Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah
serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses
tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,
lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi
organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung
empedu.
Penyakit pencernaan adalah suatu keadaan abnormal atau gangguan pada sistem
pencernaan. Penyakit yang menyerang sistem pencernaan meliputi GE (Gastroenteritis),
Tyfoid fever.
Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga
kali sehari. Dimana pada dunia ke-3, diare adalah penyebab kematian paling umum
kematian balita, membunuh lebih dari 1,5 Juta orang pertahun. Diare kondisinya dapat
merupakan gejala dari luka, penyakit, alergi (Fructose, Lactose), penyakit dan makana
atau kelebihan Vitamin C dan biasanya disertai sakit perut dan seringkali menyebabkan
muntah. Dimana menurut WHO (1980) diare terbagi dua berdasarkan mula dan lamanya,
yaitu diare akut dan diare kronik.
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut
typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama
menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang
selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan
dewasa.
Penyakit ini pertama kali muncul dalam wabah yang terjadi di Athena sampai
Sparta Yunani pada tahun 430-424 SM. Sejarah yang tidak kalah menarik adalah tentang
Tifoid Marry yang pada tahun 1907 menjadi seorang carier/ pembawa penyakit tifoid di
Amerika, dimana setiap restoran tempat dia bekerja selalu terjadi epidemi tifoid.
Prevalensi kasus 91% demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah usia 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar

1
dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis
diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Demam yang terjadi biasanya
bertipe berkepanjangan (prolonged fever), yaitu demam yang berlangsung minimal lebih
dari 5 hari dengan pola yang biasanya khas/klasik yaitu demam yang rendah dan perlahan
lahan lalu meningkat dari hari ke hari hingga cenderung konstan tinggi. Namun pola
demam yang seperti itu sudah jarang ditemui karena pengaruh pemakaian antibiotik
dalam pengobatan pribadi.
1. 2. Tujuan
1. 2.1. Tujuan umum
Diharakan mahasiswa dapat mengerti dan menjelaskan tentang konsep teori diare
dan tyfoid fever serta contoh kasusnya
1. 2.2. Tujuan khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang pengertian diare
2. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Klasifikasi diare
3. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Penyebab diare
4. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Patofisiologi diare
5. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Manifestasi ||Klinis diare
6. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pemeriksaan Diagnostik diare
7. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Komplikasi diare
8. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pencegahan diare
9. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Penatalaksanaan diare
10. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Definisi tyfoid fever
11. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Etiologi tyfoid fever
12. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Epidemologi tyfoid fever
13. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Gejala Klinis tyfoid fever
14. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Patofisiologi tyfoid fever
15. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Patway tyfoid fever
16. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Diagnosis tyfoid fever
17. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Diagnosa Banding tyfoid fever
18. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Penatalaksanaan tyfoid fever
19. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pencegahan tyfoid fever
20. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Komplikasi dan
Penatalaksanaannya sera prognosis tyfoid fever

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KONSEP TEORI DAN ASKEP DIARE PADA ANAK


1) Pengertian
Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya
defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai
dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah
Menurut menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-
tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai
mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih
dalam sehari
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu
keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.
Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana
terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena
frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu
lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa
disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung
atau usus.
2) Klasifikasi
Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan jenis diare menjadi
empat kelompok yaitu:
1. Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya
kurang dari tujuh hari)
2. Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
3. Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara
terus - menerus,
4. Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten)
mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit
lainnya.

3
3) Penyebab
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut
patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh :
a. Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela,
E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus
aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia
makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam),
gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan
sebagainya.
b. Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang
mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur
terutama canalida.
2. Diare osmotik (osmotik diarrhoea) disebabkan oleh:
a. malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan
mineral.
b. Kurang kalori protein.
c. Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.
Sedangkan menurut Ngastiyah (1997), penyebab diare dapat dibagi dalam
beberapa faktor yaitu:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral
Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang meliputi: infeksi
bakteri, infeksi virus (enteovirus, polimyelitis, virus echo coxsackie). Adeno
virus, rota virus, astrovirus, dll) dan infeksi parasit : cacing (ascaris, trichuris,
oxyuris, strongxloides) protozoa (entamoeba histolytica, giardia lamblia,
trichomonas homunis) jamur (canida albicous).
b. Infeksi parenteral
Adalah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media
akut (OMA) tonsilitis/tonsilofaringits, bronkopeneumonia, ensefalitis dan
sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur
dibawah dua (2) tahun.
2. Faktor malaborsi : Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa,
maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa).

4
Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan
anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.
3. Faktor makanan : Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi,
beracun dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor psikologis : Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan
cemas)
Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita
( Depkes RI, 2007), yaitu :
1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada
balita yang tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita
yang diberi ASI penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.
2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh
kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau
sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan dilingkungan yang panas, sering
menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-
kuman/bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang menggunakan botol tersebut
beresiko terinfeksi diare
3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa
jam pada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak.
4. Menggunakan air minum yang tercemar.
5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak
atau sebelum makan dan menyuapi anak
6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak
berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah
besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia
4) Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan
osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini
akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya
diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.

5
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare
sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul
berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke
dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme
tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut
terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan
(input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis)
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak
tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya
penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme
yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi
oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler
kedalam cairan intraseluler.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering pada anak
yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena adanya gangguan
penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi
glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun
hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak.
4. Gangguan gizi
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh:
1. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah
yang bertambah hebat.
2. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan susu
yang encer ini diberikan terlalu lama.
3. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan
baik karena adanya hiperperistaltik.

6
5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat
mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi
klien akan meninggal.

7
5) Patway
WOC DIARE

Infeksi
Psikologis
Enteral Malabsorbsi KH, Makanan
takut, cemas
Protein, lemak basi, alergi
Parenteral

Makanan tdk diserap


Aktivitas tonus me
ggn pada villi usus
Tek. osmotik cairan
Absorbsi aktif Na dari lumen usus usus meningkat
me sekresi aktif NaCl & air dari
mukosa ke lumen usus me
Volume usus meningkat hiperperistaltik Hospitalisasi

Diare MK : Ggn. Pola tidur

Kehilangan
cairan dan elektrolit
di vaskuler
MK :
-Defisit volume cairan
-Resiko syok hipo Pengeluaran Na+ me
volemik
Iritasi Anus

Kulit di Sal cerna terakumulasi Na HCO3 plasma me


perianal toksin MK :
Metabolisme anaerob Ggn. Rasa nyaman
Lama kontak Terjadi anoreksia,
dg cairan mual, muntah Ggn. Integritas kulit
dan bakteri Asam laktat
MK:
Kulit Lembab Ggn Pemenuhan nutrisi
Ggn Tumbang Asidosis

infeksi otak Asam lambung


Pertumbuhan MK : Ggn. Nutrisi
bakteri Suhu tubuh tinggi
Nafsu makan me Kecemasan ortu
meningkat
a. Psikososial
Kejang Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman
Iritasi kulit dan perubahan peran
b. Fisiologis
MK: MK: Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak
Resiko kerusakan mengontrol diri 8
Resiko cedera c. Lingkungan asing
integritas kulit Kebiasaan sehari-hari berubah
6) Manifestasi ||Klinis
Pada anak yang mengalami diare tanpa dehidrasi (kekurangan cairan), tanda-
tandanya : Berak cair 1-2 kali sehari, muntah ( - ), haus ( - ), nafsu makan tidak
berkurang, masih ada keinginan untuk bermain.
Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi ringan/sedang. Tanda-
tandanya : Berak cair 4-9 kali sehari, Kadang muntah 1-2 kali sehari, suhu tubuh
kadang meningkat, Haus, tidak ada nafsu makan, Badan lesu lemas
Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi berat.Tanda-tandanya: Berak
cair terus-menerus, Muntah terus-menerus, Haus, Mata cekung, Bibir kering dan biru,
Tangan dan kaki dingin, Sangat lemah, Tidak ada nafsu makan, Tidak ada keinginan
untuk bermain, Tidak BAK selama 6 jam atau lebih, Kadang-kadang dengan kejang
dan panas tinggi.
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus,
hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang
berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang
menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis
metabolik yang berlanjut. Seseorang yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat
badan berkurang, ubun ubun dan mata cekung, membrane mukosa kering, tulang
pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit jelas (elastisitas kulit menurun) serta suara
menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam
karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat
pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan
Kussmaul). Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah
menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan
kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul
aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai
timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit
nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.

