Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2011 di New York

jumlah penderita ISPA adalah 48.325 anak dan memperkirakan di negara

berkembang berkisar 30-70 kali lebih tinggi dari negara maju dan diduga 20%

dari bayi yang lahir di negara berkembang gagal mencapai usia 5 tahun dan 25-

30% dari kematian anak disebabkan oleh ISPA. Hal ini dapat dilihat dari

tingginya angka kesakitan dan kematian akibat ISPA. Kematian akibat penyakit

ISPA pada balita mencapai 12,4 juta pada balita golongan umur 0-5 tahun

setiap tahun diseluruh dunia, dimana dua pertiganya adalah bayi, yaitu

golongan umur 0-1 tahun dan sebanyak 80,3% kematian ini terjadi di

negara berkembang (Kemenkes, 2010).

Menurut WHO, kriteria untuk menentukan bahwa kematian ISPA pada

balita masih merupakan masalah disuatu wilayah atau Negara terutama di

Negara berkembang, adalah apabila angka kematian bayi berada diatas 40/1000

balita, atau proporsi akibat kematian akibat pneumonia pada balita diatas 20%.

Pneumonia masih menjadi masalah di Indonesia, karena angka kematian balita

adalah 46/1000 kelahiran hidup dan angka kematian pneumonia balita

diperkirakan sekitar 6/1000 balita (Maryunani, 2013).


Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir.

Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%),

Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur

(28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi

tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas

2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2007 (25,5%) (Riskesdas 2013).

Data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012

menunjukkan bahwa kematian anak selama lima tahun sebelum survey (tahun

2008-2012) adalah 32 kematian per 1000 kelahiran hidup. Artinya, setiap satu

dari 31 anak yang lahir di Indonesia meninggal sebelum mencapai umur 1 tahun,

60% bayi mati terjadi pada umur 1 bulan, menghasilkan angka kematian

neonatum sebesar 19/1000 kelahiran hidup. Delapan puluh persen anak

meninggal terjadi saat berumur 1-11 bulan, yang menghasilkan angka kematian

posneonatum sebesar 13/1000 kelahiran (Febriyanti Atika S. 2016).

Menurut Saftari (dalam Syahrani, 2012) ISPA merupakan masalah

kesehatan yang utama di Indonesia karena masih tingginya angka kejadian ISPA

terutama pada balita. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan

salah satu penyebab kematian tersering pada anak dinegara sedang berkembang.

Di indonesia ISPA menyebabkan 15 juta kematian dari pada usia di bawah 5

tahun pada setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2013).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan

bagian bawah yang disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA akan
menyerang host apabila ketahanan tubuh (immunologi) menurun pada bayi di

bawah lima tahun dan bayi merupakan salah satu kelompok yang memiliki

sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit

(Probowo, 2012).

Secara umum terdapat tiga faktor resiko terjadinya ISPA, yaitu faktor

lingkungan (pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah dan kepadatan

hunian rumah), faktor individu anak (umur anak, berat badan lahir, status gizi,

vitamin A dan status imunisasi) dan faktor perilaku keluarga dalam pencegahan

dan penangan ISPA pada anak (Kemenkes RI, 2002). Selain itu masih banyak

faktor yang menurut kepustakaan berperan pada terjadinya ISPA, antara lain

jenis kelamin, usia balita, status gizi, imunisasi, berat lahir balita, suplementasi

vitamin A, riwayat pemberian ASI ekslusif, pendidikan dan prilaku ibu

(Pediatri, 2012).

Di provinsi nusa tenggara barat, infeksi saluran pernafasan akut

merupakan 10 penyakit terbanyak yang menduduki peringkat pertama dengan

jumlah kejadian 224.542 (Profil Kesehatan NTB, 2014). Di kabupaten Lombok

tengah tahun 2014 penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat yang

berkunjung ke puskesmas adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan

bagian atas sebanyak 29.854 kasus (profil kesehatan kabupaten Lombok tengah

tahun 2014).
Table 1.1 Rekapitulasi ISPA pada balita di Desa Sintung Wilayah Kerja
Puskesmas Bagu Kabupaten Lombok Tengah Bulan Agustus,
September, Dan Oktober Tahun 2016.

