Anda di halaman 1dari 28

Case Report Session

Subdural Hematoma

Oleh :

Dilla Anindita 06120173

Preseptor :
Prof. DR. dr. Darwin Amir, Sp. S (K)
Dr. Syarif Indra, Sp.S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2015
12 JANUARI 2015 8 FEBRUARI 2015
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.Anatomi dan Fisiologi Kepala
1.1 Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP, yaitu: Skin (kulit),
Connective tissue (jaringan penyambung), Aponeuris (galea aponeurotika yaitu
jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak), Loose areolar tissue
(jaringan penunjang longgar), Perikranium.1

Gambar : 1
b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria di regio
temporal tipis, namun dilapisi otot temporalis. Basis cranii tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Tulang tengkorak terdiri dari bagian frontal, parietal, temporal dan oksipital. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.1
Gambar : 2
c. Meninges

Gambar : 3
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater terdiri dari lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater
merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam kranium. Di bagian bawah, duramater tidak melekat pada
selaput arachnoid sehingga terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
sering terjadi perdarahan subdural.2
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.2
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural).Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri tersebut dan mengakibatkan perdarahan epidural.Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak osa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput ini
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.1
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater merupakan
membrana vaskular yang membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam dan menyatu dengan epineuriumnya.1

Gambar : 4
d. Otak

Gambar : 5
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14
kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu dan lobus oksipital mengatur proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan.1
e. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
tekanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.3

Gambar : 6
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior)2

Gambar : 7
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.
Vena-vena otak sangat tipis, tidak mempunyai katup, dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis.2

Gambar : 8
2. Trauma Kapitis
2.1 Definisi Trauma Kapitis
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi secara langsung
atau tidak langsung dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, fisik, kognitif,
psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala yang
diakibatkan oleh serangan/ benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran.2
2.2 Epidemiologi Trauma Kapitis
Trauma kapitis merupakan penyebab kematian di berbagai negara di dunia,
terutama pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Hampir 10 juta trauma kepala terjadi di
USA. Sekitar 20% kasus merupakan kasus berat yang dapat mengakibatkan kerusakan
otak. Pada laki-laki berusia < 35 tahun, kecelakaan kendaraan bermotor merupakan salah
satu penyebab kematian terbanyak dan 70% diantaranya berkaitan dengan cedera kepala.4
Di Bangsal neurologi RSUP H. Adam Malik, dalam rentang 1 juli 31 desember
2006, didapatkan 51 penderita trauma kapitis dengan penyebab terbanyak adalah
kecelakaan sepeda motor.5
2.3 Klasifikasi Trauma Kapitis
Trauma kapitis berdasarkan kelainan neurologi yang ditimbulkan :6
1. Trauma kapitis yang tidak menimbulkan kelainan neurologi
a. Komosio serebri
Komosio serebri merupakan trauma kapitis
2. Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologi
a. Kontusio serebri
b. Laserio serebri
c. Hemoragia subdural
d. Hemoragia epidural
e. Hemoragia intraserebral
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan :
a. Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera
kepala tumpul berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena
pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau
tusukan.7
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai
berikut :
1) Nilai sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2) Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.8
c. Morfologi cedera
Secara morfologi, cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Tanda-tanda
fraktur dasar tengkorak yaitu, ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis
nervus fasialis.7
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan.Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien
pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan
klinis.7
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek
atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus.9
b. Hematoma subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantra
duramater dan aracnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging vein antara kortek cerebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak.1
Subdural hematom terbagi menjadi akut, subakut, dan kronis:
a.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari
48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Anamnesis klinis dari
penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologik yang memburuk.Tingkat kesadaran mulai
menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
c.Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural.Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.
c. Kontusi dan hematoma intraserebral
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Mayoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma
intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.3
d. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana

kesadaran tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat


sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan
kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali
tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan
keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia anterograd.1

3. Epidural dan Subdural Hematom


3. 1 Definisi Epidural Hematom
Epidural Hematom adalah perdarahan intracranial yang terjadi karena fraktur
tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater.11
Subdural Hematom adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan
araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal. Hematoma subdural
ini sering bersamaan dengan kontusio serebri.12