9
7) Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. :
1. Pemeriksaan tinja
a. Makroskopis dan mikroskopis
b. PH dan kadar gula dalam tinja
c. Bila perlu diadakan uji bakteri untuk mengetahui organisme penyebabnya,
dengan melakukan pembiakan terhadap contoh tinja.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui kadar elektrolit dan jumlah sel
darah putih.
3. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, bila
memungkinkan dengan menentukan PH keseimbangan analisa gas darah atau
astrup.
4. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
5. Pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau
parasit secara kuantitatif,terutama dilakukan pada penderita diare kronik.
8) Komplikasi
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik.
c. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi,
perubahan pada elektro kardiagram).
d. Hipoglikemia.
e. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena
kerusakan vili mukosa, usus halus.
f. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga
mengalami kelaparan.
Dari komplikasi Gastroentritis,tingkat dehidrasi dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Dehidrasi ringan
ehilangan cairan 2 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit
kurang elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada keadaan syok.

10
2. Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit
jelek, suara serak, penderita jatuh pre syok, nadi cepat dan dalam.
3. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 - 10 % dari bedrat badan dengan gambaran klinik seperti
tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai
koma, otot-otot kaku sampai sianosis.
9) Pencegahan
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni :
pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan
dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang
meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga
(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Nasry
Noor, 1997).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab,
lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya
agar mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan
sanitasi lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk
memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu
maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi.
a. Penyediaan air bersih
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir
70% tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan,
minum, mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan
tersebut WHO menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60
liter. Selain dari peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat
berperan besar dalam penularan beberapa penyakit menular termasuk diare
(Sanropie, 1984).
Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah: air
permukaan yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah yang tergantung
kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa
yaitu air yang berasal dari atmosfir seperti hujan dan salju (Soemirat, 1996).

11
Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam
terjadinya penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba
patogen, sarang insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak
mencukupi, sehingga orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik,
dan air sebagai sarang hospes sementara penyakit (Soemirat, 1996).
Dengan memahami daur/siklus air di alam semesta ini, maka sumber air
dapat diklasifikasikan menjadi; a) air angkasa seperti hujan dan air salju, b) air
tanah seperti air sumur, mata air dan artesis, c) air permukaan yang meliputi
sungai dan telaga. Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari
sumber air yang ada dapat dibangun bermacam-macam saran penyediaan air
bersih yang dapat berupa perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan,
perlindungan mata air, penampungan air hujan, dan sumur artesis (Sanropie,
1984).
Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari
sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus
jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber
air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam
wadah dengan menggunakan gayung yang bersih, dan untuk minum air harus
di masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai
resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air besih (Andrianto, 1995).
b. Tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan
lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung
terhadap insiden penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain
penyakit diare (Haryoto, 1983).
Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga
harus membuang air besar di jamban. Jamban harus dijaga dengan
mencucinya secara teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus
membuang air besar jauh dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan
paling kurang sepuluh meter dari sumber air bersih (Andrianto, 1995).
Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka
pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban
memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak

12
mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di
jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan
dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996).
Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua
kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang
tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003).
c. Status gizi
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan
dengan penggunaan makanan oleh tubuh (Parajanto, 1996). Penilaian status
gizi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, yang tergantung
dan tingkat kekurangan gizi. Menurut Gibson (1990) metode penilaian
tersebut adalah;
a) konsumsi makanan
b) pemeriksaan laboratorium
c) pengukuran antropometri, dan
d) pemeriksaan klinis
Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan
untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif.
Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare
yang dialami. Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil
dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk
mengadakan kekebalan nonspesifik terhadap kelompok organisme berkurang
(Suharyono, 1986).
d. Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat
makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan
diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga
pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan
nyaman ibu jangan memberikan cairan tambahan seperti air, air gula atau susu
formula terutama pada awal kehidupan anak. Memberikan ASI segera setelah
bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI mempunyai khasiat
preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang
dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare, pemberian

13
ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung empat
kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan
susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam bulan pertama
kehidupannya, risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding
dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes, 2000).
Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare
lebih rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih
tinggi dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga
mendapatkan ASI, dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif
ini tinggi dalam bulan-bulan pertama kehidupan (Suryono, 1988).
e. Kebiasaan mencuci tangan
Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan
dengan penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius
penyebab diare ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut
ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang
mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air minum. Pada
penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan
yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke
tubuh manusia.
Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan
dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber
perantara oleh tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut
kedalam tubuh melalui mulut. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah
perilaku amat penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan
diterapkan setelah buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum
makan atau memberi makan anak dan sebelum menyiapkan makanan.
Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung dengan
makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat
keluarga membuang tinja anak (Howard & Bartram, 2003).
Anak kecil juga merupakan sumber penularan penting diare. Tinja anak,
terutama yang sedang menderita diare merupakan sumber penularan diare bagi
penularan diare bagi orang lain. Tidak hanya anak yang sakit, anak sehatpun
tinjanya juga dapat menjadi carrier asimptomatik yang sering kurang

14
mendapat perhatian. Oleh karena itu cara membuang tinja anak penting
sebagai upaya mencegah terjadinya diare (Sunoto dkk, 1990).
f. Imunisasi
Diare sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian
imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi
terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan
(Andrianto, 1995).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita
diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini
dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat
samping dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi
dengan pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat
disebabkan oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai
radang. Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat
diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab
diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare
dan spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak
menyenangkan. Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika
tanpa resep dokter. Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan dengan
penyebab diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki
efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk dokter (Fahrial Syam,
2006).
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami
kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare
diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada
tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat
samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus
mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi
juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan
dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita
diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus

15
dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan
dengan teman sepermainan
10) Penatalaksanaan
1. Pada anak yang mengalami diare tanpa dehidrasi (kekurangan cairan).
Tindakan :
a. Untuk mencegah dehidrasi, beri anak minum lebih banyak dari biasanya
b. ASI (Air Susu Ibu) diteruskan - Makanan diberikan seperti biasanya
c. Bila keadaan anak bertambah berat, segera bawa ke Puskesmas terdekat
2. Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi ringan/sedang
Tindakan :
a. Berikan oralit
b. ASI (Air Susu Ibu) diteruskan
c. Teruskan pemberian makanan
d. Sebaiknya yang lunak, mudah dicerna dan tidak merangsang
e. Bila tidak ada perubahan segera bawa kembali ke Puskesmas terdekat.
3. Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi berat
Tindakan :
a. Segera bawa ke Rumah Sakit / Puskesmas dengan fasilitas Perawatan
b. Oralit dan ASI diteruskan selama masih bisa minum

Takaran Pemberian Oralit


1. Di bawah 1 thn :
3 jam pertama 1,5 gelas selanjutnya 0.5 gelas setiap kali mencret
2. Di bawah 5 thn (anak balita) :
3 jam pertama 3 gelas, selanjutnya 1 gelas setiap kali mencret
3. Anak diatas 5 thn :
3 jam pertama 6 gelas, selanjutnya 1,5 gelas setiap kali mencret
4. Anak diatas 12 thn & dewasa :
3 jam pertama 12 gelas, selanjutnya 2 gelas setiap kali mencret (1 gelas : 200 cc)
Dasar Pengobatan Diare
1. Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya.
a. Cairan per oral
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan
yang bersifat NaCl dan NaHCO3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera

16
pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6
bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula
lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula
yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.
b. Cairan parentral
Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai
berikut:
a) Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg
1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set
berukuran 1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20
tetes).
7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset
berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit
b) Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10
tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
c) Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg
1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau
7 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts
atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.
d) Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg
Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis
cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1 %.
Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml
= 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).
e) Untuk bayi berat badan lahir rendah
Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian
glukosa 10% + 1 bagian NaHCO3 1 %).
2. Pengobatan dietetic
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang
dari 7 kg, jenis makanan:

17
a. Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak
jenuh
b. Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim)
c. Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu
yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak
jenuh.
3. Obat-obatan
Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang
mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.
11) ASKEP Diare
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan.
Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi, hal ini
membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada anak yang lebih
besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk.
Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enteric
menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga
berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya .
2. Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 x
3. Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja.
Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari
(diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare
kronis).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid
jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit),
alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
5. Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa,
porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu.