No Bulan Jumlah Kejadian


1 Agustus 131
2 September 125
3 Oktober 169
Sumber : puskesmas bagu 2016

Berdasarkan table 1.1 diatas, terlihat bahwa kejadian ISPA di desa

sintung wilayah kerja puskesmas bagu tahun 2016 cukup tinggi yaitu bulan

Agustus sebanyak : 131 kasus, bulan September sebanyak : 125 kasus dan

bulan Oktober sebanyak : 169 kasus.

Adapun kejadian ISPA pada balita khususnya di puskesmas mantang

tahun 2014-2016 adalah seperti pada table berikut :

Table 1.2 rekapitulasi penyakit ISPA pada balita yang dilayani di puskesmas
bagu tahun 2014-2016.
No Tahun Jumlah Kejadian Ispa
1 2014 3.682
2 2015 4.046
3 2016 3.986
Sumber : laporan puskesmas tahun 2016

Berdasarkan table 1.2 diatas, terlihat bahwa kejadian ISPA di desa

sintung wilayah kerja puskesmas bagu tahun 2014 cukup tinggi yaitu tahun :

3682 kasus, tahun 2015 sebanyak : 4.046 kasus dan tahun 2016 sebanyak :

3.986 kasus.
Berdasarkan Hasil Observasi wawancara Yang Dialakukan Peneliti Di

Desa Sintung Tahun 2016. Pengetahuan masyarakat untuk mengobati

penyakit sangat memperihatinkan, sebagian besar dari masyarakat lebih

mempercayai dukun sebagai tempat pertama dalam mengobati anaknya di

bandingkan fasilitas kesehatan yang ada di wilayahnya tersebut, hal ini di

sebabkan karena tingkat pengetahuan yang kurang karena faktor pendidikan

yang rendah, sebagian besar pendidikan masyarakat disana di bawah Sekolah

Menengah Atas (SMA) dan ada pula yang hanya menempuh pendidikan

sekolah dasar, dengan mata pencaharian sebagai petani, lebih banyak waktu

digunakan untuk berinteraksi di sawah sehingga informasi kesehatan

khususnya penanggulangan ISPA kurang diperhatikan. Pengetahuan sangat

erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan

pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya (Notoatmodjo, 2012)

Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam usaha

meningkatkan kesehatan bagi anggota keluarganya, pengetahuan orang tua

yang rendah terhadap penyakit, khususnya ISPA menyebabkan hasil yang

tidak maskimal dalam mencegah maupun menanggulangi penyakit tersebut.

Karena pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk

membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2012). Oleh karena itu, untuk

mengetahui pemahaman pada orang tua tentang penyakit ISPA, maka perlu

diketahui bagaimana pengetahuan orang tua dalam mencegah kejadian

penyakit ISPA tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa cara


pencegahan ISPA adalah dengan hidup sehat, cukup gizi, menghindari polusi

udara dan pemberian imunisasi lengkap (Maryunani Anik, 2013).

Berdasarkan hasil observasi wawancara dengan tim kesehatan di

puskesmas bagu. Melihat tingginya angka kejadian ISPA yang masih tinggi.

maka upaya-upaya kesehatan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya

ISPA. Upaya yang dilakukan oleh petugas puskesmas bagu berupa upaya

promotif dan preventif seperti penyuluhan kesehatan lingkungan, prilaku

hidup sehat, pemberian imunisasi serta upaya kuratif terhadap penyakit

menular khususnya penyakit ISPA. Menurut depkes ri (2011) pencegahan

penyakit ispa ialah suatu upaya kita untuk mencegah terjadinyasuatu penyakit

ispa (Depkes RI dalam indriani putu I. 2016)

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

suatu penelitian tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Infeksi

Saluran Pernapasan Akut Dengan Prilaku Pencegahan ISPA Pada Balita Di

Desa Sintung Wilayah Kerja Puskesmas Bagu Tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka

peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu : Apakah ada Hubungan Tingkat

Pengetahuan Ibu Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut Dengan Prilaku

Pencegahan ISPA Pada Balita Di Desa Sintung Wilayah Kerja Puskesmas Bagu

Tahun 2016 ?
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah ada Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu

Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut Dengan Prilaku Pencegahan

ISPA Pada Balita Di Desa Sintung Wilayah Kerja Puskesmas Bagu

Tahun 2016.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Infeksi Saluran

Pernapasan Akut Pada Balita Di Desa Sintung.