3.2 Patogenesis Epidural dan Subdural Hematom


Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, ke
dalam rongga subdural (hemoragi subdural), antara dura bagian luar dan tengkorak
(hemoragi ekstradural), atau ke dalam substansi otak sendiri.11
Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura
mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di
daerah yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital.11
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah
penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi
sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam
rongga subaraknoid. Anak-anak (karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus) dan
orang dewasa dengan atropi otak (karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih
panjang) memiliki resiko yang lebih besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada
permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi bridging veins. Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh
perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja.Perdarahan vena
biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai
mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap
meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil,
yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa
terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh
dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang
dengan satu dari tiga mekanisme.11
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu
teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair
sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari
subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul
subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan
pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner
ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural
kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang
ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan
terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam
pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematoma.Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan
aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.13
3.3 Gejala Klinis Trauma Kapitis
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun
secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memardisekitar maa
dan dibelakang telinga.Sering juga tampak cairan yang kelua pada saluran hidung dan
telingah.Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari
cedera kepala.Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala.Gejala yang sering
tampak :14
1. Penurunan kesadaran , bisa sampai koma
2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Nyeri kepala yang hebat
6. Keluar cairan dari hidung dan telingah
7. Mual
8. Pusing
9. Berkeringat
10. Pucat
11. Pupil anisokor
Gejala yang timbul pada subdural :
1. Subdural Hematoma Akut
a. Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma sampai dengan hari ke
tiga
b. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan
tanda vitalnya
c. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas
d. Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi
e. pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa
bulan sabit

2. Subdural Hematoma Subakut


a. Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 minggu ke 3 sesudah
trauma
b. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya
c. adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.
d. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk.
e. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
f. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri.

3. Subdural Hematom Kronis


a. Biasanya terjadi setelah minggu ketiga
b. SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua
c. Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut
gejala yang terasa Cuma pusing.
d. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah menyerap cairan
dan mempunyai sifat mudah ruptur.
e. Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah ruptur, jika
volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang.
f. Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun cairan >>
ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan
penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.

3.4 Diagnosis Trauma Kapitis


1. Pemeriksaan penunjang12
a. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi
yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.
b. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling
sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur
pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 90
HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah

gambar di atas merupakan CT scan hematom epidural akut. Dura yang melekat
erat terlepas dari bagian dalam tulang tengkorak, menghasilkan karaktristik perdarahan
bentuk bulan sabit pada CT scan non kontras. Epidural hematom biasanya disebabkan
robeknya arteri meningea media yang diikuti fraktur tulang temporal.

CT scan pada hematoma subdural bilateral kronik. Gambaran ini dinilai dengan
hematoma akut yang menjadi hipodense bila dibandingkan dengan jaringan otak sekitar
setelah beberapa waktu isodense.
Subdural hematom akut. CT scan non kontras menunjukkan gambaran hiperdens
yang memiliki batas irregular pada otak dan menyebabkan mass effect lebih dari yang
diperkirakan dari ketebalannya. Mass effect yang tidak proportional ini adalah hasil dari
large rostral-caudal extent dari hematom ini.
Kontusio serebral traumatic CT scan non kontras menunjukkan daerah

perdaahan yang hiperdens pada lobus temporal bagian anterior

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.12
3.5 Tatalaksana Epidural dan Subdural hematom
1. Epidural Hematom
Penanganan darurat :
a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
b. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
a. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-
kan cairan NaC10,9% atau Dextrose.
b. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
1) Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila
dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530
mmHg
2) Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk menarik air dari
ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan
dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51
gram/kg BB dalam 1030 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek
rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam
atau keesokan harinya.
3) Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :
Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti
dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan
dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
4) Barbiturat.
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya
dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat
c. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
1) Volume hematom > 30 ml
2) Keadaan pasien memburuk
3) Pendorongan garis tengah > 5 mm
4) fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm
5) EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8
atau kurang
6) Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

2. Subdural Hematom
Saat mempersiapkan operasi, perhatiaan hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan medika mentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial. Seperti
pemberian manitol 0,25 gr/kgBB atau furosemide 10 mg intavena, dihiperventilasikan.

Tidakan operatif
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala- gejala yng
progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom.
Tetapi sebelum diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan
adalah airway, breathing, dan circulatioan.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran midline
shift >5 mm pada CT-Scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10 mm dan pergerakan
struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian
sampai saat masuk rumah sakit.
d. Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy.