18
kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan
makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan cuci
tangan,
6. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
7. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan,
lingkungan tempat tinggal.
8. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
a. Pertumbuhan
Kenaikan BB karena umur 1 3 tahun berkisar antara 1,5-2,5 kg (rata -
rata 2 kg), PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm ditahun
kedua dan seterusnya.
Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama dan gigi
taring, seluruhnya berjumlah 14 16 buah
Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
b. Perkembangan
Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud.
Fase anal : Pengeluaran tinja menjadi sumber kepuasan libido, meulai
menunjukan keakuannya, cinta diri sendiri/ egoistic, mulai kenal
dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan kebersihan,
perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan mengulang kata
sederhana, hubungna interpersonal, bermain).
Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson.
Autonomy vs Shame and doundt
Perkembangn ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak toddler
dari lingkungan dan keuntungan yang ia peroleh Dario kemam
puannya untuk mandiri (tak tergantug). Melalui dorongan orang tua
untuk makan, berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua terlalu over
protektif menuntut harapan yanag terlalu tinggi maka anak akan
merasa malu dan ragu-ragu seperti juga halnya perasaan tidak mampu
yang dapat berkembang pada diri anak.

19
Gerakan kasar dan halus, bacara, bahasa dan kecerdasan, bergaul dan
mandiri : Umur 2-3 tahun :
a) berdiri dengan satu kaki tampa berpegangan sedikitpun 2
hitungan (GK)
b) Meniru membuat garis lurus (GH)
c) Menyatakan keinginan sedikitnya dengan dua kata (BBK)
d) Melepasa pakaian sendiri (BM)
9. Pemeriksaan Fisik
a. pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan
mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar,
b. keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran menurun.
c. Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada anak
umur 1 tahun lebih
d. Mata : cekung, kering, sangat cekung
e. Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic
meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum
normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit
atau kelihatan bisa minum
f. Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena
asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan)
g. Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi
menurun pada diare sedang .
h. Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu
meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary
refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
i. Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/
24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
j. Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami
stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap
tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa, dan
kemudian menerima.
10. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium :
feses kultur : Bakteri, virus, parasit, candida

20
Serum elektrolit : Hiponatremi, Hipernatremi, hipokalemi
AGD : asidosis metabolic ( Ph menurun, pO2 meningkat, pcO2
meningkat, HCO3 menurun )
Faal ginjal : UC meningkat (GGA)
2) Radiologi : mungkin ditemukan bronchopemoni
11. Penatalaksanaan Diare
1) Rehidrasi
a. jenis cairan
a) Cara rehidrasi oral
Formula lengkap (NaCl, NaHCO3, KCl dan Glukosa) seperti
orali, pedyalit setiap kali diare.
Formula sederhana ( NaCl dan sukrosa)
b) Cara parenteral
Cairan I : RL dan NS
Cairan II : D5 salin,nabic. KCL
D5 : RL = 4 : 1 + KCL
D5 + 6 cc NaCl 15 % + Nabic (7 mEq/lt) + KCL
HSD (half strengh darrow) D 2,5 NS cairan khusus pada
diare usia > 3 bulan.
b. Jalan pemberian
a) Oral (dehidrasi sedang, anak mau minum, kesadaran baik)
b) Intra gastric ( bila anak tak mau minum,makan, kesadran menurun)
c. Jumlah Cairan ; tergantung pada :
a) Defisit ( derajat dehidrasi)
b) Kehilangan sesaat (concurrent less)
c) Rumatan (maintenance).
d. Jadwal / kecepatan cairan
a) Pada anak usia 1- 5 tahun dengan pemberian 3 gelas bila berat
badanya kurang lebih 13 kg : maka pemberianya adalah :
BB (kg) x 50 cc
BB (kg) x 10 20 = 130 260 cc setiap diare = 1 gls.
b) Terapi standar pada anak dengan diare sedang :
+ 50 cc/kg/3 jam atau 5 tetes/kg/mnt

21
2) Terapi
a. obat anti sekresi : Asetosal, 25 mg/hari dengan dosis minimal 30 mg,
klorpromazine 0,5 1 mg / kg BB/hari
b. onat anti spasmotik : Papaverin, opium, loperamide
c. antibiotik : bila penyebab jelas, ada penyakit penyerta
3) Dietetik
a. Umur > 1 tahun dengan BB>7 kg, makanan padat / makanan cair
atau susu
b. Dalam keadaan malbasorbsi berat serta alergi protein susu sapi dapat
diberi elemen atau semi elemental formula.
4) Supportif
Vitamin A 200.000. IU/IM, usia 1 5 tahun
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
diare atau output berlebihan dan intake yang kurang
2. Devisit Volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan skunder
terhadap diare.
3. Hypertemi berhubungan dengan proses infeksi skunder terhadap diare
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekwensi
diare.
C. . intervensi keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Ketidakseimbangan NOC: Kaji adanya alergi makanan
nutrisi kurang dari a. Nutritional status: Kolaborasi dengan ahli gizi
kebutuhan tubuh Adequacy of nutrient untuk
berhubungan dengan b. Nutritional Status : food menentukan jumlah kalori dan
diare atau output and Fluid Intake nutrisi yang dibutuhkan pasien
berlebihan dan intake c. Weight Control Monitor adanya penurunan BB
yang kurang Setelah dilakukan tindakan dan gula
DS: keperawatan darah
Nyeri abdomen selama ....diharapakan nutrisi Monitor lingkungan selama
Muntah kurang makan
Kejang perut teratasi dengan indikator: Monitor turgor kulit

22
Rasa penuh tiba-tiba Albumin serum Monitor kekeringan, rambut
setelah makan Pre albumin serum kusam, total
DO: Hematokrit protein, Hb dan kadar Ht
Diare Hemoglobin Monitor mual dan muntah

Rontok rambut yang Total iron binding Monitor pucat, kemerahan, dan

berlebih capacity kekeringan jaringan

Kurang nafsu makan Jumlah limfosit konjungtiva


Monitor intake nuntrisi
Bising usus berlebih
Informasikan pada klien dan
Konjungtiva pucat
keluarga
- Denyut nadi lemah
tentang manfaat nutrisi
Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti
NGT/ TPN sehingga intake
cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
Kelola pemberan anti
emetik:.....
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonikbpapila
lidah dan cavitas oval
2. Defisit Volume Cairan NOC: NIC :
Berhubungan dengan: Fluid balance Pertahankan catatan intake dan
Kehilangan volume Hydration output yang akurat
cairan secara aktif Nutritional Status : Food Monitor status hidrasi (
Kegagalan mekanisme and Fluid Intake kelembaban membran mukosa,
Pengaturan Setelah dilakukan tindakan nadi adekuat, tekanan darah
DS : keperawatan selama.. ortostatik ), jika diperlukan
Haus defisit volume cairan Monitor hasil lab yang sesuai
DO: teratasi dengan kriteria dengan retensi cairan (BUN ,

23
Penurunan turgor hasil: Hmt , osmolalitas urin,
kulit/lidah Mempertahankan urine albumin, total protein )
Membran mukosa/kulit output sesuai dengan Monitor vital sign setiap
kering usia dan BB, BJ urine 15menit 1 jam
Peningkatan denyut nadi, normal, Kolaborasi pemberian cairan
penurunan tekanan darah, Tekanan darah, nadi, IV
penurunan volume / suhu tubuh dalam batas Monitor status nutrisi
tekanan nadi normal Berikan cairan oral
Pengisian vena menurun Tidak ada tanda tanda Berikan penggantian
Perubahan status mental dehidrasi, Elastisitas nasogatrik sesuai output (50
Konsentrasi urine turgor kulit baik, 100cc/jam)
meningkat membran mukosa Dorong keluarga untuk
Temperatur tubuh lembab, tidak ada rasa membantu pasien makan
meningkat haus yang berlebihan Kolaborasi dokter jika tanda
Kehilangan berat badan Orientasi terhadap cairan berlebih muncul
secara tiba-tiba waktu dan tempat baik meburuk

