kompleks imun
berinteraksi dengan sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a (anafilatoksin).
Fragmen komplemen ini menstimulasi pelepasan amin vasoaktif, seperti histamin dan 5-
hidroksi triptamin, serta faktor-faktor kemotaktik dari sel mast dan basofil. Amin vasoaktif
yang dilepaskan oleh trombosit, basofil, dan sel mast mengakibatkan retraksi sel endotel
sehingga meningkatkan permeabilitas vaskular dan memungkinkan pengendapan kompleks
imun pada dinding pembuluh darah yang kemudian membentuk C3a dan C5a. Trombosit
juga beragregasi pada kolagen membran basalis pembuluh darah yang terpajan serta
berinteraksi dengan daerah Fc kompleks imun. Trombosit yang teragregasi terus
menghasilkan amin vasoaktif dan merangsang produksi C3a dan C5a. (Jan Koolman, 2001)
Leukosit polimorfonuklear secara kemotaktik ditarik ke tempat terjadinya pengendapan oleh
C5a. Sel-sel tersebut berupaya memfagosit endapan kompleks imun, tetapi tidak mampu
karena kompleks melekat pada dinding pembuluh darah. Oleh karena itu, leukosit
polimorfonuklear kemudian mengeksositosis enzim lisosomnya pada tempat endapan. Jika
enzim lisosom ini dilepaskan ke dalam darah atau cairam jaringan, maka tidak akan timbul
radang yang luas karena enzim ini dengan cepat akan dinetralisasi oleh suatu inhibitor enzim
serum. Akan tetapi, jika fagosit, melalui ikatan Fc, berada sangat dekat dengan kompleks
yang terperangkap jaringan, maka inhibitor serum tidak akan berfungsi sehingga enzim dapat
merusak jaringan tempat endapan kompleks imun. (Joseph A. Bellanti, 1993)
Penyakit akibat pembentukan kompleks imun dapat dibagi secara kasar menjadi 3 kelompok,
yaitu (1) yang disebabkan oleh infeksi yang menetap (lepra, malaria, DHF, hepatitis B, dan
endokarditis enfektif stafilokokus), (2) disebabkan oleh penyakit autoimun (arthritis
rheumatoid, SLE, dan polimiositis), dan (3) yang disebabkan oleh inhalasi bahan antigenik
(penyakit farmers lung, pigeon fanciers lung). (Sumardiono, 2005)