3.6 Prognosis Epidural dan Subdural Hematom


Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :
a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
b. Besarnya
c. Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien
yang mengalami koma sebelum operasi.
Prognosis dari penderita SDH ditentukan dari:
a. GCS awal saat operasi
b. lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi
c. lesi penyerta di jaringan otak
d. serta usia penderita
Pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS,
makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosenya .
BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 35 tahun
Suku Bangsa : Minangkabau
Alamat : Simpang Rumbio, Solok
Alloanamnesis (diberikan oleh istri) :
Seorang pasien laki-laki usia 35 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUD Solok
sejak tanggal 11 Januari 2015 dengan :
Keluhan Utama :
Nyeri kepala yang semakin bertambah sejak 3 hari sebelum masuk RS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri kepala yang semakin bertambah sejak 3 hari sebelum masuk RS. Nyeri
dirasakan pada seluruh bagian kepala, dan dirasakan sepanjang hari hingga
mengganggu aktivitas
Awalnya kepala kanan pasien tertimpa lemari sejak 3 hari yll.
Terdapat luka memar di kepala bagian kanan, berwarna kebiruan.
Terdapat juga memar pada seluruh kelopak mata kanan
Pasien tidak sadarkan diri 15 menit setelah kejadian, setelah sadar pasien tidak
ingat dengan peristiwa sebelumnya.
Pasien merasa mual dan muntah, muntah 1 kali, berisi makanan, muntah tidak
menyemprot, darah pada muntah tidak ada.
Keluar darah segar dari hidung, mulut, dan telinga tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah mengalami nyeri kepala seperti ini sebelumnya
Riwayat trauma sebelumnya (-)
Hipertensi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluaga yang mempunyai penyakit hipertensi, DM, jantung serta
penyakit kejiwaan dan keturunan lainnya.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : komposmentis
Tekanan darah : 230/130 mmHg
Nadi : 64x/menit, teratur
Nafas : 18x/menit, teratur
Suhu : 36,9oC
Status Internus :
Kulit : tidak ada kelainan
KGB : tidak teraba pembesaran
Kepala : normocephal
Rambut : hitam, tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, edema palpebra
Telinga: tidak ada kelainan.
Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : vulnus laseratum pada bibir bawah ( post hecting)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
THORAK : - Paru: Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus normal kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor
Auskiltasi : vesikuler normal, ronchi -/- , wheezing -/-
- Jantung: Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkus : batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama teratur, murni, bising (-)
- Abdomen : Inspeksi : tidak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : tympani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
- Punggung : Inspeksi : Penonjolan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-)
- Anus dan Genitalia : tidak diperiksa
- Extremitas : akral hangat perfusi baik
Status neurologikus
1. Tanda rangsangan selaput otak
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Tanda Kernig : (-)
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil isokor, diameter 3m/3mm , reflek cahaya +/+
Muntah proyektil tidak ada``
3. Pemeriksaan nervus kranialis
N. I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif + +
Objektif (dengan bahan) + +

N. II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Normal Normal
Lapangan pandang Normal Normal
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis - -
Gerakan bulbus Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Strabismus - -
Nistagmus - -
Ekso/endotalmus - -
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Refleks cahaya + +
Refleks akomodasi + +
Refleks konvergensi + +

N. IV (Trochlearis) tidak bisa dinilai


Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah + +
Sikap bulbus ortho Ortho
Diplopia - -

N. VI (Abdusen) tidak bias dinilai


Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -

N. V (Trigeminus) normal
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut + +
Menggerakkan rahang + +
Menggigit + +
Mengunyah + +
Sensorik
Divisi oftalmika
- Refleks kornea + +
- Sensibilitas + +
Divisi maksila
- Refleks masetter + +
- Sensibilitas
Divisi mandibula
- Sensibilitas + +

N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah
Sekresi air mata + +
Fissura palpebra + +
Menggerakkan dahi + +
Menutup mata + +
Mencibir/ bersiul + +
Memperlihatkan gigi + +
Sensasi lidah 2/3 depan
Hiperakusis - -

N. VIII (Vestibularis) audiovestibularik (-)


Kanan Kiri
Suara berbisik + +
Detik arloji + +
Rinne tes Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Weber tes Tidak diperiksa
Schwabach tes Tidak diperiksa
- Memanjang
- Memendek
Nistagmus - -
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala - -

N. IX (Glossopharyngeus) tidak dinilai


Kanan Kiri

Sensasi lidah 1/3 belakang


Refleks muntah (Gag Rx) - -

N. X (Vagus) normal
Kanan Kiri
Arkus faring simetris Simetris
Uvula Di tengah Di tengah
Menelan + +
Suara + +
Nadi

N. XI (Asesorius) normal
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan + +
Menoleh ke kiri + +
Mengangkat bahu kanan + +
Mengangkat bahu kiri + +

N. XII (Hipoglosus) normal


Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Normal
Kedudukan lidah dijulurkan Norma
Tremor - -
Fasikulasi - -
Atropi - -

4. Pemeriksaan koordinasi tidak bisa dinilai


Cara berjalan Disartria -
Romberg tes tidak dapat diperiksa Disgrafia -
Ataksia tidak dapat diperiksa Supinasi-pronasi +
Reboundphenomen tidak dapat diperiksa Tes jari hidung +
Test tumit lutut tidak dapat diperiksa Tes hidung jari +