Penurunan urine output Jumlah dan Atur kemungkinan tranfusi

HMT meningkat iramapernapasan dalam Persiapan untuk tranfusi


batas normal
Kelemahan Pasang kateter jika perlu
Elektrolit, Hb, Hmt Monitor intake dan urin output
dalam batas normal setiap 8 jam
pH urin dalam batas
normal
Intake oral dan
intravena adekuat
3. Hypertemi berhubungan NOC: NIC :
dengan proses infeksi Thermoregulasi Monitor suhu sesering
skunder terhadap diare Setelah dilakukan tindakan mungkin
Berhubungan dengan : Keperawatan selama 3x24 Monitor warna dan suhu kulit
penyakit/ trauma jam diharapkan pasien Monitor tekanan darah, nadi
peningkatan menunjukkan Suhu tubuh dan RR
metabolisme dalam batas normal dengan Monitor penurunan tingkat

aktivitas yang kreiteria hasil: kesadaran

24
berlebih Suhu 36-37C Monitor WBC, Hb, dan Hct
dehidrasi Nadi dan RR dalam Monitor intake dan output
DO/DS: rentang normal Berikan anti piretik:
kenaikan suhu tubuh Tidak adaperubahan Berikan cairan intravena
diatas rentang normal warna kulitdan tidak ada Kompres pasien pada lipat

serangan atau konvulsi pusing, merasa nyaman paha dan

(kejang) aksila

kulit kemerahan Tingkatkan sirkulasi udara

pertambahan RR Tingkatkan intake cairan dan


nutrisi
takikardi
Kulit teraba panas/
hangat
Risiko gangguan integritas NOC : NIC : Pressure Management
Kulit Tissue Integrity : Skin Anjurkan pasien untuk
Faktor-faktor risiko: and Mucous Membranes menggunakan pakaian yang
Eksternal : Status Nutrisi longgar
Hipertermia atau Tissue Perfusion:perifer Hindari kerutan pada tempat
hipotermia Dialiysis Access Integrity tidur
Substansi kimia Setelah dilakukan tindakan Jaga kebersihan kulit agar
Kelembaban udara keperawatan selama. tetap bersih dan kering
Faktor mekanik Gangguan integritas kulit Mobilisasi pasien (ubah posisi
(misalnya : alat yang tidak terjadi dengan kriteria pasien) setiap dua jam sekali
dapat menimbulkan luka, hasil: Monitor kulit akan adanya
tekanan, restraint) Integritas kulit yang baik kemerahan
Immobilitas fisik bisa dipertahankan Oleskan lotion atau
Radiasi Melaporkan adanya minyak/baby oil pada derah
Usia yang ekstrim gangguan sensasi atau yang tertekan
Kelembaban kulit nyeri pada daerah kulit Monitor aktivitas dan
Obat-obatan yang mengalami mobilisasi pasien
Ekskresi dan sekresi gangguan Monitor status nutrisi pasien
Internal : Menunjukkan Memandikan pasien dengan
Perubahan status pemahaman dalam proses sabun dan air hangat
perbaikan kulit

25
metabolik dan mencegah Gunakan pengkajian risiko
Tulang menonjol terjadinya sedera untuk memonitor faktor risiko
Defisit imunologi berulang pasien (Braden Scale, Skala
Berhubungan dengan Mampu melindungi kulit Norton)
perkembangan dan mempertahankan Inspeksi kulit terutama pada
Perubahan sensasi kelembaban kulit dan tulang-tulang yang menonjol
Perubahan status perawatan alami dan titik-titik tekanan ketika

nutrisi (obesitas, Status nutrisi adekuat merubah posisi pasien.

kekurusan) Sensasi dan warna kulit Jaga kebersihan alat tenun

Perubahan pigmentasi Normal Kolaborasi dengan ahli gizi

Perubahan sirkulasi untuk pemberian tinggi

Perubahan turgor protein, mineral dan vitamin

(elastisitas kulit) Monitor serum albumin dan

Psikogenik transferin

2.2. KONSEP TEORI TYPHOID FEVER


2.2.1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini memiliki
manifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan oleh bakteri
Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran id yang berarti mirip.
Di Indonesia sendiri penyakit ini lebih akrab dengan sebutan Tifus atau Tipes
karena kemiripannya dengan demam Tifus tersebut. Demam tifoid merupakan suatu
infeksi Fecal-Oral yang pada nantinya akan menyerang saluran Cerna khususnya usus
halus (jejunum dan ileum) dilanjutkan dengan masuknya ke dalam aliran darah
(bakteremia) yang akan menyebabkan gejala atau tanda yang khas tempat dimana
kuman melewati organ selama bakteremia tersebut.
2.2.2. Etiologi
Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk bacil
atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella peritrik,
memiliki ukuran 2-4 m x 0,5 -0,8 m. Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan
fakultatif anaerob, mati dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat
bertahan selama 4 minggu dan hidup subur dalam media yang mengandung garam

26
empedu. Memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks
polisakarida), antigen H (flagel) dan antigen Vi .
Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4: Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe group D.
Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab infeksi utama
pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya dengan
mengkontaminasi makanan dan minuman. Faktor- faktor lain yang mempengaruhi
kerentanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp. adalah keasaman lambung, flora
normal usus, dan ketahanan usus lokal.

2.2.3. Epidemologi
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemic di
Asia, Afrika, Amerika Latin, kep. Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit
ini tergolong menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi.

Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar 16
juta per tahun, 600.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Di Indonesia
prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun dengan kejadian
yang meningkat setelah usia 5 tahun.

27
Ada dua sumber penularan penyakit ini yaitu pasien yang menderita demam
tifoid dan yang lebih sering adalah dari carier yaitu orang yang sudah sembuh dari
demam tifoid tapi masih mengekskresikan S. typhii dalam tinja selama lebih dari
setahun.
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui secret saluran nafas, urin, tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa
minggu apabila berada di dalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada
pakaian. Mudah mati pada klorisasi dan pasteurinisasi (temp 63oC).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman (carier), biasanya keluar bersama- sama dengan tinja (rute fecal-
oral). Dapat juga terjadi transmisi transprasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.
2.2.4. Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi dari
gejala yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai banyak
sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf pusat.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari 7
hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi, sehingga
pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. Demam yang
terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40oC
dan cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua, penderita terus berada
dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan berangsur- angsur turun dan
normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk
demam yang khas seperti di atas pada demam tifoid. Tipe deman menjadi tidak
beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan (penggunaan antipiretik atau
antibiotic lebih awal) atau komplikasi yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak
balita, demam tinggi dapat menyebabkan kejang.

28
Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam
akibat infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang memproduksi
endotoksin merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator radang yang
disekresi oleh sel- sel mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1, IL-6, TNF-alfa, &
IFN-6) yang merupakan pirogen endogen. Kedua pirogen ini akan mengaktivasi
pelepasan Fosfolipase A2 pada membran sel yang mana akan mengaktivasi asam
arakidonat yang melalui jalur siklooksigenase memproduksi Prostaglandin E2
(PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik yang diaktivasinya akan
mengubah seting termostat yang terdapat di hipothalamus sehingga terjadilah demam.
Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, perut
kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal problem
biasanya dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada sirkulasi. Dari
cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih dengan tepi yang
kemerehan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan tremor kesemua tanda pada
lidah ini disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun jarang ditemukan pada anak- anak
tapi cukup berarti diagnostik. Gejala- gejala lain yang tidak spesifik seperti mual,
anoreksia. Karena bakteri menempel pada mukosa usus dan berkembang biak dalam
Peyer patch di dalamnya maka tidak jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare
atau kadang diselingi konstipasi. Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri
dalam lumen usus yang perlu untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada
demam tifoid tidak sampai menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi
yang mungkin baru dialami setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anak-
anak lebih sering mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah
yang kadang- kadang membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang berobat.
Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga menimbulkan
gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar dan Lien. Hepato-
splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel fagosit atau sinusoid.
Replikasi dalam hepar dan lien ini tentunya akan menyebabkan respon inflamasi lokal
yang melibatkan mediator radang seperti InterLeukin (IL-1, IL-6), Prostaglandin
(PGE-2) dimana menyebabkan permeabilitas kapiler akan meningkat sehingga terjadi
oedema. Pembesaran pada hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri tekan dan hanya
berlangsung singkat (terutama terjadi waktu bakteremia sekunder). Penanda ini cukup
spesifik dalam membantu diagnostik.