2. Mengidentifikasi Prilaku Pencegahan ISPA Pada Balita Di Desa

Sintung.

3. Menganalisa Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Infeksi

Saluran Pernapasan Akut Dengan Prilaku Pencegahan ISPA Pada

Balita Di Desa Sintung.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Keilmuan

Manfaat bagi keilmuan pada penelitian ini adalah agar data ini

dapat memperkaya pengembangan ilmu khususnya ilmu keperawatan

1.4.2 Metodelogi

Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian lebih

lanjut pada variabel lain yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA

seperti asap rokok, imunisasi dan prilaku petugas kesehatan disarana

pelayanan kesehatan.
1.4.3 Aplikatif

Berdasarkan hasil penelitian ini, diharpkan dapat dijadikan masukan

bagi tenaga kesehatan khususnya puskesmas bagu dalam mengetahui

penyebab yang mempengaruhi kejaidan ISPA pada balita diwilayah

kerjanya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) dengan prilaku pencegahan ispa pada balita di

desa sintung wilayah kerja puskesmas bagu tahun 2016, dimana dalam

penelitian ini, peneliti meneliti dua variabel yaitu variabel independen (bebas),

dan variabel dependen (terkait). Variabel independen dalam penelitian ini

hubungan tingkat pengetahuan ibu dan variabel dependen adalah prilaku

pencegahan ISPA. Penelitian ini dilakukan di desa sintung wilayah kerja

puskesmas bagu karena jumlah kejadian ISPA balita cukup tinggi dan

meningkat setiap tahunnya.

1.6 Keaslian penelitian

Judul Rancangan
No Nama Variabel Hasil
penelitian penelitian
1. Tingkat Nurul Variabel Observasional Hasil penelitian
pengetahuan qiaam ,dkk independen Deksriptif dan tersebut
ibu terhadap (2016). Tingkat desain studi cross menunjukkan bahwa
penyakit ispa pengetahua sectional pengetahuan ibu yang
(infeksi saluran n ibu cukup mengenai
pernapasan Variabel ISPA,
akut) pada dependen kejadian ISPA sangat
balita di ISPA dipengaruhi oleh
puskesmas tingkat pengetahuan
paruga kota ibu terhadap penyakit
bima Tahun ISPA.
2016

2 Hubungan Maria Variabel Analitik korelasi Bahwa semakin tinggi


pengetahuan Kristina independen dengan tingkat pengetahuan
dan sikap orang Mbora, dkk Hubungan pendekatan Cross responden semakin
tua dalam (2014) pengetahuan Sectional. banyak responden
mencegah dan sikap yang melakukan
Ispa pada batita orang tua pencegahan ISPA.
usia 1-3 tahun Variabel pengetahuan yang
dependen tinggi pada orang tua
Dalam akan berdampak pada
mencegah sikap orang tua dalam
ISPA mencegah ISPA.

3. Hubungan Paramitha Variabel observasional Hasil penelitian


tingkat Anjanata independen dengan Sari menunjukkan
pendidikan dan Maramis, Hubungan menggunakan bahwa semakin tinggi
pengetahuan dkk. tingkat metode cross tingkat pendidikan
ibu tentang (2013). pendidikan sectional design. seseorang maka
Ispa dengan dan semakin
kemampuan pengetahuan memudahkannya untuk
ibu merawat ibu. menerima
balita ispa Variabel dan mengolah informasi
Pada balita di dependen yang diperoleh,
puskesmas Kemampuan tidak ada hubungan
bahu ibu merawat antara tingkat
Kota manado balita ISPA pendidikan ibu dengan
kemampuan ibu
merawat balita ISPA di
Puskesmas Bahu.
DAFTAR PUSTAKA

(Probowo, 2012). Hubungan kebiasaan merokok didalam rumah dengan kejadian ispa

Pada anak umur 1-5 tahun di puskesmas sario kota manado

(ejournal keperawatan (e-kep)). Vol.3,No.2, Mei 2015.

Anda mungkin juga menyukai