5. Pemeriksaan fungsi motorik


a. Badan Respirasi Teratur
Duduk Normal
b. Berdiri dan berjalan Gerakan spontan
Tremor (-)
Atetosis (-)
Mioklonik (-)
Khorea (-)

c. Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif aktif aktif
Kekuatan 555 555 555 555
Tropi Eutropi Eutropi Eutropi eutropi
Tonus Eutonus Eutonus eutonus Eutonus

6. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibiltas taktil +
Sensibilitas nyeri +
Sensiblitas termis +
Sensibilitas kortikal +
Stereognosis
Pengenalan 2 titik +
Pengenalan rabaan +
Dengan rangsangan nyeri anggota gerak kurang aktif bergerak
7. Sistem refleks
a. Fisiologi Kanan Kiri Kanan Kiri
s
Kornea (+) (+) Biseps +++ ++
Berbangkis Triseps +++ ++

Laring KPR +++ ++

Masetter APR +++ ++


Dinding Bulbokverno Tidak dilakuan Tidak
perut sus dilakukan
Atas Cremaster Tidak dilakukan Tidak
dilakukan
Tengah Sfingter Tidak dilakukan Tidak
dilakukan
Bawah

b.Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Lengan Babinski (-) (-)
Hoffmann-Tromner (-) (-) Chaddocks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Tungkai (-) (-)

8. Fungsi otonom
- Miksi : baik
- Defekasi : baik
- Sekresi keringat: baik

9. Fungsi luhur : Baik

Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin
Hb : 17,5 gr/dl
Leukosit : 10.280/mm3
Trombosit : 369.000/mm3
Hematokrit : 47%
Diagnosa kerja :
Diagnosa Klinis : Comusio Serebri
Diagnosa Topik : parietal dextra
Diagnosa Etiologi : Benturan dinamis (kecelakaan)
Diagnosis Diferensial: -
Diagnosis Sekunder : Hipertensi emergency
Rencana pemeriksaan tambahan
Brain CT Scan

TERAPI
Umum : - Istirahat
- Infus RL 12 jam /kolf
- Diet MB
Khusus : - Captopril 3 x 12,5 mg
- PCT 3 x 650
- Codein 3 x 30 mg
- Piracetam 3 x 1200 mg
Pemeriksaan Anjuran :
- CT Scan kepala

Follow up tanggal 13 januari 2014


s/ nyeri kepala (+)
memar pada kelopak mata (+)
tidur berkurang
o/ ku/ sedang, kes/ komposmentis, TD/ 160/80, nadi/ 91, nafas/ 19, t/afebris
thorax : dalam batas normal
abdomen : dalam batas normal
hasil CT scan SDH, EDH,dan fraktrur frontotemporoparietal
D/cedera kepala sedang
SDH
EDH
Fraktur frontotemporo parietal
Th/ Umum : - Istirahat
Infus RL 12 jam /kolf
Diet MB
Khusus : - Captopril 3 x 12,5 mg
PCT 3 x 650
Codein 3 x 30 mg
Piracetam 3 x 1200 mg
Daftar Pustaka
1. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Suport. United States of
America: First Impression; 1997
2. Iskandar J. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatera Utara :
USU Press; 2004
3. Hafid A. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua. Jakarta : EGC; 2007)
4. Ropper AH. Concussion and Other Head Injuries. In Hauser SL et al, editor.
Harrisons Neurology in Clinical Medicine. San Francisco : McGraw-Hill
Companies; 2010.
5. Rambe AS, Zuraini. Profil Penderita Trauma Kapitis pada Bangsal Neurologi
RSUP H. Adam Malik Medan. 2008;41(4):p 235 - 238
6. Marjiono M. Neurologi klinis dasar. Jakarta : Dian Rakyat; 2004
7. David B. Head Injury. Diakses pada tanggal 17 Januari 2015 15:35 WIB dari
www.e-medicine.com; 2009
8. Wolters. Trauma and acute care surgery. Philadelphia: Lippicott Williams and
Wilkins; 2009
9. Malueka G. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendikia; 2007
10. Hamid A dkk. Advance Neurology Life Support (ANLS). Jakarta : Pokdi Neuro
Intensif PERDOSSI; 2012
11. Ersay, F. Rapid Spontaneous Resolution of Epidural Hematom. Turkish Journal of
Trauma and Emergency Surgery; 2010
12. Joshua WLJ. Bilateral Subacute subdural hematom. The New England Journal of
Medicine 2009 : e23
13. Gillet J. Whats The Differecnce Between a Subdural Hematom and Epidural.
Diakses dari brainline.org; 2010
14. Galia G. Traumatic Epidural Hematom. The New England Journal of Medicine
2009: 615

Anda mungkin juga menyukai