29
Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood Brain
Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering bersifat Sindrom
Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan gangguan kesadaran
seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma. Pada anak- anak tanda-
tanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan manifestasi khas mengigau atau
nglindur yang terjadi selama periode demam tifoid tersebut. Gangguan otak organik
ini biasanya lebih berat ditemukan pada demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah
mengalami komplikasi. Pada keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi
ditemukan hanya sewaktu tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.
Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi kulit
berupa ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip dengan
ptechiae disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena emboli basil
dalam kapiler kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga menyerupai bentuk
bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan beratahn selama 2-3 hari.
Namun menurut IDAI penyakit tropik infeksi ruam/rose spot ini hampir tidak pernah
dilaporkan pada kasus anak di Indonesia.

Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi
tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh peningkatan denyut
nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid peningkatan suhu tubuh
tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga dikatakan Bradikardi yang relatif
pada demam. Bradikardi relatif ini juga cenderung jarang terjadi pada anak.

30
Makanan yang Masuk Saluran Cerna dalam
terkontaminasi jumlah minimal 105-109 untuk
Salmonell typhii menimbulkan infeksi

Masuk ke dalam usus


halus melalui mikrovilli
Bakteri memproduksi
Endotoksin (Pirogen Mencapai Plak Peyer
Eksogen)

Masuk Pembuluh darah


Mukosa Usus yang terinfeksi akan
(Bakteremia Primer)
menstimulasi datangnya sel- sel
fagosit (Netrofil dan makrofag)
Mencapai organ Retikulo Endothelial
Sel-sel yang mengalami cedera, netrofil, System (Hepar, Splen) = Bakteremia
dan makrofag sekresi mediator Sekunder
peradangan: IL-1, IL-6, TNF-alfa, & IFN-6
(Pirogen Endogen) Bakteri, toksin atau faktor virulensi lainnya
menyebabkan proliferasi sel-sel organ
Aktivasi Fosfolipase A2 pada
membran fosfolipid Pembesaran organ

Aktivasi Asam
Hepatomegali
Arakidonat Splenomegali

Asam Arakidonat melalui jalur


siklooksigenase membuat
Prostaglandin E2 (PGE2)

Aktivasi AMP siklik

Mengubah setting termostat Suhu tubuh diatur


DEMAM
di hipothalamus agar lebih tinggi

2.2.5. Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri

31
bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus
mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri
bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan
kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus
sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan

32
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini
adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur
berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak
stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologis.
Bagan patomekanisme Infeksi Salmonella typhi :

33
2.2.6. Patway

34
Salmonella
typhosa

Saluran pencernaan

Diserap usus halus

Bakteri memasuk aliran darah sistemik

Endotoksin
Hati dan limpa
Kelenjar limfoid usus
halus
Hepatosplenomegali Bed rest Hipertermi

Tukak Mual, muntah Hospitalisasi

Intake tak adekuat


Perdarahan dan
perforasi

Risiko perdarahan Defisit Self


Care
Motilitas usus
Resiko deficit volume Resiko kebutuhan nutrisi kurang
cairan
Konstipasi

Dehidrasi Gangguan tumbuh


Nyeri
kembang
Syok hipovolemik
a. Psikososial Intoleransi aktivitas
Berpisah dengan orang tua, anggota
Kesadaran keluarga lain, teman dan perubahan peran
b. Fisiologis
Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi
2.2.9. Diagnosis
Reflek menelan dan tidak mengontrol diri
1.c. Lingkungan
Anamnesis asing
Kebiasaan sehari-hari berubah
Lendir 35

Bersihan jalan napas tidak efektif


Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur memerlukan
waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti Salmonella typhi.
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan terhadap demam
tifoid:
a. Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke pusat
pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan turun
menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin, sejak kapan mulai
demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau tidak
b. Gejala gastrointestinal, Diare (sejak kapan, frekuensi, ampas +/-, konsistensi,
volume tiap diare, warna, darah, lender), konstipasi (sejak kapan mulai tidak
BAB), mual atau muntah, anoreksia, malaise, perut kembung
c. Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya sebatas
ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
d. Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah sakit
seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang sangat mungkin
menjadikan penderitanya sebagai carier atau pembawa meskipun tidak
menunjukkan gejala
e. Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan atau
antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah mengalami
perubahan
f. Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat salah
satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat dan
sanitasi perorangan yang kurang baik.
g. Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum
sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat dan
vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian ASI juga perlu diketahui karena
pentingnya ASI dalam pembentukan IgA yang berperan dalam imunologi
lokal dalam saluran cerna. Anak yang minum susu formula sejak kecil
tentunya memiliki saluran cerna yang kurang diproteksi dengan baik oleh
Imunoglobulin.
h. Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah ditemukan
vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien tetap terinfeksi
Tifoid sangat mungkin titer antibodi yang dibentuk oleh vaksinasi sebelumnya

36
tidak cukup kuat untuk mengantisipasi infeksi berikutnya. Atau terdapat
kegagalan dalam vaksinasi yang dipengaruhi banyak faktor.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang
bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya.
Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada
keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan menjadi toksik,
salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga
koma.
Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang
mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada
infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan
bibir kering dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi
lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai
tremor.
Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali
pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada
cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada
anak- anak.
Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik
pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella
typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising
usus biasanya meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi
organ kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata
dengan nyeri tekan minimal.
Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan rose
spot atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-5
mm. Namun sangat jarang terjadi pada anak- anak

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Lengkap

37
pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis
dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the Left).
Namun untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai
leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi
diyakini akibat replikasi kuman di dalam Peyer Patch yang merupakan
makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh
polimorfonuklear leukosit granul seperti Netrofil stab ataupun segmen.
Makrofag jaringan merupakan Limfosit sehingga tidak jarang terjadi
Limfositosis relatif, karena makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN
normal sampai menurun, hitung jenis bisa jadi Shift to Right. Namun tidak
jarang ditemukan leukosit yang meningkat (leukositosis) bisa primer ataupun
sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder
bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Pada keadaan Demam Tifoid yang
sudah terjadi komplikasi berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan
anemia dengan tipe Hipokromik Mikrositik.
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella
typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari
flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B
(antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B)

Uji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung


(Tube Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut:

38
Tabung I II III IV V
Larutan garam 0,9 0,5 0,5 0,5 0,5
fisiologis (ml)
Serum pasien (ml) 0,1 0,5 0,5 0,5 0,5
Suspensi antigen 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
(ml)
Titer antibodi 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160

Dengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml serum


pasien, solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 =
0,1/0,1 = 1/10. Tabung II = 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan
serum pasien tabung I (1/10) + 0,5 ml larutan garam fisiologis tabung II =
1/20
Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi
Cara menentukan titer antibodi sebagai berikut:
Tabung I II III IV V
Titer 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160
Deretan + + - - -
Tabung + + + - -
+ + + + +

Keterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen
antibodi dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160)
Uji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi
peningkatan sebanyak 4x
Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam atau awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Pada fase akut mula- mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh
agglutinin H. pada penderita yang sudah sembuh agglutinin O masih tetap

39
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan.
Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:
a) pengobatan dini dengan antibiotic
b) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed
c) pemberian kortikosteroid
d) waktu pengambilan darah
e) riwayat vaksinasi
f) Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid
atau infeksi tifoid pada masa lalu
g) faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,akibat aglutinasi silang dan
strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. Tromnositopeni
juga sangat mungkin terjadi bila terjadi penekanan sumsum tulang akibat
bakteremia kuman.
c. Kultur
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut:
a) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negative
b) Volume darah yang kurang (< 5cc darah). Bila volume darah yang
dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa negative. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedsaide langsung dimasukkan ke media cair
empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
c) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia hingga biakan
darah dapat negative
d) Saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibodi meningkat
(minggu pertama).
Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur
sebaiknya diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena
sensitifitasnya cukup tinggi, dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan
diseluruh organ dan jaringan tubuh.

40
Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti
diagnostik yang penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam
empedu) karena kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media
ini. Spesimen lain yang mengandung arti diagnostik penting adalah biopsi
sumsum tulang yang memiliki hasil positif hampir 90% kasus. Pada biakan
feses yang perlu dicari adalah Fecal Monocyte sebagai respon dari usus yang
mengalami reaksi dengan skuman salmonella yang bereplikasi di dalamnya.
Biakan dari feses ini khususnya bermanfaat bagi carier tifoid
d. Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella)
IgM anti salmonella atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah
pemeriksaan diagnostic in vitro semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk
mendeteksi infeksi Tifoid akut. Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM
terhadap antigen Lipo Polisakarida bakteri Salmonella typhi dengan
sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan > 91%.
Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding
Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri
dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe
partikel reagen yaitu indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan
antibodi monoclonal anti 09 (reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang
disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah
sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator
yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang
dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam
sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi
terhadap skala warna.
Ada 4 interpretasi hasil :
a) Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
b) Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
c) Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
a) Immunodominan yang kuat

41
b) Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan
H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap
sel B.
c) Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
d) Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
e) Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella:
a) Mendeteksi infeksi akut Salmonella
b) Muncul pada hari ke 3 demam
c) Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
d) Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
e) Hasil dapat diperoleh lebih cepat
e. Pemeriksaan radiologi
Bukan merupakan pemeriksaan wajib untuk menegakkan diagnosa,
tapi untuk evaluasi sudah terjadi komplikasi atau belum:
a) Foto thorax, apabila saat perawatan didapatkan sesak, sangat mungkin
terjadi infeksi sekunder berupa pneumonia
b) Foto Polos abdomen (BOF), bila diduga sudah terjadi komplikasi
intestinal seperti perforasi usus. Gambaran yang tampak bisa distribusi
udara yang tidak merata, air fluid level, bayangan radiolusen di daerah
hepar, tanda- tanda udara bebas dalam cavum abdomen.
2.2.10. Diagnosa Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang
secara klinis dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya
influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia
bila didapatkan tanda- tanda sesak, batuk dan demam. Pada demam tifoid yang
berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis
banding.
2.2.11. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian

42
antibiotika. Pada kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar
pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
penyulit.
a. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/ Bed rest total
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang
air kecil, dan buang besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi anak juga perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap
perlu diperhatikan dan dijaga.
b. Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif)
Bertujuan untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien
secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid terutama sekali pada anak- anak, karena
makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita
akan semakin turun serta proses penyembuhan yang akan menjadi lama.
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang
mana perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan karena usus
harus diistirahatkan. Pemberian makanan padat dini terutama tinggi serat
seperti sayur dan daging dapat meningkatkan kerja dan peristaltic usus
sedangkan keadaan usus sedang kurang baik karena infeksi mukosa dan epitel
oleh kuman Salmonella typhi. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi
protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi
nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala
yang muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak
penting tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup
tinggi. Oleh karena itu pemberian infuse sebaiknya diberikan bagi anak yang
sakit dengan intake perOral yang kurang. Jenis infus yang diberikan

43
tergantung usia: 3 bln-3 tahun D5 Normal saline, > 3 tahun D5 Normal
saline. Jumlah pemberian infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada
anak. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam
hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat
mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek
mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.
c. Antibiotika
a) Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak
50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7
hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
b) Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10
mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.
Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5
mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari
pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem
hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini
sudah dilaporkan resisten.
c) Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk

44
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif.
Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4
dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama
dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
d) Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7
hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4
dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.
d. Terapi penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam
30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus
segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
2.2.12. Pencegahan
Pencegahan demam tifoid sangatlah penting, selain utntuk meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat pencegahan juga berperan dalam mengurangi
penderita carier sehingga resiko penularannya akan berkurang. Yang terpenting
adalah hygiene pribadi dengan menjaga kebersihan dan kualitas makanan yang
dikonsumsi. Macam- macam pencegahan untuk demam tifoid antara lain:
a. Preventif dan control penularan
Merupakan tindakan pencegahan penularan dan peledakan Kasus Luar
Biasa (KLB) demam tifoid. Mencakup kuman Salmonella typhi, faktor
pejamu, serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk
memutuskan tranmisi tifoid:
a) Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien Tifoid
Asimtomatik, carier, dan akut. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif
yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu. Sasaran aktif lebih

45
diutamakan pada populasi tertentu terutama anak- anak yang tinggal di
lingkungan padat dengan sanitasi yang kurang.
b) Pencegahan transmisi langsung dari penderita terifeksi Salmonella typhi
akut maupun carier.
c) Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi
b. Vaksinasi.
Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun
1960 efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-
88% (WHO). Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan
tahun digunakan dengan cara pemberian Sub Kutan, namun daya
kekebalannya terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan
yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang
dilemahkan disebut : Ty21a (vivotif Berna) pemberiannya secara Oral belum
beredar di Indonesia, parenteral: ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merineux) yang
merupakan vaksin kapsul polisakarida.
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3x secara
bermakna dengan selang 1 hari (hari 1,3,5) dapat memberi daya perlindungan
selama 6 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, untuk anak usia
> 10 tahun insiden yang turun dapat sebesar 53% sedangkan anak usia 5-9
tahun insiden turun sebesar 17%. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3-5 tahun.
Vaksin jenis ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin oral ini
pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung ke daerah
endemis tifoid.
Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi
efek samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan pemberian peroral.
Diberikan pada usia > 2 tahun dan di booster tiap 3 tahun. Kemasannya di
dalam prefilled syringe 0,5 cc dan diberikan secara Intra Muskuler.
Kelompok orang yang menjadi sasaran vaksinasi tergantung pada
faktor resiko yang berkaitan diantaranya: anak usia sekolah terutama yang
berada di daerah endemik, pengunjung yang akan berwisata ke daerah
endemic, dan anak- anak yang kontak erta dengan pengidap tifoid (carier)

46
Efektivitas vaksin secara serokonversi dapat membuat peningkatan
antibodi sampai 4x setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu
sekitar 15 hari- 3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.
Perlu diperhatikan tentang efek samping vaksin yang dapat berupa
demam, sakit kepala akibat pemberian vaksin Ty21a, sedangkan pada ViCPS
efek samping yang timbul lebih ringan. Efek samping yang paling sering
terjadi bila diberikan secara Intravena karena dapat terjadi reaksi lokal berat,
edema, hipotensi dan nyeri dada.
2.2.13. Komplikasi dan Penatalaksanaannya
Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi
intestinal dan komplikasi ekstra intestinal.
1. Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus.
Pada perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami
infeksi terutama pada ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus
lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi.
Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi gangguan koagulasi
darah atau gabungan keduanya. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor dan tidak memerlukan tranfusi darah.
Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita dapat mengalami syok
hipovilemik. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila
terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam dengan factor hemostasis yang
masih dalam batas normal.
Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid
dengan perforasi usus akan mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah lalu menyebar ke seluruh lapang perut dan
disertai tanda- tanda ileus. Bising usus melemah, pekak hapar juga menghilang
yang menandakan adanya udara bebas dalam cavum abdomen. Untuk lebih
menguatkan kea rah perforasi usus dapat dilakukan pemeriksaan foto polos
abdomen AP dan lateral dimana akan didapatka gambaran air fluid level dan
bayangan radiolusen pada hepar.

47
Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik
spectrum luas untuk infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi
Chloramphenicol dan Ampisilin IV serta untuk mengatasi kuman yang
fakultatif anaerob pada flora usus digunakan Gentamisin atau Metronidazole.
Walaupun jarang terjadi pada anak- anak namun mortalitasnya cukup tinggi
bila sampai terjadi perforasi usus.
2. Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak adalah
manifestasi neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan atau
Sindroma Otak Organik yang lain. Hal ini sering juga disebut sebagai tifoid
toxic atau tofoid ensefalopati. Pengobatannya ditambah dengan Kortikosteroid
(dexamethasone) 3x5 mg.
2.2.14. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan
terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang,
angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan
dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dapat mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang
mengeluarkan Salmonella typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya
menjadi carier yang kronis. Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Carier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien
demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada carier kronis
dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis juga dapat terjadi,
namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan
schistosomiasis.
2.2.15. ASKEP Tyfoid Fever
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa
medik.

48
2. Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-
turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta
penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam
tubuh.
4. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5. Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah
saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama
sekali.
Pola eliminasi
Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring
lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna
urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi
peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa
haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak
terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit
anaknya.
Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan
umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada

49
klien.
Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di
rumah sakit dan klien harus bed rest total.
Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua akan nampak cemas
7. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38
410C, muka kemerahan.
Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan
gambaran seperti bronchitis.
Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
Sistem integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak
kusam
Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,
muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak,
peristaltik usus meningkat.
Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak
serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung
serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.

50
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual, muntah,
anoreksia
2. Defisit volume cairan b/d peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral
yang kurang (mual, muntah)
3. Hypertermi b/d proses peradangan usus halus
4. Intoleransi aktivitas terutama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam
hal nutrisi, eliminasi, personal hygiene b/d kelemahan dan imobilisasi

C. Intervensi
Diagnosa Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Ketidakseimbangan NOC: Kaji adanya alergi makanan
nutrisi kurang dari d. Nutritional status: Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
kebutuhan tubuh Adequacy of nutrient menentukan jumlah kalori dan nutrisi
berhubungan dengan e. Nutritional Status : food yang dibutuhkan pasien
mual, muntah, and Fluid Intake Monitor adanya penurunan BB dan
anoreksia f. Weight Control gula
1. Setelah dilakukan tindakan darah
DS: keperawatan Monitor lingkungan selama makan
Nyeri abdomen selama ....diharapakan nutrisi Monitor turgor kulit
Muntah kurang Monitor kekeringan, rambut kusam,
Kejang perut teratasi dengan indikator: total

Rasa penuh tiba-tiba Albumin serum protein, Hb dan kadar Ht

setelah makan Pre albumin serum Monitor mual dan muntah

DO: Hematokrit Monitor pucat, kemerahan, dan

Diare Hemoglobin kekeringan jaringan konjungtiva


Total iron binding capacity Monitor intake nuntrisi
Rontok rambut yang
Jumlah limfosit Informasikan pada klien dan keluarga
berlebih
tentang manfaat nutrisi
Kurang nafsu makan
Kolaborasi dengan dokter tentang
Bising usus berlebih
kebutuhan suplemen makanan seperti
Konjungtiva pucat
NGT/ TPN sehingga intake cairan
- Denyut nadi lemah
yang

51
adekuat dapat dipertahankan.
Kelola pemberan anti emetik:.....
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonikbpapila lidah dan cavitas
oval
2. Defisit Volume NOC: NIC :
Cairan Fluid balance Pertahankan catatan intake dan output
Berhubungan dengan: Hydration yang akurat
Kehilangan volume Nutritional Status : Food Monitor status hidrasi ( kelembaban
cairan secara aktif and Fluid Intake membran mukosa, nadi adekuat,
Kegagalan mekanisme Setelah dilakukan tindakan tekanan darah ortostatik ), jika
Pengaturan keperawatan selama.. diperlukan
DS : defisit volume cairan Monitor hasil lab yang sesuai dengan
Haus teratasi dengan kriteria retensi cairan (BUN , Hmt ,
DO: hasil: osmolalitas urin, albumin, total
Penurunan turgor Mempertahankan urine protein )
kulit/lidah output sesuai dengan Monitor vital sign setiap 15menit 1
Membran mukosa/kulit usia dan BB, BJ urine jam
kering normal, Kolaborasi pemberian cairan IV
Peningkatan denyut Tekanan darah, nadi, Monitor status nutrisi
nadi, suhu tubuh dalam batas Berikan cairan oral
penurunan tekanan normal Berikan penggantian nasogatrik
darah, Tidak ada tanda tanda sesuai output (50 100cc/jam)
penurunan volume / dehidrasi, Elastisitas Dorong keluarga untuk membantu
tekanan nadi turgor kulit baik, pasien makan
Pengisian vena membran mukosa Kolaborasi dokter jika tanda cairan
menurun lembab, tidak ada rasa berlebih muncul meburuk
Perubahan status haus yang berlebihan Atur kemungkinan tranfusi
mental Orientasi terhadap Persiapan untuk tranfusi
Konsentrasi urine waktu dan tempat baik Pasang kateter jika perlu
meningkat Jumlah dan Monitor intake dan urin output

52
Temperatur tubuh iramapernapasan dalam setiap 8 jam
meningkat batas normal
Kehilangan berat Elektrolit, Hb, Hmt
badan dalam batas normal
secara tiba-tiba pH urin dalam batas
Penurunan urine output normal
HMT meningkat Intake oral dan
Kelemahan intravena adekuat
3. Hypertemi NOC: NIC :
Berhubungan dengan : Thermoregulasi Monitor suhu sesering mungkin
penyakit/ trauma Setelah dilakukan tindakan Monitor warna dan suhu kulit
peningkatan Keperawatan selama 3x24 jam Monitor tekanan darah, nadi dan RR
metabolisme diharapkan pasien Monitor penurunan tingkat kesadaran

aktivitas yang menunjukkan Suhu tubuh Monitor WBC, Hb, dan Hct

berlebih dalam batas normal dengan Monitor intake dan output

dehidrasi kreiteria hasil: Berikan anti piretik:

DO/DS: Suhu 36-37C Berikan cairan intravena


Nadi dan RR dalam rentang Kompres pasien pada lipat paha dan
kenaikan suhu tubuh
normal aksila
diatas rentang normal
Tidak adaperubahan warna Tingkatkan sirkulasi udara
serangan atau konvulsi
kulitdan tidak ada pusing, Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
(kejang)
merasa nyaman
kulit kemerahan
pertambahan RR
takikardi
Kulit teraba panas/
hangat
Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
Berhubungan dengan : a. Self Care : ADLs Observasi adanya pembatasan klien
Tirah Baring atau b. Toleransi aktivitas dalam melakukan aktivitas
imobilisasi c. Konservasi energi Kaji adanya faktor yang
Kelemahan menyeluruh Setelah dilakukan tindakan menyebabkan kelelahan
Ketidakseimbangan keperawatan selama 3x24 jam Monitor nutrisi dan sumber energi

53
antara suplei oksigen diharapkan Pasien bertoleransi yang adekuat
dengan kebutuhan terhadap aktivitas dengan Monitor pasien akan adanya
Gaya hidup yang Kriteria kelelahan fisik dan emosi secara
dipertahankan. Hasil : berlebihan
DS: Berpartisipasi dalam Monitor respon kardivaskuler
Melaporkan secara aktivitas fisik tanpa disertai terhadap aktivitas (takikardi,
verbal adanya kelelahan peningkatan disritmia, sesak nafas, diaporesis,
atau kelemahan. tekananbdarah, nadi dan pucat, perubahan hemodinamik)
Adanya dyspneu atau RR Monitor pola tidur dan lamanya
ketidaknyamanan saat Mampu melakukan tidur/istirahat pasien
beraktivitas. aktivitas sehari hari Kolaborasikan dengan Tenaga
DO : (ADLs) secara mandiri Rehabilitasi Medik dalam
Respon abnormal dari Keseimbangan aktivitas merencanakan progran terapi yang
tekanan darah atau nadi dan istirahat tepat. Bantu klien untuk
terhadap aktifitas mengidentifikasi aktivitas yang
Perubahan ECG : mampu dilakukan
aritmia, iskemia Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
sosial
Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan
Bantu untuk mendpatkan alat bantuan
aktivitas seperti kursi roda, krek
Bantu untuk
mengidentifikasibaktivitas yang
disukai
Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
Sediakan penguatan positif bagi yang
aktif beraktivitas

54
BAB III
LAPORAN KASUS

NO RM : 38 74 73
Tanggal Masuk : 02 Maret 2013
I. IDENTIAS DATA :
Nama : An DW
Usia : 8 Tahun 8 Bulan
Jenis Kelamin : perempuan
Agama : kristen
Alamat : Jl. Manunggal, Benu - Benua
II. KELUHAN UTAMA
Demam
III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang dengan keluhan Demam terus menerus selama 7 hari, utamanya
sore dan malam hari, menggigil (), kejang (-). Sakit kepala (+), pusing (+) Batuk (-),
sesak (-) Sakit perut (+), mual (+) , muntah (+). BAB : cair sejak 1 hari sebelum masuk
RS, lendir (-), darah (-) BAK : kuning jernih, kesan normal
IV. RIWAYAT PENYAKIT MASA LALU :
1. Penyakit waktu kecil : Varicella (+), Malaria (+)
2. Imunisasi : BCG (+) 1, Polio (+) 3, DPT (+) 3, Hepatitis B
(+) 1, Campak (+) 1
V. RIWAYAT IMUNISASI DASAR DAN ULANG
No Jenis Imunisasi Jumlah Dasar

1. BCG 1x 1 bulan

2. Polio 3x 0, 1, 2, 4 bulan

3. Hepatitis B 1x 0,1,2 bulan

4. DPT 3x 2,4,6 bulan

5. Campak 1x 9 bulan

VI. KEBUTUHAN DASAR :

55
1. Eliminasi :
BAB : cair sejak 1 hari sebelum masuk RS, lendir (-), darah (-)
BAK : kuning jernih, kesan normal
VII. PEMERIKSAAN STATUS GIZI
Diketahui :
Umur 8 Tahun 8 bulan
BB 24 kg
TB 130 cm
TB/BB ( percentile ) : 88,8 %
Kesan : Gizi Kurang (CDC)
VIII. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : sakit sedang/ gizi
2. Tingkat kesadaran : sadar
3. Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 100/65 mmHg
Pernafasan : 20 x/menit
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 37,8C
4. Status internus
Paru-paru : sesak (-)
Perut : Sakit perut (+), mual (+) , muntah (+)
Busung/Edema : tidak ada
Kulit :
Turgor : Baik
Tonus : Normal
IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
1. Hasil laboratorium :
Lymph % : 19,2% (Low)
Gran % : 74,5 % (high)
HGB : 11,6 g/dl (Low)
HCT : 32,2 % (Low)
MCV : 73,8 Fl (Low)
MCH : 26,5 pg (Low) E

56
Widal O : 1/80
Widal H : 1/320 (+)
X. ANALISA DATA
DATA KLIEN ETIOLOGI PROBLEM
Ds: pasien mengeluh demam, Salmonella typhosa Hypertermi
sakit kepala, pusing
Do: Tanda-tanda vital Saluran pencernaan
Tekanan darah : 100/65 mmHg
Pernafasan : 20 x/menit Diserap usus halus
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 37,8C Bakteri memasuk
Lymph % : 19,2% (Low) aliran darah sistemik
Gran % : 74,5 % (high)
HGB : 11,6 g/dl (Low) Endotoksin
HCT : 32,2 % (Low)
MCV : 73,8 Fl (Low) Hipertermi
MCH : 26,5 pg (Low) E
Widal O : 1/80
Widal H : 1/320 (+)

Ds: Pasien mengeluh mual, Salmonella typhosa Ketidakseimbangan


muntah dan sakit perut nutrisi kurang dari
Do: pasien tampak pucat, Saluran pencernaan kebutuhan tubuh
turgor kulit baik,
BAB : cair sejak 1 hari sebelum Diserap usus halus
masuk RS, lendir (-), darah (-)
Lymph % : 19,2% (Low) Bakteri memasuk
Gran % : 74,5 % (high) aliran darah sistemik

Hati dan limpa

Hepatosplenomegali

57
Mual, muntah

Intake tak adekuat

Resiko kebutuhan tubuh


nutrisi kurang

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh

XI. PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Hypertemi berhubungan dengan proses infeksi bakteri Salmonella typhosa
2. Ketidakseimbangan nutrisi kuranng dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
Ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor
biologis, psikologis atau ekonomi.
XII. INTERVENSI
Hari/Tgl
No Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Paraf
/Jam
1 Senin, 2 NOC: NIC :
maret Thermoregulasi Monitor suhu sesering mungkin
2013 Setelah dilakukan tindakan Monitor warna dan suhu kulit
Jam Keperawatan selama 3x24 Monitor tekanan darah, nadi dan RR
12.00 jam diharapkan pasien Monitor penurunan tingkat kesadaran
wita menunjukkan Suhu tubuh Monitor WBC, Hb, dan Hct
dalam batas normal dengan Monitor intake dan output
kreiteria hasil: Berikan anti piretik:
Suhu 36-37C Berikan cairan intravena
Nadi dan RR dalam Kompres pasien pada lipat paha dan
rentang normal aksila
Tidak adaperubahan Tingkatkan sirkulasi udara
warna kulitdan tidak ada Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
pusing, merasa nyaman
2 Senin, 2 NOC: Kaji adanya alergi makanan

58
maret g. Nutritional status: Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
2013 Adequacy of nutrient menentukan jumlah kalori dan nutrisi
Jam h. Nutritional Status : food yang dibutuhkan pasien
12.00 and Fluid Intake Monitor adanya penurunan BB dan gula
wita i. Weight Control darah
Setelah dilakukan tindakan Monitor lingkungan selama makan
keperawatan Monitor turgor kulit
selama 3x24 jam Monitor kekeringan, rambut kusam, total
diharapakan nutrisi kurang protein, Hb dan kadar Ht
teratasi dengan indikator: Monitor mual dan muntah
Albumin serum Monitor pucat, kemerahan, dan
Pre albumin serum kekeringan jaringan konjungtiva
Hematokrit Monitor intake nuntrisi
Hemoglobin Informasikan pada klien dan keluarga
Total iron binding tentang manfaat nutrisi
capacity Kolaborasi dengan dokter tentang
Jumlah limfosit kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/ TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
Kelola pemberan anti emetik:.....
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonikbpapila lidah dan cavitas oval

59
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Diare kondisinya dapat merupakan gejala dari luka, penyakit, alergi (Fructose,
Lactose), penyakit dan makana atau kelebihan Vitamin C dan biasanya disertai sakit perut
dan seringkali menyebabkan muntah. Dimana menurut WHO (1980) diare terbagi dua
berdasarkan mula dan lamanya, yaitu diare akut dan diare kronik.
Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi
yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran
cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Jumlah minimal kuman yang masuk saluran cerna minimal berjumlah 105 dimana
kuman ini akan masuk ke lamina propria usus kemudian difagosit oleh makrofag jaringan
yang mana kuman akan melakukan replikasi di dalam makrofag itu sendiri dan dibawa ke
Peyer Patch lalu mengalami bakteremia primer dan sekunder melewati organ- organ
Retikulo Endotelial Sistem diantaranya Hepar dan Lien. Baketermia ini sendiri akan
memberikan gejala seperti hepatosplenomegali karena proses inflamasi lokal organ. Lalu
akan kembali lagi ke dalam usus tempat masuknya kuman pertama kali.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari
terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastro intestinal
bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid
Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan
Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur
waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti
delirium, supor sampai koma.
Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat
menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau pemeriksaan
serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah
baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang
memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi.
Komplikasi terdiri dari Intraintestinal dan ekstraintestinal. Komplikasi intraintestinal
berupa perdarahan sampai perforasi usus. Sedangkan komplikasi ekstraintestinal yang
tersering didapatkan gangguan neuropsikiatrik selain gangguan hematologi.

60
Pencegahan demam tifoid terutama menjaga sanitasi atau hygiene pribadi atau
lingkungan, mengurangi makanan yang memiliki resiko tertular penyakit ini, serta dengan
vaksinasi (Ty21a dan ViCPS).
4.2. Saran
Diare dan Demam thypoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada
iklim. Kebersihan perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun
lingkungan hidup umumnya adalah baik. Dengan kasus kedua ini , semoga bisa menjadi
acuan pemahaman mengenai bagian-bagian yang terkait dengandiare dan demam typoid,
dan dapat mengetahui cara pencegahan yang benar.
Sebagai tenaga kesehatan, kita sebaiknya memberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama pada anak-anak supaya menjaga kebersihan, baik kebersihan
lingkungan, makanan, air minum, dan kebersihan diri sendiri.

61
DAFTAR PUSTAKA

Bagoes, Goestoet. 2012. Makalah Tifoid.


https://www.scribd.com/doc/96843886/MAKALAH-TIFOID. Diakses kamis,
13/10/2016
Chairani. 2013. WOC Diare Anak. https://www.scribd.com/doc/136367381/WOC-Diare-
Anak. Diakses kamis, 13/10/2016
Ramadhan, fajri. 2015. Makalah Demam Thypoid. http://kreasi-
fajri.blogspot.co.id/2015/03/makalah-demam-thypoid.html. Diakses kamis, 13/10/2016
Sambhara, dian . 2013. Pathway Demam Tifoid.
https://www.scribd.com/doc/120572443/PATHWAY-DEMAM-TIFOID. Diakses
kamis, 13/10/2016
Wilkinson dan Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Ediasi 9. Jakarta: EGC

Woensdag. 2013. Makalah Diare Pada Anak .


http://inekehr.blogspot.co.id/2013/06/makalah-diare-pada-anak.html. Diakses kamis,
13/10/2016

62

Anda mungkin juga menyukai